Home / Romansa / Apa Warna Hatimu? / Chapter 3 : Proyek Dari Bos

Share

Chapter 3 : Proyek Dari Bos

Author: Giovanna Bee
last update Last Updated: 2021-09-19 15:46:36

    Kesialan telah menimpaku sejak aku bangun pagi. Air mandiku mendadak sangat dingin. Sepatu kets yang kupakai jogging terlepas dan membuatku jatuh mencium tanah. Ya Tuhan, apakah aku tanpa sengaja menginjakkan kaki di tempat angker?

    Perjalanan menuju kantor tidak membuat mood-ku lebih baik. Aku nyaris tersandung sesuatu saat turun dari bis. Untung gerak reflekku bagus, kalau tidak bisa-bisa aku terjatuh ke pelukan kernet yang mendadak siap merentangkan tangan.

    Maaf Bang, aku mengecewakanmu!

    Aku melangkah gontai ke mejaku. Wahyu sudah berjoget sambil mendendangkan Terajana sepenuh hati. 

    "Hai, selamat pagi Bro!" sapa Wahyu. Dia terdiam sesaat, "Muka lo kayak habis dicopet?"

    Aku mengerang. Tas kulempar begitu saja di atas meja, "Gue sial banget dari pagi. Belum pernah gue kayak begini."

    "Makanya," cetus Wahyu.

    "Makanya apa?"

    "Nggak apa-apa."

    "Asem! Gue pikir lo mau kasih solusi!"

    "Lo baru kenal gue? Masalah sendiri aja nggak bisa gue pecahin apalagi masalah lo!" Wahyu tertawa terbahak-bahak.

    Kepalaku pening didera logika Wahyu. Aku pergi ke pantry untuk membuat kopi. Sambil mengaduk kopi dengan perlahan aku memejamkan mata mencuri waktu tidur. 

    Suara pintu dibuka dengan keras membuatku terbangun. Sendok yang kupegang terlontar, mendarat dengan manis di celana Daniel. Aku ternganga melihatnya muncul di pantry. Tumben.

    "Kamu tidur? Saya potong bonus kamu loh!" sergah Daniel. Dia mengambil sendok kopi dari lantai dan melemparnya ke wastafel.

    Aku meringis, "Nggak. Eh, iya."

    "Kamu ke ruangan saya ya. Ada yang mau saya beritahu."

    "Oke."

    Daniel bergegas keluar dari pantry. Aku mengikuti jejaknya. Cangkir kopi kuletakkan di mejaku lalu aku beranjak ke ruangan Daniel.

    "Sini, sini." Daniel memanggilku.

    "Ada apa?"

    "Ehm... Ada proyek baru untuk kamu kerjakan. Company profile untuk tiga perusahaan," kata Daniel.

    "Oke. Saya minta data-datanya ya."

    "Kukirimkan lewat email karena agak banyak."

    "Nanti saya cek."

    "Ini proyek khusus dari Richard. Dia menunjukmu langsung." Wajah Daniel tampak bersimpati.

    "Wah, aku merasa terhormat dong?" Aku tertawa sinis.

    "Yang penting kamu kerjakan dengan baik. Jangan tunjukkan celah sedikit pun. Aku tidak dapat menunjuk orang untuk membantu karena instruksi Richard sangat spesifik, hanya untuk Hazel."

    Aku menganga. Apanya yang tidak membalas? Ini mah praktek hukum Hammurabi, mata dibalas mata, gigi dibalas gigi. Aku mengeluh dalam hati. Pantas saja aku mengalami kesialan bertubi-tubi sejak pagi, rupanya untuk mempersiapkanku menghadapi kesialan utama.

    Sebenarnya proyek ini tidak sulit, hanya tingkat kerumitannya sangat tinggi. Ditambah lagi aku harus membuat company profile untuk tiga perusahaan sekaligus! Tiga perusahaan ini bernaung di bawah grup perusahaan milik keluarga Richard.

    "Bro, dapat proyek besar?" Wahyu penasaran melihatku mencetak berlembar-lembar data.

    "Proyek balas dendam."

    "Maksud lo?"

    Aku menceritakan semuanya pada Wahyu, dari awal sampai akhir tidak ada yang ketinggalan. Tawa Wahyu membahana di akhir cerita. Orang yang baru kenal dengan Wahyu akan mengira kalau dia kesurupan.

    "Aduhhh Hazel, lo apes banget sih??" Wahyu mengusap airmata yang keluar karena tertawa terlalu keras. "Tapi orangnya ganteng kan?"

    "Biasa aja!"

    Wahyu tertawa, "Muka lo kayak habis kejebur comberan!"

    "Sial."

    "Tenang Bro, jadilah diri lo yang seperti biasa. Cuek, adem, dan bekerja dengan cepat. Gue yakin kalo dinikmati stres lo akan berkurang."

    "Tumben nasihat lo benar." Aku tertawa.

    "Wahyu gitu loh! Ngomong-ngomong nanti mau ke mal sebentar nggak?"

    "Mau ngapain?"

    "Cuci mata. Udah lama nggak kesana kan?"

    Aku berpikir sejenak. Mal yang dimaksud Wahyu lokasinya sangat dekat dengan gedung kantor kami. 

    "Naik apa kesana?" tanyaku memastikan.

    "Gue bawa motor, Bro." Wahyu mengacungkan serenceng kunci.

    "Pinjam apa ngerampok?" Otakku segera menghitung cepat. Dengan motor jarak tempuh hanya butuh waktu lima menit, "Boleh lah."

    Jam istirahat tiba.

    Sumpah. Aku menyesal menyetujui ajakan Wahyu. Slide kehidupanku melintas di depan mata saat motor yang dibawa Wahyu ngesot tajam dan nyaris beradu dengan sebuah truk pembawa sampah. 

    Kenapa harus truk sampah?? Tidak bisakah beradu dengan kendaraan yang lebih bagus semacam Mercedes Benz atau BMW?? Setidaknya aku bisa berkhayal pengemudi Mercedes Benz itu adalah seorang lelaki ganteng. Yah, itu pun kalau masih ada waktu untuk berkhayal.

    Kakiku lemas saat menjejak tanah. Wahyu merangkulku untuk berjalan lebih cepat.

    "Aman. Kita sudah tiba dengan selamat," cetus Wahyu dengan gembira.

    "HAMPIR!"

    Wahyu tertawa, "Yang penting udah sampai kan?"

    "Gila! Belajar bawa motor dari siapa lo? Nyawa gue cuma satu Bro, dan gue belum nikah!"

    Kami menuju food court. Aku dan Wahyu berpisah untuk memesan makanan masing-masing, kemudian bertemu kembali di meja.

    "Tadi gue sempat browsing tentang Richard. Penasaran," kata Wahyu sambil makan.

    "Mmmm." Aku hanya menggumam karena mulutku penuh.

    "Most wanted bachelor, Bro! Udah ganteng, punya banyak perusahaan, belum punya pacar lagi! Lo beruntung bisa sering ketemu sama dia!" Wahyu mencondongkan tubuh ke depan, "Dengar-dengar dia tinggal di lantai duapuluh satu. Gue pingin lihat penthouse-nya kayak apa."

    Aku mengernyit. Beruntung? Kok aku merasa sebaliknya ya?

    "Gue mau banget kalo dia kasih proyek." Wahyu cekikikan genit.

    "Sadar Bro. Banyak lelaki yang jauh lebih baik dari Richard!" cetusku kesal.

    Mata Wahyu melebar. Dia melirikku lalu melirik ke satu arah di belakangku. Perasaanku sangat buruk.

    "Kalian ngobrol apa?"

    Meskipun sudah menduga tapi tetap saja aku terlompat kaget mendengar suara Richard. Perlahan aku menoleh ke belakang. Lelaki itu terlihat menonjol di tengah keramaian. Sosoknya seperti foto model kelas atas.

    Richard melihat jam tangan, "Jam istirahat sepuluh menit lagi. Apakah cukup waktu bagi kalian untuk kembali ke kantor?"

    Aku dan Wahyu berpandangan dan tertawa.

    Richard mengerutkan alis melihat kelakuan kami. Seandainya dia tahu apa yang terjadi dalam perjalanan kemari.

    "Kami cuma butuh waktu lima menit perjalanan kok," kata Wahyu.

    "Lima menit? Kalian ngebut?" Richard takjub.

    "Ngebut kayak pembalap Formula One!" Aku tertawa.

    "Hati-hatilah di jalan." Usai bicara Richard pun meninggalkan kami.

    Wahyu menendang kakiku, "Wow, aslinya lebih ganteng Bro! Gue mau jadi sekretarisnya bos dooonngg."

    Aku menggerutu tidak senang. Tulang keringku protes jadi sasaran ujung sepatu Wahyu.

    Perjalanan kembali ke kantor sama brutalnya dengan perjalanan pergi. Aku berpegangan erat-erat pada apa pun yang bisa kuraih. Wahyu menunjukkan keahlian maksimalnya sebagai pembalap amatir. Kami tiba dalam waktu empat menit tigapuluh detik.

    Begitu kembali ke meja, Daniel langsung memanggilku ke ruangannya. Ada apa lagi nih? Seolah pekerjaanku belum cukup ribet.

    "Ehm... Richard minta kamu melaporkan progress kerja setiap sore, ke ruangannya di lantai duapuluh," kata Daniel.

    "Apa?? Mulai kapan??"

    "Hari ini." 

    Mulutku ternganga. Itu berarti setiap hari aku harus bertemu dengan Richard. Ya Tuhan. Ini adalah kesialan maksimal.

    Rohku melayang. Aku kembali ke mejaku seperti zombie. Mataku menatap layar laptop tapi pikiranku berkeliaran. Sore ini aku harus naik ke lantai duapuluh. Aku tidak mempermasalahkan lembur, karena di biro iklan ini hampir semua orang lembur. Masalahnya adalah aku akan bertemu dengan Richard setiap hari.

    Aku tidak takut lelaki itu berbuat macam-macam.  Aku hanya takut diriku tidak tahan godaan.

    Tunggu dulu!!! Kenapa aku berpikir seperti itu?? Apakah itu berarti aku mau tergoda? Membuka kemungkinan bahwa aku akan tergoda?

    Aku melepas kacamata. Tanganku menggosok mata kuat-kuat. Sadar Hazel!! Richard adalah orang yang tidak boleh kamu sentuh!!

    ****

    Jam dinding membuatku gelisah. Jarumnya telah menunjukkan pukul lima sore. Aku tahu seharusnya aku sudah berada di lantai duapuluh, tapi kenapa tubuh ini sulit diajak kompromi.

    Daniel berjalan cepat ke mejaku.

    "Hazel?? Sudah jam berapa ini?? Kenapa kamu masih disini??" tukas Daniel tidak sabar.

    "Sabar, aku kumpulkan tenaga dulu," kataku.

    "Cepat! Saya nggak mau diteror Richard!" Daniel kembali ke ruangannya.

    Aku menghela nafas berkali-kali. Hari ini belum banyak yang bisa dilaporkan karena aku masih butuh waktu untuk mengenal ketiga perusahaan yang jadi proyekku. Aku memutuskan untuk tidak membawa apa-apa. Daripada menunggu lift aku memilih untuk naik tangga.

    "Selamat sore, sudah ada janji dengan Pak Richard?" tanya resepsionis.

    "Emm...aku cuma disuruh melapor."

    "Mari ikut."

    Aku membuntuti resepsionis menuju ruangan Richard. Dia segera merespon begitu pintu diketuk. Resepsionis membukakan pintu untukku. Aku masuk. Sepatu kets yang kupakai membuat langkah kakiku seringan kucing. Richard memperhatikanku dengan geli.

    "Silakan duduk," kata Richard.

    "Hari ini belum ada laporan. Aku masih pengenalan."

    "Tidak apa. Aku mengerti. Ada kesulitan untuk mengerjakannya?"

    "Nggak sih."

    "Besok kamu langsung saja ke ruanganku. Aku akan memberitahu Bernard supaya dia nggak kaget. Anggap saja kantor sendiri."

    Aku tertawa gelisah, "Baiklah." Rupanya nama si resepsionis adalah Bernard.

    "Kenapa kemarin kabur?" tanya Richard. Matanya menatapku tajam.

    "Refleks." jawabku singkat.

    Richard tersenyum seolah berkata bahwa aku tidak akan bisa kabur lagi. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 151 : Meminta Restu (2)

    Kepala pelayan terlompat kaget karena suara keras Abram. Lelaki tua itu, maksudku, calon ayah mertuaku berjalan ke arah kami seperti singa jantan yang sudah pensiun. Bahunya merosot, sorot matanya tidak segarang dahulu, dan wajah tampannya ditumbuhi janggut pendek. Aku terkesima melihat perubahan Abram. Richard pun sama terkejutnya seperti aku. Rupanya kekuasaan berbanding lurus dengan penampilan. "Ayah, aku sudah melamar Hazel," kata Richard. Abram duduk dengan anggun di sofa. Dia menunjuk ke arah sofa di hadapannya, tanda bagi kami untuk duduk. "Kamu sudah melamar Hazel?" Abram mengulang kata-kata Richard. Matanya jatuh pada kilau di jari manisku. "Ya." "Lalu apa tujuanmu kemari? Mau memamerkan bahwa kamu sekarang bisa berbuat apa saja?" ketus Abram. Meskipun sudah kalah tapi dia belum kehilangan seluruh semangat juangnya. "Ini ta

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 150 : Meminta Restu

    Langit mulai temaram saat mobil Richard tiba di depan rumahku. Sepanjang perjalanan aku tidak hentinya memandangi cincin di jari manisku, juga memandangi Richard sampai mengganggu konsentrasinya menyetir. Syukurlah kami tiba dengan selamat. "Mau langsung kasih tau mama?" tanyaku memastikan. "Iya dong. Mana boleh merahasiakan dari mamamu." Richard meremas tanganku. Kami pun berjalan berdampingan ke dalam rumah. Elisabet sudah duduk menunggu di sofa. Melihat wajahnya yang cerah aku bisa menebak kalau Elisabet sudah tahu. "Cepat juga kalian pulang? Mama pikir bisa sampai malam urusannya?" Elisabet tersenyum misterius. "Semuanya berjalan lancar, Bu," ujar Richard. Elisabet mengangguk. Sepasang matanya menatap dalam menembus jiwa. Kedua tangannya menyatu di pangkuan. Aku menarik Richard duduk bersebelahan di sofa, berhadapan dengan Elisabet. E

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 149 : Melamar

    Aku menapaki langkah penuh kenangan. Seolah sudah lama sejak terakhir kali aku menjejakkan kaki di penthouse ini. Semuanya masih tampak sama, begitu juga dengan pemiliknya. "Kamu tau, aku berharap memiliki kemampuan untuk membaca pikiran. Aku ingin tau apa yang sedang kamu pikirkan sekarang." Richard memelukku dari belakang. Aku mendesah nyaman, "Jangan. Membaca pikiran itu nggak menyenangkan. Terlalu berisik." "Aku harus ajak kamu meeting lagi. Kamu bisa memperingatkan kalau lawan bisnisku punya maksud tidak baik." "Nggak mau! Enak aja. Emangnya aku alat pendeteksi kebohongan?" Aku tertawa. "Nggak lah. Mana ada pendeteksi kebohongan secantik ini?" goda Richard. "Kamu... Makin gombal!" "Tapi suka kan?" Richard memutar tubuhku hingga kami berhadapan. Aku menatap matanya dalam-dalam. Sepasang sayap putih miliknya turut me

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 148 : Pemegang Saham Misterius

    "Tidak terima!" Abram membentak keras. Suaranya mengalahkan suara orang-orang yang berkumpul dalam ruang meeting besar di gedung pusat Yilmaz Group. "Dengan segala hormat, Ketua Komisaris. Melihat perkembangan perusahaan saat ini ada baiknya Anda bertindak dengan kepala dingin. Jangan berdasarkan ego." Bryan menatap tajam lawan bicaranya yang duduk di tempat terhormat. "Kalian anak-anak kemarin sore! Jangan kira aku tidak tau kalau semua ini adalah rencana kalian! Berani meremehkanku? Akan kutendang kalian semua dari keluarga!" Abram meraung seperti binatang liar. "Justru karena kami masih memandang Ayah, maka kami mengambil jalan ini. Apa yang terpenting saat ini? Menyelamatkan perusahaan, menyelamatkan ribuan bahkan puluhan ribu karyawan yang bernaung di bawah Yilmaz Group? Atau mempertahankan ego Anda?" Richard bertutur dengan halus. Abram termenung. Alisnya bertaut. Berulang kali dia memiki

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 147 : Bagian Hidupku

    Yilmaz Group mengalami guncangan hebat. Harga saham merosot drastis hingga nyaris tidak berharga. Banyak pemegang saham menjual saham mereka sebelum merugi semakin banyak. Dewan direksi mengadakan pertemuan internal darurat tanpa menyertakan Ketua Komisaris. Berita di media elektronik masih menerpa seperti badai. Para awak media mengepung kediaman Abram dan gedung kantor pusat Yilmaz Group. Abram menyembunyikan diri rapat-rapat. Bahkan gorden jendela di kediamannya pun tidak pernah dibuka. Siapa pernah menyangka bahwa perusahaan sebesar Yilmaz Group akan jatuh karena ulah pimpinannya sendiri? "Bro, gue mau ketemu Hazel. Lo bisa tangani keadaan di sini sendiri?" kata Richard pada Bryan yang duduk di seberang meja. "Lo tau kan saudara lo ini bisa diandalkan?" Bryan menyeringai. "Ya, sekarang gue tau." Richard terkekeh. "Pergilah dengan tenang. Bersenang

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 146 : Skandal Besar

    Dua lelaki tampan duduk berhadapan bagaikan lukisan. Mereka sedang berada di tengah pembicaraan serius. "Bagaimana Brother? Udah dipikirkan baik-baik?" tanya Bryan. Richard tampak termenung di meja kerjanya. Wajahnya terlihat muram. "Gimana hubungan lo dengan Hazel? Udah lebih baik, kan?" "Baik. Tapi... Gue merasa kayak ada sesuatu yang tersembunyi." Richard berkata perlahan. Bryan menghela nafas, "Kalau nggak ada yang tersembunyi bukan wanita lah namanya. Itu yang menciptakan misteri yang menarik kita makhluk laki-laki." Richard menatap Bryan tajam, "Menurut lo begitu?" "Hei, pengalaman gue dengan wanita jauh lebih banyak dibanding lo. Tentu aja gue mengenal wanita lebih baik," kata Bryan sombong. "Menyesal gue nanya." Richard menahan tawa. Bryan menepuk meja dengan kesal, "Sekali-sekali dengar sauda

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status