Langit sudah gelap. Seisi kantor masih berkutat di laptop masing-masing. Kata orang pekerjaan desainer grafis memang akrab dengan lembur, overtime, atau apa pun istilahnya yang mengisahkan kerja rodi bak jaman penjajahan. Itulah kenyataannya. Meskipun lembur tapi bonus oke dong.
Aku menggosok mata yang perih karena terlalu lama menatap layar laptop. Teman-teman di sekitar mejaku juga masih bekerja dengan rajin. Hening. Menyenangkan juga sekali-sekali bekerja dalam suasana tenang. Mungkin Wahyu sedang serius mengejar deadline. "Woi!" Aku terlompat kaget dengan kemunculan wajah Wahyu di atas partisi. Sial. "Apaan??" bentakku kesal. "Pulang yuk?" ajak Wahyu. "Kerjaan lo udah selesai?" "Kepala gue udah mumet! Dipaksain kerja juga nggak bisa. Mending gue pulang." "Emang jam berapa sih sekarang?" Aku melihat jam di pojok kanan bawah layar. "Oh, baru jam setengah delapan." "Masih pagi?" Wahyu tertawa. "Lo kerja sampai nggak sadar waktu! Ini udah malam, Bro. Sebentar lagi nggak kebagian kereta." Mendadak aku teringat sesuatu, "Aaaahh!! Gue lupa laporan!!" Aku bergegas mencetak semua yang sudah kukerjakan hari ini dan mencari map plastik di laci meja. "Lo kayak kebakaran jenggot. Laporan sama siapa? Daniel? Dia udah pulang duluan." "Laporan ke bos!" Aku menemukan sebuah map berwarna pink, ragu sejenak, dan memasukkan semua kertas ke dalamnya. Daripada tidak ada sama sekali. "Ooohhh Richard yaa?? Selamat bersenang-senang!" Aku sudah tidak memperhatikan Wahyu. Kakiku berlari secepat kilat ke lantai duapuluh. Tiba di meja resepsionis aku nyaris pingsan kehabisan nafas. Bernard menatapku seperti melihat hantu. "Aku...hehh...mau laporan...hehh...." Aku terengah. "Ehm... Silakan masuk, Pak Richard masih ada di ruangannya." Bernard tampak menahan senyum. "Oke, terima kasih." Aku mengatur nafas dan berjalan menuju ruangan Richard. Tiba di depan pintu aku menarik nafas panjang. Sebelum kuketuk pintu sudah terbuka. "Masuk," perintah Richard. Wajahnya tanpa ekspresi. Aku mengendap masuk sambil menunduk. Ya ampun! Aku baru sadar sedang memakai sandal jepit! Saking paniknya aku lupa mengganti sepatu. Mudah-mudahan Richard tidak memperhatikan. "Kamu lupa?" tanya Richard singkat. "Iya, maaf, terlalu asyik kerja." Aku meringis. "Duduklah. Kalau mau minum kamu ambil sendiri." Richard menunjuk ke kulkas kecil di sebelah pintu. "Nggak perlu, aku nggak lama kok. Ini laporanku." Aku meletakkan map folder pink di tengah meja. Richard mengambil dan meneliti isinya. Alisnya berkerut. Sesekali matanya melirikku. Aku terkesan saat Richard memberikan komentar di sana-sini. Ada beberapa masukannya yang menarik bagiku. Aku mencatat semuanya dengan kertas dan pena yang dipinjamkan Richard. "Oke, besok kurevisi semua. Terus kalau mau ambil foto perusahaan dari sudut yang berbeda?" tanyaku. "Kamu ada kamera?" "Ada sih punya kantor. Bisa pinjam." "Kapan kamu mau foto bilang saja. Kita pergi bersama." Mata Richard berkilat senang. Aku mengangkat alis, "Aku bisa sendiri...." "Keuntungan pergi bersamaku, kerjamu tidak akan dipersulit. Dua dari tiga pimpinan perusahaan itu tidak mudah percaya pada orang yang membawa kamera, meskipun kamu membawa surat pengantar dariku," tutur Richard. "Okelah kalau begitu. Nanti kuinfo kapan harinya." Aku tidak melawan karena alasan yang diberikan Richard masuk akal. Lagipula kalau dia berani macam-macam aku siap menghadapi. "Berikan nomormu." Richard mengeluarkan handphone. Aku tertegun. Ragu. "Bagaimana caranya kamu info saya kapan mau pergi?" Seulas senyum menggoda terkembang di bibir Richard. Pipiku terasa hangat. Sial. Benar juga. Aku pun memberikan nomor handphoneku dengan sukarela. Richard terlihat puas. Aku sebal melihatnya puas. "Aku sudah kirim pesan singkat. Simpan nomorku baik-baik, oke?" "Iyaaa," sahutku asal-asalan. "Oh ya, Hazel, nanti aku ada urusan di luar kantor. Sepertinya aku akan melewati apartemen tempat tinggalmu. Mau ikut?" "Apa? Apartemenku? Memangnya tahu?" Aku melongo. "Kenapa sekaget itu?" Richard tertawa, "Aku kan punya akses ke data karyawan." Wajahku entah memerah atau memucat, tapi yang pasti perasaanku tidak enak. Orang ini benar-benar stalker! "Nggak usah, aku bisa pulang sendiri." "Kamu yakin? Ini sudah mau jam sembilan malam loh." Richard melihat jam tangannya. Aku menelan ludah. Semakin malam tawaran Richard terdengar semakin menarik. Aku harus mengambil keputusan. "Baiklah. Aku ikut...." "Apa?" Richard pura-pura tidak mendengar. "Aku ikut." "Oke, bagus. Kutunggu di lobby." Richard tersenyum. Aku turun ke lantai limabelas untuk membereskan meja. Wow, hanya segelintir orang yang masih tersisa di kantor. Sembilanpuluh persen karyawan sudah pulang. Aku mengambil tas dan bergegas turun. Kulihat Richard sedang mengobrol dengan petugas keamanan gedung. Wajahnya terlihat serius. Aku hendak mendekat tanpa suara, tapi sandal jepit yang kupakai berkhianat. Suara yang dihasilkan sandalku membuat Richard menoleh. Wajahnya berubah cerah. "Lama sekali kamu," kata Richard sok galak. Aku menggerutu tanpa suara. Richard berjalan dengan langkah lebar. Mobilnya sudah terparkir di depan pintu masuk utama. Siapa lagi yang boleh parkir menghalangi pintu kalau bukan putra pemilik gedung? Aku berlari-lari kecil mengikuti. Richard masuk di sisi pengemudi, aku masuk di sisi penumpang. Tidak lucu kalau kami bertukar posisi. "Biasanya kamu pulang dengan siapa?" tanya Richard. Matanya memperhatikan jalan. "Teman sekantor. Tadi udah pulang duluan," jawabku singkat. Aroma kopi membuatku serasa ada di cafe. Aku melihat sekantong kecil biji kopi digantung di spion dalam. "Kalau sendiri kamu pulang naik apa?" "Nebeng bos." Aku tersenyum simpul. Richard menoleh cepat. Dia tidak boleh terlalu lama mengalihkan pandangan dari jalan. "Kenapa nggak minta pacarmu menjemput?" tanya Richard. Ah, pertanyaan pancingan. Basi! Aku menolak untuk menjawab. Mendadak aku tertarik dengan pemandangan di luar jendela. "Kamu belum punya pacar?" Aku tidak menjawab. "Kenapa? Belum ketemu yang cocok?" Aku membayangkan sedang menampar Richard bolak-balik. Dasar tidak peduli perasaan wanita. "Pantas kamu jalan sendiri di pantai." Richard masih berusaha memancingku. Aku? Kesal. Mana apartemenku belum sampai-sampai. "Masa kamu nggak suka lelaki?" Aku menoleh dengan sengit. Richard menyeringai karena berhasil menarik perhatianku. "Gue nggak suka kehidupan pribadi gue dikorek. Kalau nggak suka gue nggak akan menjawab." Aku menatap Richard dengan tajam. Emosi membuatku tidak memikirkan tata bahasa. "Baiklah. Nggak usah emosi gitu dong? I am sorry, okay?" Richard tersenyum. Aku melengos. Melihat trotoar masih lebih bagus daripada melihat cengiran Richard! Gedung apartemenku akhirnya terlihat di kejauhan. Aku bernafas lega. Lima menit lagi aku tiba. Begitu mobil berhenti di depan gerbang apartemen aku langsung membuka pintu. Mataku melebar saat pintu tidak dapat dibuka. Aku mencoba sekali lagi, tetap tidak dapat dibuka. "Ehm... Central lock." Suara Richard sedikit bergetar menahan tawa. "Tolong dibukakan." Wajahku merah padam karena malu. Ketahuan deh belum pernah naik mobil mewah. Terdengar suara 'klik' tanda pintu sudah dapat dibuka. Aku segera membuka pintu. "Tunggu! Sabuk pengaman..." Peringatan Richard terlambat satu detik. Aku tercekik oleh sabuk pengaman yang lupa kulepas saking ingin cepat turun. Suara tawa Richard memenuhi gendang telingaku. Ya Tuhan, tolong tenggelamkan aku di Laut Selatan!Kepala pelayan terlompat kaget karena suara keras Abram. Lelaki tua itu, maksudku, calon ayah mertuaku berjalan ke arah kami seperti singa jantan yang sudah pensiun. Bahunya merosot, sorot matanya tidak segarang dahulu, dan wajah tampannya ditumbuhi janggut pendek. Aku terkesima melihat perubahan Abram. Richard pun sama terkejutnya seperti aku. Rupanya kekuasaan berbanding lurus dengan penampilan. "Ayah, aku sudah melamar Hazel," kata Richard. Abram duduk dengan anggun di sofa. Dia menunjuk ke arah sofa di hadapannya, tanda bagi kami untuk duduk. "Kamu sudah melamar Hazel?" Abram mengulang kata-kata Richard. Matanya jatuh pada kilau di jari manisku. "Ya." "Lalu apa tujuanmu kemari? Mau memamerkan bahwa kamu sekarang bisa berbuat apa saja?" ketus Abram. Meskipun sudah kalah tapi dia belum kehilangan seluruh semangat juangnya. "Ini ta
Langit mulai temaram saat mobil Richard tiba di depan rumahku. Sepanjang perjalanan aku tidak hentinya memandangi cincin di jari manisku, juga memandangi Richard sampai mengganggu konsentrasinya menyetir. Syukurlah kami tiba dengan selamat. "Mau langsung kasih tau mama?" tanyaku memastikan. "Iya dong. Mana boleh merahasiakan dari mamamu." Richard meremas tanganku. Kami pun berjalan berdampingan ke dalam rumah. Elisabet sudah duduk menunggu di sofa. Melihat wajahnya yang cerah aku bisa menebak kalau Elisabet sudah tahu. "Cepat juga kalian pulang? Mama pikir bisa sampai malam urusannya?" Elisabet tersenyum misterius. "Semuanya berjalan lancar, Bu," ujar Richard. Elisabet mengangguk. Sepasang matanya menatap dalam menembus jiwa. Kedua tangannya menyatu di pangkuan. Aku menarik Richard duduk bersebelahan di sofa, berhadapan dengan Elisabet. E
Aku menapaki langkah penuh kenangan. Seolah sudah lama sejak terakhir kali aku menjejakkan kaki di penthouse ini. Semuanya masih tampak sama, begitu juga dengan pemiliknya. "Kamu tau, aku berharap memiliki kemampuan untuk membaca pikiran. Aku ingin tau apa yang sedang kamu pikirkan sekarang." Richard memelukku dari belakang. Aku mendesah nyaman, "Jangan. Membaca pikiran itu nggak menyenangkan. Terlalu berisik." "Aku harus ajak kamu meeting lagi. Kamu bisa memperingatkan kalau lawan bisnisku punya maksud tidak baik." "Nggak mau! Enak aja. Emangnya aku alat pendeteksi kebohongan?" Aku tertawa. "Nggak lah. Mana ada pendeteksi kebohongan secantik ini?" goda Richard. "Kamu... Makin gombal!" "Tapi suka kan?" Richard memutar tubuhku hingga kami berhadapan. Aku menatap matanya dalam-dalam. Sepasang sayap putih miliknya turut me
"Tidak terima!" Abram membentak keras. Suaranya mengalahkan suara orang-orang yang berkumpul dalam ruang meeting besar di gedung pusat Yilmaz Group. "Dengan segala hormat, Ketua Komisaris. Melihat perkembangan perusahaan saat ini ada baiknya Anda bertindak dengan kepala dingin. Jangan berdasarkan ego." Bryan menatap tajam lawan bicaranya yang duduk di tempat terhormat. "Kalian anak-anak kemarin sore! Jangan kira aku tidak tau kalau semua ini adalah rencana kalian! Berani meremehkanku? Akan kutendang kalian semua dari keluarga!" Abram meraung seperti binatang liar. "Justru karena kami masih memandang Ayah, maka kami mengambil jalan ini. Apa yang terpenting saat ini? Menyelamatkan perusahaan, menyelamatkan ribuan bahkan puluhan ribu karyawan yang bernaung di bawah Yilmaz Group? Atau mempertahankan ego Anda?" Richard bertutur dengan halus. Abram termenung. Alisnya bertaut. Berulang kali dia memiki
Yilmaz Group mengalami guncangan hebat. Harga saham merosot drastis hingga nyaris tidak berharga. Banyak pemegang saham menjual saham mereka sebelum merugi semakin banyak. Dewan direksi mengadakan pertemuan internal darurat tanpa menyertakan Ketua Komisaris. Berita di media elektronik masih menerpa seperti badai. Para awak media mengepung kediaman Abram dan gedung kantor pusat Yilmaz Group. Abram menyembunyikan diri rapat-rapat. Bahkan gorden jendela di kediamannya pun tidak pernah dibuka. Siapa pernah menyangka bahwa perusahaan sebesar Yilmaz Group akan jatuh karena ulah pimpinannya sendiri? "Bro, gue mau ketemu Hazel. Lo bisa tangani keadaan di sini sendiri?" kata Richard pada Bryan yang duduk di seberang meja. "Lo tau kan saudara lo ini bisa diandalkan?" Bryan menyeringai. "Ya, sekarang gue tau." Richard terkekeh. "Pergilah dengan tenang. Bersenang
Dua lelaki tampan duduk berhadapan bagaikan lukisan. Mereka sedang berada di tengah pembicaraan serius. "Bagaimana Brother? Udah dipikirkan baik-baik?" tanya Bryan. Richard tampak termenung di meja kerjanya. Wajahnya terlihat muram. "Gimana hubungan lo dengan Hazel? Udah lebih baik, kan?" "Baik. Tapi... Gue merasa kayak ada sesuatu yang tersembunyi." Richard berkata perlahan. Bryan menghela nafas, "Kalau nggak ada yang tersembunyi bukan wanita lah namanya. Itu yang menciptakan misteri yang menarik kita makhluk laki-laki." Richard menatap Bryan tajam, "Menurut lo begitu?" "Hei, pengalaman gue dengan wanita jauh lebih banyak dibanding lo. Tentu aja gue mengenal wanita lebih baik," kata Bryan sombong. "Menyesal gue nanya." Richard menahan tawa. Bryan menepuk meja dengan kesal, "Sekali-sekali dengar sauda