Share

Chapter 4 : Kesibukan Luar Biasa

    Langit sudah gelap. Seisi kantor masih berkutat di laptop masing-masing. Kata orang pekerjaan desainer grafis memang akrab dengan lembur, overtime, atau apa pun istilahnya yang mengisahkan kerja rodi bak jaman penjajahan. Itulah kenyataannya. Meskipun lembur tapi bonus oke dong.

    Aku menggosok mata yang perih karena terlalu lama menatap layar laptop. Teman-teman di sekitar mejaku juga masih bekerja dengan rajin. 

    Hening. Menyenangkan juga sekali-sekali bekerja dalam suasana tenang. Mungkin Wahyu sedang serius mengejar deadline.

    "Woi!" 

    Aku terlompat kaget dengan kemunculan wajah Wahyu di atas partisi. Sial.

    "Apaan??" bentakku kesal.

    "Pulang yuk?" ajak Wahyu.

    "Kerjaan lo udah selesai?"

    "Kepala gue udah mumet! Dipaksain kerja juga nggak bisa. Mending gue pulang."

    "Emang jam berapa sih sekarang?" Aku melihat jam di pojok kanan bawah layar. "Oh, baru jam setengah delapan."

    "Masih pagi?" Wahyu tertawa. "Lo kerja sampai nggak sadar waktu! Ini udah malam, Bro. Sebentar lagi nggak kebagian kereta."

    Mendadak aku teringat sesuatu, "Aaaahh!! Gue lupa laporan!!" Aku bergegas mencetak semua yang sudah kukerjakan hari ini dan mencari map plastik di laci meja.

    "Lo kayak kebakaran jenggot. Laporan sama siapa? Daniel? Dia udah pulang duluan."

    "Laporan ke bos!" Aku menemukan sebuah map berwarna pink, ragu sejenak, dan memasukkan semua kertas ke dalamnya. Daripada tidak ada sama sekali.

    "Ooohhh Richard yaa?? Selamat bersenang-senang!"

    Aku sudah tidak memperhatikan Wahyu. Kakiku berlari secepat kilat ke lantai duapuluh. Tiba di meja resepsionis aku nyaris pingsan kehabisan nafas. Bernard menatapku seperti melihat hantu.

    "Aku...hehh...mau laporan...hehh...." Aku terengah.

    "Ehm... Silakan masuk, Pak Richard masih ada di ruangannya." Bernard tampak menahan senyum.

    "Oke, terima kasih."

    Aku mengatur nafas dan berjalan menuju ruangan Richard. Tiba di depan pintu aku menarik nafas panjang. Sebelum kuketuk pintu sudah terbuka.

    "Masuk," perintah Richard. Wajahnya tanpa ekspresi.

    Aku mengendap masuk sambil menunduk. Ya ampun! Aku baru sadar sedang memakai sandal jepit! Saking paniknya aku lupa mengganti sepatu. Mudah-mudahan Richard tidak memperhatikan.

    "Kamu lupa?" tanya Richard singkat.

    "Iya, maaf, terlalu asyik kerja." Aku meringis.

    "Duduklah. Kalau mau minum kamu ambil sendiri." Richard menunjuk ke kulkas kecil di sebelah pintu.

    "Nggak perlu, aku nggak lama kok. Ini laporanku." Aku meletakkan map folder pink di tengah meja.

    Richard mengambil dan meneliti isinya. Alisnya berkerut. Sesekali matanya melirikku.

    Aku terkesan saat Richard memberikan komentar di sana-sini. Ada beberapa masukannya yang menarik bagiku. Aku mencatat semuanya dengan kertas dan pena yang dipinjamkan Richard.

    "Oke, besok kurevisi semua. Terus kalau mau ambil foto perusahaan dari sudut yang berbeda?" tanyaku.

    "Kamu ada kamera?"

    "Ada sih punya kantor. Bisa pinjam."

    "Kapan kamu mau foto bilang saja. Kita pergi bersama." Mata Richard berkilat senang.

    Aku mengangkat alis, "Aku bisa sendiri...."

    "Keuntungan pergi bersamaku, kerjamu tidak akan dipersulit. Dua dari tiga pimpinan perusahaan itu tidak mudah percaya pada orang yang membawa kamera, meskipun kamu membawa surat pengantar dariku," tutur Richard.

    "Okelah kalau begitu. Nanti kuinfo kapan harinya." Aku tidak melawan karena alasan yang diberikan Richard masuk akal. Lagipula kalau dia berani macam-macam aku siap menghadapi.

    "Berikan nomormu." Richard mengeluarkan handphone.

    Aku tertegun. Ragu.

    "Bagaimana caranya kamu info saya kapan mau pergi?" Seulas senyum menggoda terkembang di bibir Richard.

    Pipiku terasa hangat. Sial. Benar juga. Aku pun memberikan nomor handphoneku dengan sukarela. Richard terlihat puas. Aku sebal melihatnya puas.

    "Aku sudah kirim pesan singkat. Simpan nomorku baik-baik, oke?"

    "Iyaaa," sahutku asal-asalan.

    "Oh ya, Hazel, nanti aku ada urusan di luar kantor. Sepertinya aku akan melewati apartemen tempat tinggalmu. Mau ikut?"

    "Apa? Apartemenku? Memangnya tahu?" Aku melongo.

    "Kenapa sekaget itu?" Richard tertawa, "Aku kan punya akses ke data karyawan."

    Wajahku entah memerah atau memucat, tapi yang pasti perasaanku tidak enak. Orang ini benar-benar stalker!

    "Nggak usah, aku bisa pulang sendiri."

    "Kamu yakin? Ini sudah mau jam sembilan malam loh." Richard melihat jam tangannya.

    Aku menelan ludah. Semakin malam tawaran Richard terdengar semakin menarik. Aku harus mengambil keputusan.

    "Baiklah. Aku ikut...."

    "Apa?" Richard pura-pura tidak mendengar.

    "Aku ikut."

    "Oke, bagus. Kutunggu di lobby." Richard tersenyum.

    Aku turun ke lantai limabelas untuk membereskan meja. Wow, hanya segelintir orang yang masih tersisa di kantor. Sembilanpuluh persen karyawan sudah pulang. Aku mengambil tas dan bergegas turun.

    Kulihat Richard sedang mengobrol dengan petugas keamanan gedung. Wajahnya terlihat serius. Aku hendak mendekat tanpa suara, tapi sandal jepit yang kupakai berkhianat. Suara yang dihasilkan sandalku membuat Richard menoleh. Wajahnya berubah cerah.

    "Lama sekali kamu," kata Richard sok galak.

    Aku menggerutu tanpa suara.

    Richard berjalan dengan langkah lebar. Mobilnya sudah terparkir di depan pintu masuk utama. Siapa lagi yang boleh parkir menghalangi pintu kalau bukan putra pemilik gedung? Aku berlari-lari kecil mengikuti. Richard masuk di sisi pengemudi, aku masuk di sisi penumpang. Tidak lucu kalau kami bertukar posisi.

    "Biasanya kamu pulang dengan siapa?" tanya Richard. Matanya memperhatikan jalan.

    "Teman sekantor. Tadi udah pulang duluan," jawabku singkat. Aroma kopi membuatku serasa ada di cafe. Aku melihat sekantong kecil biji kopi digantung di spion dalam.

    "Kalau sendiri kamu pulang naik apa?"

    "Nebeng bos." Aku tersenyum simpul.

    Richard menoleh cepat. Dia tidak boleh terlalu lama mengalihkan pandangan dari jalan.

    "Kenapa nggak minta pacarmu menjemput?" tanya Richard.

    Ah, pertanyaan pancingan. Basi! Aku menolak untuk menjawab. Mendadak aku tertarik dengan pemandangan di luar jendela.

    "Kamu belum punya pacar?"

    Aku tidak menjawab.

    "Kenapa? Belum ketemu yang cocok?"

    Aku membayangkan sedang menampar Richard bolak-balik. Dasar tidak peduli perasaan wanita.

    "Pantas kamu jalan sendiri di pantai." Richard masih berusaha memancingku.

    Aku? Kesal. Mana apartemenku belum sampai-sampai.

    "Masa kamu nggak suka lelaki?"

    Aku menoleh dengan sengit. Richard menyeringai karena berhasil menarik perhatianku. 

    "Gue nggak suka kehidupan pribadi gue dikorek. Kalau nggak suka gue nggak akan menjawab." Aku menatap Richard dengan tajam. Emosi membuatku tidak memikirkan tata bahasa.

    "Baiklah. Nggak usah emosi gitu dong? I am sorry, okay?" Richard tersenyum.

    Aku melengos. Melihat trotoar masih lebih bagus daripada melihat cengiran Richard!

    Gedung apartemenku akhirnya terlihat di kejauhan. Aku bernafas lega. Lima menit lagi aku tiba. 

    Begitu mobil berhenti di depan gerbang apartemen aku langsung membuka pintu. Mataku melebar saat pintu tidak dapat dibuka. Aku mencoba sekali lagi, tetap tidak dapat dibuka.

    "Ehm... Central lock." Suara Richard sedikit bergetar menahan tawa.

    "Tolong dibukakan." Wajahku merah padam karena malu. Ketahuan deh belum pernah naik mobil mewah.

    Terdengar suara 'klik' tanda pintu sudah dapat dibuka. Aku segera membuka pintu. 

    "Tunggu! Sabuk pengaman..."

    Peringatan Richard terlambat satu detik. Aku tercekik oleh sabuk pengaman yang lupa kulepas saking ingin cepat turun. Suara tawa Richard memenuhi gendang telingaku. 

    Ya Tuhan, tolong tenggelamkan aku di Laut Selatan!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status