SETELAH beberapa saat, Rakryan Rangga yang ditunggu-tunggu akhirnya muncul juga. Semua orang yang ada di balai paseban bergegas bangkit berdiri. Sama-sama menghaturkan sembah hormat.
Rakryan Rangga adalah jabatan kedua tertinggi dalam tata keprajuritan. Tepat di bawah Rakryan Tumenggung sebagai panglima perang kerajaan. Seorang Rakryan Rangga membawahkan para senopati, termasuk Senopati Arya Lembana.
Dengan pandangan tajam dan wajah datar, Rakryan Rangga merayapi satu demi satu wajah-wajah yang ada di hadapannya. Matanya kemudian tertumbuk pada peti panjang berisi upeti dari Wurawan yang terletak di tengah-tengah ruangan.
"Hmm, jadi ini upeti dari Wurawan yang sempat dirampas gerombolan begal dari Wengker itu?" tanya Rakryan Rangga sembari mendekati peti kayu tersebut.
Meski Rakryan Rangga tak menyebut nama, namun semua yang ada di sana sudah mafhum jika pertanyaan tersebut ditujukan pada Arya Lembana. Sontak sang senopati angkat kedua tangan di depan dad
SUASANA di balai paseban mendadak hening. Arya Lembana terpekur diam, tak tahu lagi harus berkata apa. Alih-alih memojokkan Tumanggala dalam peristiwa pembegalan upeti dari Wurawan, justru dirinya yang kini tersudut sendiri. Sementara itu Wipaksa menjadi bingung. Hatinya berkecamuk begitu melihat sikap Rakryan Rangga barusan. Ia sontak teringat pada Kridapala. Atasannya itu agaknya harus menelan kekecewaan jika mengharap Tumanggala dijatuhi hukuman berat. "Lembana," suara Rakryan Rangga memecah kesunyian. Arya Lembana buru-buru angkat kedua tangan ke depan wajah, menghaturkan sembah. "Sendika dawuh, Gusti," sahut sang senopati tanpa berani mengangkat kepala. "Siapa nama prajurit yang telah membunuh gembong begal itu?" tanya Rakryan Rangga. Arya Lembana tak langsung menjawab. Melainkan berpaling sebentar pada Wipaksa di sebelahnya. Untuk sesaat keduanya saling pandang dengan sorot mata kebingungan. "Namanya Tumanggala, Gusti," j
BEGITU melewati gerbang balai paseban, Arya Lembana mendekati Wipaksa dengan gusar. Dicengkeramnya leher lurah prajurit tersebut kuat-kuat, sehingga membuat Wipaksa tercekik. Susah payah lelaki itu meronta-ronta berusaha melepaskan diri.Para prajurit yang menyaksikan kejadian itu hanya bisa diam dalam kebingungan. Mereka tak berani ikut campur, sebab yang melakukannya seorang senopati. Akhirnya mereka hanya berdiri berjaga-jaga di sekeliling kedua orang tersebut."Keparat kau, Wipaksa! Agaknya kau biang masalah ini!" seru Arya Lembana sambil mengeratkan cekikan tangannya di leher Wipaksa.Wajah Wipaksa tampak memerah. Kedua matanya membulat besar, seolah hendak mencolot keluar. Mulut lurah prajurit tersebut tampak terbuka hendak mengatakan sesuatu, namun tak ada suara yang keluar."Sepertinya kau punya rencana jahat terhadap Tumanggala, hah? Sehingga kau memberi laporan yang terus menyudutkan prajurit itu padaku. Mengaku!" ujar Arya Lembana lagi de
TANPA membuang-buang waktu lagi Wipaksa segera berkuda menuju ke kediaman Kridapala. Ia harus menceritakan apa yang terjadi pagi ini pada bekel atasannya tersebut.Sikap Rakryan Rangga, lalu amarah Senopati Arya Lembana, semuanya harus diketahui oleh Kridapala. Bagaimanapun mereka berdua yang mengarang laporan palsu mengenai Tumanggala pada sang senopati.Jalanan yang licin akibat guyuran hujan membuat kuda tunggangan Wipaksa beberapa kali hampir tergelincir jatuh. Setelah bersusah-payah mengendalikan hewan tersebut, lurah prajurit itu sampai juga di kediaman Kridapala yang terletak di pinggiran Kotaraja."Ah, Wipaksa. Ada kabar apa yang membuat wajahmu tegang begitu?" sambut Kridapala yang kebetulan sedang berada di halaman, tengah memberi makan burung-burung klangenannya.Wipaksa bergegas turun dari atas punggung kuda. Ditambatkannya hewan tersebut ke sebatang pohon dengan tergesa. Lalu segera mendekat pada Kridapala."Kabar buruk, Ki Bekel. Kaba
TAHANAN bawah tanah di kawasan istana Dahanapura tampak lengang tengah malam itu. Hanya ada empat penjaga di pintu masuk menuju ke ruang bawah tanah. Masing-masing tampak susah payah menahan kantuk yang semakin hebat menyerang.Terdapat sepuluh ruang tahanan di bawah sana. Namun hanya satu yang ada isinya, yaitu ruang tahanan di mana Tumanggala ditempatkan. Selebihnya kosong melompong tanpa penghuni.Sambil hempaskan satu napas berat, Tumanggala duduk bersandar di sudut ruang tahanan. Kedua kakinya ditekuk. Wajahnya yang kuyu dibenamkan di antara kedua lutut."Apa yang sebenarnya terjadi pada diriku ini?" desah sang prajurit dengan kedua mata terpejam rapat.Otak Tumanggala lantas berputar Merangkai-rangkai dugaan demi dugaan berdasarkan rentetan kejadian yang telah ia alami selama beberapa hari ini. Namun dirinya tak kunjung mendapatkan jawaban.Dalam kesendirian itu ia lantas teringat pada anak dan isterinya. Sudah lebih dari dua pekan ia tidak p
MENGETAHUI Tumanggala tersudut begitu rupa, seringai di wajah si wira tamtama semakin lebar. Lalu perlahan tawanya terdengar membahanan, memenuhi seisi ruang tahanan nan pengap."Kau tidak bisa lari ke mana-mana, Tumanggala," desis wira tamtama tersebut.Tumanggala kertakkan rahang. Namun ia benar-benar tidak bisa bergerak lagi. Dengan terpaksa sang prajurit berdiri diam di tempatnya. Kewaspadaannya ditingkatkan."Dengar baik-baik, Tumanggala. Yang lebih penting untuk kau ketahui adalah, mulai besok pagi seisi Kotaraja ini akan mengenang dirimu sebatas nama saja!" ujar wira tamtama itu. Nada bicaranya datar."Tumanggala sang prajurit Panjalu yang penumpas gerombolan rampok Alas Wengker, yang membunuh gembong begal Ranasura, ditemukan telah menjadi mayat bersama-sama dengan dengan isterinya," tambah wira tamtama tersebut seraya menyeringai.Kerutan di kening Tumanggala bertambah dalam. Ia semakin tak mengerti arah pembicaraan orang di hadapannya. Ra
AKIBAT terlalu sibuk mencari-cari pedangnya yang entah menghilang ke mana, Tumanggala menjadi lengah. Sambaran pedang dua prajurit di hadapannya semakin dekat. Terlihat sulit dihindari. Untung saja kesadaran Tumanggala pulih di saat yang tepat. Sejengkal lagi mata tajam dua pedang menggores kulitnya, sang prajurit cepat lengkungkan punggung ke belakang. Diturunkan serendah mungkin. Wuutt! Wuutt! Sambaran dua pedang tadi hanya menemui udara kosong. Lewat satu jengkal di atas perut Tumanggala. Sang prajurit lantas ulurkan kedua tangannya, mencapai lantai ruangan. Dalam sekali sentak, tubuhnya kemudian berjungkir balik menjauhi lawan. Sembari berjungkir balik begitu, kedua kaki Tumanggala dihantamkan ke depan. Menendang pergelangan tangan dua prajurit yang masih terbengong-bengong karena serangan mereka meleset. Des! Des! "Aaaa!" Yang ditendang berseru kaget. Tubuh mereka sontak terjajar mundur ke belakang. Tangan yang ken
MELIHAT empat prajurit yang dibawanya dirobohkan dengan mudah, si wira tamtama jadi menggeram marah. Kedua tangannya dilipat ke pinggang. Tatapan matanya nyalang memerah menatap Tumanggala.Meski demikian diam-diam wira tamtama tersebut memuji di dalam hati. Mau tak mau ia harus mengakui jika kemampuan Tumanggala benar-benar di atas rata-rata prajurit Panjalu. Tepat seperti desas-desus yang ia dengar selama ini."Hmm, rupanya benar apa aku dengar selama ini. Kemampuan prajurit satu ini memang istimewa. Lebih tinggi dari prajurit lain yang sepangkat dengannya. Pantas saja empat prajurit pilihan yang aku bawa tadi dapat dikalahkan dengan mudah," batin wira tamtama tersebut.Sementara itu Tumanggala melangkah mendekat. Lalu berhenti sejarak satu depa (sekitar 1,86 meter) dari hadapan si wira tamtama."Aku tidak menyangka kalian punya niat keji terhadapku," ujar Tumanggala dengan suara mendesis. Tanpa tedeng aling-aling.Si wira tamtama menyeringai leb
USAI membentak begitu Tumanggala lantas melangkah keluar dari dalam ruang tahanan. Namun baru saja tangannya menyentuh pintu ruangan tersebut, terdengar suara berdesing dari arah belakang.Sing!Sontak Tumanggala miringkan tubuhnya ke samping. Sebilah pedang lewat persis satu jengkal dari bahunya.Pucatlah wajah Tumanggala mengetahui hal itu. Sempat terlambat menghindar tadi, pastilah batang lehernya sudah kena babat putus oleh sambaran pedang tajam tersebut."Pembokong keparat!" geram Tumanggala sembari balikkan badannnya. Sebelah kakinya terangkat, melepas satu tendangan memutar ke arah pembokong di belakang.Des!"Aaaa!"Serangan balasan yang tak disangka-sangka itu mendarat telak di rahang lawan. Terdengar jeritan mengaduh. Lalu berisik suara tembok ruang tahanan terhantam benda besar lagi berat. Ditutup nyaring bunyi berkelontangan.Rupanya yang baru saja melakukan serangan pengecut dari belakang tadi adalah salah satu dar