แชร์

Bab 88

ผู้เขียน: Fei Adhista
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-11-07 23:53:04

Malam di perbatasan turun perlahan. Api unggun berkedip di antara bayangan tenda, memantulkan cahaya oranye di wajah-wajah prajurit yang letih.

Rakai duduk sedikit menjauh dari yang lain, di bawah pohon jati tua yang daunnya bergetar perlahan ditiup angin lembab. Di tangannya, selembar kertas lusuh terbentang di atas lutut.

Tinta di wadah kecil itu hampir habis, tapi dia tetap menulis dengan hati-hati, huruf demi huruf, seolah setiap goresan adalah cara menenangkan pikirannya sendiri.

Raras,

Entah kenapa aku masih menulis surat untukmu, padahal aku tahu tak ada burung pembawa pesan yang akan menemukanmu. Bahkan aku sendiri tidak tahu di mana kau berada. Tapi… mungkin menulis ini bisa sedikit meredakan amarah dan rinduku yang bodoh ini.

Aku ingin bilang aku baik-baik saja, tapi kau pasti tahu aku pembohong yang buruk. Aku tidur dengan mata terbuka, karena takut kalau aku pejamkan, wajahmu datang dan menertawakan aku, karena gagal menjagamu.

Kau tahu, aku masih ingat hari di Daha, waktu
อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
บทที่ถูกล็อก

บทล่าสุด

  • Asmaraloka Sang Putri Pusaka    Bab 95

    Pagi itu, Benteng Wiru dipenuhi ketegangan yang tak terlihat, seperti udara menahan napas.Dari kejauhan terdengar derap kuda dan suara roda kereta yang berat. Debu tebal mengepul, menandakan rombongan besar tengah mendekat.Rakai berdiri di halaman depan dengan beberapa prajurit pilihan. Wajahnya datar, tapi kedua tangannya mengepal.Ia menoleh cepat ke arah Alin dan Raras yang berdiri di sisi belakang.“Raras, Alin. Kalian ke markas belakang. Jangan keluar sampai aku bilang,” tegas Rakai, suaranya rendah tapi tak bisa dibantah.“Tapi—”“Tidak ada tapi.”Tatapannya keras, membuat Raras terdiam.Namun Alin tahu, sebenarnya Rakai khawatir, ia tak mau Raras bertemu Wening.Raras akhirnya menghela napas. “Baiklah. Tapi kang mas berhutang penjelasan nanti.”Rakai hendak menanggapi, tapi kereta Wening mulai terlihat di depan gerbang. Ia hanya mendorong mereka cepat-cepat.“Pergi!”Markas itu lebih sepi dari biasanya. Gudang senjata, meja-meja kayu, dan bau besi memenuhi ruangan besar itu.

  • Asmaraloka Sang Putri Pusaka    Bab 94

    Pagi di Benteng Wiru dimulai dengan suara keras dari halaman utama.Besi beradu dengan besi, langkah kaki menghentak tanah, dan teriakan semangat menggema di antara udara dingin yang masih dibungkus kabut.Raras berdiri di balik tiang kayu paviliun, separuh bersembunyi di balik tirai bambu. Dari tempatnya, ia bisa melihat para prajurit berbaris, berlatih pedang dengan gerakan serentak dan penuh disiplin.Matahari baru naik, menembus kabut, memantulkan cahaya ke ujung pedang mereka.Raras menatap terpukau.Setiap kali pedang diayunkan, dadanya berdegup aneh. Ada sesuatu yang terasa familiar seperti melodi yang pernah ia dengar, tapi lupa liriknya.Rakai berdiri di tengah lapangan, mengenakan seragam latihan sederhana. Wajahnya serius, tapi suaranya tenang saat memberi perintah.“Langkah kiri dulu. Ingat, pedang bukan untuk kekuatan, tapi untuk keseimbangan.”“Siap, Gusti!” seru para prajurit serempak.Raras hampir tertawa. Keseimbangan, katanya?Padahal, setiap ayunan pedang itu sepert

  • Asmaraloka Sang Putri Pusaka    Bab 93

    Hujan turun pelan di sore itu, menimpa atap benteng yang mulai berlumut.Aroma tanah basah bercampur dengan udara dingin, menyelinap lewat jendela yang setengah terbuka.Raras berdiri di sana, bersandar pada kusen kayu yang mulai rapuh, menatap gerimis yang jatuh satu per satu seperti benang tipis dari langit.Kain selendangnya basah di ujung karena ia lupa menariknya.Namun, ia tidak bergeming.Hujan seperti memiliki irama yang menenangkan, seolah seluruh kebisingan dalam kepalanya ikut perlahan larut di bawah guyurannya.“Kalau kau berdiri di sana terlalu lama, nanti malah demam.”Suara berat itu muncul dari belakangnya, tenang tapi penuh perhatian.Raras menoleh.Rakai berdiri di ambang pintu, rambutnya sedikit lembap, seragamnya masih berdebu. Ia baru saja kembali dari patroli keliling barak.Tatapannya tajam tapi tak lagi sekaku dulu ada sedikit kehangatan yang sulit dijelaskan.“Aku tidak selemah itu,” jawab Raras pelan sambil tetap menatap ke luar.“Tidak selemah itu, tapi pelu

  • Asmaraloka Sang Putri Pusaka    Bab 92

    Malam di perbatasan begitu sunyi. Angin membawa aroma tanah basah, dan rintik hujan pelan menetes di atap penginapan. Di halaman belakang, lentera-lentera berayun tertiup angin, memantulkan bayangan dua sosok di bawahnya.Raras berdiri di bawah langit gelap, selendangnya separuh basah, menatap lelaki di depannya Rakai. Wajahnya diterpa cahaya oranye yang goyah, sorot matanya ragu. Ada tanya yang belum selesai, dan jarak di antara mereka yang tak pernah terasa sedekat malam itu.Reyas berdiri jauh di balik tiang kayu penginapan, nyaris tak berkedip.Ia tak bisa mendengar apa pun, tapi dari caranya Raras berbicara dengan mata menatap tapi tubuh sedikit mundur, dan Rakai yang tertawa kecil menunduk, ia tahu percakapan itu bukan sekadar basa-basi. Ada sesuatu di sana. Sesuatu yang menyesakkan dada.Hujan turun semakin deras. Reyas menarik napas panjang dan berbalik, melangkah ke jalan kecil di belakang penginapan.Di bawah atap bambu yang reot, seorang wanita tua duduk memanggang ubi di a

  • Asmaraloka Sang Putri Pusaka    Bab 91

    Tengah malam di benteng Wiru.Hujan turun pelan, membasuh atap-atap batu dan jalanan tanah yang licin. Angin menelusup lewat celah jendela, membuat tirai bergoyang lembut.Raras menggeliat dalam tidurnya, napasnya terengah-engah. Dalam mimpinya, ia berdiri di tengah medan perang. Langit merah. Asap membubung. Bau darah dan besi memenuhi udara.Di sekelilingnya mayat-mayat berserakan.Tangannya menggenggam pedang, tapi ujungnya meneteskan darah… darah sendiri.“Siapa… aku?” suaranya serak, bergema aneh dalam kabut.Lalu seseorang muncul dari balik asap.Langkahnya tegap. Wajahnya sebagian tertutup darah dan debu. Tatapannya dingin, tajam dan di tangan kirinya, pedang terangkat tinggi.Raras terbelalak.“Rakai…”Namun ketika ia berlari mendekat, pedang itu justru diayunkan ke arahnya.Kilatan baja menyilaukan.Raras menjerit—“RAKAI!”Ia terbangun dengan tubuh berkeringat, napas memburu. Matanya liar, mencari kenyataan.Langit di luar jendela masih gelap. Hujan turun makin deras, menget

  • Asmaraloka Sang Putri Pusaka    Bab 90

    Rakai menatap pria yang berdiri di belakang Raras dengan penuh siaga. Tatapannya tajam, seperti sedang menilai apakah mereka ancaman atau sekadar pengiring.“Siapa pria itu?” tanyanya akhirnya, suaranya dalam namun terukur.Raras menoleh ke Reyas, sedikit kikuk. “Oh, dia? Ehm… dia—”Belum sempat Raras menjelaskan, Reyas segera melangkah maju, menundukkan kepala dengan sopan.“Hamba Reyas, Gusti. Seorang musafir dari utara. Kami kebetulan bertemu dengan Gusti Putri Ajeng di jalan dan menemaninya hingga ke sini. Hamba tidak tahu siapa beliau sebenarnya, sampai para prajurit menyebut nama Gusti Raksa.”Rakai menatapnya lama. Tidak ada kemarahan, tapi juga tidak ada senyum. Lalu, perlahan, sudut bibirnya terangkat.“Jangan panggil aku Gusti, karena aku hanya seorang prajurit biasa, bukan keluarha kerajaan Indragiri. Kamu musafir dari utara, ya?” gumamnya, lalu mengangguk singkat. “Kamu berani. Tidak banyak yang mau melindungi seorang wanita di tengah jalan seberbahaya itu.”Reyas tersenyu

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status