Share

Assalamu'alaikum Cinta : Suamiku Adalah Abdi Negara
Assalamu'alaikum Cinta : Suamiku Adalah Abdi Negara
Author: Ucing Ucay

Bab 1. Korban Perang.

Author: Ucing Ucay
last update Last Updated: 2025-07-22 09:18:17

Tangan Bima mulanya gemetar saat menerima surat itu. Jantungnya berdetak begitu keras hingga rasa–rasanya Bima bisa mendengarnya sendiri.

Surat dari Arafah.

[Untuk Mas Bima.]

[Mas, saat kamu membaca ini, itu artinya aku sudah pergi jauh. Jangan cari aku, jangan buang waktumu untuk seseorang yang sudah memilih pergi.]

Bima masih mencerna kata–kata dibait pertama. Baru awal namun rasanya Bima sudah menemui kekalahan—sakit luar biasa.

[Kamu mencintaiku. Aku tahu itu, aku merasakannya dalam setiap genggaman tanganmu, dalam setiap tatapanmu. Tapi di sisi lain, kamu juga punya keluargamu. Aku tahu, sebesar apa pun perasaanmu untukku, kamu tidak akan pernah bisa benar-benar mengorbankan keluargamu demi aku.]

[Jadi aku yang memilih pergi. Bukan karena aku ingin menyerah, tapi karena aku tidak ingin melihatmu menderita.

Aku tidak ingin melihatmu berada dalam dilema yang menyakitkan. Aku tidak ingin melihatmu kehilangan keluargamu karena aku, Mas.]

[Aku ingin kamu bahagia. Meski artinya aku harus pergi, maka akan aku lakukan. Jadi, tolong jangan cari aku. Jangan buang waktumu untuk sesuatu yang sudah berlalu. Jalani hidupmu, Mas.

Nikahi Kirana, itu permintaan terakhirku. Itu satu-satunya hal yang bisa membuat semua orang bahagia.]

[Selamat tinggal, Mas Bima. Dari seseorang yang pernah menjadi istrimu.]

===

"Siapa namanya? Mana keluarganya?” teriak seorang dokter sembari memeriksa kondisi pasiennya yang terbaring tak berdaya di atas brankar yang sedang melaju ke ruang IGD. 

"Saya menemukan dia di jalan tergeletak setelah bunyi bom, sebentar saya periksa tasnya," jawab Komandan Bima.

Bima Shaka Sameer—salah satu Abdi Negara yang saat ini sedang bertugas di sebuah Negara yang sedang berkonflik dengan Negara sebelahnya. Sebagai Negara yang cinta perdamaian pemerintahnya mengirim untuk aksi perdamaian, belum lama tiba Bima sudah di sambut dengan bunyi tembakan dan bom yang menghancurkan sebuah Kota tidak jauh dari markasnya.

Menemukan seorang gadis yang tergeletak tidak jauh darinya membuat dia harus bertanggung jawab menyelamatkan gadis tersebut. Membawanya ke rumah sakit terdekat.

Rumah Sakit Indonesia—Rumah Sakit khusus warna negara Indonesia yang sedang berada di Negara Konflik tersebut, TKW atau TKI atau pelajar sekalipun bisa berobat di sana. Dan saat ini Rumah Sakit tersebut penuh dengan korban dari perang yang saat ini terjadi di Negara itu. Bukan hanya warna Negara Indonesia, warga Nagara setempat pun ada di dalamnya sedang berjuang hidup. 

"Arafah Khanza, namanya Arafah Khanza, dok," pekik Bima yang sudah menemukan identitas gadis yang di tolongnya itu.

"Usia 25 Tahun, dia TKI," lanjutnya memberi informasi yang dia dapat.

"Jadi siapa yang tanggungjawab?" tanya sang Dokter. 

Meskipun dalam kondisi darurat, tetap saja harus ada keluarga atau pendamping yang bertanggung jawab atas pasien yang saat ini sedang di selamatkan olah team medis di rumah sakit itu.

Bima celingak celinguk melihat sekeliling, tapi tidak ada satupun yang perduli, semua sibuk dengan kondisi mereka masing-masing, dalam kondisi genting saat ini terlihat keegoisan orang-orang. Menyelamatkan diri sendiri itu yang utama saat ini.

"Biar saya yang tanggungjawab, dok."

Dokter itu sontak menoleh mantap Bima, menegaskan kalau pria berseragam loreng itu benar mau bertanggungjawab sepenuhnya atas pasien yang bernama Arafah ini.

"Selamatkan dia, dok!" Sekali lagi Bima menegaskan. 

"Baiklah, kami akan lakukan yang terbaik."

Srekkk ...

Dokter itu langsung menutup tirai dengan sempurna menutupi ruang kerjanya, sementara Bima terdiam terpaku di tempat.

Dia sendiri heran entah mengapa ada rasa yang sulit dia ungkapkan ketika melihat seorang gadis berjalan santai, dengan senyum manis di bibirnya menenteng sebuah plastik putih, sesekali gadis itu memeriksa isi kantung plastik di tangannya sembari berjalan di pinggir tapi tiba-tiba tubuh mungil itu terpental hingga beberapa meter dan terjatuh di dekat Bima bersamaan suara bom yang sangat kencang. Semua panik berhamburan menyelamatkan diri masing-masing.

Baru saja dia turun jaga, ingin menikmati libur di minggu pertamanya tugas di Negara konflik ini, tapi yang dia dapat bukan liburan melainkan serangan. 

"To-tolong ...,” rintih gadis itu, tangannya menjulur memohon pertolongan tapi tidak ada satupun orang yang menoleh padanya.

Dengan sigap, Bima berlari meski dia harus menerobos beberapa orang yang berlari tanpa arah karena panik dan hampir menabrak dirinya. 

Bima langsung menggendong gadis itu dan berlari menuju Rumah Sakit yang ada beberapa blok di belakang tempat kejadian. Sampai di Rumah Sakit, team medis sudah siap dengan beberapa brankar karena serangan dadakan memakan banyak korban. Sebagai Rumah Sakit terdekat dengan kejadian team medis langsung siap menerima para korban. 

Napas Bima masih terengah namun dia harus bisa fokus menjawab pertanyaan dokter yang menangani gadis tersebut. 

"Siapa namanya? Mana keluarganya?”

"Arafah Khanza, namanya Arafah Khanza, dok."

Bima tersentak ketika seseorang mendorong tubuhnya agar menyingkir, tidak menghalangi jalan. Seketika itu juga lamunannya atas kejadian beberapa saat lalu menguap.

Bima keluar dari ruang IGD agar tidak terlalu banyak orang di sana.

"Pak, tolong tandatangan di sini, Ibu Arafah harus di operasi." Seorang perawat menyerahkan beberapa berkas pernyataan yang harus Bima tandatangani. 

"Operasi apa?” tanya Bima. Karena seingat dia dan sepintas ketika dia menemukan Arafah gadis itu tidak terlalu buruk kondisinya kecuali beberapa darah yang ada di kaki dan kepalanya.

"Dislokasi kaki kiri dan kaki kanan sobek cukup panjang," jelas Perawat itu dengan singkat karena situasi yang mengharuskannya cepat. 

Bima sedikit paham tentang bahasa medis, dia tidak menyangka kaki Arafah Dislokasi—istilah medis yang merujuk pada kondisi ketika tulang di sendi bergeser atau keluar dari posisi normalnya. Saat itu Bima hanya fokus pada darah dikepala Arafah dan kaki kanannya. Sedangkan kaki kiri terlihat baik-baik saja tapi ternyata dalamnya bermasalah. 

Pria bertubuh tegap itu menghela napas kemudian menandatangani surat pernyataan itu. Setelah selesai, Perawat langsung membawa berkas-berkas tersebut kedalam ruang IGD. 

Bima duduk di kursi tunggu, beberapa saat dia tersadar dengan tas yang di pegangnya. Diperiksanya lagi tas milik Arafah itu. Selain dompet berisi tanda pengenal, tas itu juga ada berkas yang lainnya. Surat-surat penting lainnya juga dia bawa.

Drrrttt ... Ponsel Bima bergetar di saku celananya.

"Bim, kau dimana?" tanya teman satu lintingan Bima di seberang sana dengan nada penuh kekhawatiran. Bagaimana tidak khawatir, pria itu habis tukar jaga dan tidak lama Bima keluar dari markas, serangan dadakan itu pun terjadi. 

"Aku di Rumah Sakit Indonesia, Ren. Kau dimana?” jawab Bima sekaligus dia melempar pertanyaan yang sama khawatirnya pada sahabat yang satu pendidikan militer bersamanya.

Tut ... Tut ... Tut ... Sambungan telpon terputus sepihak. Entah dari Bima atau sahabatnya yang bernama Reno. Situasi konflik seperti ini memang menyulitkan komunikasi, sinyal ponsel tidak tentu. 

Beberapa saat kemudian, Reno datang dan langsung menghampiri Bima yang sedang duduk di kursi tunggu. 

"Astaga di sini kau rupanya, Kawan?! Ku kira kau jadi korban," cerocos Reno dengan logat kental melayunya, sembari dia menepuk pundak Bima. 

"Sedang apa kau di sini?” sambung Reno yang sudah terduduk di sebelah sang sahabat. 

"Di dalam ada korban yang aku selamatin tadi, sekarang dia lagi di operasi," jawab Bima.

Kening Reno mengernyit dalam. "Wanita atau pria?”

"Wanita."

"Heum, pantaslah!”

Mata Bima membola, hampir saja dia menyumpal mulut sahabatnya itu dengan kepalan tangannya kalah seorang perawat keluar dari ruang tindakan.

"Keluarga pasien Arafah?” tanya Perawat itu, lantang.

"Saya, Sus.”

"Anda suaminya? Istri Anda saat ini sedang butuh donor darah, Pak, dia banyak sekali kekurangan darah, stock darah di PMI baru saja habis. Apa Anda bisa cari orang dengan golongan darah O?”

Tanpa menyanggah asumsi perawat itu tentang status dirinya adalah suami dari Arafah, benak Bima hanya terlintas bagaimana dia mendapatkan donor darah untuk gadis itu. Pasalnya, golongan darahnya berbeda. 

"Dia golongan darahnya O, Sus, ambil saja darahnya yang banyak." Bima menarik Reno yang masih terduduk di kursi tunggu.

"A-aku?”

"Iya, kau biasa donor darah kan, Ren?!”

"Kenapa mesti aku? Aku sedang tugas loh sekarang," tolak Reno. 

"Tolong lah, Ren. Menolong orang itu jangan tanggung-tanggung," pinta Bima.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Assalamu'alaikum Cinta : Suamiku Adalah Abdi Negara   Bab 105. Rumah Kecil Kita (Tamat) 

    Dua tahun kemudian, aroma laut Uskudar berganti dengan wangi tanah basah di pinggiran kota Bogor. Rumah yang mereka tempati kini jauh dari keramaian, dikelilingi pohon kopi dan ladang kecil yang menguning saat musim panen tiba. Bima, yang sudah pensiun dari dinas militernya, lebih sering mengenakan kaos polos dan celana pendek, berjalan tanpa alas kaki sambil menggendong bayi kecil di pundaknya."Pelan, Pak Komandan. Bayinya belum bisa dikasarin," seru Arafah dari dapur."Namanya bukan kasar, ini latihan jadi tentara," jawab Bima sambil mencium pipi bayi itu, yang langsung tertawa renyah.Anak perempuan mereka, Aksara, kini berusia 11 bulan. Lahir dengan rambut hitam tebal dan tatapan yang penuh rasa ingin tahu, seperti Arafah. Tapi setiap kali dia tertidur di dada Bima, tak ada yang bisa menyangkal bahwa dia juga punya ketenangan yang hanya dimiliki oleh ayahnya.Bima masih ingat hari itu—seperti napas pertama setelah tenggelam terlalu lama. Aksara baru lahir dua minggu. Kulitnya mas

  • Assalamu'alaikum Cinta : Suamiku Adalah Abdi Negara   Bab 104. Kembali pada Pelukmu

    Udara pagi di Uskudar masih dingin saat suara langkah kaki kecil menggema dari arah rumah putih itu. Panca, bocah lima tahun dengan rambut acak dan tawa khas yang memecah sunyi, berlari-lari kecil menuju taman belakang. Di tangannya ada dua gelas susu cokelat, satu untuk dirinya, satu lagi untuk orang yang tak henti dia sebut sebagai "ayah."Bima menyambutnya dengan senyum yang tidak lagi menyimpan ragu. Dia duduk di bangku taman yang sama, tempat melamar Arafah malam–malam sebelumnya. Matanya menatap langit yang mulai membiru, lalu beralih ke wajah anak itu—wajah yang kini tak asing, tak lagi mengundang pertanyaan."Aku bawa ini, Ayah," kata Panca bangga."Terima kasih, Nak," jawab Bima. Kata 'Nak' meluncur begitu saja, ringan dan hangat seperti matahari pagi yang mulai naik.Tak lama, Arafah muncul dari balik pintu kaca, membawa selimut dan roti panggang yang baru matang. Dia tak lagi mengenakan baju rumah, tapi sebuah sweater panjang warna lembut dan rok sederhana. Berkerudung sepe

  • Assalamu'alaikum Cinta : Suamiku Adalah Abdi Negara   Bab 103. Memilihmu Sekali Lagi

    Bima menatap Panca yang berlari-lari kecil di taman yang tak jauh dari rumah. Tawanya lepas, seakan dunia tidak memiliki beban sedikit pun di bahunya. Bocah itu berlari menuju ayunan dan meminta Bima untuk mendorongnya lebih tinggi.Bima tersenyum samar, berjalan ke belakang Panca, lalu mendorong ayunan perlahan. Setiap tawa bocah itu adalah suara yang menenangkan, tetapi sekaligus menyakitkan bagi Bima—karena dia baru mendengar suara itu sekarang, lima tahun terasa begitu terlambat.Di sisi lain, Arafah duduk di bawah pohon, memperhatikan mereka dari jauh. Dia mengira melihat Bima dan Panca bersama akan membuatnya merasa takut. Dia mengira, jika Bima mulai terlibat dalam hidup mereka, dirinya akan merasa cemas bahwa dia akan kehilangan putranya. Namun, kenyataannya, melihat mereka bersama justru menimbulkan perasaan lain—perasaan yang jauh lebih dalam dari sekadar ketakutan. Kerinduan. Lima tahun, Arafah hidup dalam ketidakberadaan Bima di sisinya. Lima tahun, dia membangun din

  • Assalamu'alaikum Cinta : Suamiku Adalah Abdi Negara   Bab 102. Seruan dari Menara Takdir

    Sejak hari itu—hari ketika mata Bima bersirobok dengan masa lalu yang tak pernah benar–benar dia kubur—waktu seolah berjalan begitu pelan. Pertemuannya dengan Arafah di Masjid Biru telah mengguncang segala yang selama ini dia usahakan untuk dikubur dalam-dalam: kenangan, cinta, dan luka yang tidak pernah sembuh.Bima menyimpan pertemuan itu rapat–rapat di dalam dada, seperti bara yang tak padam. Namun malam-malam di Istanbul tak memberinya cukup ruang untuk tenang. Kenyataan bahwa perempuan itu masih hidup telah mengaduk isi jiwanya. Terlebih saat menyadari kemungkinan besar bahwa anak itu—anak bernama Panca—mungkin adalah darah dagingnya.Di sebuah penginapan kecil di pinggiran Eminönü, Bima duduk membisu di balkon, membiarkan dingin senja menempel di kulit. Cahaya matahari terakhir mengalir ke sela dedaunan, seolah mencoba menyelinap ke celah hatinya yang tertutup rapat.Bima mengangkat ponsel dan menekan nama yang telah lama menjadi tempatnya bersandar—dokter Yudha. Sambungan tersa

  • Assalamu'alaikum Cinta : Suamiku Adalah Abdi Negara   Bab 101. Jejak Rasa di Pelataran Istanbul

    Sudah tiga kali Bima melangkahkan kaki ke Masjid Biru, namun baru kali ini hatinya terasa benar–benar kosong.Kunjungan pertama, niat awalnya hanya ingin mencari damai. Menyendiri dari riuh dunia yang terasa asing sejak kepergian Arafah, Kirana, juga putranya yang tak sempat mengenal dunia. Namun, di sela langkah para pengunjung yang saling berpapasan, Bima melihatnya—sosok perempuan berkerudung putih. Sekilas, cukup untuk mengguncang dadanya. Wajah itu, bahu yang sedikit miring ke kiri, gerak bibir yang pelan saat membaca ayat—semuanya menyerupai Arafah. Tapi seperti bayangan, perempuan itu lenyap sebelum sempat dia pastikan.Kedua kalinya, Bima datang membawa harapan kecil yang nyaris tak bernama. Di pelataran masjid, seorang bocah lelaki dia selamatkan. Bocah itu menoleh dan tersenyum, menyapa dengan nama yang terlalu manis untuk dilupakan."Namaku Panca," katanya riang. Ada yang aneh di wajahnya—seperti cermin yang menampakkan masa lalu. Alisnya, garis rahang, cara diamemiringkan

  • Assalamu'alaikum Cinta : Suamiku Adalah Abdi Negara   Bab 100. Jawaban dari Sujud yang Panjang

    Sejak hari itu—hari ketika Bima mengira melihat siluet Arafah di antara ribuan jamaah Masjid Biru—Istanbul tidak lagi terasa sama.Ada yang berubah. Bukan pada langitnya, bukan pula pada arsitektur masjid yang tetap megah menantang waktu. Tapi pada dadanya. Pada sesuatu yang tiap sore datang sebagai degup yang tak mau diam, sebagai tanya yang menggantung di ujung-ujung langit senja.Maka setiap kali tugas berakhir, ketika suara tembakan dan perintah komando sudah berubah jadi bisikan-bisikan azan, Bima selalu kembali ke sana.Ke Masjid Biru.Bukan hanya untuk bersujud, melainkan untuk berharap. Barangkali Tuhan berkenan menyusun ulang waktu. Barangkali takdir kali ini tak berlalu.Sore itu, langkah Bima mengarah ke tempat wudhu di sisi utara masjid. Hujan turun perlahan, tak deras, tapi cukup membuat bebatuan marmar di sekitar masjid jadi licin. Bima baru saja menggulung lengan bajunya ketika matanya menangkap sosok kecil berlari-lari di antara keran wudhu.Seorang anak lelaki kecil—r

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status