Tiara keluar dari kamar mandi dengan jubah hotel menutupi tubuhnya. Rambut basahnya menempel di bahu, kulitnya masih hangat oleh uap air. Di meja sudah terhidang makanan yang ia pesan: steak, sup panas, dan sebotol red wine.Eric duduk santai di kursi, hanya mengenakan celana panjang hitam. Ia menyesap Brandy-nya dalam gelas, matanya memandangi Tiara seolah menimbang sesuatu.“Cepat sekali kamu mandi,” ucapnya tenang, menaruh gelas di meja kecil. “Sekarang duduk. Makan.”Tiara menurut. Mereka makan tanpa banyak bicara. Sesekali Tiara melirik Eric yang menyuap dagingnya dengan lambat, rahangnya tegas, tatapannya tetap menusuk.Begitu piring kosong, Eric bangkit. Ia berjalan menghampiri Tiara, lalu menarik kursinya sedikit ke belakang. Tubuh Tiara menegang.Eric menyingkirkan sisa jubah dari bahunya, hingga dada Tiara setengah terbuka. “Aku sudah bilang, jangan harap lebih dari apa yang kuberikan,” bisiknya, sambil menelusuri kulit Tiara dengan jemari dingin.Tiara menahan napas. Ada ra
KANTOR ERIC DI MOROWALIEric berdiri di depan jendela ruangannya, menatap malam Morowali yang perlahan padam. Asap rokok mengepul dari ujung jarinya, sementara suara pria berkacamata melaporkan dengan tenang namun jelas:“Orang-orang kita gagal. Jet sudah terbang. Mereka tidak bisa menyentuh Arsya sampai tiba di bandara.”Dahi Eric mengernyit. Wajahnya yang tadi masih merah padam kini semakin menegang. Tangan kirinya menghantam meja kerja hingga gelas brandy hampir tumpah. “Bodoh semua! Apa perlu aku sendiri yang menembak pesawat itu dari langit?!” teriaknya.“Ada laporan dari pesisir pantai katanya menemukan jejak Bu Mika. Sebagian tim sedang dalam perjalanan untuk verifikasi.”Eric menghela napas keras seraya mengusap wajahnya. “Verifikasi dan habisi. Jangan sampai dia ke Jakarta. Aku muak dengan perempuan kepala batu itu.”“Baik, Pak. Ada lagi yang harus dikerjakan sekarang?” Gunadi menatap Eric dari balik kacamatanya. Wajahnya datar saja tanpa emosi.Eric kembali mengusap wajahnya
Lorong belakang rumah sakit malam itu sepi, hanya diterangi lampu neon pucat yang menggantung di dinding. Udara lembab, tapi suasananya justru menegangkan. Sebuah ranjang dorong dengan roda karet besar meluncur perlahan, didorong dua perawat berseragam putih. Di atas ranjang itu, tubuh Arsya terbujur ‘lemah’. Selimut abu-abu menutupinya sampai leher, masker oksigen terpasang, kabel monitor portable menyala dengan suara bip-bip-bip teratur. Seolah ia memang sedang berjuang dengan hidupnya.Indah berjalan di sisi ranjang, menggenggam tangan suaminya erat-erat. Dari sudut mana pun, ia tampak seperti istri setia yang menjaga pasangannya. Sesekali ia mengusap dahi Arsya dengan tisu, membetulkan masker oksigen, lalu kembali menunduk penuh cemas. Namun, air mata yang jatuh di pipinya bukan bagian dari sandiwara. Indah benar-benar cemas dengan keadaan mereka saat itu.Dean berjalan di depan rombongan, jas hitamnya seperti biasa; selalu rapi dengan garis yang paling simetris. Meski malam hari,
Desahan dan rintihan samar memenuhi ruangan, bercampur dengan suara tubuh yang bertubrukan. Tiara menggigit bibirnya, menahan diri agar tidak memulai lebih dulu memcium Eric meski hatinya terus meronta ingin diperlakukan layaknya kekasih.“Diam … kamu harus tetap diam di luar sana, Tiara. Kamu harus profesional. Saya membayar kamu untuk ini,” bisik Eric kasar di sela gerakannya, sambil terus menghentak liar dari bawah.Eric semakin kehilangan kendali. Hentakan dari bawah makin keras, membuat tubuh Tiara terlonjak berulang kali di pangkuannya. Suara kursi berderit kencang, napas keduanya memburu. Tiara sudah tak mampu lagi menahan rintihan—ia menekuk kepalanya ke leher Eric, tubuhnya bergetar menahan ledakan nikmat yang datang bergelombang. Tiara nyaris menangis. Itu adalah gelombang kenikmatan pertama yang didapatnya saat Eric menidurinya.Eric tak berhenti. Ia menggenggam pinggul Tiara lebih kencang, lalu bangkit berdiri dalam posisi masih menyatu. Tubuh Tiara otomatis terangkat, ked
Indah tersenyum tipis, setengah malu. “Aku mau beres-beres. Sebentar lagi langit terang dan rekan-rekan Abang pasti datang presensi ke sini.” Indah tertawa. Namun Arsya malah menariknya kembali, membuat tubuh Indah menempel ke dadanya yang hangat. “Belum. Abang masih mau lihat kamu kayak gini,” ucapnya lirih, sambil menunduk mencium bahu telanjang Indah.Indah terdiam, wajahnya memerah. Ia membiarkan Arsya menelusuri dengan lembut punggung dan lekuk tubuhnya. Sentuhan itu bukan lagi sekeras semalam, melainkan penuh rasa memiliki, seolah Arsya ingin memastikan istrinya benar-benar nyata ada di pelukannya setelah penantian panjang.“Abang masih kangen banget …,” desisnya, menunduk menyusupkan ciuman ke leher Indah.Indah hanya bisa menghela napas panjang, menutup matanya, dan menyerah pada kehangatan itu. Tubuhnya kembali bergetar kecil, tapi kali ini bukan karena letih, melainkan karena rasa yang kembali bangkit perlahan.Arsya mengusap perut Indah, lalu menciuminya seakan menyapa bay
Arsya menempelkan bibirnya lebih dalam, lidahnya bergerak rakus di sela lipatan basah Indah. Paha Indah bergetar, napasnya makin berat meski ia berusaha menahan suara. Sesekali Indah menutup mulut dengan punggung tangan, menahan rintihan yang ingin pecah.Arsya mendongak, tatapannya gelap dan lapar. “Sekali lagi ya, In,” bisiknya serak, sebelum kembali melumat bagian itu dengan suara cecap basah yang memenuhi kamar.Tangannya meraba paha Indah, lalu naik ke perut bundarnya. Ia berhenti sebentar, menempelkan bibir di sana, sebelum kembali menekuk kaki Indah lebih tinggi. Tubuh tegapnya maju, lututnya menekan ranjang rendah itu.Indah membuka mata setengah. Jantungnya berdetak cepat, rasa takut dan rindu bercampur, memandang dada lebar Arsya yang mulai melingkupi atas tubuhnya. Ia lelah, tapi juga rindu teramat sangat. Ia rindu malam-malam bebas mereka di kamar saat Arsya memintanya melakukan banyak hal baru. Mereka saling menemukan kenikmatan bersama. Malam itu ia hanya bisa pasrah dan