Share

BAB 6 Mencari Alasan

Zeta baru saja selesai menyiapkan sarapan untuk anak dan suaminya, karena sekitar satu jam lagi mereka bertiga akan berlibur ke kebun binatang, maka dari itu Zeta harus memastikan suami dan anaknya sarapan terlebih dahulu.

Untungnya hari ini butiknya bisa ia tinggal dan sedang tak ada pesanan gaun yang harus ia tangani secara langsung. Bima pun tampaknya sudah bersiap dan semangat untuk liburan kali ini.

Drrrtt ... Drrrtt

Suara handphone Bima yang dalam mode getar pun membuat atensi Zeta tertuju pada panggilan telfon tesebut. Handphone yang diletakkan secara sembarang di atas meja makan oleh Bima, membuat Zeta pun dapat dengan jelas melihat siapa yang tengah menelfon suaminya pagi-pagi seperti ini.

'Melda? lagi?' gumam Zeta dalam hatinya ketika membaca nama kontak yang tertera di layar handphone suaminya tersebut, belum sempat Zeta menyentuh ponsel itu, Bima menyambarnya dengan cepat.

"Hallo? iya?" ucap Bima berbicara dengan santai, bahkan di depan Zeta. Namun Zeta yang tak dapat mendengar suara Melda pun, akhirnya hanya bisa menerka-nerka tentang apa yang tengah suami dan wanita itu bicarakan.

"Oh, ya? sekarang?" ucap Bima lagi, kini perasaan Zeta mulai tak enak.

"Oh gak papa. Bisa kok, saya kesana sekarang," jawab Bima, membuat Zeta mulai mengernyitkan dahinya.

Setelah panggilan telepon itu terputus, Bima mendekat ke arah Zeta. Seperti memasang wajah penuh harap, apa yang hendak lelaki itu katakan?

"Bunda, bisa tolong beri pengertian ke Aziel?" ucap Bima sembari memegang kedua bahu Zeta dengan lembut.

"Maksud, kamu?" tanya Zeta bingung, meski tentu saja ia sebenarnya tahu apa maksud sang suaminya ini. Pasti Bima ingin membatalkan acara liburan keluarga hari ini secara sepihak.

"Aku ga bisa pergi di-liburan kali ini," jawab Bima, kini terasa sakit dada Zeta mendengar jawaban suaminya itu. Walaupun Zeta sudah bisa menebaknya, entah kenapa tetap terasa sesak.

'Apa ini karena wanita itu?' lirih Zeta di dalam batinnya.

"Untuk apa?" tanya Zeta, ia tampak santai. Padahal dirinya tengah memendam seribu luka dan pertanyaan di batinnya.

"Ini soal kerjaan Bund, mendesak banget pokoknya, boleh ya? pokoknya Bunda jelasin aja ke Aziel kal—"

"Kerjaan atau bertemu Melda, Mas? mana mungkin kamu ada pekerjaan di hari libur?!" pekik Zeta, kini suaranya menjadi sedikit meninggi. Menandakan bahwa dirinya sangat marah kali ini.

Bima mengernyit heran, kenapa tiba-tiba istrinya menyebut nama Melda seperti itu? seolah-olah Melda bukan sekertarisnya melainkan selingkuhannya.

"Ya pekerjaan dan juga Melda lah, Bund," jawab Bima, entah apa maksudnya dia berkata seperti itu. Apa kini suaminya tengah berterus terang tentang hubungan gelapnya dengan Melda?

"Maksudnya, Melda itu sekertarisku. Tentu aku akan bersamanya, namanya juga membahas tentang pekerjaan," jelas Bima, namun penjelasannya itu terlampau tak masuk akal untuk Zeta, pasalnya pikiran negatif telah menguasai Zeta sepenuhnya.

Tak sadar mereka berdua telah menggunakan suara yang terlalu keras, sampai akhirnya keributan mereka berdua telah mencuri atensi putra kecil mereka.

"Kamu pilih aku dan El? atau wanita itu, Mas?!" ucap Zeta yang kini sudah tak mampu membendung tangisannya.

'Ada apa ini? kenapa Bunda menangis?' batin El bertanya pada dirinya sendiri, bundanya yang selalu terlihat bahagia di matanya selama ini, kini meneteskan derai air mata yang begitu pilu.

"Cukup Ta! kamu itu terlalu berlebihan!" bentak Bima dengan suaranya yang keras, membuat El juga merasa tersentak kaget dibuatnya.

Jantung El seakan berdetak kencang tak karuan, 'ada apa ini? ada apa dengan Ayah dan Bunda?' pelupuk mata El tengah penuh dengan bendungan air mata.

"Ayah? Bunda? kalian, kenapa?" lirih bocah 5 tahun tersebut sambil menangis terisak, membuat kedua pasangan suami istri itu membeku di tempat.

"El?"

Sontak Zeta tertegun melihat putranya yang tengah berdiri di tangga sambil menangis, hendak ia melangkah mendekati putranya, namun lebih dulu Bima yang menggapai Aziel.

"Ayah? kenapa Ayah bentak Bunda?" tanya Aziel dengan tetap menangis sesenggukan, membuat Bima yang awalnya tengah emosi dengan sikap Zeta, kini mulai mereda ketika melihat Aziel.

"Gapapa kok Sayang, Ayah buat El takut, ya? maafin Ayah, ya?" tutur Bima, dengan telaten ia menggendong dan mengelus lembut kepala Aziel.

Zeta hanya menyimak adegan antara ayah dan anak itu, ia mengelap wajahnya dari air mata dan mencuci muka agar tak begitu terlihat menyedihkan di hadapan putranya.

"Kalo gitu, ayo kita berangkat ke kebun binatang, Ayah!" pinta El yang sudah mulai tenang dan kondusif.

Kini wajah Bima mulai muram ketika mendengar pintaan sang putra, ia melirik Zeta, yang kini tengah duduk berseberangan dengannya, Bima seakan meminta bantuan Zeta untuk dapat menjelaskan bersama-sama.

Namun istrinya itu malah acuh dan membuang muka. "Kamu yang butuh, kamu sendiri yang selesaikan, Mas!" ujar Zeta. Aziel tak paham dengan apa yang dikatakan oleh Zeta, tapi ia dapat merasakan jika ayah dan bundanya sedang tidak akur.

"Ayah? kita jadi pergi, kan?" tanya Aziel lagi, ia memasang wajah penuh harap. Hati Bima tak tega jika sampai menolak, tapi apalah daya? ia sedang diburu oleh pekerjaan yang teramat penting.

Tampak ayah satu anak itu membuang napas panjang. "El? gimana kalau kita liburan minggu depan saja?"

raut wajah Aziel yang awalnya tersenyum, kini mendadak muram. "Kenapa?" tanya Aziel dengan wajah kecewanya.

"Aziel sayang Ayah, kan?"

Anak lelaki itu mengangguk.

"Aziel anak yang baik, kan?"

Aziel kembali mengangguk lagi.

"Aziel juga anak yang penurut, kan?"

Kini agaknya berbeda, Aziel tak langsung mengangguk. Anak lelaki itu tampak tengah berpikir. "Kalau Ayah ingkar janji, El gak akan mau nurut!" ucap El dengan tegas.

'Hooo ... pintar juga kamu, El,' puji Zeta di dalam hati. Wanita itu tampak tersenyum tipis mendengar ucapan Aziel.

"Ayah ga ingkar, Sayang. Ayah ada pekerjaan mendadak, kita akan tetap liburan. Tapi nanti, okey?" Bima pun masih berusaha untuk mendapatkan persetujuan dari El.

"Pekerjaan apa? ini kan hari libur!" ujar Aziel, anak kecil itu seperti tengah mengintrogasi Bima.

"Sangat penting! Ayah harus ke kantor, pulang nanti Ayah bawakan banyak jajan, bagaimana?" Kini Bima menggunakan sogokan untuk mendapatkan izin dari Aziel.

'Tcih ... benar-benar licik kau, Mas!' umpat Zeta, tentu di dalam hatinya. Tak mungkin ia mengatakan kalimat seperti itu di depan Aziel.

Aziel masih enggan memberikan restu, anak itu masih menggelengkan kepala tanda tak setuju. "Pokoknya hari ini Aziel mau main bareng-bareng sama Ayah dan Bunda!" Aziel terus kekeuh tak mau dibantah.

Lagi-lagi Bima menghela napasnya kasar, ia mulai kehabisan ide untuk membujuk Aziel. 'Duh, bagaimana lagi ini? kenapa Zeta tak mau membantuku? kenapa juga dia malah ikutan marah?' gerutu Bima di dalam hatinya.

Tiba-tiba muncul sebuah ide di benak Bima. "El?" tanya Bima dengan nada merayu.

"Hmm?" Aziel menjawab dengan wajah kesalnya, bahkan pipinya tampak menggembung seperti bakpao. Di mata Bima dan Zeta saat ini, Aziel sangat menggemaskan! rasanya ingin sekali mereka gigit pipi gemoy itu.

"Mau lihat ini?" Bima memperlihatkan layar handphonenya, di sana tergambar sebuah poster film kartun yang merupakan favorit Aziel. Bahkan bisa dibilang, Aziel adalah fans garis keras dari film kartun tersebut. Kamar sampai beragam benda yang ia punya pun bermotif kartun itu.

Binar mata terpancar seketika, itu adalah movie yang ia tunggu-tunggu sejak tahun lalu. "Mau!" ucap Aziel bersemangat.

"Filmnya akan tayang nanti malam, bagaimana kalau kita ganti rencana liburan ini? nanti malam pasti Ayah bisa mengantar El dan Bunda ke bioskop. Tapi pagi ini, Ayah harus ke kantor. Bagaimana?" tawar Bima.

'Ayolah El, Ayah sedang urgent ini!'

Nampak Aziel menimang, membuat perasaan Bima ketar-ketir. Pasalnya itu adalah rencana terakhir yang ia punya. Dan akhirnya El mengangguk setuju.

"Oke," jawab Aziel. Membuat Bima lega seketika.

"Good boy!" Bima mengelus rambut kepala Aziel dengan lembut. Lantas ia berpamitan dan segera pergi tergesa-gesa.

'Brengsek kamu, Mas!'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status