“Kalian?” ucap Bara meninggi.
“Om! Kalian lagi? Kenapa sih dunia ini sempit.” Dean menatap sengit pria berjas di depannya. Begitu juga dengan Bara seakan tengah berperang keduanya sama-sama memancarkan aura permusuhan.
Berbeda dengan Atma yang menatap lurus ke arah wanita dengan air mata yang berlinang. Ia tak mempedulikan dua insan berbeda jenis kelamin yang tengah berdebat hal sepele. Atma bangkit dari duduknya berjalan pelan mendekati Clarita.
Sosok wanita dengan daster dan cardigan rajut itu hanya tertunduk dengan bahu yang bergetar. “Kenapa?” tanya Atma lirih.
Clarita hanya menggeleng ia enggan bersuara. “Sakit?” tanya Atma menatap malaikat kecil yang terbaring di atas ranjang dengan kompres melekat di keningnya.
Lagi-lagi, Clarita hanya mengangguk dalam diam, lidahnya seakan kelu. Pikirannya melayang membayangkan nasib sang bu
“Kenapa?” tanya Atma yang secara tiba-tiba muncul dengan Yandra di dalam gendongannya. Dari nada suaranya, Dean dapat menangkap kekhawatiran di sana. Sejenak Dean mengerutkan kening, mengamati sikap pria yang ia sendiri tak tahu berasal dari mana.“Biasakan jika seseorang bertanya itu dijawab bukan hanya diperhatikan,” peringat Atma pada Dean yang masih sibuk mengamatinya.Dean pun mengerjapkan mata cepat, ia kemudian tersadar pada beban yang tertumpu di tangannya. “Mba Cla, pingsan!” ucapnya panik. Atma pun bergegas keluar dari ruang rawat Yara. Ia memanggil perawat yang berjaga di ujung lorong.Tak berselang lama, Atma kembali bersama beberapa perawat yang membawa brankar. Pria berkemeja biru navy itu menyerahkan Yandra pada wanita muda di depannya, dengan gerakan lembut seakan Yandra adalah sebuah kaca yang dapat hancur jika tersenggol. Ia pun membantu perawat mendorong branka
Kedua pria di depan Dean segera membuang muka, ia mencoba mengabaikan keberadaan dan juga pertanyaan Dean. “Tidak usah akting!” sindir Dean melemparkan tatapan sengit. “Dean, sudahlah,” tegur Clarita yang berdiri di belakang Dean. “Loh? Mbak kok sudah bangun mbak kan harus banyak berbaring.” Dean menatap Clarita bingung. Melihat keadaan Clarita yang baru saja sadar dari pingsannya, Dean menaruh rasa khawatir pada kakak berbeda darah itu. “Gak papa, De. Mba sudah baik-baik saja kok. Lagian mba kan cuman kelelahan saja.” Dean pun hanya menghela napas pasrah, ia tak akan pernah menang jika berdebat dengan Clarita. Ibu dua anak itu memang memiliki kelebihan dalam hal berbicara, bahkan seorang Atma saja pernah dibuat mati kutu dihadapannya. “Ya sudah kamu jalan sekarang gih, nanti keburu siang kamu terlambat masuk loh,” perintah Clarita lembut. Dean mengangguk dan bergerak mengambil cardigannya. Sebelum meninggalkan ruangan Yara, Dean berpamitan dengan Clarita ia mengecup punggung tan
“Hallo?” Atma memutuskan untuk menjawab sambungan telepon itu walau ia sendiri tak tahu siapa sosok dibalik deretan angka yang tidak berpemilik itu.Cukup lama, Atma menunggu sahutan dari seberang sana hingga akhirnya ia mengulangi ucapannya sekali lagi. Hingga sambungan telepon terputus secara sepihak. “Ini maksudnya apa sih? Telepon gak jelas!” Atma hendak membanting benda pipih di tangannya namun belum sampai terlepas ia tersadar jika benda tersebut bukan miliknya.Atma hanya menghabiskan waktu dengan duduk di sofa setelah ia selesai menidurkan Yandra, sedangkan Clarita belum juga sadar dari pingsannya. Ia sesekali memeriksa keadaan Yara yang terbaring lemah dengan selang infus menancap di lengan kirinya. Ia merintih lirih membayangkan jarum kecil yang menembus kulit lembut bayi berusia dua minggu itu.Detik berganti menit, menit berganti jam, kini jam di dinding menunjukkan waktu 12 s
“Bukan urusanmu!” ketus Clarita menyimpan kembali ponselnya. Atma berdecak kesal dan berkata, “Mengapa semua wanita selalu sulit dimengerti. Apa susahnya menjelaskan apa yang sebenarnya ia rasakan?” Clarita mengabaikan pernyataan Atma dan memilih untuk melanjutkan makan siangnya. Atma yang merasa terabaikan pun memilih untuk menjauh dan kembali ke sofa. Ia menatap tumpukan map tak bernafsu. Sedangkan Clarita menikmati makan siang dengan pikiran yang melayang jauh ke mana. ‘Setelah ini apa yang harus aku lakukan? Biaya rumah sakit tentu mahal, belum lagi kehidupanku setelah ini. Aku tak mungkin terus bergantung pada belas kasihan dari Dean ataupun orang lain. Aku tak boleh merepotkan orang lain lagi, tetapi apa yang bisa aku perbuat? Aku hanya lulusan sma dan memiliki anak?’ batin Clarita meratapi nasibnya. Seusai menikmati makan siangnya, ia membuka benda pipih berwarna rose gold itu. Ia membuka jejaring sosial, mencoba mencari pekerjaan yang bisa ia lakukan dari rumah. Mau tidak m
“Ih om nguping ya! Katanya berpendidikan tetapi malah mencuri dengar ucapan orang lain, tanpa izin‼” sindir Dean menatap Atma yang berdiri dengan kepala menyembul di balik tirai pembatas. Atma gugup. ‘Kenapa jadi begini? Perasaan aku bicara dalam hati?’ batin Atma heran dengan dirinya sendiri. Atma memalingkan wajahnya menghindari tatapan menyelidik Dean namun sayang, bukannya aman netranya justru terperangkap pada manik mata milik Clarita. Manik mata berwarna hitam pekat yang begitu menenangkan dan memberikan rasa damai. “Om! Ngapain sih?” tanya Dean bingung pada sikap aneh Atma. Pria itu hanya mengendikkan bahu acuh dan berjalan menjauh. “Ish aneh banget dasar. Memang ya Mba kalau orang sudah umur itu suka gak jelas tingkahnya.” Clarita hanya menggeleng dengan senyum di wajahnya. Clarita dan Dean pun kembali melanjutkan perbincangannya, dua insan berbeda usia itu tampak begitu akrab dan asyik membicarakan hari pertama Dean bekerja di perusahaan yang penuh persaingan itu. Dean wani
Mereka terdiam sejenak dengan kepala tertunduk dan tangan menengadah, meminta pada sang Pemilik Semesta, memanjatkan serangkaian doa baik pada-Nya. “Mau kamu duluan atau mba, De?” tanya Clarita setelah mereka selesai merapikan peralatan sholatnya. “Mba dulu deh, Dean mau main sosmed dulu,” sahut Dean seraya menyalakan ponselnya, Dean memilih untuk duduk kembali di sofa yang tersedia. Clarita pun mengangguk, langkah kaki jenjangnya berjalan menuju almari kecil dan mengambil beberapa peralatan mandi. Sebelum masuk ke dalam kamar mandi, ia menyempatkan diri untuk menengok buah hatinya yang masih terlelap dalam mimpi tenangnya. Wajah tenang mereka seakan menjadi booster semangat untuk Clarita dalam menjalani hidupnya lagi. Clarita mendaratkan kecupan lembut ke kening buah hatinya, kemudian berlalu menuju kamar mandi dan memulai ritual mandinya. Tak butuh waktu lama, Clarita bergegas menyudahi mandinya dan membiarkan Dean membersihkan dirinya pula. Jam menunjukkan pukul 7 pagi, Clarita
“Gak mungkin kenapa, Mba?” tanya Dean dengan tatapan bingung.“Hah? Apa kenapa, De?” tanya Clarita terkejut dengan ucapan Dean.Dean pun menghela napas. “Mba tadi bilang gak mungkin, nah itu kenapa?”Clarita menatap Dean ia pun terdiam sejenak memikirkan jawaban apa yang tepat tanpa harus mengatakan yang sebenarnya pada Dean. “Ah itu, gak mungkin mba bisa hidup kalau gak ada kamu. Bagaimana pun juga kamu banyak membantu mba dan kamu bak malaikat yang dikirim Tuhan untuk membantu dan menolong, Mba,” alibi Clarita pada Dean yang kini menatapnya penuh haru.Dean tak merespon ucapan Clarita, wanita itu hanya mengusap sebelah tangan Clarita. Setelah itu Clarita kembali terdiam, ia memikirkan mobil yang ia lihat beberapa menit lalu. Ia merenung dan mencoba menggabungkan semua kejadian yang terjadi hari ini.Mulai dari telepon dari n
“Apa tujuan mereka datang ke sini? Apa mereka ingin … ah tidak mungkin. Mereka saja membuangku mana mungkin mereka datang ke sini hanya untuk mengajak aku pulang lagi. Tetapi –““Assalamualaikum, aku pulang‼” pekik Dean seraya mengetuk pintu rumah.Clarita pun menghentikan ucapannya, menyimpan kembali ponsel miliknya dan bergegas membuka pintu rumah. “Walaikumsalam,” sahut Clarita seraya membuka pintu.Dean tersenyum, ia berjalan masuk ke dalam rumah dengan tangan yang penuh belanjaan. Clarita pun bergerak membantu membawakan barang belanjaan Dean. Setelah itu menutup pintu dan kembali menguncinya. Kini kedua wanita terpaut tiga tahun itu duduk di ruang tengah dan membuka belanjaannya.“Ini ovennya mba, trus ini alat-alatnya. Nah yang di situ bahan-bahan kuenya. Kalau ada yang kurang nanti mba bilang aja yah, biar De carikan sepulang kerja nanti.