Share

PENCULIKAN

....

Bayu tersenyum. "Tetap aku berterimakasih,"

"Siapa namamu?"

Pemuda culun itu tertegun sejenak. Apa gadis populer itu sedang menanyakan namanya?

"Ba...Bayu. Namaku Bayu."

"Well, Bayu. Aku tidak menolongmu, dan aku tidak membutuhkan buku itu lagi. Jelas?"

Bayu mengangguk. Kemudian dia mundur perlahan. Diiringi tatapan datar Ariza, pemuda itu memasang punggungnya dan berlalu.

Gadis cantik yang selalu mengenakan softlens hitam itu duduk kembali di bangkunya dan kembali memasang earphone. Dia terus asyik dengan dunianya sendiri, sampai tidak menyadari kalau saat itu ada seseorang yang masuk ke dalam kelas dan memperhatikan dirinya.

"Dasar gadis aneh."

Terdengar decak sinis.

Ariza mendengar kalimat itu dengan jelas meski dirinya tengah memakai earphone. Namun dia tidak terusik, terus tenggelam dengan buku yang dibacanya.

Beberapa menit kemudian bel masuk berbunyi nyaring. Para siswa kembali ke dalam kelas masing-masing. Begitu pula dengan penghuni kelas Sebelas IPA A.

Tak lama kemudian, masuklah seorang wanita separuh baya bertubuh langsing dengan riasan yang apik. Dia adalah Ibu Sri, guru Sejarah.

Ariza melepas earphonenya, melirik  pada Zarah yang tadi mengejeknya, kemudian memandang ke arah guru yang baru masuk.

Ibu Sri menyapa para siswa dan memulai pelajarannya. Sepanjang pelajaran, semua siswa terlihat menyimak, kecuali Ariza. Gadis itu menatap ke arah jendela, seperti tengah melamun.

"Sapphire!" suara Ibu Sri menggema dalam ruangan itu. Ariza masih asyik dengan lamunannya. Dia belum menyadari kalau nama pemilik tubuh yang dikendalikannya itu dipanggil oleh sang guru.

"Sapphire Rajasa!"

Gadis itu tersentak. Dia berpaling, menatap sang guru dengan ekspresi bertanya. "Ya?"

Ibu Sri yang merasa tidak diperhatikan menjadi sangat jengkel. "Coba jelaskan pengertian  Pengakuan de facto dan de yure!"

Sunyi sejenak. Zarah tak tahan untuk tidak tersenyum menghina. Dia  puas melihat Sapphire dalam keadaan seperti itu. Ibu Sri sudah hendak melontarkan kemarahannya melihat gadis itu diam saja, namun...

"De Facto dan De Yure berasal dari bahasa Latin. De Facto berarti pengakuan atas suatu pemerintahan sesuai dengan kenyataan sesungguhnya. Sedangkan De Yure adalah pengakuan atas suatu pemerintahan berdasarkan hukum."

Semua siswa di kelas itu memandangnya heran. Ibu Sri jadi terdiam. Dia memang sudah menjelaskan dua pengertian itu barusan, namun dia ingat betul belum memberi tahu kalau ke dua istilah itu berasal dari bahasa Latin.

"Kamu benar." balas sang guru. Dia tidak memiliki alasan lagi untuk marah pada Sapphire, dan kembali melanjutkan pelajarannya. Kali ini Sapphire( Ariza)  memilih untuk terus menatap wajah sang guru, dan bersikap mendengarkan penjelasannya.

***

Bel istrahat ke tiga berbunyi. Guru Sejarah itu melangkah keluar. Para murid Sebelas A segera menyusul untuk mencari angin segar. Ariza menyuruh Riana dan Saron meninggalkannya karna kedua gadis itu sepertinya tidak akan beranjak karna dia juga tidak berinisiatif keluar.

Riana dan Saron melangkah pergi. Saat itu, tersisa Zarah yang sudah siap meninggalkan bangkunya. Dia melangkah menuju pintu, namun tak disangka satu tarikan keras di bahunya membuat gadis itu terbetot ke belakang, dan kemudian... brakkk!

Pintu kelas dibanting tertutup dari dalam. Zarah memandang dengan marah, Ariza tegak merangkap tangan didekat pintu yang sudah tertutup. Tinggal mereka berdua didalam ruangan itu. Entah mengapa Zarah merasa atmosfir di dalam kelas menjadi sangat dingin sehingga tangannya bergetar.

"Apa maumu?" gadis itu membentak Ariza.

"Aku tidak pernah menyukai penghinaan."

"Kau..."

Plakkkk!

Zarah terpelintir ke samping, nyaris menabrak meja. Wajahnya berubah pucat dan meringis kesakitan. Dia ditampar!

Gerakan Ariza luarbiasa cepat sehingga dia terlambat mengantisipasi.

"Kau berani memukulku?!" Zarah menatap gadis itu dengan berang. Dia merasa ada sesuatu yang asin di mulutnya. sudut bibirnya robek, merembeskan darah!

"Kau dengan seenaknya menggunakan lidahmu untuk melukai perasaan orang, lalu mengapa aku tidak boleh balas melukaimu dengan tanganku? Percayalah, sebenarnya lidahmu itu lebih menyakitkan dari tanganku." ucap Ariza dengan kalem. Wajahnya nyaris tanpa emosi. Sulit dipercaya tamparan maut begitu berasal darinya.

"Lain kali," kata Ariza, " Jaga lidahmu, agar anggota tubuhmu yang  lain tidak menerima dampak yang menyakitkan."

Zarah melotot, tak bisa membalas. Ariza melayangkan senyum mengejek sebelum membuka pintu kelas lebar-lebar dan melenggang pergi.

Sekujur tubuh Zarah bergetar penuh emosi. Dia segera mengambil kapas

dari tasnya dan mengusap darah disudut bibir. Tamparan itu pasti akan menghasilkan memar yang hanya akan hilang dalam beberapa hari.

Dia tidak mungkin mengadu pada guru dan membuat dirinya harus di sidang bersama   Sapphire di ruang kesiswaan. Semua jajaran guru dan siswa tahu betul karakter Sapphire (atau Arizq) yang tidak akan bertindak jika tidak diusik. Jika Zarah melapor, sama saja dia mempermalukan dirinya sendiri yang  akan di nilai mencari gara-gara dengan Sapphire!

Ariza melenggang tenang menuju parkiran bersama dua ajudan setianya. Bel pulang telah berbunyi nyaring lima menit yang lalu.

"Kalian duluan saja," gadis itu bertitah pada Saron dan Riana. "Aku akan singgah sebentar di warung martabak Mbok Mirna." lanjutnya. Ariza memang sangat menyukai martabak.

"Kami bisa menunggumu." ucap Saron.

"Aku tidak suka ditunggu-tunggu seperti itu."

"Ariza..." Riana menelan luda keberatan.

"Kalian tahu aku kan? Aku jauh lebih pandai ilmu bela diri daripada Sapphire..."

"Namun kita tidak pernah tahu kapan Sapphire mengambil alih tubuhmu. Kalau terjadi apa-apa di jalan?" Riana masih bersikeras.

"Sapphire tidak pernah muncul saat aku sedang sadar penuh." tandas Ariza. "Tenang saja." suaranya sedikit melunak.

Riana dan Saron tak bisa berbuat banyak. Mereka akhirnya menyerah dan masuk ke dalam mobil. Rose sebenarnya ingin mendekati Ariza untuk menjabarkan hasil penyelidikannya mengenai Zarah. Namun dia cukup tahu diri untuk tidak mendekati sang ketua di lingkungan sekolah.

Sementara itu, Riana dan Saron sudah mulai berkendara dalam mobil yang sama, melesat mulus keluar dari pekarangan sekolah. Saron yang menyetir.

Beberapa menit berlalu dan keheningan dipecah oleh suara Saron. "Aku masih tidak mengerti, apa memang Sapphire mengidap kepribadian ganda?"

Diantara mereka berdua, Riana memang jauh lebih mengenal Sapphire. Dia sudah berteman dengan Sapphire semenjak gadis itu berusia 8 tahun. Saron baru muncul di kehidupan Sapphire saat gadis itu berusia 15 tahun, memenuhi permintaan ayahnya untuk menjadi pengawal pribadi putri diplomat itu bersama Riana.

"Ini kepribadian ganda dalam kasus berbeda," tanggap Riana. "Aku berteman dengannya semenjak kecil. Sapphire seorang gadis yang kurang kasih sayang. Ibu yang amat dicintainya meninggal saat dia baru menjelang dua belas tahun. Ayahnya sangat sibuk, dan jarang sekali bertemu dengan dirinya. Dia tumbuh tanpa kasih sayang, dan sempat mengalami depresi hebat karna kematian ibunya. Dia bahkan sering melukai tangannya dengan silet apabila sedang depresi. Ibu dan saudara tirinya amat dingin dan kaku. Dan pada akhirnya, kepribadian lain yang lebih kuat itu muncul saat dia berusia 13 tahun."

"Berarti kepribadian lain itu baru bersamanya semenjak 4 tahun lalu?"

"Ya. Tetapi setelah aku mempelajarinya, tidak ada kasus kepribadian ganda seperti dirinya. Sapphire dan kepribadian Ariza saling berbagi ingatan. Meskipun kita membuat perjanjian dengan Ariza, pada waktu berikut ketika kita bertemu dengan Sapphire, dia tetap mengingat perjanjian itu. Mereka seperti memiliki pikiran yang sama, dengan jiwa yang berbeda. Sedangkan dalam kasus DID, ketika kepribadian lain bangkit, pribadi satunya tertidur dan tidak akan tahu apa yang terjadi. Memori pribadi ganda dari penderita DID Tidak berkaitan. itu sangat berbeda dengan kasus Sapphire ini. Pada akhirnya, alih-alih menyebut sebagai kepribadian ganda,  aku lebih suka menyebut dia satu tubuh yang didiami dua jiwa." jelas Riana.

"Ariza dan Sapphire. Jadi siapa pemilik tubuh yang asli?"

"Sapphire. Bukankah sudah jelas?" Riana memutar bola matanya, sedangkan Saron terdiam, berusaha mencerna apa yang baru saja didengarnya. "Selain kita dan Kristo, apa ada orang lain yang tahu keadaan itu?"

Riana menggeleng. "Bahkan ayahnya pun tidak."

***

Ariza melaju tenang dengan kecepatan sedang. Dia sudah berkendara sejauh 500 meter dari Persada Bangsa. 500 meter lagi dia akan sampai di warung Mbok Mirna. Gadis ini menambah kecepatan kendaraannya.

Saat itu tiba-tiba sebuah mobil berwarna hitam menyalip dan menghadang jalannya. Ariza tersentak kaget, dia membelokan kemudi menghindari tabrakan secara spontan. Gadis itu berakhir di pagar pembatas jalan, jatuh dan terguling bersama sepeda motornya.

Semua terjadi begitu cepat, dua sosok lelaki kekar keluar dari mobil dan segera mengangkat tubuh Ariza yang pingsan masuk ke dalam mobil, dan kemudian alat transportasi itu pun melaju pergi dengan kecepatan kilat. Ketika orang-orang disekitar situ menyadari apa yang terjadi, mobil hitam itu telah lenyap di kelokan jalan, meninggalkan sepeda motor sport milik Ariza yang berkelukuran!

***

"Mengapa dia belum tiba juga?" Riana   berdiri menghadap gerbang rumah besar keluarga Sapphire itu dengan khawatir. Saron sudah lebih dulu masuk.

Firasatnya yang peka terus-terusan meneriakkan hal buruk di kepalanya. Gadis cantik yang merupakan pengawal pribadi Sapphire itu mengeluarkan handphonenya dan mengecek keberadaan gadis itu lewat pelacak yang memang mereka pasang di handphone sang putri diplomat dengan seizinnya.

Kening Riana mengerut. Lokasi yang ditampilkan map nya menunjukkan kalau Ariza tidak dalam perjalanan pulang, namun melaju jauh ke Selatan.

"Ada masalah?" Saron muncul di belakangnya, dia belum sempat berganti pakaian.

"Ada yang tidak beres, Ariza tidak menuju kemari," Riana mulai berspekulasi dalam benaknya. Dia segera memberi isyarat pada Saron. Mereka berganti pakaian kurang dari 30 detik, Ketika mereka kembali ke garasi, keduanya sudah mengenakan jeans hitam, sepatu, dan jaket hoodie. Saron dan Riana segera melaju keluar dari halaman rumah dengan mengendarai sepeda motor sport masing-masing.

Mereka melaju dengan cepat menuju tempat yang ditunjukan dalam aplikasi pelacak di handphone masing-masing.

Satu jam kemudian mereka tiba di kompleks perumahan elit di daerah Selatan. Sampai disini, petunjuk keberadaan Safira itu mati.

Riana dan Saron berhenti, lalu saling pandang.

"Ada orang yang sengaja mematikannya. Ariza tidak pernah merahasiakan keberadaannya. Gadis itu dalam bahaya..." Riana bergumam.

"Kita harus menemukannya." kecam Saron. Hebatnya, dua gadis itu tidak menunjukkan kepanikan mereka dan tetap bersikap tenang. Itu memang adalah salah satu aturan yang diterapkan ketika mereka masih dalam masa pelatihan. Tetap bersikap tenang dalam situasi kacau, agar pikiran tetap jernih dalam menganalisis keadaan dan mencari jalan pemecahan. Saron dan Riana memang sudah dilatih orangtua masing-masing untuk menjadi seorang pengawal pribadi semenjak berusia 10 tahun.

Tiba-tiba sebuah mobil lewat didepan mereka, dua gadis bermata tajam itu saling lirik. Mereka mengenali orang yang berada di kursi penumpang, namun tampaknya orang itu tidak mengenali mereka. Mungkin karna penampilan Saron dan Riana yang sangat berbeda, lagipula dia juga tidak menyempatkan diri menoleh ke arah dua ajudan Sapphire itu.

Mobil tersebut berhenti didepan sebuah rumah yang bagus, satpam membukakan gerbang. Mobil itu perlahan masuk ke dalam. Orang di kursi penumpang bergerak turun, melangkah masuk ke dalam rumah.

"Zarah Alexa..." Riana bergumam pelan.

***

Sapphire merasa kepalanya pening sekali.  Sekujur tubuhnya terasa sakit dan ada beberapa bagian tubuhnya yang lecet.

Dia membuka matanya dan perlahan-lahan mulai menatap sekeliling. Dia berada disebuah ruangan suram, penuh barang-barang bekas dan sangat kotor. Tikus-tikus mencicit berlarian di sudut tempat itu.

Sapphire berusaha menggerakkan tangannya, dan detik itu juga dia menyadari kedua tangannya diikat kebelakang dengan tambang, ujung tambang itu dililitkan pada tiang yang disandarinya tadi.

"Ariza... Karna keras kepalamu, aku yang menanggung akibat!" gerutu Sapphire yang sekarang memegang kendali atas tubuhnya. Dia berusaha melepaskan diri, namun dia tidak dapat melakukan apapun. Ikatan itu sangat kuat. "Sial." Sapphire merutuk.

Pintu ruangan terbuka, membawa cahaya matahari dari luar, membuat Sapphire yakin bangunan ini bukan ruangan dalam sebuah rumah, namun sebuah bangunan sendiri. Mungkin gudang.

Kedua mata yang dilapisi softlens hitam itu menyipit, ketika tiga orang melangkah masuk, satu diantaranya segera menutup pintu dari dalam.

Orang paling depan sepertinya adalah seorang perempuan. Dari bentuk tubuhnya Sapphire tahu dia masih sangat muda. Perempuan itu memakai jaket hoodie yang menutupi kepalanya, dia juga memakai masker hitam tebal yang menyamarkan wajahnya.

Dibelakangnya berdiri dua orang pria  kekar yang bersikap sebagai bodyguard.

Gadis itu berjongkok didepan Sapphire yang duduk terikat. Sepasang dibalik masker hitam itu tampak lembut, namun terkesan mematikan. Dia menatap wajah Sapphire dalam-dalam.

"Itu memang.... kamu." gumamnya, nyaris tak terdengar.

"Siapa kau?" tanya Sapphire penuh tuntutan.

Gadis itu berdecak sinis. "Kau tidak perlu tahu siapa diriku. Aku hanya ingin kau memberikan sesuatu untukku."

"Apa maksudmu?"

"NILAKANDI." kata gadis bermasker pelan mendesis.

"Aku tidak memiliki benda semacam itu!" jawab Sapphire.

"Sekarang kau sudah pintar berbohong rupanya. Aku bertanya-tanya mengapa kau bisa selemah ini? Apakah kekuatan internalmu memang sudah hilang, Putri?"

Sapphire mengerutkan keningnya tidak mengerti. Putri? Siapa Putri?

Dia mulai curiga gadis didepannya telah salah menculik orang.

"Namaku Sapphire, bukan Putri." tandas Sapphire sambil menatap tajam sepasang mata kecoklatan gadis didepannya.

"Kau bisa merubah nama seribu kali, namun aku tidak akan bisa ditipu. Meskipun kau berusaha menyamarkan warna matamu, kau tetap kau!"

Gadis itu menjambak rambut panjang dan lurus milik Sapphire. "Jawab pertanyaanku! Dimana kau menyembunyikan benda itu?!"

Sapphire tersenyum miring. "Dasar gila!"

Plakk!!

Satu tamparan melayang. Sudut bibir Sapphire mengeluarkan darah. "Kau akan menyesali ini, perempuan sinting." Ketua Poison itu menampilkan seringai.

"Keangkuhan yang masih sama." Mata lawannya menyipit. Gadis bermasker itu memencet kedua pipi Sapphire dengan tangan kanannya. "Tidak tahukah kamu bahwa hidup matimu ada ditanganku sekarang?" dia melepaskan tangannya dengan kasar.

"Benarkah? Apa dirimu sudah menyamai  Tuhan?"

Gadis bermasker itu tertawa. "Tidak masalah jika kau belum membuka mulut, Tirza. Aku akan datang lagi dengan siksaan yang lebih parah lagi..."

"Kau sudah hendak pergi? Bahkan ini belum seberapa!" Sapphire menantang sambil tertawa pahit. "Kau perempuan gila yang aneh!"

"Tutup mulutmu!" Gadis bermata coklat itu melayangkan tangannya untuk kedua kali.

Plakk! Tamparan itu sangat keras, sehingga kepala Sapphire terbentur ke tiang. Gadis itu pingsan tanpa mengerang sedikitpun.

"Tidak kusangka kau selemah ini. Dimana kekuatan dan keperkasaanmu dulu, heh?" suara gadis bermasker itu mendengus memburu, menahan luapan emosinya yang belum sepenuhnya terlampiaskan.

"Jaga gudang ini!" titahnya pada dua bodyguard itu sambil melangkah pergi. Dua lelaki kekar itu membungkuk, ikut keluar, mereka berjaga-jaga didepan pintu.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status