....
Bayu tersenyum. "Tetap aku berterimakasih,""Siapa namamu?"Pemuda culun itu tertegun sejenak. Apa gadis populer itu sedang menanyakan namanya?"Ba...Bayu. Namaku Bayu.""Well, Bayu. Aku tidak menolongmu, dan aku tidak membutuhkan buku itu lagi. Jelas?"Bayu mengangguk. Kemudian dia mundur perlahan. Diiringi tatapan datar Ariza, pemuda itu memasang punggungnya dan berlalu.Gadis cantik yang selalu mengenakan softlens hitam itu duduk kembali di bangkunya dan kembali memasang earphone. Dia terus asyik dengan dunianya sendiri, sampai tidak menyadari kalau saat itu ada seseorang yang masuk ke dalam kelas dan memperhatikan dirinya."Dasar gadis aneh."Terdengar decak sinis.Ariza mendengar kalimat itu dengan jelas meski dirinya tengah memakai earphone. Namun dia tidak terusik, terus tenggelam dengan buku yang dibacanya.Beberapa menit kemudian bel masuk berbunyi nyaring. Para siswa kembali ke dalam kelas masing-masing. Begitu pula dengan penghuni kelas Sebelas IPA A.Tak lama kemudian, masuklah seorang wanita separuh baya bertubuh langsing dengan riasan yang apik. Dia adalah Ibu Sri, guru Sejarah.Ariza melepas earphonenya, melirik pada Zarah yang tadi mengejeknya, kemudian memandang ke arah guru yang baru masuk.Ibu Sri menyapa para siswa dan memulai pelajarannya. Sepanjang pelajaran, semua siswa terlihat menyimak, kecuali Ariza. Gadis itu menatap ke arah jendela, seperti tengah melamun."Sapphire!" suara Ibu Sri menggema dalam ruangan itu. Ariza masih asyik dengan lamunannya. Dia belum menyadari kalau nama pemilik tubuh yang dikendalikannya itu dipanggil oleh sang guru."Sapphire Rajasa!"Gadis itu tersentak. Dia berpaling, menatap sang guru dengan ekspresi bertanya. "Ya?"Ibu Sri yang merasa tidak diperhatikan menjadi sangat jengkel. "Coba jelaskan pengertian Pengakuan de facto dan de yure!"Sunyi sejenak. Zarah tak tahan untuk tidak tersenyum menghina. Dia puas melihat Sapphire dalam keadaan seperti itu. Ibu Sri sudah hendak melontarkan kemarahannya melihat gadis itu diam saja, namun..."De Facto dan De Yure berasal dari bahasa Latin. De Facto berarti pengakuan atas suatu pemerintahan sesuai dengan kenyataan sesungguhnya. Sedangkan De Yure adalah pengakuan atas suatu pemerintahan berdasarkan hukum."Semua siswa di kelas itu memandangnya heran. Ibu Sri jadi terdiam. Dia memang sudah menjelaskan dua pengertian itu barusan, namun dia ingat betul belum memberi tahu kalau ke dua istilah itu berasal dari bahasa Latin."Kamu benar." balas sang guru. Dia tidak memiliki alasan lagi untuk marah pada Sapphire, dan kembali melanjutkan pelajarannya. Kali ini Sapphire( Ariza) memilih untuk terus menatap wajah sang guru, dan bersikap mendengarkan penjelasannya.***Bel istrahat ke tiga berbunyi. Guru Sejarah itu melangkah keluar. Para murid Sebelas A segera menyusul untuk mencari angin segar. Ariza menyuruh Riana dan Saron meninggalkannya karna kedua gadis itu sepertinya tidak akan beranjak karna dia juga tidak berinisiatif keluar.Riana dan Saron melangkah pergi. Saat itu, tersisa Zarah yang sudah siap meninggalkan bangkunya. Dia melangkah menuju pintu, namun tak disangka satu tarikan keras di bahunya membuat gadis itu terbetot ke belakang, dan kemudian... brakkk!Pintu kelas dibanting tertutup dari dalam. Zarah memandang dengan marah, Ariza tegak merangkap tangan didekat pintu yang sudah tertutup. Tinggal mereka berdua didalam ruangan itu. Entah mengapa Zarah merasa atmosfir di dalam kelas menjadi sangat dingin sehingga tangannya bergetar."Apa maumu?" gadis itu membentak Ariza."Aku tidak pernah menyukai penghinaan.""Kau..."Plakkkk!Zarah terpelintir ke samping, nyaris menabrak meja. Wajahnya berubah pucat dan meringis kesakitan. Dia ditampar!Gerakan Ariza luarbiasa cepat sehingga dia terlambat mengantisipasi."Kau berani memukulku?!" Zarah menatap gadis itu dengan berang. Dia merasa ada sesuatu yang asin di mulutnya. sudut bibirnya robek, merembeskan darah!"Kau dengan seenaknya menggunakan lidahmu untuk melukai perasaan orang, lalu mengapa aku tidak boleh balas melukaimu dengan tanganku? Percayalah, sebenarnya lidahmu itu lebih menyakitkan dari tanganku." ucap Ariza dengan kalem. Wajahnya nyaris tanpa emosi. Sulit dipercaya tamparan maut begitu berasal darinya."Lain kali," kata Ariza, " Jaga lidahmu, agar anggota tubuhmu yang lain tidak menerima dampak yang menyakitkan."Zarah melotot, tak bisa membalas. Ariza melayangkan senyum mengejek sebelum membuka pintu kelas lebar-lebar dan melenggang pergi.Sekujur tubuh Zarah bergetar penuh emosi. Dia segera mengambil kapasdari tasnya dan mengusap darah disudut bibir. Tamparan itu pasti akan menghasilkan memar yang hanya akan hilang dalam beberapa hari.Dia tidak mungkin mengadu pada guru dan membuat dirinya harus di sidang bersama Sapphire di ruang kesiswaan. Semua jajaran guru dan siswa tahu betul karakter Sapphire (atau Arizq) yang tidak akan bertindak jika tidak diusik. Jika Zarah melapor, sama saja dia mempermalukan dirinya sendiri yang akan di nilai mencari gara-gara dengan Sapphire!Ariza melenggang tenang menuju parkiran bersama dua ajudan setianya. Bel pulang telah berbunyi nyaring lima menit yang lalu."Kalian duluan saja," gadis itu bertitah pada Saron dan Riana. "Aku akan singgah sebentar di warung martabak Mbok Mirna." lanjutnya. Ariza memang sangat menyukai martabak."Kami bisa menunggumu." ucap Saron."Aku tidak suka ditunggu-tunggu seperti itu.""Ariza..." Riana menelan luda keberatan."Kalian tahu aku kan? Aku jauh lebih pandai ilmu bela diri daripada Sapphire...""Namun kita tidak pernah tahu kapan Sapphire mengambil alih tubuhmu. Kalau terjadi apa-apa di jalan?" Riana masih bersikeras."Sapphire tidak pernah muncul saat aku sedang sadar penuh." tandas Ariza. "Tenang saja." suaranya sedikit melunak.Riana dan Saron tak bisa berbuat banyak. Mereka akhirnya menyerah dan masuk ke dalam mobil. Rose sebenarnya ingin mendekati Ariza untuk menjabarkan hasil penyelidikannya mengenai Zarah. Namun dia cukup tahu diri untuk tidak mendekati sang ketua di lingkungan sekolah.Sementara itu, Riana dan Saron sudah mulai berkendara dalam mobil yang sama, melesat mulus keluar dari pekarangan sekolah. Saron yang menyetir.Beberapa menit berlalu dan keheningan dipecah oleh suara Saron. "Aku masih tidak mengerti, apa memang Sapphire mengidap kepribadian ganda?"Diantara mereka berdua, Riana memang jauh lebih mengenal Sapphire. Dia sudah berteman dengan Sapphire semenjak gadis itu berusia 8 tahun. Saron baru muncul di kehidupan Sapphire saat gadis itu berusia 15 tahun, memenuhi permintaan ayahnya untuk menjadi pengawal pribadi putri diplomat itu bersama Riana."Ini kepribadian ganda dalam kasus berbeda," tanggap Riana. "Aku berteman dengannya semenjak kecil. Sapphire seorang gadis yang kurang kasih sayang. Ibu yang amat dicintainya meninggal saat dia baru menjelang dua belas tahun. Ayahnya sangat sibuk, dan jarang sekali bertemu dengan dirinya. Dia tumbuh tanpa kasih sayang, dan sempat mengalami depresi hebat karna kematian ibunya. Dia bahkan sering melukai tangannya dengan silet apabila sedang depresi. Ibu dan saudara tirinya amat dingin dan kaku. Dan pada akhirnya, kepribadian lain yang lebih kuat itu muncul saat dia berusia 13 tahun.""Berarti kepribadian lain itu baru bersamanya semenjak 4 tahun lalu?""Ya. Tetapi setelah aku mempelajarinya, tidak ada kasus kepribadian ganda seperti dirinya. Sapphire dan kepribadian Ariza saling berbagi ingatan. Meskipun kita membuat perjanjian dengan Ariza, pada waktu berikut ketika kita bertemu dengan Sapphire, dia tetap mengingat perjanjian itu. Mereka seperti memiliki pikiran yang sama, dengan jiwa yang berbeda. Sedangkan dalam kasus DID, ketika kepribadian lain bangkit, pribadi satunya tertidur dan tidak akan tahu apa yang terjadi. Memori pribadi ganda dari penderita DID Tidak berkaitan. itu sangat berbeda dengan kasus Sapphire ini. Pada akhirnya, alih-alih menyebut sebagai kepribadian ganda, aku lebih suka menyebut dia satu tubuh yang didiami dua jiwa." jelas Riana."Ariza dan Sapphire. Jadi siapa pemilik tubuh yang asli?""Sapphire. Bukankah sudah jelas?" Riana memutar bola matanya, sedangkan Saron terdiam, berusaha mencerna apa yang baru saja didengarnya. "Selain kita dan Kristo, apa ada orang lain yang tahu keadaan itu?"Riana menggeleng. "Bahkan ayahnya pun tidak."***Ariza melaju tenang dengan kecepatan sedang. Dia sudah berkendara sejauh 500 meter dari Persada Bangsa. 500 meter lagi dia akan sampai di warung Mbok Mirna. Gadis ini menambah kecepatan kendaraannya.Saat itu tiba-tiba sebuah mobil berwarna hitam menyalip dan menghadang jalannya. Ariza tersentak kaget, dia membelokan kemudi menghindari tabrakan secara spontan. Gadis itu berakhir di pagar pembatas jalan, jatuh dan terguling bersama sepeda motornya.Semua terjadi begitu cepat, dua sosok lelaki kekar keluar dari mobil dan segera mengangkat tubuh Ariza yang pingsan masuk ke dalam mobil, dan kemudian alat transportasi itu pun melaju pergi dengan kecepatan kilat. Ketika orang-orang disekitar situ menyadari apa yang terjadi, mobil hitam itu telah lenyap di kelokan jalan, meninggalkan sepeda motor sport milik Ariza yang berkelukuran!***"Mengapa dia belum tiba juga?" Riana berdiri menghadap gerbang rumah besar keluarga Sapphire itu dengan khawatir. Saron sudah lebih dulu masuk.Firasatnya yang peka terus-terusan meneriakkan hal buruk di kepalanya. Gadis cantik yang merupakan pengawal pribadi Sapphire itu mengeluarkan handphonenya dan mengecek keberadaan gadis itu lewat pelacak yang memang mereka pasang di handphone sang putri diplomat dengan seizinnya.Kening Riana mengerut. Lokasi yang ditampilkan map nya menunjukkan kalau Ariza tidak dalam perjalanan pulang, namun melaju jauh ke Selatan."Ada masalah?" Saron muncul di belakangnya, dia belum sempat berganti pakaian."Ada yang tidak beres, Ariza tidak menuju kemari," Riana mulai berspekulasi dalam benaknya. Dia segera memberi isyarat pada Saron. Mereka berganti pakaian kurang dari 30 detik, Ketika mereka kembali ke garasi, keduanya sudah mengenakan jeans hitam, sepatu, dan jaket hoodie. Saron dan Riana segera melaju keluar dari halaman rumah dengan mengendarai sepeda motor sport masing-masing.Mereka melaju dengan cepat menuju tempat yang ditunjukan dalam aplikasi pelacak di handphone masing-masing.Satu jam kemudian mereka tiba di kompleks perumahan elit di daerah Selatan. Sampai disini, petunjuk keberadaan Safira itu mati.Riana dan Saron berhenti, lalu saling pandang."Ada orang yang sengaja mematikannya. Ariza tidak pernah merahasiakan keberadaannya. Gadis itu dalam bahaya..." Riana bergumam."Kita harus menemukannya." kecam Saron. Hebatnya, dua gadis itu tidak menunjukkan kepanikan mereka dan tetap bersikap tenang. Itu memang adalah salah satu aturan yang diterapkan ketika mereka masih dalam masa pelatihan. Tetap bersikap tenang dalam situasi kacau, agar pikiran tetap jernih dalam menganalisis keadaan dan mencari jalan pemecahan. Saron dan Riana memang sudah dilatih orangtua masing-masing untuk menjadi seorang pengawal pribadi semenjak berusia 10 tahun.Tiba-tiba sebuah mobil lewat didepan mereka, dua gadis bermata tajam itu saling lirik. Mereka mengenali orang yang berada di kursi penumpang, namun tampaknya orang itu tidak mengenali mereka. Mungkin karna penampilan Saron dan Riana yang sangat berbeda, lagipula dia juga tidak menyempatkan diri menoleh ke arah dua ajudan Sapphire itu.Mobil tersebut berhenti didepan sebuah rumah yang bagus, satpam membukakan gerbang. Mobil itu perlahan masuk ke dalam. Orang di kursi penumpang bergerak turun, melangkah masuk ke dalam rumah."Zarah Alexa..." Riana bergumam pelan.***Sapphire merasa kepalanya pening sekali. Sekujur tubuhnya terasa sakit dan ada beberapa bagian tubuhnya yang lecet.Dia membuka matanya dan perlahan-lahan mulai menatap sekeliling. Dia berada disebuah ruangan suram, penuh barang-barang bekas dan sangat kotor. Tikus-tikus mencicit berlarian di sudut tempat itu.Sapphire berusaha menggerakkan tangannya, dan detik itu juga dia menyadari kedua tangannya diikat kebelakang dengan tambang, ujung tambang itu dililitkan pada tiang yang disandarinya tadi."Ariza... Karna keras kepalamu, aku yang menanggung akibat!" gerutu Sapphire yang sekarang memegang kendali atas tubuhnya. Dia berusaha melepaskan diri, namun dia tidak dapat melakukan apapun. Ikatan itu sangat kuat. "Sial." Sapphire merutuk.Pintu ruangan terbuka, membawa cahaya matahari dari luar, membuat Sapphire yakin bangunan ini bukan ruangan dalam sebuah rumah, namun sebuah bangunan sendiri. Mungkin gudang.Kedua mata yang dilapisi softlens hitam itu menyipit, ketika tiga orang melangkah masuk, satu diantaranya segera menutup pintu dari dalam.Orang paling depan sepertinya adalah seorang perempuan. Dari bentuk tubuhnya Sapphire tahu dia masih sangat muda. Perempuan itu memakai jaket hoodie yang menutupi kepalanya, dia juga memakai masker hitam tebal yang menyamarkan wajahnya.Dibelakangnya berdiri dua orang pria kekar yang bersikap sebagai bodyguard.Gadis itu berjongkok didepan Sapphire yang duduk terikat. Sepasang dibalik masker hitam itu tampak lembut, namun terkesan mematikan. Dia menatap wajah Sapphire dalam-dalam."Itu memang.... kamu." gumamnya, nyaris tak terdengar."Siapa kau?" tanya Sapphire penuh tuntutan.Gadis itu berdecak sinis. "Kau tidak perlu tahu siapa diriku. Aku hanya ingin kau memberikan sesuatu untukku.""Apa maksudmu?""NILAKANDI." kata gadis bermasker pelan mendesis."Aku tidak memiliki benda semacam itu!" jawab Sapphire."Sekarang kau sudah pintar berbohong rupanya. Aku bertanya-tanya mengapa kau bisa selemah ini? Apakah kekuatan internalmu memang sudah hilang, Putri?"Sapphire mengerutkan keningnya tidak mengerti. Putri? Siapa Putri?Dia mulai curiga gadis didepannya telah salah menculik orang."Namaku Sapphire, bukan Putri." tandas Sapphire sambil menatap tajam sepasang mata kecoklatan gadis didepannya."Kau bisa merubah nama seribu kali, namun aku tidak akan bisa ditipu. Meskipun kau berusaha menyamarkan warna matamu, kau tetap kau!"Gadis itu menjambak rambut panjang dan lurus milik Sapphire. "Jawab pertanyaanku! Dimana kau menyembunyikan benda itu?!"Sapphire tersenyum miring. "Dasar gila!"Plakk!!Satu tamparan melayang. Sudut bibir Sapphire mengeluarkan darah. "Kau akan menyesali ini, perempuan sinting." Ketua Poison itu menampilkan seringai."Keangkuhan yang masih sama." Mata lawannya menyipit. Gadis bermasker itu memencet kedua pipi Sapphire dengan tangan kanannya. "Tidak tahukah kamu bahwa hidup matimu ada ditanganku sekarang?" dia melepaskan tangannya dengan kasar."Benarkah? Apa dirimu sudah menyamai Tuhan?"Gadis bermasker itu tertawa. "Tidak masalah jika kau belum membuka mulut, Tirza. Aku akan datang lagi dengan siksaan yang lebih parah lagi...""Kau sudah hendak pergi? Bahkan ini belum seberapa!" Sapphire menantang sambil tertawa pahit. "Kau perempuan gila yang aneh!""Tutup mulutmu!" Gadis bermata coklat itu melayangkan tangannya untuk kedua kali.Plakk! Tamparan itu sangat keras, sehingga kepala Sapphire terbentur ke tiang. Gadis itu pingsan tanpa mengerang sedikitpun."Tidak kusangka kau selemah ini. Dimana kekuatan dan keperkasaanmu dulu, heh?" suara gadis bermasker itu mendengus memburu, menahan luapan emosinya yang belum sepenuhnya terlampiaskan."Jaga gudang ini!" titahnya pada dua bodyguard itu sambil melangkah pergi. Dua lelaki kekar itu membungkuk, ikut keluar, mereka berjaga-jaga didepan pintu.***Putri Tirza Antara, berjalan dengan wajah tersenyum menemui Pangeran Avdar. Gadis itu terlihat penuh dengan aura bangsawannya yang murni, anggun dalam pakaian putri dengan kerah tunggi dan jubah menjuntai biru di hiasi batu permata halus."Kau sudah kembali," Pangeran bermata hitam itu membalas senyum Tirza, meraih tangan gadis itu dan membimbingnya duduk di pendopo gedung putra mahkota."Semuanya berjalan dengan baik,""Aku sudah mendengarnya, dan aku turut bahagia untukmu, Tirza." Sang Pangeran menghela napas sebentar, lalu menatap Tirza dengan pandangan yang penuh damba sekaligus tak percaya, "Kau kembali padaku, sesuai janjimu." ujarnya.Tirza mengangguk. "Seorang ksatria harus memegang janjinya.""Apakah dengan ini kau bersedia..." Pangeran Avdar menggantung kalimatnya, menatap dengan lekat sepasang mata biru indah gadis di hadapannya lalu melanjutkan dengan hati -hati,"Apa kau bersedia untuk menikah denganku?"Tirza tak langsung menjawab pertanyaan penuh harap itu. Gadis itu ta
Keadaan kerajaan menjadi terkendali. Frazia Farza di jebloskan ke dalam penjara untuk menerima penghukuman besok. Semua bangsawan di perintahkan sang ratu untuk kembali ke kediaman masing-masing. Termasuk keluarga Bazlam yang kini di awasi oleh kesatria ksatria Sofraz, padahal kediaman mereka berada satu lingkungan dalam istana."Bagaimana kau bisa melepaskan diri?" tanya Angin saat di ruang pengadilan itu yang tersisa tinggalah dia, sang ratu, Tirza Antara dan kakaknya Davar Antara."Davar membantu hamba dengan Nilakandi Adavara. Dengan permata itu juga Davar menyembuhkan Ratu bersama dengan guru." jawab Tirza yang sudah mendengar penjelasan singkat kakaknya tadi ketika Pangeran tengah bertarung dengan Jelaba."Dimana guru sekarang?" tanya Angin."Guru Amba telah kembali, Yang Mulia. Dia percaya Yang Mulia dan Tirza dapat menyelesaikan ini.""Aku sudah lama tidak menjenguknya." Angin mengucapkannya dengan penuh sesal. Dia melihat pada sang ibu yang tersenyum lembut padanya, sang pange
Meski tahu, hukuman yang paling berat yang akan dilemparkan adalah hukuman mati, Tirza tetap merasakan sakit yang nyeri didadaya ketika dia mendengar Angin Nava Satra menjatuhkan hukuman itu. Pandangan gadis itu kosong.Angin Nava Satra merasa dadanya sesak, dia menahan diri untuk tidak jatuh saat itu. Tangannya mengangkat palu emas, siap mengesahkan hukuman."Pangeran."Ada yang memanggil. Angin Nava Satra mengangkat kepalanya yang tertunduk. Dia mengedarkan pandang, dan saat matanya menubruk suatu objek, sang pangeran merasa terhenyak, Ratu Sofraz Agatara Vidma berjalan masuk dari pintu ruang pengadilan diikuti Davar Antara. Sang Ratu masih memakai pakaian tidur putih bersih tanpa atribut bangsawan apapun. Perempuan itu terlihat polos, tapi langkahnya yang anggun tetap menunjukkan ketegasannya sebagai seorang ratu. Betapapun terkejutnya Pangeran Angin, yang lebih terkejut di sana adalah Frazia Farza Purdam. Lebih lebih para tetua kerajaan yang tidak menyangka bahwa sang ratu akan sem
Saat Angin Nava Satra tiba di balariung istana, rupanya para jajaran petinggi istana telah ada disana, Frazia Farza pun telah turut hadir.Nilam Rencana, Chandrafala dan Adira turut pula bergabung di balariung.Tirza berlutut, sepasang tangannya di buhul oleh rantai Zora. Dia tidak melakukan banyak gerakan, hanya menunduk saja, saat dia mendengar langkah kaki Angin, gadis itu mengangkat kepala, menyaksikan pangeran Sofraz itu berdiri di depannya.Angin Nava Satra sedikit mengernyit ketika melihat Tirza tersenyum ketika memandangnya. "Kau kembali, akhirnya kau kembali." Dia tersenyum dengan lega seolah-olah telah melepaskan beban di dadanya. "Tirza, kau melakukan banyak hal di luar batas. Apakah kau menyadari kesalahanmu?" Angin bertanya."Sebutkan kesalahanku, Yang Mulia. Aku tidak dapat mengetahui mana yang merupakan salahku dan yang bukan." jawabnya dengan berani."Kau menyusup ke Istana Sofraz, bahkan menutup portal dimensi sehingga aku aku tidak bisa secepatnya kembali ke negeri
Bukan hal sulit bagi kedua orang yang sudah mengenal seluk beluk istana Sofraz semenjak mereka kecil, untuk menyusup ke dalam benteng istana.Malam yang gelap membantu Tirza dan Davar yang memakai pakaian malam hitam menyelinap di lorong-lorong menuju gedung kerajaan.Gedung Kerajaan adalah gedung utama dari semua bangunan yang ada dalam benteng istana.Di gedung inilah terdapat Balariung istana, ruang makan kerajaan, penjamuan tamu, dan kamar raja. Hanya saja gedung ini sering kosong karna sang raja telah tiada.Davar membawa Tirza menyusup di taman gedung kerajaan, sesekali mereka merayap untuk menghindari para ksatria yang berjaga.Di taman itu rupanya ada sebuah jalan rahasia yang tertutup dengan rerumputan. Davar meraba-raba, lalu membuka bulatan logam seukuran tubuh orang dewasa yang menempel di dinding penuh rumput. "Masuk,"pintanya.Tirza masuk lebih dulu diikuti Davar yang dengan cepat menutup jalan rahasia itu dengan bulatan logam sebelumnya dari dalam.Saat masuk, Tirza d
Menutup portal hanya bisa dilakukan oleh orang yang membuka portal itu sendiri, Angin Nava Satra. Bagaimana bisa Frazia melakukan itu?"Aku bisa melakukan banyak hal," Seolah tahu apa yang ada di pikiran Tirza Antara, wanita tua yang masih terlihat muda itu bicara."Kau memang berniat mengambil alih tahta..." gumam Tirza, dengan pandangan tak habis pikir.Mendengar itu, Frazia tertawa. "Aku tidak mengambil alih, sejak awal, tahta Sofraz adalah milikku. Jangan menjadi naif.""Kau juga yang menjebakku sehingga aku difitnah sebagai orang yang meracuni Ratu, bukan?"Tanpa ragu, Frazia tertawa dan mengangguk. "Lalu, kamu mau apa? Berteriak mengatakan kalau aku yang meracun Agatara? Tidak akan ada yang mempercayai seorang pengkhianat sepertimu."Tirza sadar akan hal itu, dia tidak bisa menuding Frazia begitu saja. Dia membutuhkan bukti."Aku tidak peduli dengan urusan Fandita," akhirnya gadis itu bicara lagi. "Aku hanya memohon izin untuk bertemu dengan ibuku.""Ibumu?" Frazia mengangkat