Share

TIRZA ANTARA

" Aku akan menghubungi Rose," Saron bersuara. Dia dan Riana masih setia mengawasi rumah Zarah yang terlihat sepi.

Tanpa menunggu tanggapan Riana, Saron langsung menelpon orang yang disebutnya.

"Hallo."

"Ada apa?"

"Kau sudah mulai mengawasi dia?"

"Ya. Aku sudah mendapatkan beberapa informasi..."

"Bisa kau kesini sekarang?"

"Rumah Sapphire?"

"Bukan. Rumah Zarah. Kau sudah tahu tentu."

"Untuk apa?"

"Aku akan menjelaskannya nanti."

klik.

Saron mengakhiri panggilannya.  Hampir setengah jam mereka menunggu, dan Rose pun muncul dengan sepeda motor sport miliknya.

"Ada apa?" tanyanya begitu mendapati Riana dan Saron disuatu tempat tidak jauh dari rumah Zarah.

"Laporanmu." ucap Saron tanpa tedeng aling-aling."

"Zarah Alexa, lahir 23 Juli 2003. Dia memiliki seorang saudara kembar laki-laki. Orangtuanya adalah Pembisnis sibuk. Di rumah itu dia tinggal bersama saudara kembarnya itu. Orangtuanya jarang pulang."

"Hanya itu?" Saron mengangkat alisnya. "Siapa nama saudara kembarnya?"

"Zeilo Alexandro."

Riana dan Saron saling pandang. "Gadis itu sepertinya sakit hati dengan kekalahan saudaranya." Gumam Riana. Sementara Rose termangu tak mengerti.

"Apa yang sebenarnya terjadi?"

"Sapphire menghilang." jawab Saron.

"Hah?" Rose terkejut. "Bagaimana bisa?"

"Kau mengawasi Zarah, bukan? Apa dia terlihat mencurigakan saat pulang sekolah?" Riana mengabaikan pertanyaan Rose.

"Pipi kirinya bengkak seperti bekas tamparan. Aku mengikutinya sampai depan kompleks secara diam-diam. Dia sempat singgah di pusat perbelanjaan sebelum pulang. Hanya itu. Dia hanya membeli beberapa makanan ringan."

Riana mengetukkan jari diatas helm yang sudah dilepasnya. Dia terkejut ketika Saron tiba-tiba berteriak.

"Hidup!"

"Apa?"

"Penanda lokasi Sapphire aktif kembali!"

Riana lekas memeriksa handphonenya dan segera menscreenshoot penanda lokasi Sapphire yang sudah tidak bergerak-gerak lagi, pertanda pemegang handphone itu sudah berdiam di suatu tempat, tidak lagi dalam perjalanan.

"Cabut!" Riana memberi instruksi.

"Aku bagaimana?" tanya Rose bingung.

"Awasi Zarah, kabari jika ada hal yang mencurigakan."

"Baik."

Riana dan Saron melaju pergi. Hanya sesaat ketika keduanya pergi, Rose mengeluarkan handphonenya.

"Sapphire menghilang. Riana dan Saron sedang melacak keberadaannya." lapornya pada seseorang.

"......."

"Aku ditugasi mereka mengawasi Zarah."

"...................."

"Baik, "

Rose mengakhiri panggilannya. Dia pura-pura nongkrong disebuah resto kecil yang kebetulan berada didekat rumah Zarah. Dari tempat duduknya Rose dapat melihat ke arah rumah Zarah dengan jelas.

***

Gadis yang memegang smartphone ditangannya itu mengernyit, dia tidak mendapatkan informasi berarti dari ponsel milik sanderanya. Kepalanya disandarkan ke  sofa, memejamkan mata sejenak.

"Aneh sekali. ponselnya tidak memiliki pengamanan apapun. Gadis bodoh." gumamnya. Gadis ini bangkit dari sofa dalam ruangan yang didominasi warna merah tua itu.

Dia melangkah keluar lewat pintu belakang, dan menghampiri dua bodyguard yang berjaga didepan gudang di belakang rumahnya.

"Apa dia sudah sadar?"

Kedua lelaki kekar itu mengangguk. "Sudah, Putri."

Gadis itu memasang tudung hoodienya dan berjalan masuk ke dalam gudang. Dua bodyguardnya tetap berjaga di luar.

Dia melihat sanderanya duduk tertunduk, rambutnya tergerai tak beraturan menutupi wajahnya.

"Putri, apa kau sudah sadar?" waktu mengucapkan kata Putri, suaranya sengaja dibuat-buat.

Sanderanya tidak bergerak. Tidak bersuara.

Gadis itu membungkuk, tangannya bergerak hendak menjambak.

Bukkk!

Akh!

Si gadis bermasker terseret kebelakang ketika tahu-tahu tangannya ditangkis.  Dia mendengar tawa pendek.

Sang sandera sudah bangkit berdiri dengan perlahan-lahan, tambang itu sudah berhamburan putus.

"Sungguh permainan yang menyenangkan." gumam Ariza, si 'sandera' sambil membunyikan buku-buku jarinya.

Gadis yang memakai hoodie membeliak. "Ternyata dia masih sekuat dulu!"

"Bagaimana kabarmu?" Ariza tersenyum sinis sambil menyugar rambutnya dengan tenang.

"Hmmm. Akhirnya kau mengenali diriku." Desis si jaket hoodie tak kalah sinis.

"Tenanglah. Mata lembut tapi munafik itu tidak ada duanya. Aku tentu  mengenali pemilik mata yang sangat pandai bersandiwara ini seperti aku mengenal telapak tanganku.Meskipun kau menutupi warna mata aslimu dengan softlens cokelat itu, aku tetap mengenalimu."

"Tutup mulutmu!"

"Oh ya? Mengapa aku harus tutup mulut?"

"Kau benar-benar menyedihkan. Hidupmu terbuang dan tidak diharapkan oleh orang-orang yang kau cintai. Sungguh menyakitkan."

"Ah, sepertinya kau mulai mengalihkan pembicaraan. Caramu memang selalu seperti itu sejak dulu. Kurasa kau yang lebih menyedihkan, kau mengejar-ngejar orang yang kau benci hanya karna Nilakandi. Kau tertutup dengan obsesi sampai lupa sampai dimana batas kekuatan sendiri."

"Nyatanya aku bisa mengalahkanmu dan membuatmu menjadi putri terbuang!"

"Aku bukan seorang putri. Sejak awal aku bukan seorang putri." Ariza menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dan aku lebih memilih terbuang daripada hidup didekatmu dan melihat sikapmu yang menjijikan. Kurasa itu hanya akan memperpendek umurku!" Ariza tertawa lebar dengan santai. Ini sangat bertolak belakang dengan pembawaannya yang dingin selama ini.

"Bukankah memang jika aku berada didekatmu, kau akan segera mati? Jika bukan karna dia, saat itu kau sudah dihukum mati, Tirza!"

"Nyatanya aku masih tetap hidup saat ini, dan itu berarti usahamu untuk melenyapkanku gagal."

"Aku akan menyeretmu untuk kembali ke istana dan membuatmu dipancung didepan orang-orang yang kau cintai!"

"Yakin? Apakah kemampuanmu sudah cukup?"

"Bajingan!"

Dua pasang mata berperang pandang. Udara di di gudang itu tiba-tiba menjadi sangat dingin. Perlahan-lahan, tubuh kedua gadis itu mulai diselimuti sinar berbeda warna. Warna biru indigo menguar dari sosok Sapphire, sedang warna kuning keemasan berpendar di tubuh gadis ber hoodie.

"Aku sudah lama tidak menggunakan kekuatan internalku, apa kau sudah cukup yakin menghadapiku?" Ariza berkata dengan suara yang seperti terdistorsi. Warna indigo yang menyelimuti wajahnya membuatnya terlihat abstrak dan berbahaya. Aura membunuh mulai memenuhi udara.

"Aku baru tahu ternyata kau sudah jadi tukang pamer kekuatan! Dimana Tirza Antara yang polos dan rendah hati dulu? Apakah sudah mati?" Gadis berhoodie mencibir sinis. Sinar keemasan disekitar tubuhnya mulai berlipat ganda.

"Tirza Antara sudah mati. Dia sudah mati sejak lama." Ariza tertawa panjang. Tidak ada sentuhan perasaan dalam tawa itu. Begitu datar dan kosong.

"Kalau begitu, seharusnya kau sudah mati saat ini!"

Sinar emas yang mencuat dari sepasang mata Gadis yang memakai masker itu meleret kedepan, bermaksud memotong tubuh Ariza menjadi dua bagian, namun secara bersamaan dari sepasang mata Ariza balas mencuat dua larik sinar biru, memapas dan membelokkan dua sinar emas itu menghantam dinding gudang yang terbuat dari papan.

Wushhhh! Wussssh!

Rrrttttttttttttt!

Papan bagian belakang bangunan itu seperti dihantam gunting-gunting raksasa, jatuh bertanggalan dengan keadaan terpotong-potong.

Saat itulah tiba-tiba pintu gudang terbuka lebar. Kedua gadis yang sedang berseteru sama berpaling.

Dipintu gudang tegak dua gadis berjaket hitam. Satu berambut curly satu berambut lurus pendek. Keduanya terkesiap menyaksikan pemandangan didalam gudang itu.

"Apa ini... semacam sihir?" Saron tergugu menyadari dua sinar berbeda warna sedang mendominasi ruang gudang yang kotor dan penuh debu itu.

Riana terhenyak disampingnya, mendapati dua pasang mata yang sedang menatap ke arah mereka laksana dikobari api.

"Sa...Sapphire... Itu kau...?" Riana bahkan tergagap mengucapkannya.

"Menyingkir!" sosok Ariza berteriak nyaring. Dia mengibaskan tangannya. Saron dan Riana terhempas jatuh punggung menimpa dua bodyguard yang sudah mereka lumpuhkan dan sedang tergeletak pingsan.

Pintu gudang tertutup dengan keras sekali dari dalam.

Saron dan Riana saling pandang. Jelas mereka sangat shock.

"Apa itu tadi, Riana?" Saron menelan ludah. "Apa di abad 21 masih ada penampakan sihir seperti itu?!"

Riana tak menjawab. Sesaat kemudian terdengar suara benda hancur berantakan, dinding sisi kanan gudang runtuh, dan sosok Ariza melompat keluar dengan kecepatan kilat. Dia menyambar tangan Saron dan Riana dan menggumamkan dua kata dengan cepat. "Kita pergi!"

Saron dan Riana belum sempat menjawab ketika kedua tangan mereka disentakkan dan mereka seperti merasa dibawa berlari tanpa menjejak tanah. Hanya dalam hitungan detik mereka sudah sampai di luar halaman rumah besar itu. Tanpa basa basi Ariza menaiki sepeda motor sport milik Riana dan berseru pada bawahannya itu. "Naik!" titahnya. Riana melompat naik, sedang Saron sudah menstart motornya sendiri. Dua kendaraan itu melaju bagai kilat, meninggalkan rumah besar kediaman gadis penculik itu.

Sementara didalam gudang, gadis berjaket hoodie itu terhantar mengerang sebelum akhirnya melompat bangkit dengan sinar mata buas. Dia menekan dadanya yang terasa amblas. Ariza berhasil mendesak dan menundukkannya dengan kekuatan internalnya. Itu membuatnya sangat jengkel. Dia berteriak keras, menghantam isi gudang itu sampai hancur berantakan!

"Kau harus mati, Tirza Antara! Harus!" raungnya penuh dendam.

***

Ariza melepaskan jaketnya yang tidak lepas dari tubuhnya semenjak adegan penculikan itu. Wajahnya yang jelita nampak sedikit memar.

Dia menghempaskan tubuhnya diatas sofa dan memejamkan mata sambil menarik nafas berulangkali. Pelepasan kekuatan internalnya memang selalu berdampak lemas pada akhirnya.

Saron dan Riana tegak didekatnya, belum berani membuka mulut.

"Tinggalkan aku sendiri. Suruh Rino menjemput motorku di perempatan dekat warung Mbok Mirna." titah Ariza tanpa membuka sepasang matanya.

Riana dan Saron saling pandang dan melangkah turun ke lantai satu. Saat itu dua orang menerobos masuk dari pintu depan. Rose dan... Kristo?

"Dimana Sapphire?" Kristo paling dulu bertanya begitu melihat Riana.

"Dia tidak ingin diganggu." Saron menjawab dari punggung Riana.

Cowok tampan itu mendengus, dia hendak menaiki tangga, namun Saron dengan cepat menghalangi langkahnya.

"Kau musti berhadapan denganku dulu." ajudan Sapphire itu memasang badan.

"Hm, aku tidak suka hal ini." Kristo mengangkat alisnya. "Jika dia memang mengusirku, aku pasti akan pergi. Aku hanya ingin melihatnya..."

Riana memberi tanda dengan tangannya, Saron menyingkir perlahan-lahan. Kristo melangkah setengah berlari menuju lantai dua.

"Kau yang memberitahu dia?" Saron mendekat ke arah Rose yang diam sejak tadi. Gadis itu mengangguk.

"Aku bertemu Kristo didepan. Dia mengeluhkan Sapphire yang tak kunjung menjawab teleponnya."

Riana terlalu lelah untuk marah. Demikian juga Saron. Meski mereka kurang suka sikap Rose yang seenaknya mengekspos berita. Ya, walaupun Kristo memang bukan orang luar bagi mereka.

Di lantai dua, Kristo menemukan Sapphire yang terduduk di sofa sambil memejamkan matanya seperti tidur. Cowok itu duduk perlahan di samping gadis itu.

"Sapphir?"

"Hm?" Ariza tak kunjung membuka matanya.

"Kau baik-baik saja?"

"Siapa yang menyuruhmu kemari?"

"Aku khawatir denganmu. Mengapa kau tak menjawab teleponku?"

Ariza membuka sepasang matanya. Tanpa mengindahkan cowok tampan itu, dia bangkit dari sofa. "Aku ingin istrahat."

"Sapphire!" Kristo menahan tangannya. Ariza berpaling memandangnya dengan datar. "Aku bukan Sapphire."

"Kau Ariza? Apa yang sudah kau lakukan? Rose memberitahu apa yang terjadi. Kau membahayakan Sapphire tahu! Sampai kapan sifat keras kepalamu itu hilang?!" Meski nada suara Kristo meninggi, namun lebih banyak rasa cemas daripada amarah dalam tekanan suaranya.

Ariza menarik nafas. "Sekarang Sapphire selamat, bukan? Tidak perlu dibahas lagi."

Kristo berdiri. Saat mereka tegak berhadap-hadapan begitu nampak jelas tinggi Ariza hanya sampai di telinga cowok ganteng itu.

"Mengapa kau selalu menganggapku tiada, Ariza?" Kristo bertanya dengan tajam. Ariza mendongak menatap mata hitam cowok itu. "Aku tidak pernah berpikir seperti itu. Kau dan anak-anak Poison yang lain adalah duniaku."

"Dunia Sapphire, bukan duniamu..."

Ariza bungkam. Sorot matanya terlihat lelah. "Apa sebenarnya maumu?"

"Aku ingin kau menganggapku ada."

"Ucapkan permintaan itu pada Sapphire."

"Aku ingin mengucapkannya padamu, Ariza. Karna aku mencintai dirimu."

"Apa?" Ariza mengangkat wajahnya, "Ucapkan sekali lagi."

"Aku mencintai dirimu." tekan Kristo dengan tegas.

Tanpa diduga, Ariza tertawa. Dia memalingkan wajahnya ke arah lain. "Cinta...? Aku tak percaya  pada cinta. Seharusnya kau mencintai Sapphire. Bukan diriku."

"Aku mencintai Sapphire, namun aku menyadari bahwa perasaanku lebih kuat pada jiwamu. Pada jiwamu, Ariza."

"Aneh sekali." Ariza tertawa. Dia menggeleng-gelengkan kepala. "Aku dan Sapphire itu satu, kau sangat aneh jika berucap seperti itu."

"Tidak. Kalian berbeda." Kristo menarik tangan gadis itu, membuat Ariza musti berpaling menatapnya. Dua pasang mata mereka saling berperang pandang. Ariza diam-diam  berharap kejadian ini tidak terekam dalam memori Sapphire nanti. Bukankah ucapan Kristo akan membuat Sapire  sakit hati?

Ariza dan Sapphire memang berbagi ingatan, namun Ariza tidak akan bisa mengingat kenangan Sapphire pada saat usianya 12 tahun ke bawah. Demikian juga Sapphire, dia tidak bisa mengingat kehidupan dan asal-usul jiwa lain yang menumpang di tubuhnya. Mereka hanya berbagi ingatan untuk kejadian yang mereka alami bersama. Pendek kata, kejadian-kejadian saat mereka mendiami tubuh yang sama.

"Kau tidak sadar kalau sedang mengucapkan hal seperti itu pada Sapphire juga sekarang, Kristo." tandas Ariza.

Kristoper menghela nafas berat.

"Aku dan Sapphire adalah dua sisi dari satu raga. Kau tidak bisa mencintai satu sisi saja. Jikalau kau benar-benar mengasihiku, kau juga harus mencintai sisi lain dariku dengan cinta yang sama."

"Aku mencintaimu. Entah kau Sapphire atau Ariza. Aku mencintaimu!" Kristo memejamkan matanya sejenak, membuat parasnya terlihat lebih tampan. "Jangan seperti ini, jangan menjerumuskan dirimu dalam bahaya."

Ariza mengusap pipi cowok tampan itu, membuat Kristo membuka sepasang matanya yang hitam dan tajam. Dua mata yang selalu menatap dingin itu terlihat sendu dan lemah didepan Ariza.

"Aku tidak akan membahayakan Sapphire. Percayalah." Ariza menurunkan tangannya dan tersenyum. "Aku ingin istrahat sebentar. Kau tidak marah bukan?"

Kristo mengangguk.

Ariza melepaskan tangannya yang masih dalam genggaman cowok itu, lalu melangkah masuk ke dalam kamarnya.

Gadis itu buru-buru menutup pintu dan menyandarkan punggungnya pada daun pintu kamarnya. Sepasang matanya terpejam. Seraut wajah tampan singgah dalam bayangannya. Dari sepasang mata yang tertutup itu mengalirlah bulir-bulir airmata. Gadis itu teringat kenangan masa lalunya. Dia merasa sangat lelah sekarang.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status