POV CintaWajahku perlahan menghangat saat beradu pandang dengan Mas Zain. Temannya itu menoleh, lantas tersenyum menggoda pada lelaki yang tanpa ekspresi itu. A-duuuh, gimana niih, aku?Akhirnya, aku bergerak menyingkir saat Mas Zain mendekat lalu dengan sedikit membungkuk ia menenggelamkan serok ke dalam air, mendorongnya ke pinggir. Tampak ikan-ikan mini beraneka corak melompat-lompat dalam serok ukuran sedang itu. Saat bersitatap dengan Mas Zain yang menoleh menatapku dengan kening berkerut, aku nyengir kecil. Tanganku terangkat menggaruk rambut yang tak gatal. Lagi, aku kembali nyengir."Yang mana?" Mas Zain kini menatap temannya, menganggap seolah aku tak ada di sini, sepertinya. Sementara temannya itu, sesekali mendongak memperhatikanku. Diulurkan tangan ke arahku dengan bibir menyungging senyum."Yus," katanya. Aku langsung menjabat tangannya diiringi senyum. Sungguh tak nyaman."Cinta."Yus mengangguk. "Siapanya dia?" tanyanya, dengan dagunya menunjuk pada Mas Zain yang tampa
Aku terbatuk-batuk dan muntah saat Mas Zain menekan-nekan dadaku cukup kuat. Aku beranjak duduk sambil terus berusaha memuntahkan air yang tersisa. Sungguh rasa airnya begitu memuakkan, membuat perut terus mengencang lalu mengendur ingin terus mengeluarkan isi perut. Pandanganku yang tadi mengabur juga kepala pening kini agak membaik. "Makasih, Mas, sludah nolong aku." Aku berkata tanpa menatapnya. Tanganku menyilang di dada karena merasa tak nyaman. Bayangkan saja baju basah mengikuti lekuk tubuh, tak ada benda apa pun untuk menutupi.Mas Zain hanya diam. Aku berpaling darinya karena begitu malu. Tanganku menekan-nekan punggung Caca tapi bocah ini sama sekali tak mau bangun. Pelan, Mas Zain melajukan perahu kembali ke rumah. Rasanya, perjalanan ini jauh lebih lama timbang sebelumnya padahal tetap melewati sungai yang sama. Aku bersidekap untuk menghalau dingin. Begitu sampai, ia segera menambatkan perahu. Dengan satu tangan menggendong Caca di pundaknya, Mas Zain mengulurkan tang
"Ada apa, Mas?" Aku memandang Mas Zain yang terus mematung di ambang pintu dengan tak nyaman. Caca menggelendot memeluk lenganku. Kuusap rambutnya."Hanya mau memberi tahu, nanti malam, temanku ingin aku mengajakmu nonton layar tancap.""Iya. Tadi kan, Mas sudah bilang."Dengan sedikit salah tingkah, ia membalikkan badan. Kepergiannya membuatku bernapas lega. Orang itu, selalu saja membuatku tegang."Bunda." Caca mendongak.Kuusap rambutnya."Iya, Sayang?""Lihat Om Zain, aku jadi semakin kangen sama ayah. Kapan kita pulang, Bun?" Matanya menatap penuh harap.Seperti diremas jantungku mendengar penuturan Caca. Terlihat sekali bahwa ia begitu merindukan ayahnya. Kupeluk ia erat Caca lalu mencium ubun-ubunnya."Besok kita ketemu ayah ya, Bun?"Kugigit bibir kuat menahan dorongan untuk menangis. Bukan kamu saja yang kangen, Nak, tapi bunda juga. Tapi, hati bunda masih sangat sakit dan belum siap untuk bertemu ayahmu. Mungkin nanti. Alih-alih mengangguk untuk membuat Caca senang, aku memil
Tanpa sadar, aku sudah terisak. Haruskah kuberi alamat lengkap di mana aku tinggal? Aku menggelengkan kepala. Bingung. Juga serbasalah. Disatu sisi Caca begitu merindukan ayahnya, tapi di sisi lain, hatiku belum siap. Masih sakit terasa.Ting! Notif WA.CinTak lama kemudian, HP-ku berdering. Hanya kupandangi saja foto Mas Yoga tanpa berniat mengangkatnya. Akhirnya, HP mati sendiri.Ting!Angkat, Cin. Jangan menghindari masalah seperti anak kecilTak lama, HP-ku kembali berdering. Dengan tatapan nanar, kuperhatikan saja foto MasbYoga. Ia tersenyum lebar dengan tatapan penuh cinta. Di belakangnya, hamparan laut biru dengan ombat bergulung-gulung. Itu aku yang memotretnya saat kami liburan ke Bali. Saat kami masih begitu bahagia menjadi pengantin baru seolah dunia milik berdua. Tatapannya yang penuh cinta saat memandangku, senyumnya yang selalu terukir di bibir, nyaris tak pernah adab5 bulan belakangan sebelum ia menikahi Anita.Kuhela napas dalam. Mengingatnya, selalu saja menghadirka
Aku terbangun saat mendengar bunyi bising yang segera disusul tangisan kencang Caca. Dengan mata sangat mengantuk, aku beranjak bangkit, sambil mengikat rambut melangkah menuju ruang tengah. Aku tertegun melihat Mas Zain tidur bersidekap di sebelah Caca yang terlihat begitu ketakutan. Bocah itu langsung mengulurkan tangan saat bundanya ini mendekat."Takuut." Rengeknya. Matanya basah oleh air mata. "Kenapa takut? Om Zain kan gak galak." Cuma mengerikan, imbuhku dalam hati sambil mencuri pandang ke arahnya. Lelaki itu hanya tidur mengenakan kaus dalam dan celana di bawah lutut. Tampak damai tidurnya dan sedikit mendengkur, tiba-tiba mengingatkanku akan keberadaan Mas Yoga.Sayup-sayup, terdengar suara Putri tengah berbincang dengan Ibu. Segera kugendong Caca menuju dapur. "Mau masak apa, Bu?" tanyaku sambil memperhatikan wadah sedang berisi cairan putih kental. Di sebelahnya, ada tempe yang dipotong segi tiga, diiris tipis. Ibu tersenyum. Wajahnya terlihat segar dengan rambut masih b
Aku tak mengatakan apa-apa, hanya memeluk Farhan erat. Bunda juga kangen pada ayahmu, Nak. Tapi bunda tak ingin kembali lalu disakiti lagi. Tak akan pernah ada kesempatan kedua."Bunda, aku sebentar lagi masuk sekolah, kan?" Farhan mendongak. Kuusap air jernih yang menggantung di sudut matanya."Iya, Sayang. Tunggu paketannya datang lalu bunda urus pendaftaran di sekolahmu yang baru, ya?"Farhan mengangguk antusias. Diulurkannya HP yang langsung kuterima. Ada beberapa pesan masuk dari Mas Yoga. Tanpa membaca, langsung kuhapus."Sudah siap?"Suara berat sedikit serak itu refleks membuatku menoleh ke belakang. Mas Zain berdiri di belakangku membawa kunci motor. Kuusap kepala Farhan."Bunda pergi dulu, ya? Mau cari rumah untuk kita tinggali.""Kenapa tidak tinggal di rumah ayah saja, Bun?" Farhan memandangku terlihat begitu berharap. Andai kamu tahu, Nak, tidak semudah itu menyatukan dua orang dewasa dalam satu rumah. Pernikahan itu benar-benar aneh. Tapi yang namanya anak kecil, tidak t
"Bagaimana?"Hening di antara kami."Cinta ...."Hanya lirih, tapi membuatku tersentak kaget. "Eh, ump ... gimana, ya?" Aku menggaruk rambut. Lalu menggigit bibir. Ini kebiasaan kalau sedang gugup, amat sulit dihilangkan. Keheningan ini, terus saja membuat dada berdebar tak karuan, sungguh bingung mau bilang apa. Kembali aku menggaruk rambut. Berdiri berhadapan dengan jarak yang begitu dekat, membicarakan sesuatu yang serius pula, membuatku amat tidak nyaman."Aku bertanya padamu." Tatapannya begitu lekat ke wajahku, tangannya menyentuh tempurung kelapa dengan akar mengelilinginya. Satu tangannya lagi masih menggenggam pisau tajam."Ummp ... aku ... aku gak mungkin menikah dengan lelaki yang gak kukenal, Mas." Akhirnya ucapan itu meluncur juga, sedikit membuatku lega walau belum sepenuhnya menghilangkan gemuruh dada."Kita menikah, lalu baru bisa saling mengenal." Tatapannya terus terpacak ke wajahku. Aku menggeleng pelan. "Lalu kalau gak cocok, akan bercerai, begitu?" tanyaku."Apa
Mas Zain tengah sibuk memasukkan ikan-ikan ke dalam plastik kecil transparan saat aku sampai di rumah. Segera kuletakkan barang belanjaan ke dalam kulkas lalu menidurkan Caca. Setelah ia pulas, barulah aku menuju jemuran. Langit agak mendung, jadi kuangkat milik Mas Zain sekalian, melipatnya rapi dan memasukkan ke dalam koper. Sudah rapi semua, saatnya pergi dari sini. Aku menuju dapur untuk pamit pada Mas Zain, tapi lelaki itu sudah tak ada. Di mana dia?Aku keluar dari dapur, menatap lurus ke kolam ikan, ia tak tampak. Akhirnya, aku kembali masuk rumah dan keluar dari pintu depan, menatap lurus pada area persawahan. Mas Zain ada di sana ternyata. "Mas Zaiiin!" Seruku. Ia berdiri membelakangiku, mungkin tak mendengar. Aku kembali masuk rumah untuk memastikan Caca benar-benar pulas lalu berjalan di pematang sawah menyusul Mas Zain. Di kanan dan kiriku padi-padi telah menguning, tampaknya sudah siap panen. "Sedang apa, Mas?"Mas Zain langsung menoleh. "Lihat kebun," sahutnya, tatapa