****"Ikat mereka di pojokan!" titah lelaki bertubuh penuh tato. Ternyata, bukan hanya dua orang yang menyeret Amel saja yang menjadi penjahat di sini, masih ada beberapa lagi yang tempangnya lebih sangar menyeramkan.Alif masih pingsan ketika Amel sadar dari pingsannya. Entah apa yang mereka lakukan pada Alif. Ia juga merasakan tengkuknya sakit luar biasa akibat pukulan di taman tadi."Bos, sepertinya luka di tengkuk perempuan ini berdarah banyak, apa nggak pa-pa dibiarkan begitu saja?" tanya lelaki yang menyeret Amel tadi."Gak pa-pa biarkan saja! Lagian si Bos nggak masalah kalau mereka berdua mati saat ini juga, hahaha." Tawa yang menggelegar membuat Alif terbangun dari pingsannya."Mbak, Alif takut." Tubuh mungil itu berusaha mendekat pada Amel dengan susah payah karena tangan dan kakinya dalam keadaan terikat dengan kuat."Jangan takut, ada Mbak di sini!""Kenapa mereka mengi
****Bram kembali menerima sebuah telepon. Bibirnya tersenyum saat mendengarkan lawan bicara dari seberang telepon sedang menjelaskan sesuatu padanya. "Adinda, bersiap-siaplah! Titik terakhir tempat yang di singgahi Amel sudah di temukan. Apa kamu keberatan jika aku meminta bantuan temanku yang jago karate mengamati terlebih dahulu, dan memastikan keberadaan mereka?" tanya Bram.Dinda menggelengkan kepalanya, tanda ia setuju-setuju saja dengan ide Bram saat ini. Binar di matanya menjelaskan ia sangat bersyukur Bram mau membantunya menemukan Alif dengan cepat."Kamu siap berangkat sekarang, Din!" "Aku siap, Bram."Bram tampak khawatir dengan keadaan Dinda yang kacau, andai saja ia dapat memeluknya untuk sedikit menenangkan pikirannya saat ini.'Argh, aku mikir apa?' gerutu Bram dalam hatinya.Bram, memfokuskan dirinya untuk menyetir mobil yang akan membawanya menemuk
****Mariah begitu kaget ketika mendengar kabar penculikan itu diungkap Bram di depan Helmi. Bahkan, Bram tak segan-segan menyebut dirinya sebagai perempuan kriminal. Namun, ia harus berusaha bertingkah seolah tidak tahu menahu dengan apa yang dituduhkan Bram padanya. Beruntung, Mama Wulan keluar tepat waktu dan menyelamatkannya dari tuduhan-tuduhan Bram."Ma, bantu aku bangunkan Mas Helmi!" rengek Mariah. Sengaja ia buat seolah kepayahan saat membangunkan Helmi, untuk mengalihkan perhatian Bram."Kalian itu seperti anak kecil saja, apa-apa selalu pakai kekerasan. Lihat, di dalam sana Istri kamu sedang terbaring lemah, Bram!" bentak Wulan.Bram sengaja diam dan tak menanggapi ucapan mertuanya, berdebat dengannya hanya akan buang-buang waktu saja. Percuma, bukan?Mariah sibuk mengobati luka-luka Helmi yang di sebabkan oleh Bram. Hatinya mulai gelisah, bagaimana bisa penculikan ini bisa tercium cepat oleh Bram? Lalu, kenapa orang-oran
****Dinda sudah berusaha untuk mengalah, mengesampingkan semua luka yang kian mendera. Mendengar namanya saja seolah membuat luka itu kembali berdarah, apalagi bertatap muka. Namun, demi anak-anaknya ia rela melakukan semuanya. Memang, naluri seorang ibu, mampu merubuhkan tingginya keegoisan."Maaf, Mas. Aku sudah memberimu kesempatan berulang kali, namun kamu sia-siakan begitu saja. Lebih baik, kamu tak perlu lagi menemui Alif, biarkan Alif tenang bersamaku!" Dinda berucap pelan, namun dadanya terasa bergemuruh karena rasa kecewa yang terus memuncak hingga ke ubun-ubun."Apa maksudmu? Anak kita hilang karena kelalaian kamu sendiri, kok, malah nyalahin aku. Tidak bisa begitu, dong!" Tanpa rasa bersalah, Helmi menyalahkan Dinda atas kasus penculikan yang menimpa anak keduanya itu."Ini bukan masalah aku lalai atau tidaknya, tapi ada yang salah dengan istri kamu. Apa sampai sejauh ini kamu tidak menyadarinya? Cuku
****,"Mbak, bilang sama aku, anak itu anak kamu 'kan, Mbak? Dia anaknya Mas Helmi 'kan?" cecar Dinda lagi."Dia, dia ....""Mbak, lihat aku! Mbak sengaja menyembunyikan rahasia besar ini dari aku 'kan?" Dinda terus bertanya, ia lupa kondisi mental Amel tak sekuat dirinya."Maaf, Bu, aku permisi. Sepertinya aku salah telah masuk ke dalam rumah ini, jelas-jelas orang yang sedang kukejar tak ada di sini." Amel beranjak, ia mengayunkan langkahnya masuk ke kamarnya. Isakan tangisnya terdengar nelangsa di telinga Dinda, namun ia seperti terhipnotis oleh kata-kata Amel barusan."Maksudnya apa? Siapa orang yang di kejarnya?" gumamnya pelan.Dinda tercekat, saat benar-benar sadar akan kata-kata yang Amel ucapkan. Dia mengejar orang yang sudah pergi dari rumah ini dan hanya mantan suaminya lah yang sudah keluar dari rumah ini.'Astaga, kenapa aku mendadak selemot in
****"Tetap tinggal di sini, ya, Mbak. Alif mohon!" ucap Alif lirih, ia memeluk Amel dengan erat, seolah takut Amel tiba-tiba akan pergi meninggalkannya.Amel sibuk menghapus air matanya sambil menciumi pucuk kepala bocah itu, ada ketulusan dan cinta di sana."Iya, Mbak tolong di pikirkan lagi! Insya Allah aku tidak akan membencimu, aku hanya butuh waktu saja untuk menerima semuanya. Lagipula, ini bukan salah kamu juga." Dinda berusaha membujuk Amel dan berharap Amel membatalkan niatnya."Tapi, Bu," "Sudah, nggak ada tapi-tapian. Insya Allah aku tidak apa-apa. Lagipula, lelaki itu sudah kubuang jauh-jauh dari hidupku." "Makasih, Mbak. Aku memang masih membutuhkan pekerjaan ini untuk menghidupi putriku," ucap Amel. raut kesedihan jelas terlihat di matanya."Aku paham, makanya aku ingin kamu tetap di sini. Jika kamu mau, bawa saja putrimu tinggal di sini, biar Alif bisa menge
****"Kamu sedang berbicara dengan siapa? Dan siapa yang masih hidup, Mar?"Mariah begitu kaget saat Helmi dan Bram sudah berdiri di dekatnya. Ia tak menyadari entah sejak kapan mereka ada di sana? Apa jangan-jangan mereka mendengar semua pembicaraannya tadi? Ah, seketika saja Mariah ingin menghilang dari hadapan mereka berdua."Itu, tetangga kontrakan kita yang dulu, nanyain kabar aku, kita memang terbiasa bercandanya begitu. Kamu sudah selesai?" Mariah hanya butuh waktu beberapa detik untuk mengendalikan kegugupannya."Sudah," jawab Helmi datar.Berbeda dengan Bram, ia tak percaya sepenuhnya dengan jawaban Mariah barusan. Ia tampak masih menyelidik gerak-gerik Mariah.'Helmi itu memang kadal bodoh yang bisa di bodohi dengan gampang!' batin Bram. Ia gemas ketika tak menangkap secuilpun kecurigaan pada Helmi atas bahasa tubuh perempuan yang bergelar sebagai istri sirinya itu.
****Gerak-gerik Mariah kini menjadi perhatian Helmi. Entah kenapa ia beberapa kali memergoki istrinya bertingkah aneh. Apalagi, ia menemukan beberapa butir obat penenang di dalam laci miliknya, bukankah wanita Hamil di larang mengkonsumsi obat-obatan seperti itu?"Mariah, tolong buatkan aku kopi!" pinta Helmi, ketika melihat istrinya sibuk berbalas pesan, entah dengan siapa."Mas bikin sendiri dulu, aku lagi nanggung, nih!""Mar, bisa nggak kamu itu perlakukan aku sebagai suami kamu dengan layak?" "Mas, kamu apaan, sih? Jangan bentak-bentak, dong!"Mariah cemberut, ia meletakkan ponselnya di atas nakas, lalu berjalan ke dapur untuk membuatkan kopi permintaan suaminya.Setelah Helmi memastikan Mariah memang benar-benar di dapur, ia segera mengambil ponsel milik istrinya, mengecek beberapa pesan yang memang isinya tidak ada yang mencurigakan sama sekali. "