****"Kamu sedang berbicara dengan siapa? Dan siapa yang masih hidup, Mar?"Mariah begitu kaget saat Helmi dan Bram sudah berdiri di dekatnya. Ia tak menyadari entah sejak kapan mereka ada di sana? Apa jangan-jangan mereka mendengar semua pembicaraannya tadi? Ah, seketika saja Mariah ingin menghilang dari hadapan mereka berdua."Itu, tetangga kontrakan kita yang dulu, nanyain kabar aku, kita memang terbiasa bercandanya begitu. Kamu sudah selesai?" Mariah hanya butuh waktu beberapa detik untuk mengendalikan kegugupannya."Sudah," jawab Helmi datar.Berbeda dengan Bram, ia tak percaya sepenuhnya dengan jawaban Mariah barusan. Ia tampak masih menyelidik gerak-gerik Mariah.'Helmi itu memang kadal bodoh yang bisa di bodohi dengan gampang!' batin Bram. Ia gemas ketika tak menangkap secuilpun kecurigaan pada Helmi atas bahasa tubuh perempuan yang bergelar sebagai istri sirinya itu.
****Gerak-gerik Mariah kini menjadi perhatian Helmi. Entah kenapa ia beberapa kali memergoki istrinya bertingkah aneh. Apalagi, ia menemukan beberapa butir obat penenang di dalam laci miliknya, bukankah wanita Hamil di larang mengkonsumsi obat-obatan seperti itu?"Mariah, tolong buatkan aku kopi!" pinta Helmi, ketika melihat istrinya sibuk berbalas pesan, entah dengan siapa."Mas bikin sendiri dulu, aku lagi nanggung, nih!""Mar, bisa nggak kamu itu perlakukan aku sebagai suami kamu dengan layak?" "Mas, kamu apaan, sih? Jangan bentak-bentak, dong!"Mariah cemberut, ia meletakkan ponselnya di atas nakas, lalu berjalan ke dapur untuk membuatkan kopi permintaan suaminya.Setelah Helmi memastikan Mariah memang benar-benar di dapur, ia segera mengambil ponsel milik istrinya, mengecek beberapa pesan yang memang isinya tidak ada yang mencurigakan sama sekali. "
****Dinda tak mengerti kemana arah pembicaraan Bram. Siapa orang yang sedang di tunggunya? Rasa penasaran membuat Dinda menghampiri Bram yang sedang sibuk mengikat preman-preman itu dengan di bantu oleh Pak Dahlan."Maksud kamu, Bram?" tanya Dinda. "Nanti kamu akan tahu sendiri dalang di balik semua ini." "Termasuk penculikan Alif waktu itu?" "ya."Dinda merasakan jantungnya berdetak dengan cepat, hingga setiap detakannya menimbulkan rasa ngilu dan sungguh menyesakkan."Bram, bilang sekarang!" "Nanti saja, Adinda. Jangan keras kepala!" tegas Bram.Kalau sudah begitu, Dinda tak bisa memaksa lagi. Meskipun rasa penasaran merajai jiwanya saat ini."Om, Bram." Alif menghampiri Bram, yang hendak duduk dan memesan kopi."Uh, jagoan Om ini mau kemana? ganteng banget.""Mau ke air terjun, Om," jawab Alif terde
****"Aku ingin kamu jauhi Dinda, Mas!" ucap Galuh makin pelan, namun masih jelas terdengar oleh Bram."Kenapa?" "Apa aku masih perlu memberi alasan untuh hal itu, Mas?" "Tentu saja. Jika penjelasanmu keliru aku bisa meluruskannya agar kita tidak salah paham begini.""Oke, jika kamu belum mengerti atau kamu pura-pura tidak mengerti, aku akan menjelaskannya. Dinda itu adalah Adindanya kamu 'kan, Mas?""Apa maksudmu, Galuh?" Bram terlihat gugup mendengar pertanyaan Galuh yang menjurus pada cinta masa lalunya.'Dari mana dia tahu semua itu?' batin Bram."Dia adalah perempuan yang tak pernah bisa kamu lupakan selama ini. Benar 'kan, Mas? Aku pernah membacanya di file rahasia milik kamu." Galuh terlihat beberapa kali menyeka air matanya dengan kasar."Itu 'kan hanya masa lalu, untuk apa kita bahas lagi? Sekarang aku suamimu, kamu istriku dan kita
****Dinda merasa puas dengan pihak kepolisian yang menangani kasusnya bergerak dengan cepat. Kabarnya, perempuan itu mulai di tahan sore kemarin. "Syukurlah, setidaknya aku tak perlu lagi khawatir ketika Alif di rumah dan aku sedang bekerja," gumam Dinda.Dinda berpikir, ia harus mengucapkan banyak-banyak terimakasih kepada Bram. Entah akan bagaimana jadinya, jika Bram tak datang tepat waktu? Ia mengambil ponsel miliknya, lalu mencari kontak Bram. Tetapi ia urungkan niatnya untuk menghubungi Bram lewat telepon, tidak ada salahnya ia datang ke rumah sakit sambil menjenguk Galuh."Non, sudah cantik saja mau kemana?" tanya Mbak Sri. Ia sedang menata menu sarapan di meja makan."Hari ini aku ada kerjaan di toko, Mbak.""Hati-hati, ya, Non!""Mbak nggak perlu khawatir lagi. Semalam pihak kepolisian sudah memberi kabar katanya perempuan itu sudah di tahan, kok!""Syukurla
****Setelah Mariah di jemput polisi, hal yang paling Helmi sukai adalah bediam diri di dalam kamar. Wulan mengetuk pintu kamarnya bermaksud untuk mengajaknya bicara dengan alasan sarapan bersama."Hel, ayo kita sarapan!" bujuk Wulan lembut di depan pintu kamar Helmi."Aku belum mau sarapan, Ma. Mama duluan saja!" balas Helmi dari dalam."Mama nggak bisa sarapan sendiri, biasanya Mariah yang akan menemani Mama." "Berhentilah bicara tentang perempuan itu." Helmi tiba-tiba membuka pintu kamarnya, ia berjalan ke dapur lalu duduk dengan manis. Helmi menelan salivanya ketika melihat makanan kesukaannya terhidang di hadapannya. Nasi goreng putih.Dulu, ia sering meminta Wulan untuk di buatkan nasi goreng tanpa kecap dan ia akan menyebutnya nasi goreng putih."Beberapa hari ini, aku tak pernah melihat Bibi, dia ngambil cuti lagi, Ma?""Sudah Mama berhentikan.
****Setibanya di Jakarta, Helmi memasuki rumah kontrakannya dengan hampa. Sebelumnya ia berencana untuk mengajak Mariah tinggal di rumah ini, memulai rumah tangganya yang baru saja seumur jagung, juga membesarkan anaknya dengan perempuan muda itu. Namun, takdir berkata lain, ketika mantan istrinya benar-benar membawa kasus itu ke pihak yang berwajib.Helmi kelimpungan, baru saja ia akan memulai semuanya, badai itu kembali datang, hingga ucapan talak ia ucapkan untuk perempuan yang kini tengah mengandung anaknya.'Apa aku keliru dengan langkah yang sudah kuambil? Aku mengucapkan talak di saat dia sedang dalam masalah. Bagaimana kalau dia nekat bunuh diri atau melakukan hal yang membahayakan kandungannya?'"Argh!" Hingga malam berganti pagi, Helmi tak sedetik pun bisa memejamkan matanya. Rasa bersalah itu sukses merenggut rasa kantuknya.Helmi memutuskan untuk segera membersihkan dirinya, lalu m
****Amel menepati janjinya untuk mengenalkan Dinda kepada putrinya, Adinda. Mereka sepakat bertemu di sebuah taman Kota pagi ini. Perasaan Dinda tak bisa di gambarkan oleh kata-kata. Ia merasakan degup jantungnya lebih cepat padahal ia tidak sedang jatuh cinta.Dinda dan Alif sampai di taman kota, lalu segera memarkirkan mobilnya. Ia mengambil ponselnya dan segera menghubungi Amel, namun nomor Amel tidak bisa di hubungi.Dari kejauhan, Dinda melihat Amel berjalan ke arahnya dan melambaikan tangannya. Dinda terdiam ketika melihat wajah itu memang benar-benar mirip dengan Alif. Matanya coklat, serta lesung pipit di kedua pipinya.'Ah, hampir tak ada beda!'Ketika gadis kecil itu mendekat, Dinda menurunkan tubuhnya hingga setengah berjongkok untuk mensejajarkan tubuhnya dengan gadis itu. Kedua tangannya membingkai wajah mungilnya yang menggemaskan. Gadis itu sedikit mundur, mungkin ia tak ny