****"Mbak Hana, saya minta persis model yang waktu itu kenapa datangnya model begini? Ini, mah barang pasaran, mana bahannya tipis begini!" protes Ibu muda. dia adalah salah satu langganan tetap toko Helmi, dari setahun yang lalu."Maaf, barang yang itu sudah nggak produksi lagi, Bu. Model gamis ini malah yang terbaru," jelas Hana."Terbaru sih terbaru, tapi biasanya toko ini modelnya bagus-bagus jarang ada yang sama dengan pedagang lain, ini mah ya ampun di setiap toko ada, loh, Mbak!""Bilang dong, sama Bos Helmi kalau model baju-bajunya seperti ini pelanggan pada lari, Mbak!" lanjutnya lagi."Iya, Bu."Bukan hanya sekali dua kali, sudah banyak komplenan dari para costumer karena baju-baju yang di sediakan di toko ini berbeda dari sebelumnya.Tentu saja Hana tahu, semua itu karena Helmi sudah memutuskan untuk tidak bekerja sama lagi dengan Bu Dinda, mant
****"Bun, Alif bosan di rumah, Alif ingin ikut Bunda saja," rengek Alif sambil memeluk kaki bundanya yang sedang sibuk memilih baju yang akan ia kenakan hari ini.Dinda mensejajarkan tubuhnya dengan Alif, ia menatap dalam manik coklat milik anak keduanya."Hm, nanti Alif bosan juga di toko, gimana?""Alif nggak akan bosan kalau sama Bunda," rengeknya manja menggemaskan."Oke, Alif boleh ikut. Ayo ganti bajumu, sama Mbak Sri, ya!" titah Dinda, yang di tanggapi dengan anggukan kecil dari sang buah hati.Setelah siap Dinda mengajak anaknya ke toko mainan terlebih dahulu, berharap agar Alif tak merasa bosan jika ada mainan baru."Mau ini, Bun!" pinta Alif sambil menunjuk sebuah mobil-mobilan yang bentuknya kecil. "Boleh, yang mana lagi?" tanya Dinda."Ini saja. Mas Adam Bilang, kalau beli mainan satu aja jangan banyak-banyak!" celoteh Alif, membuat Di
****Aura wajah Helmi berubah cerah, setelah bertemu dengan Dinda. Tentu saja itu membuat Mariah sangat penasaran."Bagaimana, Mas?""Berhasil."Helmi menghambur memeluk istrinya. Saking senangnya karena Dinda bersedia untuk membantunya lagi. Syarat yang diajukan Dinda pun tak sulit-sulit amat, ia hanya harus sesekali menyisihkan waktu untuk Adam dan Alif. Mudah bukan?"Tumben sekali Mbak Dinda cepat luluh sama kamu, jangan-jangan kamu ada main lagi sama dia, ya!" tuding Mariah sambil cemberut."Apaan, sih, kamu, Mar?" "Ya, aneh aja, biasanya Mbak Dinda batu 'kan?""Hust, tapi semuanya tak gratis, aku perlu peran kamu sebagai Ibu sambung yang baik. Bagaimana?" "Hah, maksud kamu gimana, Mas?" tanya Mariah."Dinda mau memasok barang lagi asal aku harus bersedia menyisihkan waktu untuk anak-anakku. Kamu tak keberatan 'kan Mar?"
****Helmi merasa sangat kesal dengan ulah Mariah belakangan ini, yang ia lakukan benar-benar di luar logika Helmi.'Apa dia tak pernah memikirkan jungkir baliknya aku untuk meraih kesuksesan seperti dulu? Apa dia tak pernah memikirkan setiap malam aku tak bisa nyenyak tidur karena hutangku pada Mas Bram yang menggunung?' gerutu Helmi dalam hati."Mas, aduh perutku sakit banget. Pinggirin dulu, dong, mobilnya!" pinta Mariah, sambil memegangi perutnya.Helmi menurut saja, ia langsung meminggirkan mobilnya dan berhenti tepat di depan SPBU. Mariah langsung turun dan berlari kecil ke arah toilet umum.Sekembalinya Mariah dari toilet."Ini, tuh gara-gara Mbak Dinda. Lihat, dia ingin membuatku sakit dan dehidrasi. Pasti dia ingin membuatku keguguran juga!" corocos Mariah tanpa jeda."Mas, kamu diam aja, sih?" protes Mariah."Terus aku harus apa? Kamu sendiri
****"Din, aku bukan anak Mama. Pantas saja selama ini Mama menginginkan cucu perempuan dari Helmi, huhuhu," ucap Galuh, di sela tangisannya yang mulai mereda."Loh, bagaimana bisa?" tanya Dinda penasaran.___________________Pagi itu Galuh datang ke rumah Wulan dengan perasaan kesal. Pasalnya, Wulan menghubunginya pagi-pagi buta, dan memaksanya untuk datang ke rumahnya tepat pukul 05:00 pagi."Mama ini, apa Helmi belum sanggup bayar orang untuk beres-beres rumah?" Galuh menggerutu."Galuh kan kasih Mama tiap bulan itu lumayan besar, apa tak cukup untuk membayar ART?" lanjut Galuh."Udah ada, cuma masakannya nggak seenak kamu!" sahut Wulan acuh."Lah, Mama 'kan bisa ajarkan, bagaimana cara membuat masakan yang Mama sukai!" "Sudahlah, kamu nggak perlu banyak omong. Kamu itu udah Mama besarkan, apa salahnya kamu berbakti sama Mama
****Mariah kewalahan ketika melihat mertuanya tak berhenti menangis sejak pagi. Ia sudah berusaha membujuknya, namun mertuanya tetap menangis.'Sudahlah, aku lelah menghadapi mertua yang batu begini, mending istirahat saja di kamar!'Sesampainya di kamar, ia sempatkan untuk mengabari Helmi, lalu rebahan sambil berselancar di media sosialnya.Mariah tersenyum puas ketika mengingat kejadian tadi pagi antara Galuh dan Mama mertuanya. Benar-benar di luar dugaan jika iparnya hanya anak pungut.Ia berpikir, jika ia melahirkan anak perempuan maka tak akan ada yang mampu menyingkirkan dirinya termasuk Galuh dan anak perempuannya, Laura. Karena mereka tak ada hubungan darah dan bisa dipastikan yang berhak sepenuhnya atas harta Wulan adalah Helmi, suaminya."Lihat, Adinda Putri syakira! Aku lah satu-satunya yang akan jadi pemenang di hati Helmi, juga mertuaku. Tinggal anak-anakmu yang perlu aku sing
****Keadaan Wulan memburuk, tentu saja membuat Helmi panik setengah mati. Wulan menolak untuk makan dan pergi ke Dokter, ia hanya terbaring di kamar dengan air mata yang selalu merembes membasahi pipinya."Ma, jangan begini, Helmi nggak mau Mama kenapa-kenapa!""Kita ke rumah sakit, ya, Ma!"Hening. Ya, Wulan menjadi irit bicara sejak kejadian itu. Baginya, ini adalah mimpi buruk yang selama ini ia takutkan. Nahasnya, ia harus menghadapinya sendirian tanpa suaminya, Almarhum Adi."Ma, makan, ya! Biar Mariah yang suapin!" bujuk Helmi. Ia terus berusaha membujuk mamanya untuk makan.Mariah mencebik, ingin rasanya ia menolak menyuapi mertuanya yang sangat manja itu, namun apa daya, ia takut Helmi semakin murka."Hel, antar Mama kerumah Galuh sekarang!" ucap Wulan sedikit memohon."Apa tak sebaiknya jangan sekarang? Mbak Galuh pasti belum mau ber
****Mendengar kabar mantan mertuanya sedang berada di rumah sakit, Dinda berinisiatif untuk mengabari Galuh, siapa tahu Galuh belum tahu tentang ini.[Mbak, sudah tahu Mama Wulan di rawat di rumah sakit?] Dinda mengiriminya sebuah pesan.[Tahu. Tapi, Mbak rasa itu tak penting lagi, Din?]Dari isi pesan balasan Galuh, sepertinya dia belum mau berdamai dengan kenyataan. [Banyak alasan kenapa Mbak harus menjaga hubungan baik dengan Mama, salah satunya Mbak bisa mencari tahu orang tua kandung Mbak. Kedua, bagaimanapun Mama wulan telah membesarkan Mbak. Maaf kalau aku lancang!]Satu menit, lima menit, bahkan setengah jam kemudian tak ada balasan lagi dari Galuh, itu membuat Dinda sedikit khawatir.'Apa Mbak Galuh marah? Hm, biarlah aku akan meminta maaf, jika dia tak menghubungiku lagi hari ini,' batin Dinda."Mbak Amel, bagaimana sudah kerasan k