LOGINPagi penyelidikan dibuka seperti pesta yang dipaksakan. Aula besar dipenuhi wajah-wajah tersenyum kaku, bangku disusun rapi, panji kerajaan digantung lebih rendah—seolah-olah kerendahan itu bisa menenangkan ketegangan. Pangeran Mahkota duduk di kursi pemimpin sidang, sikapnya anggun, suaranya hangat.“Atas nama rekonsiliasi,” katanya, “kita cari kebenaran bersama.”Rael berdiri di sisi, tidak menentang, tidak mendukung. Ia memilih menjadi bayangan di tepi cahaya.Satu per satu saksi dipanggil. Juru pelabuhan, perwira logistik, kepala gudang. Pangeran bertanya dengan lembut, mengarahkan—cukup halus untuk tampak adil, cukup cerdas untuk menghindari lubang. Beberapa jawaban mengambang. Beberapa berputar. Dewan mengangguk-angguk, lega melihat sidang berjalan “tenang”.Hingga Rael meminta bicara.“Yang Mulia,” katanya sopan, “izinkan saya mengajukan satu saksi tambahan.”Pangeran tersenyum. “Tentu. Transparansi.”Pintu samping terbuka. Seorang pria tua masuk dengan langkah berat—Jenderal H
Hari-hari berikutnya berjalan seperti air tenang yang menyembunyikan arus deras di bawahnya. Rael tidak lagi sering terlihat di aula besar. Ia memilih bergerak di ruang-ruang kecil: arsip lama, kantor pajak wilayah, barak pengawal, dan rumah-rumah bangsawan kelas menengah yang jarang disapa kekuasaan. Di sanalah simpul-simpul nyata kerajaan berdenyut.Suatu sore, di ruang arsip yang pengap, seorang penjaga tua menyerahkan buku besar berdebu. “Catatan sebelum reformasi pajak,” katanya. “Tak banyak yang mau membacanya.”Rael membuka halaman demi halaman, jarinya berhenti pada pola yang ia kenal: aliran dana kecil, rutin, tak mencolok—menuju rekening perantara yang sama. “Ini bukan pencurian besar,” gumamnya. “Ini jaring.”Malamnya, di rumah seorang bangsawan kecil bernama Lady Merien, Rael duduk tanpa pengawalan. Teh dihidangkan sederhana. Wajah Merien tegang.“Apa yang Tuan Rael inginkan?” tanyanya.“Kejujuran,” jawab Rael. “Dan keberanian yang sering terlupakan.”Merien tertawa hambar
Malam kian pekat ketika pintu ruang kerja Rael diketuk tiga kali—cepat, terukur. Itu sandi lama dari jaringan timur. Rael tidak langsung menyahut. Ia menutup peta, memadamkan satu lampu, menyisakan cahaya temaram, baru berkata pelan, “Masuk.”Seorang pria kurus dengan mantel abu-abu menyelinap, wajahnya tegang. “Tuan,” bisiknya, “Dewan Utara bergerak lebih cepat dari perkiraan. Besok pagi mereka ajukan mosi pembatasan wewenang bendahara istana. Nama Anda disebut.”Rael tersenyum tipis, bukan karena terkejut—melainkan karena yakin. “Berarti umpan kita termakan.” Ia berdiri, melangkah ke jendela. Dari sana, halaman istana tampak tenang, padahal di baliknya arus intrik berputar seperti pusaran. “Siapa yang mendorong?”“Lord Varek,” jawab utusan itu. “Didukung dua keluarga dagang pelabuhan.”“Dua keluarga yang utangnya menggunung pada kas kerajaan,” gumam Rael. “Baik. Sampaikan pada orang kita di pelabuhan: tutup keran kredit mereka. Jangan kasar. Cukup berhenti menolong.”Utusan itu ragu
Pagi berikutnya datang tanpa tanda bahaya, justru itu yang membuat Rael semakin waspada. Istana terlalu rapi, terlalu patuh. Dalam politik, ketenangan yang sempurna biasanya berarti seseorang sedang menyiapkan kejutan.Rael baru saja duduk ketika Lorian masuk dengan wajah lebih serius dari biasanya. Tidak tergesa, tapi jelas menahan sesuatu.“Ada apa?” tanya Rael tanpa mengangkat kepala dari dokumen.“Permintaan audiensi pribadi,” jawab Lorian. “Dari Dewan Dagang. Bukan lewat jalur resmi. Mereka ingin bertemu Anda… tanpa Kaisar.”Rael berhenti membaca. Perlahan ia mengangkat pandangan. “Tanpa Kaisar,” ulangnya.“Ya.”Rael tersenyum tipis. “Menarik. Orang-orang yang biasanya bersembunyi di balik stempel sekarang ingin bicara langsung.”Ia berdiri. “Terima. Tapi di ruang terbuka.”Lorian mengerutkan kening. “Bukankah itu berisiko?”“Justru karena berisiko,” jawab Rael tenang. “Mereka ingin kesepakatan. Aku ingin saksi.”---Dewan Dagang datang lengkap. Enam orang, pakaian mahal, senyum
Malam itu hujan turun tipis, seperti ragu-ragu menyentuh atap istana. Rael berdiri di balik tirai jendela, memperhatikan lampu-lampu kota yang redup satu per satu. Ia tidak tidur. Orang-orang seperti Velkan tidak pernah menyerang saat terang—mereka memilih saat semua orang lelah.Ketukan pelan terdengar di pintu.“Masuk,” kata Rael.Seorang penjaga pribadi Kaisar masuk, wajahnya tegang. “Tuanku… ada pergerakan aneh di barak timur. Perwira tertentu dipindahkan tanpa perintah resmi.”Rael menarik napas pendek. Akhirnya.“Siapa yang menandatangani pemindahan?”“Perintah lisan. Mengatasnamakan stabilitas.”Rael tersenyum tipis. “Velkan.”Penjaga itu ragu. “Apakah kita perlu—”“Tidak,” potong Rael. “Biarkan.”Penjaga terdiam, lalu memberanikan diri bertanya, “Tuanku tidak khawatir?”Rael menoleh. Tatapannya tajam, tapi suaranya rendah. “Aku khawatir sejak hari pertama aku duduk di kursi ini. Bedanya, sekarang aku tahu dari mana pukulannya akan datang.”---Keesokan paginya, kabar itu meled
Rael menghilang tanpa suara.Tidak ada pengumuman, tidak ada surat izin, tidak ada rumor resmi. Pada pagi pertama ketidakhadirannya, para juru tulis tetap menata meja kerjanya, berharap ia akan muncul seperti biasa—langkah tenang, wajah lelah, mata yang selalu lebih dulu membaca ruangan sebelum dokumen.Namun siang berlalu. Kursinya tetap kosong.“Dia terlambat?” bisik seorang pejabat muda.“Rael tidak pernah terlambat,” jawab yang lain pelan, seolah nama itu sendiri bisa mendengar.Hari kedua, ketidakhadirannya mulai terasa seperti duri kecil di telapak kaki. Tidak melumpuhkan, tapi mengganggu setiap langkah. Audit tertahan karena satu catatan silang hanya Rael yang tahu cara membacanya. Dewan saling melempar tanggung jawab.“Biasanya Rael yang memutuskan ini,” kata seorang anggota Dewan.“Lalu sekarang siapa?” sahut yang lain dengan nada kesal.Tak ada jawaban.Hari ketiga, duri itu berubah menjadi luka.Seorang jenderal membanting meja dalam rapat logistik. “Tanpa persetujuan akhir