MasukMak Risa yang saat itu baru pulang dari istana menemukan Rael tak berdaya di pinggir jalan. Dengan sigap ia memapah tubuh pemuda itu dan membawanya pulang untuk mendapatkan perawatan. Ia adalah tabib istana senior—meski usianya tak muda lagi, keahliannya masih sangat dipercayai di kerajaan. Karena itulah, ia mengetahui banyak hal tentang sejarah istana dan keluarga bangsawan.Sesampainya di rumah, Mak Risa memanggil suaminya untuk membantu.“Tolong bantu aku merawat anak muda ini,” ujarnya seraya membuka mantel Rael yang basah oleh keringat.Halim, suami Mak Risa, menatap Rael dengan kening mengernyit.“Kenapa dia?”“Pingsan. Dan tubuhnya panas sekali. Luka-lukanya juga parah… aku khawatir ada infeksi,” jawab Mak Risa cepat.Dengan cekatan, Halim mengangkat tubuh Rael dan membawanya ke dalam. Ia tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya saat melihat luka bakar dan sayatan di sekujur lengan pemuda itu.“Kau menemukannya di mana? Luka-luka seperti ini bukan luka orang desa,”kata Halim s
Suara langkah kaki dan gemerisik ranting terdengar di tengah malam. Beberapa penduduk desa yang sedang berpatroli dengan lentera di tangan berhenti ketika melihat sosok tergeletak di tepi jalan berbatu.“Siapa itu?” tanya salah satu dari mereka dengan nada waspada.Lentera diangkat lebih tinggi. Sinar kuning pucat menyorot wajah Rael yang pucat dan berdebu. Bibirnya kering, napasnya tersengal lemah.“Orang ini masih hidup!” seru seorang pemuda, segera berjongkok memeriksa denyut nadinya.Tanpa pikir panjang, dua orang lain membantu mengangkat tubuh Rael. “Cepat, bawa ke rumah Pak Lurah. Ia tahu cara menolong orang pingsan.”Langkah mereka tergesa di antara kabut malam. Desa kecil itu sunyi, hanya terdengar anjing menggonggong dari kejauhan.Sesampainya di rumah panggung sederhana, seorang perempuan tua membuka pintu. “Siapa yang kalian bawa malam-malam begini?” tanyanya curiga.“Orang asing, Bu. Kami menemukannya di tepi jalan. Kelihatannya habis melarikan diri dari sesuatu.”Perempua
Pintu ruangan itu terbuka lebar. Nyonya rumah masuk dengan langkah cepat, wajahnya muram dan penuh amarah. Namun Rael justru berdiri santai di tengah ruangan, memegang selembar dokumen bersegel merah. Senyum sinis tersungging di wajahnya.“Rael!” suara Nyonya rumah meledak. “Kau berani kembali ke sini?”Rael memutar tubuh perlahan, lalu melemparkan map itu ke arah meja. Map itu terbuka di udara, lembaran-lembaran laporan jatuh berserakan di lantai.“Lihatlah itu,” katanya dengan nada mengejek. “Bukti penyelundupan dari gudangmu sendiri. Segalanya tercatat dengan tanda tangan orang-orang kepercayaanmu.”Nyonya rumah memungut salah satu lembaran dengan tangan gemetar. Tatapannya berubah dari marah menjadi bingung. “Apa ini…?”“Kau pikir aku bekerja untukmu? Tidak,” Rael terbahak pendek, nadanya tajam. “Kau berkuasa, tapi tetap saja dibodohi. Dikhianati oleh orang-orang yang kau percayai. Bagaimana rasanya, Nyonya? Dikhianati oleh anak buahmu sendiri?”Nyonya rumah mendongak, wajahnya me
Rael menarik tangan Tian dengan paksa. “Cepat ikut aku!” katanya tajam. Ia meraih selembar kain goni yang tergeletak di dekat tumpukan pupuk, mencelupkannya ke ember berisi air, lalu membungkus tangan Tian yang mulai merah karena panas.“Asapnya makin tebal!” teriak salah satu pekerja dari arah ladang.“Ke parit! Cepat!” Rael menyeret Tian menuju parit kecil di pinggir kebun. Air di sana keruh tapi cukup untuk meredam panas. Ia menekan tangan Tian ke dalam air, memastikan luka itu tak semakin parah.“Jangan banyak gerak, biar dinginnya masuk dulu,” ujar Rael cepat, napasnya berat karena berlari.Tapi begitu menoleh ke arah gudang, matanya membelalak—api sudah merambat sampai ke tumpukan jerami di dekat dinding kayu. Suara letupan kecil terdengar, disusul percikan bara.“Ambil air! Cepat!” teriak Rael pada para pekerja yang mulai panik. “Gunakan ember, baskom—apa saja! Siram dari sisi barat, jangan dekat-dekat ke angin!”Perintahnya terdengar lantang dan tegas. Para pekerja berlari, me
Penjaga memeriksa setiap sudut gudang dengan teliti. Lampu minyak di tangannya bergoyang, bayang-bayangnya menari di dinding yang lembap. Suara benda logam bergeser, peti-peti dibuka satu per satu, dan kain penutup disingkap dengan hati-hati.Rael berdiri di luar pintu, pura-pura tampak tenang, padahal jantungnya berdebar cepat. Tangannya bahkan sempat menggenggam ujung bajunya sendiri, berusaha menahan kegelisahan.“Tidak ada apa-apa di sini, Tuan,” ucap salah satu penjaga setelah memeriksa peti terakhir.“Periksa sekali lagi,” sahut kepala penjaga dengan nada curiga. Ia menunduk, menyorotkan cahaya ke sudut ruangan. “Aku yakin tadi seseorang mondar-mandir di sekitar gudang ini.”Rael menelan ludah, mencoba menjaga wajahnya tetap datar. “Kau mungkin salah lihat,” katanya pelan namun mantap. “Aku yang datang ke sini lebih dulu, hanya mengambil pupuk untuk kebun. Mungkin itu yang kau lihat.”Kepala penjaga menatap Rael tajam, seolah mencoba membaca sesuatu dari sorot matanya. Namun set
“Tidak apa-apa, Tian. Kau tak perlu tegang,” kata Rael menenangkan, suaranya terdengar datar tapi mantap. Meski begitu, wajahnya tampak lelah—kemejanya kusut, dan rambutnya sedikit berantakan karena angin sore yang mulai mendingin.Tian menatapnya dengan cemas. “Baiklah... semoga tak terjadi apa-apa. Aku mulai takut, Rael. Sebenarnya, apa yang sedang kau kerjakan?” suaranya menurun, nyaris berbisik, seolah takut ada telinga lain yang mendengar.Rael menarik napas panjang. Pandangannya menembus ke arah ladang yang mulai diselimuti kabut senja. “Jangan khawatirkan aku,” ujarnya pelan tapi tegas. “Aku punya ide lain. Malam ini aku akan ke gudang lagi.”Tian langsung menegakkan tubuhnya, terkejut. “Ke gudang? Untuk apa?” tanyanya cepat. Ia tahu tempat itu dijaga ketat, bahkan seekor tikus pun akan kesulitan masuk tanpa meninggalkan jejak.Rael menunduk sejenak, suaranya merendah. “Ada hal yang harus aku selidiki,” ucapnya. Tatapan matanya menyipit, penuh tekad. Dalam pikirannya masih terb






