Setelah sama-sama mundur selangkah, menciptakan jarak aman, Alina dan Revan hanya berdiri diam. Tak ada yang tahu harus berkata apa.
Akhirnya, tanpa dikomando, seolah ditarik oleh logika yang sama, mereka berdua membungkuk untuk mengangkat keranjang itu.
Satu di sisi kanan, satu di sisi kiri.
Perjalanan singkat dari dermaga kembali ke vila terasa begitu panjang. Mereka berjalan dalam kebisuan, hanya fokus untuk menyeimbangkan beban berat di antara mereka.
Sebuah metafora yang begitu sempurna untuk pernikahan mereka.
Sebuah beban yang harus mereka pikul berdua, dalam diam.
Sesampainya di ruang tengah, mereka meletakkan keranjang itu di atas lantai dengan helaan napas lega yang tak terucap.
"Buka saja," kata Revan datar, seolah itu adalah tugas Alina. Ia sendiri langsung berjalan ke minibar, menjaga jarak.
Alina berjongkok dan membuka penutup keranjang anyaman itu.
Isinya bukan sekadar makanan.
Di antara beberapa kotak berisi kue-kue kering dan buah-buahan segar, ada satu set perlengkapan snorkeling untuk dua orang, sebotol losion tabir surya dengan SPF tinggi, dan…
Sebuah kamera Polaroid berwarna putih gading.
Di atas kamera itu, terselip sepucuk surat kecil dengan tulisan tangan Kakek Bramantyo yang khas.
Alina & Revan,
Jangan lupa abadikan momen-momen indah kalian. Kakek tunggu koleksi foto pertamanya!
Peluk hangat, Kakek
Alina menatap kamera itu dengan ngeri.
Oh, bagus. Pekerjaan rumah baru.
Tuntutan untuk "mengabadikan momen" ini membuat suasana menjadi seratus kali lebih canggung.
Revan, yang melihat ekspresi Alina, berjalan mendekat. Matanya melirik kamera Polaroid itu dengan tatapan tidak suka. Jelas sekali, ia juga tidak nyaman dengan ide ini.
Pria itu butuh jalan keluar.
Dan matanya yang tajam dengan cepat menemukan rute pelarian itu.
Buku sketsa Alina, yang masih tergeletak di dekat kopernya.
"Sebelum kita melakukan hal konyol ini," kata Revan, menunjuk Polaroid itu dengan dagunya. Nada suaranya terdengar lega karena berhasil menemukan topik lain.
"Aku mau lihat hasil kerjamu."
Alina mengangkat wajahnya, bingung.
"Buktikan kalau klausul yang kau ajukan semalam itu bukan cuma gertakan."
Revan berhasil.
Ia menarik Alina dari "medan perang personal" yang canggung ke "medan perang profesional" yang ia kuasai.
Adegan berpindah ke meja makan besar yang terbuat dari kayu, yang kini beralih fungsi menjadi meja presentasi dadakan.
Ini adalah ujian pertama bagi klausul yang diperjuangkan Alina.
Dengan sedikit kesal, tapi juga tertantang, Alina membuka buku sketsanya. Ia mulai menjelaskan ide-ide kasarnya untuk proyek resort di Bintan yang diberikan Revan.
Awalnya, suaranya sedikit gemetar.
Tapi kemudian, sesuatu terjadi.
Saat tangannya mulai menari-nari di atas kertas, menunjuk garis-garis dan arsiran pensil, suaranya menjadi lebih mantap. Gairahnya sebagai seorang arsitek mengambil alih.
"Konsep utamanya adalah biophilic design," jelasnya, matanya kini berbinar. "Kita tidak membangun 'di atas' alam, tapi kita membangun 'bersama' alam. Setiap vila akan punya akses visual dan fisik langsung ke taman atau laut. Sirkulasi udaranya harus maksimal, jadi kita bisa meminimalisir penggunaan AC…"
Ia terus berbicara, benar-benar tenggelam dalam dunianya.
Ia lupa sedang bicara dengan siapa. Ia lupa di mana ia berada.
Yang ada hanya dirinya, visinya, dan kertas-kertas di hadapannya.
Revan, yang tadinya hanya ingin mengalihkan pembicaraan, kini benar-benar mendengarkan.
Ia tidak lagi bersandar santai. Tubuhnya sedikit condong ke depan, matanya yang tajam menatap lekat-lekat setiap detail sketsa Alina.
Lalu, tatapannya beralih dari sketsa itu ke wajah Alina.
Dan untuk pertama kalinya, ia tidak melihat "istri kontrak"-nya.
Ia melihat seorang profesional. Seorang arsitek yang brilian, yang berbicara dengan api di matanya.
Setelah Alina selesai menjelaskan, keheningan menyelimuti mereka. Alina menahan napas, menunggu kritik tajam atau komentar dingin yang sudah ia antisipasi.
Revan terdiam cukup lama.
Ia menatap sketsa itu sekali lagi, lalu kembali menatap Alina.
"Tidak buruk."
Hanya dua kata.
Tapi dari seorang Revan Adhitama, yang hidup dengan standar kesempurnaan, dua kata itu terasa seperti pujian setinggi langit.
Alina terpaku, tidak tahu harus merespons apa.
Perasaan campur aduk itu, antara euforia dan rasa tercekik, terus menemani Alina sepanjang sisa hari itu.Ia kembali ke ruko tua Cipta Ruang Estetika sore itu seperti seorang astronot yang baru kembali ke bumi. Langit-langit yang rendah, dinding yang sedikit terkelupas, dan aroma kertas yang khas kini terasa begitu... sesak. Begitu kecil.Padahal, baru kemarin pagi, tempat ini adalah seluruh dunianya.Ia menatap Deni dan Sinta, dua karyawannya yang paling setia, yang sedang sibuk di depan komputer mereka masing-masing.Bagaimana cara memberitahu mereka? "Hei, kita dapat durian runtuh, kita akan pindah ke gedung pencakar langit besok"? Terdengar seperti lelucon.Malamnya, di rumah Revan, Alina tidak bisa tidur. Ia mondar-mandir di kamarnya, menyusun kata-kata di kepalanya. Ia har
Pagi pertama setelah kembali ke Jakarta terasa sangat aneh.Alina terbangun di kamarnya, tapi untuk pertama kalinya, ia tidak merasa seperti seorang penyusup. Ia merasa... seperti penghuni. Kesadaran bahwa Revan tidur di kamar tamu, bukan di sofa, entah kenapa memberikan sebuah rasa aman yang tidak bisa ia jelaskan.Saat ia turun ke ruang makan, Revan sudah ada di sana.Pria itu duduk di meja makan, bukan dengan tablet atau laporan bisnis, tapi dengan secangkir kopi hitam dan koran pagi yang terlipat rapi. Sebuah pemandangan yang anehnya terlihat sangat domestik.Bi Sumi sedang menata sarapan di atas meja. Kali ini, ada Lontong Sayur dengan aroma santan dan rempah yang menggugah selera. Wanita paruh baya itu melirik interaksi canggung antara tuan dan nyonya barunya dengan senyum tipis yang tersembunyi."Pagi," sapa Alina pelan, sambil menarik kursi."Pagi," balas Revan, matanya masih tertuju pada koran. "Tidurmu nyenyak?"Pertanyaan basa-basi itu terasa begitu tidak biasa keluar dari
Perjalanan dari rumah Kakek kembali ke kediaman Revan terasa begitu sunyi.Tapi ini bukan lagi keheningan yang menusuk seperti di awal pernikahan mereka. Ini adalah keheningan yang berisi. Penuh dengan kata-kata yang tak terucap, penuh dengan pemahaman baru yang masih terasa asing.Pujian Revan di dalam mobil tadi masih terngiang di telinga Alina.Itu... langkah yang bagus.Sebuah pengakuan. Dari seorang partner.Pikiran itu membuat sudut bibir Alina sedikit terangkat tanpa ia sadari.Saat mobil hitam itu akhirnya memasuki gerbang rumah Revan yang menjulang, Alina merasakan sedikit debaran di dadanya. Aneh. Dulu, ia selalu merasa seperti memasuki sebuah penjara yang megah. Sekarang... rasanya lebih seperti pulang ke sebuah markas. Markas aliansi mereka yang aneh.Bi Sumi sudah menunggu di ambang pintu, dengan senyumnya yang tulus."Selamat datang kembali, Tuan, Nyonya," sapanya. Matanya yang jeli itu langsung menyapu penampilan mereka berdua."Terima kasih, Bi," jawab Alina.Revan ha
Tadaa!! Akhirnya telah tiba!Rumah Kakek Bramantyo terasa seperti sebuah kapsul waktu.Udara di dalamnya sejuk, membawa aroma samar kayu jati tua dan bunga sedap malam dari sebuah vas besar di sudut ruangan.Perabotannya antik, lantainya marmer dingin, dan setiap sudutnya seolah menyimpan cerita dari generasi-generasi sebelumnya.Ini adalah pusat kekuasaan yang sesungguhnya, sebuah benteng di mana kesepakatan bisnis miliaran rupiah mungkin diputuskan bukan di ruang rapat, tapi di atas secangkir teh sore di taman belakang.Dan kini, Alina melangkah masuk ke dalamnya, bergandengan tangan dengan sang pewaris takhta.Genggaman tangan Revan terasa kokoh di tangannya. Bukan lagi genggaman posesif atau genggaman untuk pertunjukan. Ini terasa seperti genggaman seorang partner, sebuah jangkar di tengah lautan yang tidak ia kenali.Mereka menemukan Kakek Bramantyo di ruang keluarga, duduk di kursi berlengan favoritnya ya
Kabin jet pribadi itu.. ah.. suasananya begitu hening.Hanya ada deru mesin yang halus sebagai musik latar perjalanan mereka kembali ke Jakarta. Di luar jendela, gumpalan awan putih membentang seperti karpet kapas yang tak berujung.Dunia di ketinggian tiga puluh ribu kaki seharusnya terasa damai, tempat di mana semua masalah di darat terlihat kecil. Tapi bagi Alina, keheningan di dalam kabin jet pribadi ini justru membuat semua masalah di kepalanya terdengar lebih nyaring.Ia duduk di kursi kulit yang empuk, tapi tubuhnya terasa kaku. Di seberangnya, Revan kembali tenggelam dalam dunianya. Tablet di tangan, jari-jarinya menari di atas layar, matanya fokus pada barisan angka dan grafik.Pria itu sudah kembali menjadi mesin. Seolah semua drama di Singapura—Leo, ancaman, cokelat, pujian—hanyalah sebuah anomali, sebuah glitch dalam sistemnya yang kini sudah kembali normal.Apa dia benar-benar tidak terpengaruh sama sekali?Pikiran itu membuat Alina sedikit kesal.Atau... apa ini caran
Dan begitulah akhir dari drama babak pertama.Satu bantingan pintu yang keras.Setelah itu? Hening. Tapi ini bukan hening yang biasa. Ini adalah hening yang punya bobot, yang terasa menekan bahu, yang membuat udara di dalam suite mewah itu terasa sulit untuk dihirup.Alina masih berdiri mematung di balik pintu kamarnya, tangannya yang gemetar masih mencengkeram gagang pintu. Jantungnya berdebar begitu kencang, memompa campuran antara rasa takut dan adrenalin ke seluruh tubuhnya.Ia mendengar langkah kaki Revan yang menjauh dari pintu utama, lalu berhenti.Dengan napas yang tertahan, Alina memberanikan diri. Ia membuka pelan pintu kamarnya.Revan berdiri di tengah ruangan, memunggunginya. Bahunya terlihat tegang.Saat pria itu berbalik, tatapan mereka bertemu.Dan di sanalah Alina melihatnya. Wajahnya yang pucat, tangannya yang sedikit gemetar. Revan, yang seolah bisa membaca setiap detail kecil, pasti menyadari bahwa pertahanannya telah runtuh.Alina sudah siap untuk apa pun. Siap