Home / Romansa / Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin / BAB 13 : Bahasa yang Sama

Share

BAB 13 : Bahasa yang Sama

Author: TenMaRuu
last update Huling Na-update: 2025-07-16 03:00:14

TIDAK BURUK.

Dua kata itu terasa menggantung di udara.

Sebuah komentar singkat yang terasa lebih mengena daripada semua percakapan mereka sebelumnya.

Entah kenapa.

Alina masih terpaku, mencoba mencerna pujian langka yang baru saja ia terima. Ada sedikit kelegaan yang aneh, seolah ia baru saja melewati sebuah ujian yang tidak ia sadari sedang berlangsung.

Tapi ternyata, ujian itu belum selesai.

Itu terasa masih babak kualifikasi.

Revan tidak beralih topik. Ia tidak melirik kamera Polaroid atau keranjang hadiah dari kakeknya.

Sebaliknya, ia menarik sebuah kursi dari meja makan itu dan duduk di seberang Alina.

Seketika, atmosfer di ruangan itu berubah.

Jika tadi ia adalah "suami kontrak" yang dingin, kini ia bertransformasi sepenuhnya menjadi seorang klien. Seorang CEO Adhitama Corp yang terkenal perfeksionis dan tidak kenal ampun.

Matanya yang tajam kini menatap sketsa Alina, bukan lagi dengan rasa penasaran, tapi dengan tatapan seorang elang yang sedang membedah mangsanya.

"Konsep biophilic ini bagus, terlihat ada nilai jual-nya," katanya, nadanya kembali datar dan analitis.

"Tapi bagaimana dengan perawatannya dalam iklim tropis yang lembap seperti di Bintan? Material apa yang kau usulkan untuk 'wajah bangunan' agar tahan terhadap korosi air laut dalam jangka waktu dua puluh tahun atau lebih? ini soal jangka panjang"

Pertanyaan itu datang begitu cepat, begitu teknis.

"Lalu, sistem pengolahan limbahnya? Konsepmu yang katanya 'menyatu dengan alam' ini butuh sistem yang sangat canggih agar tidak justru merusak alam itu sendiri. antara alam dan modernitas itu harus seimbang, Dan yang terpenting,"

ia berhenti sejenak, tatapannya menajam,

"bagaimana dengan budget per unit? Visimu terlihat sangat mahal, Alina."

Ini bukan lagi obrolan.

Ini adalah interogasi.

Alina, yang tadinya sempat merasa sedikit lega, kini kembali menegakkan punggungnya. Rasa kesal karena diuji terus-menerus bercampur dengan percikan semangat yang kompetitif.

Ini adalah wilayahnya. Ini adalah bahasanya.

Ia pun merespon,

"Untuk perawatan, kita bisa pakai sistem ventilasi silang yang sudah aku rancang untuk mengurangi kelembapan secara alami," jawabnya, suaranya kini mantap dan penuh percaya diri. "Material fasadnya, saya mengusulkan kombinasi kayu ulin yang  didaur ulang yang sudah terbukti tahan cuaca dan panel GRC yang di-treatment khusus anti-garam. Soal limbah, kita bisa pakai sistem eco-septic terintegrasi yang..."

Terjadilah sebuah duel yang aneh di meja makan itu.

Bukan lagi duel antara suami dan istri, walaupun 'palsu' yah.

Ini adalah duel jenius antara dua profesional yang sama-sama terobsesi pada kesempurnaan.

Revan menyerang dengan pertanyaan-pertanyaan tajam soal budget dan efisiensi.

Alina kekeh dengan argumen-argumen kuat soal estetika, model keberlanjutan, dan inovasi.

Mereka seperti lupa sejenak siapa diri mereka.

Lupa pada kontrak, Lupa pada pulau, Lupa pulak pada kepura-puraan.

Yang ada hanya dua otak jenius yang sedang beradu, mencoba menemukan solusi terbaik untuk sebuah masalah.

"Hm.. Struktur atapmu terlalu rumit. Pasti akan memakan banyak biaya dan waktu," kata Revan sambil menunjuk salah satu sketsa detail Alina.

"Tapi struktur itu yang akan memberikan signature look pada keseluruhan resort, Revan." balas Alina tak mau kalah. "Dan itu akan memaksimalkan pencahayaan alami, jadi kita bisa hemat biaya listrik dalam jangka panjang."

"Aku tidak yakin dengan aliran udaranya di bagian ini," kata Revan, menyipitkan matanya.

Alina mencoba menjelaskan, tangannya bergerak-gerak di udara, tapi ia kesulitan menemukan kata yang pas.

"Maksudku, kalau angin datang dari arah tenggara, udara panas bisa terperangkap di sini, jadi..."

Tiba-tiba, Revan mengambil pensil 2B yang tergeletak di samping buku sketsa Alina.

Dengan beberapa tarikan garis yang cepat, tegas, dan sangat presisi, ia membuat sebuah sketsa kecil di sudut kertas kosong.

Sebuah sketsa potongan detail ventilasi tersembunyi.

"Maksudmu seperti ini?" tanyanya.

Alina terpaku.

Sketsa kecil itu… sempurna.

Tepat seperti apa yang ada di kepalanya, yang tidak bisa ia jelaskan dengan kata-kata.

Revan baru saja menyelesaikan kalimatnya, tapi dengan menggunakan bahasa gambar.

Bahasa yang sama, yang mereka berdua kuasai.

Keheningan menyelimuti mereka lagi. Kali ini, bukan diam-diaman yang canggung atau dingin.

Ini adalah keheningan yang dipenuhi oleh pemahaman.

Revan menatap sketsa kecilnya, lalu menatap Alina. Alina menatap sketsa itu, lalu menatap Revan. Untuk sesaat, 'tembok' di antara mereka runtuh.

Revan berdehem, seolah sadar telah menunjukkan terlalu banyak. Ia meletakkan pensil itu kembali.

"Oke," katanya, nadanya kembali profesional. "Aku setuju dengan arah konsep ini."

Ia bangkit berdiri.

"Kirimkan proposal lengkapnya, termasuk estimasi budget awal, dalam tiga hari."

Setelah mengatakan itu, ia berbalik dan berjalan menuju balkon, meninggalkan Alina yang masih duduk termangu di meja makan.

Mata Alina tidak menatap punggung Revan yang menjauh.

Matanya terpaku pada selembar kertas di hadapannya.

Wow!

Di sana, di atas kertas yang sama, visinya dan visi Revan kini menyatu.

Goresan pensilnya dan goresan pensil pria itu kini berdampingan.

Dan Alina tidak tahu lagi, apakah ini sebuah kemenangan… atau awal dari masalah yang jauh lebih rumit.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   Bab 29 : Aturan Main yang Baru

    Perjalanan dari rumah Kakek kembali ke kediaman Revan terasa begitu sunyi.Tapi ini bukan lagi keheningan yang menusuk seperti di awal pernikahan mereka. Ini adalah keheningan yang berisi. Penuh dengan kata-kata yang tak terucap, penuh dengan pemahaman baru yang masih terasa asing.Pujian Revan di dalam mobil tadi masih terngiang di telinga Alina.Itu... langkah yang bagus.Sebuah pengakuan. Dari seorang partner.Pikiran itu membuat sudut bibir Alina sedikit terangkat tanpa ia sadari.Saat mobil hitam itu akhirnya memasuki gerbang rumah Revan yang menjulang, Alina merasakan sedikit debaran di dadanya. Aneh. Dulu, ia selalu merasa seperti memasuki sebuah penjara yang megah. Sekarang... rasanya lebih seperti pulang ke sebuah markas. Markas aliansi mereka yang aneh.Bi Sumi sudah menunggu di ambang pintu, dengan senyumnya yang tulus."Selamat datang kembali, Tuan, Nyonya," sapanya. Matanya yang jeli itu langsung menyapu penampilan mereka berdua."Terima kasih, Bi," jawab Alina.Revan ha

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   Bab 28 : Laporan kepada atasan

    Tadaa!! Akhirnya telah tiba!Rumah Kakek Bramantyo terasa seperti sebuah kapsul waktu.Udara di dalamnya sejuk, membawa aroma samar kayu jati tua dan bunga sedap malam dari sebuah vas besar di sudut ruangan.Perabotannya antik, lantainya marmer dingin, dan setiap sudutnya seolah menyimpan cerita dari generasi-generasi sebelumnya.Ini adalah pusat kekuasaan yang sesungguhnya, sebuah benteng di mana kesepakatan bisnis miliaran rupiah mungkin diputuskan bukan di ruang rapat, tapi di atas secangkir teh sore di taman belakang.Dan kini, Alina melangkah masuk ke dalamnya, bergandengan tangan dengan sang pewaris takhta.Genggaman tangan Revan terasa kokoh di tangannya. Bukan lagi genggaman posesif atau genggaman untuk pertunjukan. Ini terasa seperti genggaman seorang partner, sebuah jangkar di tengah lautan yang tidak ia kenali.Mereka menemukan Kakek Bramantyo di ruang keluarga, duduk di kursi berlengan favoritnya ya

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   Bab 27 : Laporan Bulan Madu

    Kabin jet pribadi itu.. ah.. suasananya begitu hening.Hanya ada deru mesin yang halus sebagai musik latar perjalanan mereka kembali ke Jakarta. Di luar jendela, gumpalan awan putih membentang seperti karpet kapas yang tak berujung.Dunia di ketinggian tiga puluh ribu kaki seharusnya terasa damai, tempat di mana semua masalah di darat terlihat kecil. Tapi bagi Alina, keheningan di dalam kabin jet pribadi ini justru membuat semua masalah di kepalanya terdengar lebih nyaring.Ia duduk di kursi kulit yang empuk, tapi tubuhnya terasa kaku. Di seberangnya, Revan kembali tenggelam dalam dunianya. Tablet di tangan, jari-jarinya menari di atas layar, matanya fokus pada barisan angka dan grafik.Pria itu sudah kembali menjadi mesin. Seolah semua drama di Singapura—Leo, ancaman, cokelat, pujian—hanyalah sebuah anomali, sebuah glitch dalam sistemnya yang kini sudah kembali normal.Apa dia benar-benar tidak terpengaruh sama sekali?Pikiran itu membuat Alina sedikit kesal.Atau... apa ini caran

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 26 : Pertolongan Pertama

    Dan begitulah akhir dari drama babak pertama.Satu bantingan pintu yang keras.Setelah itu? Hening. Tapi ini bukan hening yang biasa. Ini adalah hening yang punya bobot, yang terasa menekan bahu, yang membuat udara di dalam suite mewah itu terasa sulit untuk dihirup.Alina masih berdiri mematung di balik pintu kamarnya, tangannya yang gemetar masih mencengkeram gagang pintu. Jantungnya berdebar begitu kencang, memompa campuran antara rasa takut dan adrenalin ke seluruh tubuhnya.Ia mendengar langkah kaki Revan yang menjauh dari pintu utama, lalu berhenti.Dengan napas yang tertahan, Alina memberanikan diri. Ia membuka pelan pintu kamarnya.Revan berdiri di tengah ruangan, memunggunginya. Bahunya terlihat tegang.Saat pria itu berbalik, tatapan mereka bertemu.Dan di sanalah Alina melihatnya. Wajahnya yang pucat, tangannya yang sedikit gemetar. Revan, yang seolah bisa membaca setiap detail kecil, pasti menyadari bahwa pertahanannya telah runtuh.Alina sudah siap untuk apa pun. Siap

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 25 : Jangan Sentuh Dia

    Perjalanan kembali ke suite hotel di dalam lift terasa begitu berbeda.Jika tadi pagi lift ini terasa seperti sebuah kotak sempit yang menyesakkan, kini lift yang sama terasa seperti podium kemenangan yang sunyi.Alina tidak berkata apa-apa. Revan pun diam.Tapi keheningan di antara mereka tidak lagi canggung. Ada sebuah pemahaman baru yang menggantung di udara. Sebuah pengakuan tanpa kata bahwa mereka baru saja melewati sebuah pertempuran bersama.Dan mereka menang.Begitu pintu suite tertutup di belakang mereka, Alina akhirnya bisa bernapas dengan lega. Adrenalin yang sejak tadi membuatnya berdiri tegak kini mulai surut, meninggalkan perasaan lelah yang memuaskan.Ia melepaskan sepatunya yang berhak tinggi dan berjalan ke arah jendela, menatap lampu kota Singapura yang kini terasa lebih ramah."Kerja bagus," sebuah suara tiba-tiba memecah keheningan.Alina menoleh.Revan berdiri di

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 24 : Konsep yang Jujur

    Boardroom itu terasa dingin, bukan hanya karena pendingin ruangan yang disetel rendah, tapi juga karena atmosfer di dalamnya.Di satu sisi meja panjang yang mengilap, duduklah Leo Santoso, dengan senyum percaya diri yang seolah sudah memenangkan pertempuran bahkan sebelum dimulai.Di sisi lain, duduklah Alina. Jantungnya berdebar kencang, tapi ia memaksakan punggungnya untuk tetap tegak. Di sampingnya, Revan duduk dengan tenang, wajahnya adalah topeng netralitas yang sempurna. Ia benar-benar memposisikan diri sebagai klien, sebagai juri.Selain mereka bertiga, ada dua orang lain di ruangan itu. Dua investor dari Singapura yang mewakili pihak penanam modal.Yang pertama adalah Mr. Chen, seorang pria paruh baya dengan pembawaan tenang dan tatapan mata yang bijak.Yang kedua adalah Ms. Yuo, seorang wanita muda yang terlihat sangat cerdas dan kritis, dengan kacamata berbingkai tipis dan tatapan yang seolah bisa memindai setiap kebohongan."Baik, terima kasih atas kehadirannya," Revan mem

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status