"Kau mencoba membeli loyalitas tim-ku. Itu tidak ada dalam kesepakatan kita, Revan."Tuduhan itu menggantung di udara, tajam dan penuh amarah.Alina berdiri di depan meja kerja Revan, napasnya sedikit memburu. Ia sudah siap untuk perang. Siap untuk semua argumen dingin dan logika bisnis yang akan dilemparkan Revan untuk membela tindakannya.Tapi Revan tidak melakukan itu.Pria itu hanya bersandar di kursinya, menatap Alina dengan tenang. Ia tidak terlihat marah. Ia tidak terlihat terkejut. Ia hanya menatap, seolah sedang menunggu badai di dalam diri Alina sedikit mereda.Keheningannya justru terasa lebih mengintimidasi daripada teriakan.Setelah beberapa saat yang terasa begitu panjang, Revan akhirnya berbicara. Suaranya tenang, nyaris tanpa emosi."Kau pikir ini tentang loyalitas tim-mu?"Alina mengerutkan kening. "Lalu tentang apa lagi? Kau mencoba mengikat mereka dengan kontrak Adhitama, dengan gaji dan tunja
Saat setelah pintu lift tertutup dan membawa Andra beserta timnya pergi, hanya suara dengung pelan dari server baru yang mengisi keheningan di antara Alina dan Deni.Ruang kantor yang tadinya terasa seperti sebuah mimpi yang menjadi nyata, kini terasa seperti sebuah panggung pertunjukan yang megah, di mana semua propertinya bukan lagi milik Alina.Deni masih berdiri dengan mata berbinar, menatap takjub pada laptop-laptop baru yang masih terbungkus plastik."Gila, Bu," katanya, suaranya penuh kekaguman. "Ini sih spek dewa! Render 3D paling berat juga bakal lewat ini, Bu! Kita nggak perlu lagi nunggu semalaman cuma buat satu gambar."Euforia. Kegembiraan.Itulah yang Deni rasakan.Tapi Alina, merasakan hal yang sebaliknya.Ia merasakan hawa dingin yang merayap di tulang punggungnya. Setiap laptop baru, setiap server yang berdengung pelan, terasa seperti mata-mata yang ditanam Revan di jantung perusahaannya.Ia menatap Deni, lalu membayangkan wajah Sinta. Tim kecilnya. Satu-satunya harta
Perasaan campur aduk itu, antara euforia dan rasa tercekik, terus menemani Alina sepanjang sisa hari itu.Ia kembali ke ruko tua Cipta Ruang Estetika sore itu seperti seorang astronot yang baru kembali ke bumi. Langit-langit yang rendah, dinding yang sedikit terkelupas, dan aroma kertas yang khas kini terasa begitu... sesak. Begitu kecil.Padahal, baru kemarin pagi, tempat ini adalah seluruh dunianya.Ia menatap Deni dan Sinta, dua karyawannya yang paling setia, yang sedang sibuk di depan komputer mereka masing-masing.Bagaimana cara memberitahu mereka? "Hei, kita dapat durian runtuh, kita akan pindah ke gedung pencakar langit besok"? Terdengar seperti lelucon.Malamnya, di rumah Revan, Alina tidak bisa tidur. Ia mondar-mandir di kamarnya, menyusun kata-kata di kepalanya. Ia har
Pagi pertama setelah kembali ke Jakarta terasa sangat aneh.Alina terbangun di kamarnya, tapi untuk pertama kalinya, ia tidak merasa seperti seorang penyusup. Ia merasa... seperti penghuni. Kesadaran bahwa Revan tidur di kamar tamu, bukan di sofa, entah kenapa memberikan sebuah rasa aman yang tidak bisa ia jelaskan.Saat ia turun ke ruang makan, Revan sudah ada di sana.Pria itu duduk di meja makan, bukan dengan tablet atau laporan bisnis, tapi dengan secangkir kopi hitam dan koran pagi yang terlipat rapi. Sebuah pemandangan yang anehnya terlihat sangat domestik.Bi Sumi sedang menata sarapan di atas meja. Kali ini, ada Lontong Sayur dengan aroma santan dan rempah yang menggugah selera. Wanita paruh baya itu melirik interaksi canggung antara tuan dan nyonya barunya dengan senyum tipis yang tersembunyi."Pagi," sapa Alina pelan, sambil menarik kursi."Pagi," balas Revan, matanya masih tertuju pada koran. "Tidurmu nyenyak?"Pertanyaan basa-basi itu terasa begitu tidak biasa keluar dari
Perjalanan dari rumah Kakek kembali ke kediaman Revan terasa begitu sunyi.Tapi ini bukan lagi keheningan yang menusuk seperti di awal pernikahan mereka. Ini adalah keheningan yang berisi. Penuh dengan kata-kata yang tak terucap, penuh dengan pemahaman baru yang masih terasa asing.Pujian Revan di dalam mobil tadi masih terngiang di telinga Alina.Itu... langkah yang bagus.Sebuah pengakuan. Dari seorang partner.Pikiran itu membuat sudut bibir Alina sedikit terangkat tanpa ia sadari.Saat mobil hitam itu akhirnya memasuki gerbang rumah Revan yang menjulang, Alina merasakan sedikit debaran di dadanya. Aneh. Dulu, ia selalu merasa seperti memasuki sebuah penjara yang megah. Sekarang... rasanya lebih seperti pulang ke sebuah markas. Markas aliansi mereka yang aneh.Bi Sumi sudah menunggu di ambang pintu, dengan senyumnya yang tulus."Selamat datang kembali, Tuan, Nyonya," sapanya. Matanya yang jeli itu langsung menyapu penampilan mereka berdua."Terima kasih, Bi," jawab Alina.Revan ha
Tadaa!! Akhirnya telah tiba!Rumah Kakek Bramantyo terasa seperti sebuah kapsul waktu.Udara di dalamnya sejuk, membawa aroma samar kayu jati tua dan bunga sedap malam dari sebuah vas besar di sudut ruangan.Perabotannya antik, lantainya marmer dingin, dan setiap sudutnya seolah menyimpan cerita dari generasi-generasi sebelumnya.Ini adalah pusat kekuasaan yang sesungguhnya, sebuah benteng di mana kesepakatan bisnis miliaran rupiah mungkin diputuskan bukan di ruang rapat, tapi di atas secangkir teh sore di taman belakang.Dan kini, Alina melangkah masuk ke dalamnya, bergandengan tangan dengan sang pewaris takhta.Genggaman tangan Revan terasa kokoh di tangannya. Bukan lagi genggaman posesif atau genggaman untuk pertunjukan. Ini terasa seperti genggaman seorang partner, sebuah jangkar di tengah lautan yang tidak ia kenali.Mereka menemukan Kakek Bramantyo di ruang keluarga, duduk di kursi berlengan favoritnya ya