Se connecterPertanyaan ‘bagaimana dia bisa tahu?’ menghantam Alina lebih keras daripada ombak tadi.
Lututnya terasa lemas.
Bukan karena kekaguman pada vila itu lagi, melainkan karena rasa ngeri yang aneh dan merayap dingin di tulang punggungnya.
Pria ini… seolah bisa membongkar isi kepalanya. Selera arsitekturnya, sesuatu yang begitu personal, bagian dari jiwanya yang paling murni dan ia banggakan, terasa seperti sebuah buku terbuka yang baru saja dibaca Revan dengan mudahnya.
Ia merasa telanjang, bukan secara fisik, tapi secara intelektual. Identitas profesionalnya, benteng terakhirnya, kini terasa sudah luber begitu saja.
Ini lebih menakutkan daripada semua kontrak dan aturan yang ia buat.
Revan tidak menunggu jawaban. Ia melangkah melewati Alina yang masih mematung, berjalan masuk ke dalam vila seolah kalimatnya tadi adalah sebuah hukum alam yang tidak perlu diperdebatkan.
Dengan enggan, Alina mengikutinya masuk, setiap langkah terasa berat.
Interiornya sama menakjubkannya dengan eksteriornya. Perabotan kayu yang dibuat khusus dengan sambungan yang presisi, sofa linen berwarna krem yang nyaman, dan sebuah kolam renang pribadi yang tepiannya seolah menyatu dengan laut di kejauhan. Permainan cahaya matahari sore yang menerobos kisi-kisi kayu menciptakan pola bayangan yang dinamis di lantai marmer yang sejuk.
Sebuah surga.
Sebuah sangkar emas yang sempurna.
Revan berhenti di depan meja kopi besar yang terbuat dari satu lempengan kayu utuh. Di atasnya, tergeletak sebuah tablet yang menyala.
Ia tidak berkata apa-apa. Hanya menunjuk layar itu dengan dagunya. Sebuah gestur kecil yang penuh arogansi.
Alina mendekat dengan ragu. Di layar itu, terpampang sebuah jadwal yang rapi, lengkap dengan kode warna.
Jadwal Bulan Madu – R.A & A.C.D
Hari Pertama:
15:00 - 17:00: Waktu Istirahat / Menikmati Arsitektur Vila.
17:00 - 18:00: Sesi Foto Santai di Tepi Pantai (Pakaian: Kasual Musim Panas).
19:00 - 21:00: Makan Malam Romantis di Dek Utama.
21:00 ke atas: Waktu Pribadi.
Alina menatap jadwal itu dengan tidak percaya. Matanya menyapu ke bawah, melihat sekilas jadwal untuk hari kedua yang sudah terisi penuh: sarapan di tepi kolam, snorkeling, makan siang di atas kapal.
Jadi ini jawaban Revan.
Ia tahu Alina akan suka vilanya, dan ia secara arogan menjadwalkan waktu bagi Alina untuk "menikmatinya".
Seolah itu adalah bagian dari fasilitas yang ia berikan, bukan sebuah pengakuan tulus atas selera mereka yang mungkin sama. Keindahan vila ini bukan hadiah, melainkan alat kontrol.
Rasa kagumnya pada vila itu menguap seketika, digantikan oleh rasa muak yang membakar.
"Jadwal?" desis Alina, nadanya penuh sinisme. "Kau mengatur bulan madu kepalsuan kita seperti rapat dewan direksi?"
"Memangnya Kenapa?," jawab Revan singkat, tanpa menatapnya. Ia berjalan menuju minibar dan menuangkan air putih untuk dirinya sendiri.
"Semua harus terencana agar tujuan kita tercapai. Tanpa kejutan, tanpa drama."
"Tujuan?" Alina tertawa sinis, suara tawanya terdengar getir.
"Sesi foto? Untuk apa? Kau mau menjual foto pernikahan kita ke majalah gosip?"
Revan akhirnya menoleh, menatap Alina dengan tatapan dinginnya yang khas. Tatapan seorang CEO yang menilai asetnya.
"Untuk Kakek," katanya datar.
"Dan untuk berjaga-jaga.. jika ada yang 'tidak sengaja' mengambil gambar kita dari jauh. Semua harus terlihat sempurna. Setiap senyuman, setiap sentuhan, harus sesuai skenario."
"Aku tidak mau," kata Alina tegas, menatap lurus ke mata Revan.
"Ini bukan pilihan."
"Aku tidak akan berpose seperti boneka pajangan hanya demi citra keluargamu!, Camkan itu!" Suara Alina sedikit meninggi, bergema di ruangan yang luas itu, menantang keheningan yang dipaksakan Revan.
Keheningan yang tegang menyelimuti mereka.
Revan menghabiskan air di gelasnya dalam satu tegukan, lalu meletakkan gelas itu dengan pelan di atas meja. Bunyi kaca yang bertemu kayu terdengar begitu keras di tengah kesunyian. Sebuah titik di akhir kalimat.
Ia berjalan mendekati Alina. Setiap langkahnya terasa penuh perhitungan dan mengintimidasi, mempersempit ruang gerak Alina hingga ia merasa terpojok.
"Jadwal ini," katanya dengan suara rendah dan berbahaya, menunjuk ke arah tablet tanpa mengalihkan pandangannya dari Alina, "adalah bagian dari pekerjaanmu, Alina. Bagian dari kontrak yang sudah kau tanda tangani."
"Dan pekerjaan pertamamu…"
Ia melirik jam tangan mahalnya, sebuah gerakan kecil yang menegaskan siapa yang memegang kendali atas waktu.
"...akan dimulai satu jam lagi."
Tatapan Revan beralih dari wajah Alina ke arah koridor yang menuju kamar tidur.
"Gaunmu sudah disiapkan di kamar."
"Jangan sampai terlambat."
Jadi gini.Punya ide brilian itu satu hal.Ngerjainnya? Itu cerita lain.Euforia setelah Alina menemukan konsep "Api dan Air" itu cuma bertahan sekitar... dua belas jam. Setelah itu, yang tersisa adalah realita yang menampakkan wujudnya dalam bentuk tumpukan pekerjaan setinggi Gunung Everest.Studio Alina di Bintan, yang tadinya sudah mirip kapal pecah, sekarang naik level jadi lokasi syuting film post-apocalypse."Nggak, nggak, nggak!" Suara Deni terdengar nyaring dari speaker laptop, nadanya terdengar seperti orang yang baru saja lihat anak kucingnya dilindas sepeda. "Material fasad untuk Sayap Api nggak bisa pakai komposit kayu, Bu! Kurang garang! Harus pakai panel titanium hitam! Biar kayak Batmobile!"
Oke, mari kita luruskan satu hal.Momen puitis di mana seorang arsitek jenius menarik satu garis ajaib dan jreng! jadilah sebuah mahakarya?Itu bohong. Omong kosong yang dijual film-film buat bikin orang normal merasa hidup mereka membosankan.Kenyataannya jauh lebih brutal.Seminggu setelah "paket amunisi" dari Revan mendarat, studio Alina di Bintan lebih mirip lokasi bencana daripada tempat lahirnya sebuah ide brilian.Ada tumpukan kertas kalkir yang gagal di sudut ruangan, tingginya sudah bisa jadi kursi tambahan. Cangkir-cangkir kopi kosong berjejer di setiap permukaan datar kayak pion-pion catur yang kalah perang. Dan bau di ruangan itu adalah campuran aneh antara bau kertas, tinta, dan keputusasaan.
Kalau di film-film, adegan kayak gini biasanya diiringi musik yang menegangkan. Montage cepat. Kopi dituang, kertas dilempar, orang-orang nggak tidur tiga hari tiga malam, terus tiba-tiba jreng! jadilah sebuah mahakarya.Kenyataannya... yah, kurang lebih sama. Cuma lebih bau kopi basi dan lebih banyak umpatan.Studio kecil Alina di Bintan berubah fungsi dalam semalam.Dari tempat menyepi yang tenang, menjadi ruang situasi perang yang nggak pernah tidur."Oke, jadi Pak Antono ini ternyata nggak suka sama sudut yang terlalu tajam di lobi hotel," kata Deni lewat panggilan video, matanya merah karena kurang tidur tapi suaranya penuh semangat. "Di catatannya soal proposal Hote
Mari kita intip sebentar ke markas pemberontak di Bintan.Suasananya... sibuk.Kalau kamu bayangin tiga orang jenius lagi kerja bareng itu bakal keren dan canggih kayak di film-film, kamu salah besar. Kenyataannya lebih mirip indekos mahasiswa arsitektur seminggu sebelum sidang skripsi.Meja gambar Alina sudah penuh dengan kertas kalkir yang saling tumpang tindih. Ada bekas noda kopi di sudut, dan remah-remah biskuit di dekat tumpukan penghapus.Di layar laptop, wajah Deni dan Sinta terpampang, sama kacaunya.Deni lagi ngubek-ngubek Google kayak detektif kurang tidur, mencoba mencari profil dewan direksi Adhitama. "Oke, jadi Pak Suryo ini koleksi lukisan abstrak. Mungkin dia suka desain yang aneh-aneh, Bu?"Sinta, di sisi lain, lebih mirip
Sementara itu di belahan dunia lain atau lebih tepatnya, di sebuah kantor di puncak gedung pencakar langit Jakarta, seorang pria baru saja menutup telepon.Revan Adhitama tidak langsung bergerak.Ia hanya berdiri di sana, di depan jendela raksasa, dengan ponsel yang masih tergenggam erat di tangannya.Di ujung jarinya, masih terasa sisa-sisa getaran dari kalimat terakhir Alina."Biar aku yang bekerja."Bukan nada memohon. Bukan nada bertanya.Itu adalah nada perintah.Dan entah kenapa, diperintah oleh wanita itu justru terasa... memuaskan.Sebuah senyum tipis—senyum yang benar-benar tulus, bukan senyum korporat hasil latihan—terukir di bibirnya.
Ada dua jenis orang di dunia ini setelah menutup telepon penting.Jenis pertama bakal langsung buka media sosial, cari distraksi, atau mungkin bikin teh hangat buat nenangin diri.Jenis kedua... bakal langsung merakit bom.Alina Cantika Dewi jelas-jelas masuk kategori kedua.Begitu sambungan telepon dengan Revan terputus, ia tidak diam. Ia tidak merenung. Ia tidak panik.Energi di dalam studio kecil di Bintan itu berubah total.Kalau lima menit yang lalu tempat ini adalah surga seorang seniman, sekarang tempat ini adalah markas komando. Meja gambarnya bukan lagi kanvas, tapi meja strategi perang. Dan pensil di tangannya bukan lagi alat untuk menggambar, tapi tongkat komando.Hal pertama yang ia lakukan?







