Beranda / Romansa / Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin / BAB 6 : Sangkar Emas yang Sempurna

Share

BAB 6 : Sangkar Emas yang Sempurna

Penulis: TenMaRuu
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-06 11:14:15

Pertanyaan ‘bagaimana dia bisa tahu?’ menghantam Alina lebih keras daripada ombak tadi.

Lututnya terasa lemas.

Bukan karena kekaguman pada vila itu lagi, melainkan karena rasa ngeri yang aneh dan merayap dingin di tulang punggungnya.

Pria ini… seolah bisa membongkar isi kepalanya. Selera arsitekturnya, sesuatu yang begitu personal, bagian dari jiwanya yang paling murni dan ia banggakan, terasa seperti sebuah buku terbuka yang baru saja dibaca Revan dengan mudahnya.

Ia merasa telanjang, bukan secara fisik, tapi secara intelektual. Identitas profesionalnya, benteng terakhirnya, kini terasa sudah luber begitu saja.

Ini lebih menakutkan daripada semua kontrak dan aturan yang ia buat.

Revan tidak menunggu jawaban. Ia melangkah melewati Alina yang masih mematung, berjalan masuk ke dalam vila seolah kalimatnya tadi adalah sebuah hukum alam yang tidak perlu diperdebatkan.

Dengan enggan, Alina mengikutinya masuk, setiap langkah terasa berat.

Interiornya sama menakjubkannya dengan eksteriornya. Perabotan kayu yang dibuat khusus dengan sambungan yang presisi, sofa linen berwarna krem yang nyaman, dan sebuah kolam renang pribadi yang tepiannya seolah menyatu dengan laut di kejauhan. Permainan cahaya matahari sore yang menerobos kisi-kisi kayu menciptakan pola bayangan yang dinamis di lantai marmer yang sejuk.

Sebuah surga.

Sebuah sangkar emas yang sempurna.

Revan berhenti di depan meja kopi besar yang terbuat dari satu lempengan kayu utuh. Di atasnya, tergeletak sebuah tablet yang menyala.

Ia tidak berkata apa-apa. Hanya menunjuk layar itu dengan dagunya. Sebuah gestur kecil yang penuh arogansi.

Alina mendekat dengan ragu. Di layar itu, terpampang sebuah jadwal yang rapi, lengkap dengan kode warna.

Jadwal Bulan Madu – R.A & A.C.D

Hari Pertama:

15:00 - 17:00: Waktu Istirahat / Menikmati Arsitektur Vila.

17:00 - 18:00: Sesi Foto Santai di Tepi Pantai (Pakaian: Kasual Musim Panas).

19:00 - 21:00: Makan Malam Romantis di Dek Utama.

21:00 ke atas: Waktu Pribadi.

Alina menatap jadwal itu dengan tidak percaya. Matanya menyapu ke bawah, melihat sekilas jadwal untuk hari kedua yang sudah terisi penuh: sarapan di tepi kolam, snorkeling, makan siang di atas kapal.

Jadi ini jawaban Revan.

Ia tahu Alina akan suka vilanya, dan ia secara arogan menjadwalkan waktu bagi Alina untuk "menikmatinya".

Seolah itu adalah bagian dari fasilitas yang ia berikan, bukan sebuah pengakuan tulus atas selera mereka yang mungkin sama. Keindahan vila ini bukan hadiah, melainkan alat kontrol.

Rasa kagumnya pada vila itu menguap seketika, digantikan oleh rasa muak yang membakar.

"Jadwal?" desis Alina, nadanya penuh sinisme. "Kau mengatur bulan madu kepalsuan kita seperti rapat dewan direksi?"

"Memangnya Kenapa?," jawab Revan singkat, tanpa menatapnya. Ia berjalan menuju minibar dan menuangkan air putih untuk dirinya sendiri.

"Semua harus terencana agar tujuan kita tercapai. Tanpa kejutan, tanpa drama."

"Tujuan?" Alina tertawa sinis, suara tawanya terdengar getir.

"Sesi foto? Untuk apa? Kau mau menjual foto pernikahan kita ke majalah gosip?"

Revan akhirnya menoleh, menatap Alina dengan tatapan dinginnya yang khas. Tatapan seorang CEO yang menilai asetnya.

"Untuk Kakek," katanya datar.

"Dan untuk berjaga-jaga.. jika ada yang 'tidak sengaja' mengambil gambar kita dari jauh. Semua harus terlihat sempurna. Setiap senyuman, setiap sentuhan, harus sesuai skenario."

"Aku tidak mau," kata Alina tegas, menatap lurus ke mata Revan.

"Ini bukan pilihan."

"Aku tidak akan berpose seperti boneka pajangan hanya demi citra keluargamu!, Camkan itu!" Suara Alina sedikit meninggi, bergema di ruangan yang luas itu, menantang keheningan yang dipaksakan Revan.

Keheningan yang tegang menyelimuti mereka.

Revan menghabiskan air di gelasnya dalam satu tegukan, lalu meletakkan gelas itu dengan pelan di atas meja. Bunyi kaca yang bertemu kayu terdengar begitu keras di tengah kesunyian. Sebuah titik di akhir kalimat.

Ia berjalan mendekati Alina. Setiap langkahnya terasa penuh perhitungan dan mengintimidasi, mempersempit ruang gerak Alina hingga ia merasa terpojok.

"Jadwal ini," katanya dengan suara rendah dan berbahaya, menunjuk ke arah tablet tanpa mengalihkan pandangannya dari Alina, "adalah bagian dari pekerjaanmu, Alina. Bagian dari kontrak yang sudah kau tanda tangani."

"Dan pekerjaan pertamamu…"

Ia melirik jam tangan mahalnya, sebuah gerakan kecil yang menegaskan siapa yang memegang kendali atas waktu.

"...akan dimulai satu jam lagi."

Tatapan Revan beralih dari wajah Alina ke arah koridor yang menuju kamar tidur.

"Gaunmu sudah disiapkan di kamar."

"Jangan sampai terlambat."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 58: Rapat Perang Pertama (Yang Nggak Direncanain)

    Ada dua jenis orang di dunia ini setelah menutup telepon penting.Jenis pertama bakal langsung buka media sosial, cari distraksi, atau mungkin bikin teh hangat buat nenangin diri.Jenis kedua... bakal langsung merakit bom.Alina Cantika Dewi jelas-jelas masuk kategori kedua.Begitu sambungan telepon dengan Revan terputus, ia tidak diam. Ia tidak merenung. Ia tidak panik.Energi di dalam studio kecil di Bintan itu berubah total.Kalau lima menit yang lalu tempat ini adalah surga seorang seniman, sekarang tempat ini adalah markas komando. Meja gambarnya bukan lagi kanvas, tapi meja strategi perang. Dan pensil di tangannya bukan lagi alat untuk menggambar, tapi tongkat komando.Hal pertama yang ia lakukan?

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 57 : Panggung Sudah Siap, Nyonya

    Alina masih berdiri di depan meja gambarnya.Aroma arang dari pensil dan kertas terasa pekat di udara. Di hadapannya, terhampar sketsa sebuah benteng yang lahir dari amarah.Suara Revan di seberang sana terdengar jauh. Seperti suara dari dunia lain. Dunia penuh jas mahal, pendingin udara sentral, dan pengkhianatan yang dibungkus senyum."...kita punya tantangan baru."Alina menarik napas pelan. "Tantangan?" tanyanya, mencoba menjaga suaranya tetap stabil. "Tantangan macam apa yang bisa muncul dari rapat dewan yang membosankan?"Di seberang sana, Alina bisa mendengar Revan menghela napas. Suara yang terdengar lelah, tapi bukan kalah."Pamanku," kata Revan, langsung ke intinya. "Dia mencoba bermain cantik."

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 56 : Raja Tidak Mundur, Dia Cuma Ambil Ancang-ancang

    Hening.Di dalam ruangan yang harganya lebih mahal dari gabungan harga rumah seluruh karyawannya itu, satu-satunya suara adalah dengung pelan pendingin udara.Dengung yang terdengar seperti hitungan mundur sebelum bom meledak.Semua mata—mata licik, mata penasaran, mata takut—semuanya tertuju pada satu orang.Revan Adhitama.Umpan dari Hariman sudah dilempar dengan begitu cantiknya ke tengah meja."Hanya untuk... 'membantu'."Sebuah bantuan yang rasanya seperti tamparan. Sebuah kepedulian yang baunya seperti penghinaan.Siapapun yang punya otak di ruangan itu tahu ini bukan usul. Ini adalah tes. Sebuah gertakan.

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 55: Kandang Serigala Menyambutmu Pulang

    Kalau surga itu punya bau, mungkin baunya seperti udara Bintan di pagi hari. Campuran wangi garam laut, tanah basah, dan embun.Kalau neraka punya bau, baunya persis seperti udara Jakarta di jam pulang kerja. Campuran asap knalpot, debu konstruksi, dan ambisi yang membusuk.Revan Adhitama sedang menghirup dalam-dalam bau neraka itu sekarang.Ia duduk di kursi belakang mobilnya yang melaju pelan, terjebak di tengah lautan lampu merah dan klakson.Kontrasnya begitu menusuk.Beberapa jam yang lalu, ia masih berdiri di balkon, menatap lautan biru yang tenang. Sekarang, ia menatap lautan beton yang kacau balau.Ponsel di tangannya bergetar pelan. Ia membukanya lagi.Pesan dari Alina.

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 54: Selamat Datang di Medan Perang

    Hening.Itu hal pertama yang Alina sadari setelah telepon ditutup.Hening yang tadinya terasa damai, sekarang malah terdengar mengancam.Suara jangkrik di luar jendela yang tadinya kayak musik alam, sekarang malah terdengar kayak lagi menertawainya.Ponsel di tangannya terasa dingin dan berat.Kayak sebatang logam dari neraka.Paman Hariman.Sialan.Baru juga beberapa jam yang lalu ia merasa menemukan dunianya.Baru juga beberapa jam yang lalu ia merasa aman.Rasanya... kurang ajar banget.Tempat yang baru aja ia anggap 'rumah', tempat amannya, tahu-tahu rasany

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 53 : Telepon dari Kandang Serigala

    BAB 53 : Telepon dari Kandang SerigalaSetiap hal indah pasti ada tanggal kedaluwarsanya.Gelembung kecil yang mereka ciptakan di studio Revan itu, dengan wangi kopi dan keheningan yang nyaman, ternyata punya masa berlaku yang sangat singkat. Cuma beberapa jam.Perpisahan mereka di lobi hotel terasa canggungnya minta ampun. Nggak ada pelukan dramatis ala film-film. Nggak ada ciuman perpisahan yang bikin lutut lemas. Yang ada cuma dua orang yang mendadak nggak tahu harus menaruh tangan di mana."Aku akan telepon kalau sudah sampai," kata Revan. Kalimat standar yang entah kenapa terdengar aneh keluar dari mulutnya."Oke," jawab Alina singkat.Revan menatapnya sejenak, seolah mau bilang sesuatu lagi, tapi nggak jadi. Akhirnya, ia cuma mengangguk kaku, lalu berbalik dan masuk ke dalam mobil hitam yang sudah menunggunya.Dan begitu saja. Pria itu pergi.Alina ditinggal sendirian di lobi yang megah, dengan kunci studio Revan di sakunya yang terasa berat dan panas.Rasanya aneh. Kosong.Sete

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status