Home / Romansa / Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin / BAB 5 : Telah Tiba di 'Neraka'

Share

BAB 5 : Telah Tiba di 'Neraka'

Author: TenMaRuu
last update Last Updated: 2025-07-05 11:10:44

Deru mesin speedboat yang membelah laut biru menjadi satu-satunya suara yang mengisi keheningan di antara mereka. Alina memeluk tasnya erat-erat, berusaha memfokuskan pandangan pada garis cakrawala yang membentang lurus.

Aku tidak akan terlihat lemah di depannya.

Batinnya terus merapal mantra itu.

Awalnya, perjalanan itu terasa baik-baik saja. Guncangan kecil bahkan terasa menenangkan.

Namun, saat kapten kapal menambah kecepatan dan ombak mulai sedikit meninggi, perut Alina mulai bergejolak. Rasa mual yang aneh itu merayap naik dari ulu hatinya.

Ia menelan ludah, berusaha menekannya kembali.

Ia melirik Revan sekilas. Pria itu duduk dengan tenang, punggungnya lurus, menatap lurus ke depan seolah guncangan kapal sama sekali tidak berpengaruh padanya.

Tentu saja. Pria seperti dia pasti sudah terbiasa dengan kemewahan seperti ini.

Sementara Alina, seorang arsitek yang lebih sering berjibaku dengan debu proyek daripada deburan ombak, kini merasakan keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.

Wajahnya pasti sudah sepucat kertas kalkir.

Ia tidak tahan lagi.

Dengan gerakan cepat, Alina bergeser ke sisi kapal, mencengkeram pagar pembatas dengan erat. Ia berusaha keras agar isi perutnya tidak keluar.

Napasnya terengah-engah.

Sebuah decakan lidah terdengar dari sampingnya, tajam dan tidak sabar.

"Kita akan terlambat."

Hanya itu yang ia katakan. Bukan simpati, bukan pula cemoohan. Hanya pernyataan fakta yang dingin, seolah mabuk laut Alina hanyalah variabel pengganggu dalam jadwalnya yang sempurna.

Alina tidak menjawab. Ia terlalu sibuk berperang dengan rasa mualnya.

Ia bisa merasakan tatapan Revan padanya. Bukan tatapan iba, melainkan tatapan yang menilai, seolah sedang mengkalkulasi sebuah masalah.

Setelah hening beberapa detik yang terasa seperti satu jam, barulah ia merasakan sebuah kehadiran di sampingnya.

"Lihat ke cakrawala. Jangan menunduk," perintah Revan, nadanya masih datar, tapi tidak sekasar tadi.

Alina mencoba menurut. Ia mengangkat dagunya, memaksakan matanya untuk fokus pada pertemuan antara langit dan laut.

Sebuah botol air mineral disodorkan ke hadapannya.

"Minum sedikit."

Dengan tangan gemetar, Alina menerimanya. Saat kapal kembali berguncang hebat, tubuhnya terhuyung. Sebelum ia jatuh, sebuah tangan yang kokoh mencengkeram bahunya, menahannya agar tetap stabil.

Tangan Revan.

Alina terpaku.

Sentuhan itu tidak memiliki kelembutan, hanya efisiensi murni. Namun, di balik cengkeraman yang kokoh dan tanpa basa-basi itu, ada sesuatu yang anehnya… terasa aman.

Rasa aman yang memuakkan, karena datang dari sumber bahaya terbesarnya. Tubuhnya yang lemah mengkhianatinya, merespons pada stabilitas yang ditawarkan musuhnya.

Untuk apa dia melakukan ini?

Batin Alina bingung.

Bukankah Revan lebih suka melihatnya menderita?

Ia tidak berani menoleh.

Ia hanya bisa merasakan kehangatan telapak tangan pria itu di bahunya. Sebuah kontak fisik pertama yang tidak dilandasi oleh kemarahan atau perdebatan.

Dan perasaan itu... jauh lebih membingungkan daripada rasa mualnya.

Ketika speedboat itu akhirnya melambat dan merapat di sebuah dermaga kayu yang kokoh, Alina merasa lega luar biasa. Ia turun ke dermaga dengan kaki yang masih sedikit goyah.

Ia sudah membayangkan akan disambut oleh sebuah bangunan kotak dari beton dan kaca. Sebuah vila super modern yang dingin dan tak berjiwa, persis seperti rumah Revan di Jakarta.

Cerminan sempurna dari kepribadian pria itu.

Namun, yang menyambutnya justru membuat napasnya tertahan.

Di hadapannya berdiri sebuah mahakarya arsitektur tropis yang begitu menyatu dengan alam.

Bukan kotak kaku dari beton, melainkan sebuah harmoni antara kayu-kayu kokoh yang hangat dan dinding batu alam yang sejuk. Atapnya yang tinggi dan terbuka dirancang dengan cerdas untuk menangkap setiap embusan angin laut. Pintu-pintu kaca raksasa yang bisa dilipat seolah menghapus batas antara dalam dan luar, membuat birunya laut terasa seperti bagian dari ruang tamu.

Sebagai seorang arsitek, Alina bisa melihat kejeniusan di setiap detailnya.

Ini bukan sekadar bangunan mewah.

Ini adalah sebuah karya seni.

Ia terpana, sejenak melupakan siapa pria yang berdiri di sampingnya.

Melupakan kontrak, kebencian, dan sandiwara mereka.

Yang ada hanya kekaguman murni.

Ini… indah. Sangat indah.

Di tengah kekagumannya, sebuah suara terdengar di sampingnya. Suara itu, meskipun datar seperti biasa, memiliki nuansa kepastian yang arogan. Seolah ia tidak sekadar menebak, tapi menyatakan sebuah fakta.

"Aku tahu kau akan menyukainya."

Pertanyaan ‘bagaimana dia bisa tahu?’ menghantam Alina lebih keras daripada ombak tadi.

Apakah ini cara lain Revan untuk menunjukkan bahwa ia bahkan bisa mengendalikan seleranya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 63 : Merakit Bom (Dengan Kertas dan Kopi)

    Jadi gini.Punya ide brilian itu satu hal.Ngerjainnya? Itu cerita lain.Euforia setelah Alina menemukan konsep "Api dan Air" itu cuma bertahan sekitar... dua belas jam. Setelah itu, yang tersisa adalah realita yang menampakkan wujudnya dalam bentuk tumpukan pekerjaan setinggi Gunung Everest.Studio Alina di Bintan, yang tadinya sudah mirip kapal pecah, sekarang naik level jadi lokasi syuting film post-apocalypse."Nggak, nggak, nggak!" Suara Deni terdengar nyaring dari speaker laptop, nadanya terdengar seperti orang yang baru saja lihat anak kucingnya dilindas sepeda. "Material fasad untuk Sayap Api nggak bisa pakai komposit kayu, Bu! Kurang garang! Harus pakai panel titanium hitam! Biar kayak Batmobile!"

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 62 : Dapur Neraka (Versi Arsitek)

    Oke, mari kita luruskan satu hal.Momen puitis di mana seorang arsitek jenius menarik satu garis ajaib dan jreng! jadilah sebuah mahakarya?Itu bohong. Omong kosong yang dijual film-film buat bikin orang normal merasa hidup mereka membosankan.Kenyataannya jauh lebih brutal.Seminggu setelah "paket amunisi" dari Revan mendarat, studio Alina di Bintan lebih mirip lokasi bencana daripada tempat lahirnya sebuah ide brilian.Ada tumpukan kertas kalkir yang gagal di sudut ruangan, tingginya sudah bisa jadi kursi tambahan. Cangkir-cangkir kopi kosong berjejer di setiap permukaan datar kayak pion-pion catur yang kalah perang. Dan bau di ruangan itu adalah campuran aneh antara bau kertas, tinta, dan keputusasaan.

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 61 : Selamat Datang di Surga (Para Arsitek Gila Perang)

    Kalau di film-film, adegan kayak gini biasanya diiringi musik yang menegangkan. Montage cepat. Kopi dituang, kertas dilempar, orang-orang nggak tidur tiga hari tiga malam, terus tiba-tiba jreng! jadilah sebuah mahakarya.Kenyataannya... yah, kurang lebih sama. Cuma lebih bau kopi basi dan lebih banyak umpatan.Studio kecil Alina di Bintan berubah fungsi dalam semalam.Dari tempat menyepi yang tenang, menjadi ruang situasi perang yang nggak pernah tidur."Oke, jadi Pak Antono ini ternyata nggak suka sama sudut yang terlalu tajam di lobi hotel," kata Deni lewat panggilan video, matanya merah karena kurang tidur tapi suaranya penuh semangat. "Di catatannya soal proposal Hote

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 60 : Amunisi Tiba (Tanpa Resi Pengiriman)

    Mari kita intip sebentar ke markas pemberontak di Bintan.Suasananya... sibuk.Kalau kamu bayangin tiga orang jenius lagi kerja bareng itu bakal keren dan canggih kayak di film-film, kamu salah besar. Kenyataannya lebih mirip indekos mahasiswa arsitektur seminggu sebelum sidang skripsi.Meja gambar Alina sudah penuh dengan kertas kalkir yang saling tumpang tindih. Ada bekas noda kopi di sudut, dan remah-remah biskuit di dekat tumpukan penghapus.Di layar laptop, wajah Deni dan Sinta terpampang, sama kacaunya.Deni lagi ngubek-ngubek Google kayak detektif kurang tidur, mencoba mencari profil dewan direksi Adhitama. "Oke, jadi Pak Suryo ini koleksi lukisan abstrak. Mungkin dia suka desain yang aneh-aneh, Bu?"Sinta, di sisi lain, lebih mirip

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 59 : Cara Seorang CEO Bilang 'Aku Dukung Kamu'

    Sementara itu di belahan dunia lain atau lebih tepatnya, di sebuah kantor di puncak gedung pencakar langit Jakarta, seorang pria baru saja menutup telepon.Revan Adhitama tidak langsung bergerak.Ia hanya berdiri di sana, di depan jendela raksasa, dengan ponsel yang masih tergenggam erat di tangannya.Di ujung jarinya, masih terasa sisa-sisa getaran dari kalimat terakhir Alina."Biar aku yang bekerja."Bukan nada memohon. Bukan nada bertanya.Itu adalah nada perintah.Dan entah kenapa, diperintah oleh wanita itu justru terasa... memuaskan.Sebuah senyum tipis—senyum yang benar-benar tulus, bukan senyum korporat hasil latihan—terukir di bibirnya.

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 58: Rapat Perang Pertama (Yang Nggak Direncanain)

    Ada dua jenis orang di dunia ini setelah menutup telepon penting.Jenis pertama bakal langsung buka media sosial, cari distraksi, atau mungkin bikin teh hangat buat nenangin diri.Jenis kedua... bakal langsung merakit bom.Alina Cantika Dewi jelas-jelas masuk kategori kedua.Begitu sambungan telepon dengan Revan terputus, ia tidak diam. Ia tidak merenung. Ia tidak panik.Energi di dalam studio kecil di Bintan itu berubah total.Kalau lima menit yang lalu tempat ini adalah surga seorang seniman, sekarang tempat ini adalah markas komando. Meja gambarnya bukan lagi kanvas, tapi meja strategi perang. Dan pensil di tangannya bukan lagi alat untuk menggambar, tapi tongkat komando.Hal pertama yang ia lakukan?

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status