Deru mesin speedboat yang membelah laut biru menjadi satu-satunya suara yang mengisi keheningan di antara mereka. Alina memeluk tasnya erat-erat, berusaha memfokuskan pandangan pada garis cakrawala yang membentang lurus.
Aku tidak akan terlihat lemah di depannya.
Batinnya terus merapal mantra itu.
Awalnya, perjalanan itu terasa baik-baik saja. Guncangan kecil bahkan terasa menenangkan.
Namun, saat kapten kapal menambah kecepatan dan ombak mulai sedikit meninggi, perut Alina mulai bergejolak. Rasa mual yang aneh itu merayap naik dari ulu hatinya.
Ia menelan ludah, berusaha menekannya kembali.
Ia melirik Revan sekilas. Pria itu duduk dengan tenang, punggungnya lurus, menatap lurus ke depan seolah guncangan kapal sama sekali tidak berpengaruh padanya.
Tentu saja. Pria seperti dia pasti sudah terbiasa dengan kemewahan seperti ini.
Sementara Alina, seorang arsitek yang lebih sering berjibaku dengan debu proyek daripada deburan ombak, kini merasakan keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.
Wajahnya pasti sudah sepucat kertas kalkir.
Ia tidak tahan lagi.
Dengan gerakan cepat, Alina bergeser ke sisi kapal, mencengkeram pagar pembatas dengan erat. Ia berusaha keras agar isi perutnya tidak keluar.
Napasnya terengah-engah.
Sebuah decakan lidah terdengar dari sampingnya, tajam dan tidak sabar.
"Kita akan terlambat."
Hanya itu yang ia katakan. Bukan simpati, bukan pula cemoohan. Hanya pernyataan fakta yang dingin, seolah mabuk laut Alina hanyalah variabel pengganggu dalam jadwalnya yang sempurna.
Alina tidak menjawab. Ia terlalu sibuk berperang dengan rasa mualnya.
Ia bisa merasakan tatapan Revan padanya. Bukan tatapan iba, melainkan tatapan yang menilai, seolah sedang mengkalkulasi sebuah masalah.
Setelah hening beberapa detik yang terasa seperti satu jam, barulah ia merasakan sebuah kehadiran di sampingnya.
"Lihat ke cakrawala. Jangan menunduk," perintah Revan, nadanya masih datar, tapi tidak sekasar tadi.
Alina mencoba menurut. Ia mengangkat dagunya, memaksakan matanya untuk fokus pada pertemuan antara langit dan laut.
Sebuah botol air mineral disodorkan ke hadapannya.
"Minum sedikit."
Dengan tangan gemetar, Alina menerimanya. Saat kapal kembali berguncang hebat, tubuhnya terhuyung. Sebelum ia jatuh, sebuah tangan yang kokoh mencengkeram bahunya, menahannya agar tetap stabil.
Tangan Revan.
Alina terpaku.
Sentuhan itu tidak memiliki kelembutan, hanya efisiensi murni. Namun, di balik cengkeraman yang kokoh dan tanpa basa-basi itu, ada sesuatu yang anehnya… terasa aman.
Rasa aman yang memuakkan, karena datang dari sumber bahaya terbesarnya. Tubuhnya yang lemah mengkhianatinya, merespons pada stabilitas yang ditawarkan musuhnya.
Untuk apa dia melakukan ini?
Batin Alina bingung.
Bukankah Revan lebih suka melihatnya menderita?
Ia tidak berani menoleh.
Ia hanya bisa merasakan kehangatan telapak tangan pria itu di bahunya. Sebuah kontak fisik pertama yang tidak dilandasi oleh kemarahan atau perdebatan.
Dan perasaan itu... jauh lebih membingungkan daripada rasa mualnya.
Ketika speedboat itu akhirnya melambat dan merapat di sebuah dermaga kayu yang kokoh, Alina merasa lega luar biasa. Ia turun ke dermaga dengan kaki yang masih sedikit goyah.
Ia sudah membayangkan akan disambut oleh sebuah bangunan kotak dari beton dan kaca. Sebuah vila super modern yang dingin dan tak berjiwa, persis seperti rumah Revan di Jakarta.
Cerminan sempurna dari kepribadian pria itu.
Namun, yang menyambutnya justru membuat napasnya tertahan.
Di hadapannya berdiri sebuah mahakarya arsitektur tropis yang begitu menyatu dengan alam.
Bukan kotak kaku dari beton, melainkan sebuah harmoni antara kayu-kayu kokoh yang hangat dan dinding batu alam yang sejuk. Atapnya yang tinggi dan terbuka dirancang dengan cerdas untuk menangkap setiap embusan angin laut. Pintu-pintu kaca raksasa yang bisa dilipat seolah menghapus batas antara dalam dan luar, membuat birunya laut terasa seperti bagian dari ruang tamu.
Sebagai seorang arsitek, Alina bisa melihat kejeniusan di setiap detailnya.
Ini bukan sekadar bangunan mewah.
Ini adalah sebuah karya seni.
Ia terpana, sejenak melupakan siapa pria yang berdiri di sampingnya.
Melupakan kontrak, kebencian, dan sandiwara mereka.
Yang ada hanya kekaguman murni.
Ini… indah. Sangat indah.
Di tengah kekagumannya, sebuah suara terdengar di sampingnya. Suara itu, meskipun datar seperti biasa, memiliki nuansa kepastian yang arogan. Seolah ia tidak sekadar menebak, tapi menyatakan sebuah fakta.
"Aku tahu kau akan menyukainya."
Pertanyaan ‘bagaimana dia bisa tahu?’ menghantam Alina lebih keras daripada ombak tadi.
Apakah ini cara lain Revan untuk menunjukkan bahwa ia bahkan bisa mengendalikan seleranya?
Cklek!!Pintu itu tertutup di belakangnya.Bunyi klik pelan itu terdengar begitu final, seperti kunci yang diputar di sebuah sangkar emas yang maha luas.Alina tidak langsung bergerak. Ia hanya mematung di dekat pintu, punggungnya menghadap ke ruangan yang terasa asing. Napasnya seolah tertinggal di luar sana, di koridor.Kamar ini begitu besar, rasanya lebih luas dari seluruh ruang tamu di ruko Cipta Ruang Estetika. Langit-langitnya menjulang tinggi, dibingkai jendela kaca raksasa yang menyajikan pemandangan laut malam yang kelam dan tak bertepi.Semuanya sempurna. Semuanya mahal.Dan semuanya terasa begitu dingin.Keheningan di antara mereka terasa tebal, nyaris bisa disentuh. Alina bisa merasakan kehadiran Revan di belakangnya seperti hawa dingin yang merambat, tapi ia tidak berani menoleh.Adrenalin yang sejak tadi membuatnya berdiri tegak, yang memberinya keberanian untuk bernegosiasi, kini surut drastis seperti ombak yang ditarik paksa ke tengah laut.Meninggalkan kehampaan.Da
Dunia di sekitar Alina tiba-tiba hening, seperti napas yang tertahan terlalu lama.Suara ombak yang tadi mengalun lembut, menenangkan hati, kini lenyap entah ke mana. Napasnya sendiri terasa tersendat, detak jantungnya yang tadi berlomba kencang seolah ikut tercekat di dada.Hanya ada dengung halus yang menusuk telinganya—tajam, nyaring, dan tak mau pergi.Di tengah semua itu, dua kata berputar liar di kepalanya, seperti jarum jam yang macet: penawaran bisnis.Koridor remang-remang itu terasa membeku bersamanya. Revan berdiri di sana, bayangan dingin dengan pesona yang selalu membuat Alina merasa kecil—tapi kali ini, ia tak benar-benar melihatnya. Matanya kosong, menatap jauh ke dalam dirinya sendiri.Di sana, di sudut pikirannya yang kelam, ada panggung lain yang jauh lebih menyakitkan, dan tirainya baru saja tersingkap.Wajah ayahnya muncul pertama kali, seperti lukisan tua yang warnanya mulai pudar. Pundak yang dulu gagah kini melengkung, ditindih beban yang seharusnya tak pernah i
kalimat "Waktu Pribadi" itu menggantung di udara yang hangat, terasa lebih dingin daripada tatapan mata Revan.Apa artinya ‘waktu pribadi’ bagi dua musuh yang terperangkap dalam status suami-istri di sebuah pulau terpencil?Alina tidak perlu menunggu lama untuk mencari tahu.Tanpa sepatah kata pun, Revan berbalik dan berjalan menuju koridor yang sama tempat kamar Alina berada.Jantung Alina berdebar begitu kencang.Rasanya seperti akan melompat keluar dari dadanya.Setiap langkah Revan di atas lantai kayu yang mengkilap terdengar seperti ketukan palu hakim yang akan membacakan vonis.Alina mengikutinya. Bukan karena patuh, tapi karena ia tahu, berlari pun tidak ada gunanya. Di pulau ini, Revan adalah rajanya.Pria itu tidak berhenti di depan kamar Alina. Tidak juga di depan kamarnya sendiri.Ia berhenti di depan sebuah pintu ganda yang besar dan megah di ujung koridor.Pintu kamar tidur utama.Kamar tidur… mereka.Ya.. Di sinilah pertunjukan berakhir. Di sinilah kenyataan yang paling b
BAB 7: SKENARIO MAKAN MALAMAlina berdiri di tengah kamarnya yang luas, matanya tertambat pada gaun yang terhampar di atas ranjang.Gaun sutra itu berwarna biru laut, dalam dan pekat, dengan kain yang lembut mengalir sempurna—jenis yang langsung terbayang harganya tak murah.Tapi baginya, gaun itu tak lebih dari sehelai kain asing. Tak ada cerita yang tersimpan di lipatannya, tak ada kenangan yang menempel di jahitannya.Persis seperti dirinya malam ini: ‘kosong’, tapi harus berpura-pura ‘penuh’.Baiklah, pikirnya dalam hati, nada pasrah mengendap pelan. Malam ini, aku jadi orang lain. Bukan masalah besar.Gaun itu bukan cuma pakaian. Ia adalah jubah peran, lambang bahwa Alina telah menyetujui skenario yang sudah digariskan Revan Adhitama—sutradara sekaligus penguasa cerita ini.Ada secercah dorongan di hatinya untuk melawan, untuk mengenakan kaus lusuh dan celana pendek saja, sekadar mengguncang pria itu. Tapi lalu apa? Revan takkan mengangkat alis pun. Dia memang tak pernah peduli.J
Pertanyaan ‘bagaimana dia bisa tahu?’ menghantam Alina lebih keras daripada ombak tadi.Lututnya terasa lemas.Bukan karena kekaguman pada vila itu lagi, melainkan karena rasa ngeri yang aneh dan merayap dingin di tulang punggungnya.Pria ini… seolah bisa membongkar isi kepalanya. Selera arsitekturnya, sesuatu yang begitu personal, bagian dari jiwanya yang paling murni dan ia banggakan, terasa seperti sebuah buku terbuka yang baru saja dibaca Revan dengan mudahnya. Ia merasa telanjang, bukan secara fisik, tapi secara intelektual. Identitas profesionalnya, benteng terakhirnya, kini terasa sudah luber begitu saja.Ini lebih menakutkan daripada semua kontrak dan aturan yang ia buat.Revan tidak menunggu jawaban. Ia melangkah melewati Alina yang masih mematung, berjalan masuk ke dalam vila seolah kalimatnya tadi adalah sebuah hukum alam yang tidak perlu diperdebatkan.Dengan enggan, Alina mengikutinya masuk, setiap langkah terasa berat.Interiornya sama menakjubkannya dengan eksteriornya.
Deru mesin speedboat yang membelah laut biru menjadi satu-satunya suara yang mengisi keheningan di antara mereka. Alina memeluk tasnya erat-erat, berusaha memfokuskan pandangan pada garis cakrawala yang membentang lurus.Aku tidak akan terlihat lemah di depannya.Batinnya terus merapal mantra itu.Awalnya, perjalanan itu terasa baik-baik saja. Guncangan kecil bahkan terasa menenangkan.Namun, saat kapten kapal menambah kecepatan dan ombak mulai sedikit meninggi, perut Alina mulai bergejolak. Rasa mual yang aneh itu merayap naik dari ulu hatinya.Ia menelan ludah, berusaha menekannya kembali.Ia melirik Revan sekilas. Pria itu duduk dengan tenang, punggungnya lurus, menatap lurus ke depan seolah guncangan kapal sama sekali tidak berpengaruh padanya.Tentu saja. Pria seperti dia pasti sudah terbiasa dengan kemewahan seperti ini.Sementara Alina, seorang arsitek yang lebih sering berjibaku dengan debu proyek daripada deburan ombak, kini merasakan keringat dingin mulai membasahi pelipisnya