“Hutang mbak Sita dan kalian mendatangi istriku? Kalian sudah gila? Siapa yang berhutang siapa yang kalian tagih dan kalian ancam? Sinting!” Bayu memaki para penagih hutang itu. Pasalnya ia kesal gara-gara mereka sudah membuat Amel dan Arka ketakutan hingga Arka menangis kencang.“Masalahnya bu Sita mengatakan kalau kita menagih ke rumah bu Amel sebab uangnya dititipkan sama bu Amel,” jawab salah satu dari mereka. “Dia bilang begitu?” Orang tersebut mengangguk. “Logikany aja, ngapain segala uang 15 juta dititipin? Kalau memang ada uang segitu saja untuk membayar jelas lebih baik dia serahkan ke kalian secara langsung atau dia transfer langsung ke rekening bos kalian yang memberi hutangan. Kalian pikir uang 15 juta itu sedikit sampai harus dititipkan?” sanggah Bayu yang membuat ketiga pria itu saling pandang. Meski apa yang dikatakan Bayu sejatinya benar, tetapi mereka tidak mau tau. Mau uang itu dititipkan atau tidak yang mereka tau dan mereka pikirkan adalah uang itu segera disera
Suara salah satu debt collector itu sangat keras saat mengancam Sita yang masih di dalam rumah. Suasana semakin panas dan ada beberapa tetangga ternyata sudah melihat ke arah rumah Sita. Mereka seperti ingin tau ada apa di rumahnya Sita.“Bu gimana dong ini? Mereka mengancam tuh.” Sita panas dingin. Keringat sebesar biji jagung pun keluar dari dahinya. “Bu, jangan diam aja dong bantu mikir kek.”“Mikir apa, Sit? Yaudah sih tinggal keluar aja repot amat.” Sita mendelik mendengar ucapan ibunya. Bagaimana bisa ibunya meminta untuk langsung keluar padahal jelas ia punya uang untuk membayar hutang-hutangnya. “Bu, kok malah suruh aku keluar sih? Ibu lah yang keluar dan bilang ke mereka aku gak ada di rumah.”“Gak ah, ibu juga takut kali, Sit.”“Ck, ibu gak asik ah.” Di saat Sita dan bu Nurma masih berdebat kembali terdengar suara lantang dari para penagih hutang itu. Membuat tubuh Sita gemetar. “Cepat kalian keluar! Kami hitung sampai tiga kalau tidak keluar kami beneran bakar rumah
“Ibu benar, kan sebentar lagi Bayu balik ke Kalimantan. Jadi kita ambil semua punya mereka dan jual. Aku yakin harganya lebih dari 15 juta, Bu, nanti sisanya bisa buat beli perhiasan.”“Yaudah ah ibu mau pulang dulu. Mau masak, udah siang nih ibu lapar.”“Ibu, aku ikut ke rumah ya soalnya aku nggak masak jadi aku mau numpang makan. boleh ya, Bu .…”Meski Bu Nurma kesal pada Sita perkara hutang nya itu, tetapi bu Nurma tidak bisa marah. Bagaimanapun Sita adalah anak kesayangannya, tetap saja hatinya akan luluh setiap Sita merengek. Sedangkan Bayu hanya dijadikan ATM berjalan alias hanya mau duitnya saja. Entah kenapa pemahaman Bu Nurma tentang anak laki-laki itu berbeda dengan anak perempuan. Anak laki-laki itu kuat, dan wajib berbakti padanya sebagai ibu. Ditambah lagi bu Nurma juga merasa sudah menyekolahkan Bayu hingga sarjana. Dan menurutnya Bayu harus balas budi. Anak laki-laki adalah investasi. Yang mana di kala sudah sukses harus gantian memberikan apa pun yang bu Nurma inginka
“Hemm kamu benar, sepertinya kali ini ibu setuju sama idemu itu.”“Haruslah, Bu, karena ideku ini emang udah paling te ope begete.”“Apa itu?” tanya bu Nurna dengan kening berkerut. “Top banget, ih masa gitu aja ibu gak tau sih.”“Ya emang gak tau kok. Udah ah ibu mau lanjut masak lagi.”“Kok lanjut masak sih, Bu? Tapi katanya mau ke rumah Bayu?”“Ya tunggulah dulu, ibu selesaikan dulu ini masaknya. Emang kamu gak laper? Sandiwara itu butuh tenaga dan pikiran jadi harus isi bensin dulu. Nih bantuin biar cepet.”“Males ah, mending aku lanjut scrol hape lagi.” Bu Nurma hanya bisa menggelengkan kepalanya. Meski begitu tetap saja bu Nurma tidak bisa marah pada Sita. Entah apa keistimewaan anak perempuannya itu sampai-sampai setiap perbuatan Sita tidak bisa ia lawan. Akhirnya bu Nurma membiarkan saja Sita melakukan semaunya sendiri sedangkan ia melanjutkan masak yang sempat tertunda tadi. Selang 30 menit kemudian akhirnya masakan bu Nurma pun selesai. Ayam kecap yang sudah ia pindahkan
Bayu menghentikan suapan terakhir yang baru saja akan ia suapkan ke dalam mulut. Wajahnya berubah kesal. Hanya mendengar nama ibu dan kakaknya disebut saja sudah membuat ingatan tentang perlakuan mereka. Mendadak selera makan hilang padahal hanya tinggal satu suapan akhirnya ia kembali memasukkan suapan terakhir itu ke dalam mulutnya. “Mas, kok diam?”"Gak usah!""Tapi aku masak banyak, loh, Mas. Kalau cuma kita berdua yang makan gak bakal habis. Sayang makanannya, Mas," bujuk sang istri."Gak usah, Sayang. Karena kamu terlalu baik sama ibu dan Mbak Sita makanya mereka semena-mena sama kamu."Jelas Bayu menolak permintaan istrinya sebab masih kesal kepada ibu dan kakaknya dan Amel paham kenapa suaminya seperti itu. Amel menggenggam tangan suaminya dan berkata, "Bagaimanapun mereka itu ibu dan kakakmu, Mas. Kamu gak bisa terus-terusan begini.""Tapi ....""Mas," selanya sambil mengeratkan genggaman tangannya. Membuat Bayu menghela napas dan pasrah."Iya deh, iya aku ngalah. Apa, sih,
“Halah, banyak cingcong kamu, Bay, durhaka kamu melawan terus sama orang tua. Udah buruan sana pulang. Hus hus.” Bayu hanya bisa mengelus dada sembari menggelengkan kepala. Sungguh kelakuan ibunya sangatlah absurd. Blam! Bu Nurma menutup pintu kuat hingga bunyi berdebam. Lagi-lagi Bayu hanya bisa mengelus dada. Ia menghembuskan napas karena seumur-umur baru tau kalau kelakuan ibunya adalah seperti ini. Benar-benar menguras emosi. Berkali-kali Bayu juga menahan emosinya agar tidak meledak. Bagaimanapun wanita itu adalah yang melahirkannya dan ia tidak mau menjadi anak durhaka jadi Bayu hanya bertindak sesuai porsinya saja. Tidak lama setelah kepergian Bayu, beberapa saat Sita pun datang. Sejatinya sejak tadi Sita melihat Bayu yang datang ke rumah sang ibu dia sudah sangat kepo. Namun, Sita menahan sebab gengsi. Alhasil setelah Bayu pergi Sita baru berani datang. Dan lagi pas sekali ia datang di saat bu Nurma sedang makan mkanan yang Bayu bawa. Kebetulan juga pintu rumah Ibunya tidak
“Silakan diminum, Mbak, Bu.” Amel tiba-tiba datang sembari membawa tiga gelas teh hangat ke meja yang ada di ruang tamu. Seketika pandangan mata Sita, bu Nurma, juga Bayu mengarah padanya. Tadi memang sempat Amel mengintip siapa yang datang, ditambah lagi suara obrolan mereka cukup terdengar. Langsung saja Amel membuatkan minuman untuk ketiganya. “Dek, sini deh duduk.” Bayu menepuk sofa yang ada di sebelahnya. Melihat sang ibu duduk di samping ayahnya, tangan Arka terulur mengartikan ia ingin minta digendong Amel. Amel menangkap tubuh bayi itu lalu memangkunya. “Ada apa, Mas?” tanya Amel pada suaminya. “Mbak Sita? Ibu? Tadi katanya mau minta maaf? Nih sekarang orangnya ada di sini silakan kalian minta maaf . Kalian kan salahnya sama Amel bukan ke aku. Jadi minta maafnya ke Amel.” Sita dan bu Nurma saling pandang. “Emm tadi kan kami sudah mengatakannya, Bay. Masa harus diulang?” jawab Sita yang terdengar keberatan jika harus mengatakan hal itu pada Amel. “Kan ngomongnya ke aku,
Perdebatan Bayu dan Sita semakin panas. Saat ini ia benar-benar marah, yang jelas Sita tidak bisa mengganti uang Bayu.“Untuk saat ini aku nggak bisa mengganti uangmu. lagipula kamu kan adikku, percuma dong kamu punya duit banyak tapi nggak bisa membantu keluargamu sendiri,” ujar Sita memberi alasan padahal memang dia enggan untuk membayar hutangnya pada Bayu. “Bagiku hutang ya tetap hutang, tidak ada sangkut pautnya dengan keluarga. Ingat, Mbak, dalam uang tidak ada kata saudara. Mbak berani meminjam berarti juga harus berani untuk mengganti bukan mengelak seperti ini dan banyak alasannya. Aku butuh uangku, lagian gak malu apa pinjam uang sama si pelit ini? Aku orang pelit lho Mbak.”Bayu terus mendesak Sita bagaimanapun uangnya yang dipinjam Sita harus segera diganti. Namun, Sita tetap menolak untuk membayar hutangnya pada Bayu. ia langsung berdiri dan menarik tangan Bu Nurma mengajak untuk pulang. Bayu hanya bisa mengelus dada dan menggeleng kepala. Semakin ke sini perangai kakakn