Share

5. Ada Udang Dibalik Batu

Aku dan Galang saling berpandangan. Kami mengenal Gading dengan baik. Dia anak yang tidak neko-neko. Jarang berbohong pada kami. Ketika kutatap seksama, sinaran maniknya memancarkan kejujuran.

"Kira-kira apa motif Bunga menggoda kamu?" tanyaku penasaran.

"Entahlah, Bu." Gading menggeleng pelan, "walaupun aku mengajar dia privat, tapi di luar kami gak begitu deket. Eum ... di sini aku yang memang membatasi diri bergaul dengan murid perempuan."

"Mungkin Bunga naksir kamu, Mas." Galang beropini.

Gading menghela napas. "Aku gak tahu."

"Kelakuan dia bagaimana di sekolah?" Aku bertanya lagi.

"Setahuku Bunga itu anak yang ceria. Dia termasuk siswa yang populer. Temannya banyak," terang Gading kalem. "Sayangnya nilai akademisnya gak begitu bagus. Makanya dia minta privat sama aku."

"Oh ...." Aku dan Galang mengangguk bersamaan.

"Bunga ada punya cowok gak, Mas?"

"Aku gak tahu. Kan sudah dibilang, kami gak begitu dekat," balas Gading sembari menatap adiknya, "cuma sepertinya dia banyak penggemar cowok. Selain imut dia juga lead cheerleader," lanjutnya sedikit memuji.

Aku menghela napas panjang. "Semuanya sudah terjadi. Terlepas Bunga berbuat curang atau tidak, di dalam rahimnya sudah tumbuh benih kamu, Ding. Kamu harus bertanggung jawab," wejangku lirih. Kuelus rambut tebal kepunyaan Gading.

"Tapi, Bu, yang aku cintai itu Nona. Kakaknya Bunga." Gading terdengar sedikit merengek. "Apalagi setelah mendengar pengakuan Bunga, aku ... aku sama sekali gak respek sama dia."

"Pengakuan apa, Mas?" sahut Galang kian penasaran.

Gading tidak langsung membalas pertanyaan sang adik. Tangannya meraih teko. Dia menuangkan air ke gelas, lantas gegas menenggaknya hingga tandas.

"Tadinya aku bertekad kalo nanti terjadi apa-apa dengan Bunga, aku akan segera bertanggung jawab," tutur Gading dengan pandangan kosong, "tapi setelah tahu kenyataannya, aku ... aku jadi benci pada anak itu," akunya lirih.

Mendengar penuturan Gading, sontak Aku dan Galang kembali saling melempar pandangan.

"Coba cerita yang jelas, Mas! Biar kami gak bingung," suruh Galang kemudian.

Gading mengangguk. "Jadi begini ... setelah perbuatan mesum kami kepergok Ibu, aku mengantar Bunga pulang."

FLASH BACK

Gading yang benar-benar ketakutan melihat amarahku saat mempergoki keduanya, langsung membawa Bunga keluar. Dia memboncengkan Bunga pada motornya. Hujan besar ia terjang. 

Namun, jalanan banyak yang tergenang. Susah Jia harus dilewati kendaraan. Akhirnya Gading memutuskan untuk berteduh dulu di sebuah warung bakso sembari menunggu hujan reda. 

"Nga, saya bener-bener minta maaf telah berbuat hal yang tidak senonoh sama kamu," ucap Gading tulus saat menunggu pesanan mereka.

Bunga tersenyum tipis. Sama sekali tidak ada raut penyesalan. Berbeda sekali dengan Gading yang terus merutuki kebodohannya sendiri.

"Eum ... sama-sama, Pak. Saya juga minta maaf karena datang di waktu yang salah," balas Bunga mencoba menenangkan Gading.

Gading akan bicara lagi, tetapi harus ditunda karena pelayan datang membawakan pesanan. Sebenarnya dia sendiri tidak berselera makan setelah melewati kejadian itu. Berbeda dengan Bunga yang terlihat begitu tenang.

Gadis itu tampak begitu menikmati bakso dan minuman hangatnya. Bahkan Bunga langsung menandaskan makanannya dengan cepat. Walau pun sesekali gadis itu berhenti untuk mendesis.

"Kenapa, Nga?" Gading bertanya ketika melihat Bunga mengernyit.

Bunga tidak langsung menjawab. Gadis itu mencondongkan tubuhnya untuk mendekat. "Punya saya perih, Pak," bisik Bunga sambil melirik kiri dan kanan. 

Gading meneguk ludah. Rasa bersalah kian menjalari hati. Namun, dia segera menggeser posisi duduknya. Dia sadar berdekat-dekatan dengan lawan jenis itu berbahaya. 

"Saya berjanji, kalo sampai terjadi sesuatu sama kamu, saya akan tanggung jawab," ikrar Gading serius.

"Maksud, Bapak, apa?" Dahi Bunga berkerut karena tidak paham.

Gading melihat Kana kiri. Kini dia yang mencondongkan badannya. "Jika kamu hamil, saya akan bertanggung jawab," bisiknya serius.

"Ih ... Bapak ngomong apa sih?" tukas Bunga menghindar, "saya masih sekolah, Pak. Ujian kelulusan masih tiga bulan lagi. Saya gak pengin menikah dulu," cerocos Bunga terlihat keberatan.

Gading sampai harus meletakkan telunjuk pada bibir Bunga. Agar gadis itu sedikit menurunkan nada suara. Gading tidak ingin pembicaraan mereka didengar oleh orang lain.

"Semoga sih kamu tidak hamil. Saya cuma takut--"

"Kata teman saya, kalo cuma sekali kemungkinan "jadinya" itu sangat kecil, Pak." Bunga menyela omongan Gading dengan cepat.

Gading menyipit. "Teman kamu sudah berpengalaman hal begituan?" cecarnya mulai curiga.

"Eum ... kita tahu dari buku, Pak." Bunga berkelit, "kan di pelajaran biologi ada," imbuhnya meyakinkan. Gadis itu melengos saat Gading menatapnya serius, "hujannya udah mulai reda, pulang yuk, Pak. Saya takut dicari ibu." Gadis itu tampak mengalihkan topik.

Tanpa menunggu jawaban dari Gading, Bunga bangkit dari kursinya. Gadis itu melangkah pergi dengan perlahan. Hati Gading sedikit nyeri melihat jalan Bunga yang masih tertatih. 

Pemuda itu ikut bangkit. Gading menderap langkah menuju meja kasir. Dia melakukan transaksi. Setelah itu baru menyusul Bunga di parkiran.

Kembali guru dan murid yang terpaut usia delapan tahun itu berboncengan. Dalam perjalanan pulang keduanya saling berdiam diri. Ketika hendak sampai di kediaman Bunga, jantung Gading mulai berdetak lumayan kencang. Takut dan gugup adalah alasannya.

Gading sudah tiga bulan berkunjung ke rumah Bunga sebagai guru les. Namun, baru kali ini dia merasakan ketegangan yang luar biasa. Hatinya kian mencelus ketika melihat siapa yang membukakan pintu untuknya.

"Mas Gading? Bunga?" sapa Nona dengan semringah. Gadis yang sudah dua bulan ini mengisi hatinya itu melempar senyum manis untuknya. "Habis dari mana kok sore begini baru pulang sekolah?" Nona menegur sang adik.

"Habis mengerjain tugas kelompok di rumah temen, Mbak," kilah Bunga bohong, "di jalan tadi gak sengaja ketemu Pak Gading. Aku dianterin sama dia."

"Oh ... kirain ngelayab ke mana sampai sore begini."

"Ya udah aku masuk dulu, Mbak, Pak," pamit Bunga. Gadis itu langsung melewati kakaknya yang berdiri di depan pintu untuk masuk.

"Mari masuk, Mas Gading," ajak Nona manis.

"Eum ... sorry, Non, aku lagi sibuk banget. Ada banyak tugas yang mesti dikerjakan." Gading menolak dengan halus. Alasan sebenarnya adalah dia merasa canggung berbicara dengan Nona. Apalagi setelah kejadian beberapa waktu lalu bersama adik gadis itu. "Ya sudah aku permisi dulu, ya," pamitnya kemudian.

Gading berlalu usai diiyakan oleh Nona. Pemuda itu memacu motornya menuju pulang. Dalam perjalanan pulang, otaknya mengalami dilema. Dia mencintai Nona, tetapi dirinya juga harus siap bertanggung jawab jika Bunga kenapa-kenapa.

*

Hubungan Gading dan Bunga berjalan seperti biasa. Gading sempat cemas karena keesokan hari setelah peristiwa kelam itu Bunga tidak masuk sekolah. Dari kabar yang didengar katanya Bunga sakit. 

Penasaran dengan keadaan Bunga, Gading memutuskan untuk mengunjungi gadis itu. Alasannya adalah untuk memberikan les privat. Dan saat bertemu dengan Bunga, gadis itu menerangkan jika dia baik-baik saja.

Gading merasa sedikit lega karena keesokan harinya, Bunga sudah masuk sekolah. Gadis itu bersikap ceria seperti biasa. Namun, ada satu fakta yang membuat Gading berhenti bernapas mendengarnya.

Siang itu di sekolah sedang jam istirahat. Gading tidak sengaja berjalan melewati Bunga dan teman-temannya yang sedang asyik mengobrol di taman sekolah.

"Jadi serius kamu sudah bisa mendapatkan ciuman dari Pak Gading?" tanya teman Bunga dengan penasaran. 

Gading yang mendengar namanya disebut menghentikan langkah. Dia bersembunyi di balik pilar untuk mencuri dengar percakapan siswi-siswi populer itu.

"Gak cuma ciuman, aku malah bisa ngajak Pak Gading tidur," sahut Bunga jumawa.

DEG!

Gading sendiri tertohok mendengar jawaban Bunga.

Next

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status