Aku dan Galang saling berpandangan. Kami mengenal Gading dengan baik. Dia anak yang tidak neko-neko. Jarang berbohong pada kami. Ketika kutatap seksama, sinaran maniknya memancarkan kejujuran.
"Kira-kira apa motif Bunga menggoda kamu?" tanyaku penasaran.
"Entahlah, Bu." Gading menggeleng pelan, "walaupun aku mengajar dia privat, tapi di luar kami gak begitu deket. Eum ... di sini aku yang memang membatasi diri bergaul dengan murid perempuan."
"Mungkin Bunga naksir kamu, Mas." Galang beropini.
Gading menghela napas. "Aku gak tahu."
"Kelakuan dia bagaimana di sekolah?" Aku bertanya lagi.
"Setahuku Bunga itu anak yang ceria. Dia termasuk siswa yang populer. Temannya banyak," terang Gading kalem. "Sayangnya nilai akademisnya gak begitu bagus. Makanya dia minta privat sama aku."
"Oh ...." Aku dan Galang mengangguk bersamaan.
"Bunga ada punya cowok gak, Mas?"
"Aku gak tahu. Kan sudah dibilang, kami gak begitu dekat," balas Gading sembari menatap adiknya, "cuma sepertinya dia banyak penggemar cowok. Selain imut dia juga lead cheerleader," lanjutnya sedikit memuji.
Aku menghela napas panjang. "Semuanya sudah terjadi. Terlepas Bunga berbuat curang atau tidak, di dalam rahimnya sudah tumbuh benih kamu, Ding. Kamu harus bertanggung jawab," wejangku lirih. Kuelus rambut tebal kepunyaan Gading.
"Tapi, Bu, yang aku cintai itu Nona. Kakaknya Bunga." Gading terdengar sedikit merengek. "Apalagi setelah mendengar pengakuan Bunga, aku ... aku sama sekali gak respek sama dia."
"Pengakuan apa, Mas?" sahut Galang kian penasaran.
Gading tidak langsung membalas pertanyaan sang adik. Tangannya meraih teko. Dia menuangkan air ke gelas, lantas gegas menenggaknya hingga tandas.
"Tadinya aku bertekad kalo nanti terjadi apa-apa dengan Bunga, aku akan segera bertanggung jawab," tutur Gading dengan pandangan kosong, "tapi setelah tahu kenyataannya, aku ... aku jadi benci pada anak itu," akunya lirih.
Mendengar penuturan Gading, sontak Aku dan Galang kembali saling melempar pandangan.
"Coba cerita yang jelas, Mas! Biar kami gak bingung," suruh Galang kemudian.
Gading mengangguk. "Jadi begini ... setelah perbuatan mesum kami kepergok Ibu, aku mengantar Bunga pulang."
FLASH BACK
Gading yang benar-benar ketakutan melihat amarahku saat mempergoki keduanya, langsung membawa Bunga keluar. Dia memboncengkan Bunga pada motornya. Hujan besar ia terjang.
Namun, jalanan banyak yang tergenang. Susah Jia harus dilewati kendaraan. Akhirnya Gading memutuskan untuk berteduh dulu di sebuah warung bakso sembari menunggu hujan reda.
"Nga, saya bener-bener minta maaf telah berbuat hal yang tidak senonoh sama kamu," ucap Gading tulus saat menunggu pesanan mereka.
Bunga tersenyum tipis. Sama sekali tidak ada raut penyesalan. Berbeda sekali dengan Gading yang terus merutuki kebodohannya sendiri.
"Eum ... sama-sama, Pak. Saya juga minta maaf karena datang di waktu yang salah," balas Bunga mencoba menenangkan Gading.
Gading akan bicara lagi, tetapi harus ditunda karena pelayan datang membawakan pesanan. Sebenarnya dia sendiri tidak berselera makan setelah melewati kejadian itu. Berbeda dengan Bunga yang terlihat begitu tenang.
Gadis itu tampak begitu menikmati bakso dan minuman hangatnya. Bahkan Bunga langsung menandaskan makanannya dengan cepat. Walau pun sesekali gadis itu berhenti untuk mendesis.
"Kenapa, Nga?" Gading bertanya ketika melihat Bunga mengernyit.
Bunga tidak langsung menjawab. Gadis itu mencondongkan tubuhnya untuk mendekat. "Punya saya perih, Pak," bisik Bunga sambil melirik kiri dan kanan.
Gading meneguk ludah. Rasa bersalah kian menjalari hati. Namun, dia segera menggeser posisi duduknya. Dia sadar berdekat-dekatan dengan lawan jenis itu berbahaya.
"Saya berjanji, kalo sampai terjadi sesuatu sama kamu, saya akan tanggung jawab," ikrar Gading serius.
"Maksud, Bapak, apa?" Dahi Bunga berkerut karena tidak paham.
Gading melihat Kana kiri. Kini dia yang mencondongkan badannya. "Jika kamu hamil, saya akan bertanggung jawab," bisiknya serius.
"Ih ... Bapak ngomong apa sih?" tukas Bunga menghindar, "saya masih sekolah, Pak. Ujian kelulusan masih tiga bulan lagi. Saya gak pengin menikah dulu," cerocos Bunga terlihat keberatan.
Gading sampai harus meletakkan telunjuk pada bibir Bunga. Agar gadis itu sedikit menurunkan nada suara. Gading tidak ingin pembicaraan mereka didengar oleh orang lain.
"Semoga sih kamu tidak hamil. Saya cuma takut--"
"Kata teman saya, kalo cuma sekali kemungkinan "jadinya" itu sangat kecil, Pak." Bunga menyela omongan Gading dengan cepat.
Gading menyipit. "Teman kamu sudah berpengalaman hal begituan?" cecarnya mulai curiga.
"Eum ... kita tahu dari buku, Pak." Bunga berkelit, "kan di pelajaran biologi ada," imbuhnya meyakinkan. Gadis itu melengos saat Gading menatapnya serius, "hujannya udah mulai reda, pulang yuk, Pak. Saya takut dicari ibu." Gadis itu tampak mengalihkan topik.
Tanpa menunggu jawaban dari Gading, Bunga bangkit dari kursinya. Gadis itu melangkah pergi dengan perlahan. Hati Gading sedikit nyeri melihat jalan Bunga yang masih tertatih.
Pemuda itu ikut bangkit. Gading menderap langkah menuju meja kasir. Dia melakukan transaksi. Setelah itu baru menyusul Bunga di parkiran.
Kembali guru dan murid yang terpaut usia delapan tahun itu berboncengan. Dalam perjalanan pulang keduanya saling berdiam diri. Ketika hendak sampai di kediaman Bunga, jantung Gading mulai berdetak lumayan kencang. Takut dan gugup adalah alasannya.
Gading sudah tiga bulan berkunjung ke rumah Bunga sebagai guru les. Namun, baru kali ini dia merasakan ketegangan yang luar biasa. Hatinya kian mencelus ketika melihat siapa yang membukakan pintu untuknya.
"Mas Gading? Bunga?" sapa Nona dengan semringah. Gadis yang sudah dua bulan ini mengisi hatinya itu melempar senyum manis untuknya. "Habis dari mana kok sore begini baru pulang sekolah?" Nona menegur sang adik.
"Habis mengerjain tugas kelompok di rumah temen, Mbak," kilah Bunga bohong, "di jalan tadi gak sengaja ketemu Pak Gading. Aku dianterin sama dia."
"Oh ... kirain ngelayab ke mana sampai sore begini."
"Ya udah aku masuk dulu, Mbak, Pak," pamit Bunga. Gadis itu langsung melewati kakaknya yang berdiri di depan pintu untuk masuk.
"Mari masuk, Mas Gading," ajak Nona manis.
"Eum ... sorry, Non, aku lagi sibuk banget. Ada banyak tugas yang mesti dikerjakan." Gading menolak dengan halus. Alasan sebenarnya adalah dia merasa canggung berbicara dengan Nona. Apalagi setelah kejadian beberapa waktu lalu bersama adik gadis itu. "Ya sudah aku permisi dulu, ya," pamitnya kemudian.
Gading berlalu usai diiyakan oleh Nona. Pemuda itu memacu motornya menuju pulang. Dalam perjalanan pulang, otaknya mengalami dilema. Dia mencintai Nona, tetapi dirinya juga harus siap bertanggung jawab jika Bunga kenapa-kenapa.
*
Hubungan Gading dan Bunga berjalan seperti biasa. Gading sempat cemas karena keesokan hari setelah peristiwa kelam itu Bunga tidak masuk sekolah. Dari kabar yang didengar katanya Bunga sakit.
Penasaran dengan keadaan Bunga, Gading memutuskan untuk mengunjungi gadis itu. Alasannya adalah untuk memberikan les privat. Dan saat bertemu dengan Bunga, gadis itu menerangkan jika dia baik-baik saja.
Gading merasa sedikit lega karena keesokan harinya, Bunga sudah masuk sekolah. Gadis itu bersikap ceria seperti biasa. Namun, ada satu fakta yang membuat Gading berhenti bernapas mendengarnya.
Siang itu di sekolah sedang jam istirahat. Gading tidak sengaja berjalan melewati Bunga dan teman-temannya yang sedang asyik mengobrol di taman sekolah.
"Jadi serius kamu sudah bisa mendapatkan ciuman dari Pak Gading?" tanya teman Bunga dengan penasaran.
Gading yang mendengar namanya disebut menghentikan langkah. Dia bersembunyi di balik pilar untuk mencuri dengar percakapan siswi-siswi populer itu.
"Gak cuma ciuman, aku malah bisa ngajak Pak Gading tidur," sahut Bunga jumawa.
DEG!
Gading sendiri tertohok mendengar jawaban Bunga.
Next
Apa?" Aku, Mas Arif, dan Nona serempak bertanya."Itu ... eee ... Bunga ... Bunga hamil lagi, Bu, Yah," jawab Gading sedikit ragu. "Sudah delapan minggu.""Owalah mau ngomong itu aja lama bener," ujarku sambil menggeleng heran."Habisnya aku malu, Bu," aku Bunga sedikit menunduk."Malu kenapa?" Lagi-lagi kami bertiga menyahut kompak."Ya itu ... Fawwaz belum juga berumur dua tahun, malah sudah hamil lagi," tutur Bunga terlihat bersalah."Wong hamil punya suami kok malu." Mas Arif menanggapi dengan santai. Pria itu menyerahkan cucunya pada sang ibu. Dia mulai menikmati sarapannya sendiri."Oh ya ... aku juga ada yang mau disampaikan nih," kata Nona tersenyum manis."Apa?" Kami semua menoleh padanya."Jadi gini ...." Nona membasahi bibirnya dengan lidah, "malam Rabu besok Mas Haris akan bawa orang tuanya buat silahturahmi ke sini," terangnya malu-malu."Mbak Nona mau dilamar?" tanya Bunga antusias.Nona hanya mengangguk dengan pipi yang merona."Kamu sudah yakin dengan calonmu?" tanya M
Tidak terasa sudah empat bulan aku menyandang status sebagai Nyonya Arifin. Menjadi pengantin baru di usia yang hampir mendekati setengah abad tidak pernah sekalipun aku membayangkannya. Kadang masih tidak percaya jika Mas Arif sudah menjadi imam dalam hidupku. Sosok yang pernah sangat berarti, lalu karena keadaan kami terpisah jarak dan yang cukup lama. Dua puluh delapan tahun sendiri.Mungkin inilah yang dinamakan jodoh tidak akan lari kemana. Kami pernah membina rumah tangga masing-masing. Lalu karena campur tangan Allah, kami bertemu lagi.Kadang geli sendiri. Mas Arif memang sudah berumur. Dua tahun lagi usianya genap lima puluh tahun. Empat bulan lebih tua dariku. Namun, kelakuannya mirip anak tujuh tahun. Manjaaaa ... sekali.Mas Arif tidak akan pernah mau mandi jika tidak mandi bersamaku. Setiap hari sebelum dapat ciuman hangat, anak muda zaman sekarang bilang morning kiss lelaki itu akan berangkat kerja. Sarapan pun enggan jika belum aku suapi.Geli dan lebay ... memang! Tapi
Sesuai rencana, satu minggu kemudian Gading dan Bunga melangsungkan akad ulang mereka. Keduanya tampak berseri. Mereka mengenakan jas serta kebaya pengantin enam bulan lalu. Walau begitu Gading dan Bunga terlihat bahagia.Jika dulu Gading tampak begitu terpaksa, tidak dengan hari ini. Suaranya yang lirih dulu saat mengikrarkan janji kini terdengar lebih lantang. Bahkan dia melafalkan hanya dengan satu tarikan napas.Sayangnya acara bahagia ini tidak dihadiri oleh Nona. Anak itu baru menjalani masa kurungan selama satu bulan. Tentu saja dirinya tidak diizinkan untuk datang.Walau begitu kebahagiaan ini tidaklah berkurang. Bahkan kian bertambah karena usai ijab qobul Gading dan Bunga, Mas Arif mengajukan lamaran untukku di hadapan tamu. Khususnya Ibu serta keluarga aku."Mak Siti, njenengan tahu kalo saya sama Marini sudah saling suka dari waktu kecil," ujar Mas Arif tenang di hadapan keluargaku dan keluarganya."Yo, tahu," sahut Ibuku juga tidak kalah tenang, "kalian bahkan pernah mau
Bibir Mas Arif masih mengembangkan senyum. Sementara matanya terus menatapku intens. Aku sampai risih dibuatnya."Sudah, Mas, jangan pandangi aku terus. Malu!" tegurku benar-benar jengah, "sudah dimakan itu pesanan kamu!"Mas Arif kian meringis. "Rin, tolong cubit lenganku," pintanya sembari menyodorkan tangan.Alisku bertaut. "Kok minta dicubit?""Enggak ... aku cuma mau memastikan bahwa ini tuh nyata, real. Kamu menerima pinangan aku."Kali ini aku yang tersenyum. "Sudah gak usah lebay gitu, Mas. Ingat kita ini pasangan kakek nenek lho, bukan anak muda lagi!" tuturku mencoba mengingatkan."Kata siapa kita sudah tua?" Mas Arif langsung menukas, "belum juga lima puluh tahun. Kata orang kita lagi di puncak kematangan hidup.""CK ... udah itu bakmine nanti dingin." Aku mengalihkan perhatian dengan menunjuk mangkok berisi bakmie kepunyaan Mas Arif.Mas Arif mulai membubuhkan saos. Setelah itu dia mengaduk makanan panjang itu dengan sumpit. Lelaki itu menyicipi kuahnya dengan sendok.Tiba
Aku tersentak saat mendengar suara kondektur yang menyuruh penumpang turun di terminal daerah Ibu. Hebat! Tiga jam perjalanan aku sama sekali tidak mengantuk. Waktuku habis hanya untuk memikirkan Mas Arif.Turun dari bus aku langsung mencari tukang ojek. Begitu dapat kusuruh lelaki berhelm itu untuk mengantar ke TPU. Hanya butuh waktu sepuluh menit, aku sudah tiba di makam Bapak dan juga kakek.Bunga-bunga yang kubeli di toko tadi, kutaruh pada kedua makam tersebut. Usai memanjat doa dan menyiram air bunga, aku melangkah pergi. Tukang ojek masih menunggu.Pria itu mengantar aku hingga tiba di depan rumah Jani. Ketika aku membayar lebih, lelaki seumuran Pak Kus mengucapkan banyak terima kasih.Jani menyambut kedatanganku dengan senang. Wanita itu menyiapkan makan siang untukku. Kami makan siang bertiga Ibu. Anak-anak Jani dan suaminya belum ada yang pulang."Sebenarnya maksud kedatangan aku ke sini adalah ingin meminta saran dari kalian," ungkapku usai makan siang bersama."Kamu mau ce
"Mas, ini tuh--""Saya kasih kamu waktu untuk berpikir, Rin," sela Mas Arif segera, "silakan berpikir matang-matang agar nanti tidak ada penyesalan di kemudian hari," tuturnya terdengar bijak."Terima kasih banyak, Mas." Aku tersenyum senang."Ya sudah kalo sudah tidak ada lagi yang dibicarakan, saya pamit pulang saja," izin Mas Arif selanjutnya."Tapi, Yah, kita kan belum bahas rencana nikah ulang aku dan Mas Gading." Bunga langsung mencegah kepergian ayahnya."Lho bukannya nanti bareng sekalian sama nikahannya ayah dan Ibu Rini," sahut Mas Arif santai."Cieee!" Gading dan Galang sontak meledek. Membuat pipiku terasa hangat.Bunga tertawa. "Tapi kalo ayah ditolak lagi bagaimana?""Gak papa ... toh setidaknya ayah pernah berusaha keras mengejar cinta pertama ayah." Mas Arif menjawab dengan sok bijak."Cieee!" Lagi-lagi Gading dan Galang menanggapi dengan ledekan."Kalian berdua apa sih dari tadi cie-cie saja?" Aku menegur dengan sedikit gondok. Namun, baik Gading maupun Galang tetap s
Pagi harinya sekitar pukul tujuh pagi Mas Arif sudah bertandang ke rumah. Pria itu hadir bersama Pak Wisnu. Kami akan mengantar Nona untuk memenuhi panggilan.Mas Arif terlihat rapi sekali hari ini. Kemeja biru muda tampak masuk dengan kulitnya yang bersih. Begitu aku mendekat, semerbak parfum aroma kopi tercium begitu menyengat. Sepatu dan sabuk yang ia kenakan menambah kesan maskulin.Sayangnya pria itu bersikap kaku padaku. Dari datang, dalam perjalanan, hingga ke kantor polisi dirinya sama sekali tidak mau mengajakku bicara.Bingung dengan tingkahnya, aku mencoba mengalah. Aku beberapa kali melempar pertanyaan basa-basi padanya. Namun, Mas Arif menjawab dengan seperlunya. Bahkan jika pertanyaan seputar kasus Nona yang menjawab justru Pak Wisnu.Usai melakukan pemeriksaan, Nona ditahan hingga diadakan sidang. Ketika akan pulang, aku menguatkan anak itu."Aku gak papa, Bu," ujar Nona mencoba untuk tersenyum. Walau aku tahu itu senyum yang dipaksakan. "Kalo berkenan tolong besok bawa
Adzan ashar berkumandang. Aku terbangun dari istirahat siang. Segala lelah dan pegal telah lenyap. Rumah tampak sepi. Hanya terdengar suara gemericik air di kamar mandi."Eh Ibu sudah bangun?" sapa Nona ketika keluar dari kamar mandi. Wajah dan anggota tubuh lainnya tampak basah. Dia bukan habis mandi. Sepertinya baru saja bersuci."Pada ke mana? Kok sepi, ya?" tanyaku basa-basi."Galang pergi main futsal. Gading nganter Bunga beli popoknya Fawwaz ke Indoapril.""Fawwaz diajak juga?""Iya.""Oh." Mulutku membulat kecil. Aku pun melangkah masuk ke kamar mandi."Ibu gak tanya ayahku?"Aku balik badan lagi. "Iya, ayahmu di mana?""Ayah pamit balik. Padahal aku dan Bunga sudah bujuk dia buat tidur di sini, tapi ayah gak mau," terang Nona tampak kecewa.Aku tersenyum tipis mendengarnya."Kasihan di rumah ayah pasti kesepian," lanjut Nona kini terlihat sedih."Mungkin ayahmu butuh tempat yang tenang buat beristirahat. Di sini kan rame." Aku memberikan dalih dengan asal."Ayah juga ngajak ak
Selama menjadi menantu dan tinggal di rumahku, anak itu selalu menolak ketika diajak berjamaah. Alasannya adalah ingin ibadah di kamar saja. Usai sholat kami menunggu para bapak-bapak pulang. Aryanti melarang ketika aku ingin membantunya mempersiapkan meja makan."Udah kamu duduk sing manis saja, Mbak. Kamu itu tamu kok, wajar saja kalo kami layani," kilah Aryanti sembari menata piring."Iya, Budhe kan jarang main ke sini," timpal Bening membenarkan omongan ibunya.Aku hanya bisa menurut. Tidak lama kaum pria datang. Kami makan malam bersama. Untung Aryanti punya meja makan yang lumayan besar. Sehingga mampu menampung sepuluh orang dalam waktu yang bersamaan. Kebetulan juga bayi Aryanti sudah tidur sehingga dia bisa ikut makan besar ini.Makan malam ini berlangsung dengan hangat dan penuh kekeluargaan. Tidak kusangka suami Aryanti punya selera humor yang tinggi. Beberapa candaannya pecah hingga mengundang gelak tawa kami semua.Baru pada kali ini aku melihat seorang Nona tertawa den