Share

6. Terpisah?

"Apa kau serius dengan ucapanmu, Lily?" Edhie menarik tubuhnya sedikit menjauh dari Lily. Bukan untuk menghindar, melainkan pria itu ingin mengamati raut wajah gadis kecilnya.

"Aku tidak ingin terus menerus merepotkanmu."

"Jika benar itu yang kau pikirkan, aku tetap akan menahanmu. Apa selama ini kau pernah mendengarku mengeluh tentangmu?"

"Pernah."

Ucapan ringan Lily membuat Edhie terdiam dengan mulut yang sedikit terbuka sepersekian detik. Sebelah tangannya yang terangkat hingga sejajar dengan dada, mengawang di udara.

"A—apa kau bilang?"

"Pernah," ulang Lily lagi. "Kau pernah mengeluh tentangku yang sangat berisik dan selalu mengikutimu, Ed. Kau juga sering memanggilku bocah karena aku terus menerus merengek kepadamu. Kau juga—"

"Baiklah. Sudah cukup, Lily," potong pria itu cepat sebelum dihujani berbagai fakta.

Edhie salah terlalu percaya diri di depan gadis hasil dari didikannya sendiri itu. Baik rasa percaya diri maupun keras kepalanya, benar-benar menurun dari sikap Edhie.

"Harusnya kubiarkan Joe saja yang mengasuhnya," gumam Edhie menggerutu. Pria itu mengalihkan pandangannya dari Lily yang masih menatap Edhie dengan mata bulatnya

"Padahal belum semenit dia berkata tidak pernah mengeluh." Lily memutar bola matanya.

"Aku bisa mendengarmu, bocah."

"Aku berucap memang sengaja agar kau bisa mendengarnya, Ed," balas Lily tidak ingin mengalah sedikitpun.

"Bisakah kau tetap disini, Lily? Aku akan kehilangan lawan debatku jika kau tidak ada," udap Edhie beralasan.

Keningnya sedikit berkerut dengan sorot mata yang melunak. Apa yang diucapkannya barusan bukanlah sebuah kebohongan. Tinggal bersama dengan Lily membuat kehidupan Edhie menjadi lebih berwarna. Celotehan dari gadis kecilnya hingga kini sudah beranjak dewasa, selalu menghiasa hari-harinya.

"Baiklah, sebagai gantinya aku minta nama belakangmu, Ed. Agar aku yakin, kau tidak menjadikanku sebagai tawanan."

"Hanya itu saja?"

Edhie berujar tanpa beban. Ternyata permintaan gadis kecilnya tidaklah sulit. Sudah lama Edhie ingin mendaftarkan Lily sebagai anggota keluarganya, namun ia menunggu persetujuan dari Lily.

Bukankah Lily memiliki hak untuk memilih menjadi bagian dari anggota keluarga Edhie, atau membuat nama keluarga sendiri?

Yang pasti, Edhie tidak akan memberi tahu nama keluarga Lily yang sesungguhnya.

"Jadi, kamu bersedia menikah denganku, Ed?" Lily menaikkan sebelah sudut bibirnya dengan alis yang dinaik turunkan.

Ya, Tuhan. Bocah ini benar-benar mempermainkan Edhie.

***

Sebuah candaan yang benar-benar membuat Lily kehilangan tempatnya.

"Kau serius, Ed?!" Langkah kecil Lily kepayahan mengikuti kaki jenjang Edhie.

Pria itu terus mengayunkan kakinya dengan acuh tak acuh.

"Ed!" panggil Lily lagi.

Tidak ada sahutan dari pria itu, ia kembali memerintahkan Nyonya Rosaria—sang kepala asisten rumah tangga— untuk membantu Lily membereskan semua barang-barangnya.

Lily sedikit berlari lalu berhasil memegang lengan kekar Edhie dengan kedua tangannya, membuat Edhie mau tak mau harus menghentikan langkahnya.

"Ed! Kau serius memintaku keluar dari rumah ini?"

"Bukankah kau sendiri yang menginginkannya, Lily? Kau terus menerus membicarakan soal pernikahan, bagaimana jika orang lain mendengarnya?"

"Apa yang kau maksud orang lain itu adalah kak Cassandra?"

Wajah Edhie sedikit mengeras, dengan alis yang terangkat sebelah.

"Kenapa membawa-bawa Cassie?"

"Bukankah satu-satunya alasan adalah kamu yang tidak ingin kak Cassandra salah paham?"

Edhie terdiam. Bagaimana mungkin gadis kecilnya itu berpikiran demikian?

"Apartemen seperti apa yang kau inginkan? Aku memiliki apartemen mewah dekat dengan sekolahmu, mungkin kau akan tertarik?"

Lily berdecak kesal. "Baiklah jika keputusanmu sudah bulat, Ed." Gadis itu menghentakkan kakinya dengan kencang lalu berjalan mendahului Ed.

Sesampainya di kamar, Lily mengambil ransel berukuran besar, dengan bibir yang terkatup rapat. Matanya memerah, namun sebisa mungkin ia menahan isakan. Gerakan tangannya terkesan buru-buru dan secara asal memasukkan barang-barang miliknya.

Selang beberapa menit, Lily keluar dari kamarnya. Pemandangan pertama yang gadis itu lihat setelah menuruni anak tangga terakhir adalah Edhie yang tengah melingkarkan lengannya di pinggang ramping Cassandra dengan mesra—menurut Lily.

"Oh, sial!" Bibir mungil Lily tak kuasa untuk tidak mengumpat. "Pria itu benar-benar serius."

Edhie yang tidak sadar dengan kehadiran Lily terus berdiri membelakangi Lily. Sesekali terdengar candaan dari keduanya.

"Dengar ini, Ed!" teriak Lily begitu lantang.

Baik Edhie maupun Cassandra mengalihkan pandangannya ke arah Lily. Suasana seketika berubah menjadi menegangkan dikarenakan sorot mata Lily yang menatap tajam ke arah mereka berdua.

"Kau akan menyesal karena sudah mengusirku!"

Setelah mengatakan hal itu, Lily berlari keluar mansion. Langkahnya yang begitu cepat membuat napasnya kian memburu. Akan tetapi, bibir gadis itu tidak hentinya menggerutu.

"Sial, padahal dia tahu aku hanya bercanda, tapi kenapa dia justru mengusirku. Kau lagi-lagi berbohong, Ed. Harusnya kau jujur saja jika tidak ingin kehadiranku mengganggu hubunganmu dengan Cassie tercintamu itu."

"Dasar, bodoh!"

Lily yang sibuk menggerutu tidak menyadari jika Edhie sudah berhasil menyusulnya. Pria itu menarik paksa Lily hingga membuat gadis itu kehilangan keseimbangan lalu menubrukkan tubuhnya di dada bidang Edhie.

Lily dapat mendengar degup jantung Edhie yang tidak beraturan. Dada pria itu naik turun, sebelum akhirnya menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan.

"Aku tidak pernah mengusirmu," ujar Edhie menjelaskan.

"Kau akan tumbuh semakin dewasa, Lily. Aku tidak ingin terus menerus membatasimu. Terlebih lagi, kau berpikir bahwa aku sudah menjadikanmu sebagai sandera."

Ah! Ya, benar. Lily sendiri yang menjadi penyebab pengusiran atas dirinya itu. Meskipun dengan sangat jelas, Edhie sama sekali tidak berniat mengusirnya.

Apa boleh saat ini dia menyalahkan Elliot?

Edhie mencondongkan tubuhnya untuk menatap lamat gadis yang saat ini bertatap muka dengannya. Pria itu memegang kedua bahu Lily.

"Lihat aku, Lily. Aku benar-benar menyesal atas kematian kedua orang tuamu. Nyawaku pun tidak cukup untuk menebus kesalahan yang telah aku perbuat."

Lily menggeleng cepat. "Tidak, Ed. Kau sudah merawatku selama ini."

"Kau berhak balas dendam, Lily. Aku pembunuh."

Deg!

Seketika jantung Lily berhenti berdetak untuk sepersekian detik. Mendengar kata pembunuh keluar dari mulut Edhie, menarik Lily kembali ke kenyataan. Matanya yang tadi memerah kini sudah dialiri cairan bening.

"Aku pergi, Ed," putus Lily. Gadis itu gegas berlari ke arah mobil yang disopiri oleh Jovan.

Edhie benar-benar sudah mempersiapkan segalanya untuk Lily. Baik apartemen maupun pengawal dan juga asisten rumah tangga, Edhie sudah menyiapkan semuanya dalam kurun waktu beberapa jam saja.

Edhie mematung, menatap punggung Lily yang semakin menjauh, hingga menghilang memasuki mobil. "Sudah waktunya kau hidup dengan kebebasanmu, Lily," gumam Edhie.

Cassandra yang menyusul Edhie, mengusap lembut bahu Edhie. "Apa kau baik-baik saja?"

Edhie meletakkan tangannya di atas tangan Cassandra. "Bagaimana mungkin?" jawabnya tersenyum kecut.

Sementara, di dalam mobil, di jok belakang, Lily sengaja membuang pandangannya ke luar jendela yang berlawanan dengan tempat dimana Edhie masih berdiam. Ia sama sekali tidak ingin melihatnya. Suara deru mesin mobil yang stabil, membawa Lily keluar dari tempat dimana awal ingatannya tercipta.

"Anda tidak apa-apa, Nona?" tanya Jovan dengan raut muka penuh kecemasan.

Dari tadi ia mengamati sang nona muda yang masih membisu. "Bos tidak mengusir Anda, Nona. Aku harap, Nona tidak salah paham."

"Aku tahu, Paman. Aku tahu, Edhie bukan orang yang seperti itu. Apa Paman tahu, Edhie yang membunuh kedua orang tuaku?"

Tidak ada sahutan dari Jovan. Pria itu tetap menatap datar ke arah jalanan.

Lily pun juga tidak berniat untuk mendapatkan jawaban. Ia kembali menoleh ke arah luar jendela, menikmati gelapnya malam perkotaan.

Sesampainya di unit apartemen milik Edhie, Lily masih terdiam di ambang pintu. Suasana begitu hening, di lantai itu hanya terdapat dua kamar. Entah berpenghuni atau tidak.

Lily menarik napas dalam-dalam sebelum Jovan membukanya. "Ayo, paman," ajak Lily kemudian mempersilahkan Jovan untuk membukanya.

Setelah pintu terbuka, Lily mengedarkan pandangannya. Apartemen tersebut begitu luas diisi dengan berbagai properti mahal. Tidak heran karena Edhie lah yang memiliki apartemen ini.

"Sepertinya aku akan betah tinggal disini, Paman," ujar Lily setelah selesai mengamati semua ruangan.

Jovan yang sedari tadi mengekor hanya mengangguk sekilas. "Beberapa pelayan akan sampai disini besok pagi, Nona. Nona tidak perlu khawatir, mereka akan senantiasa mempersiapkan segala keperluan Nona. Saya sendiri dan beberapa pengawal juga akan menjaga Nona setiap hari."

Lily mengangguk. "Sejujurnya, Edhie tidak perlu melakukannya. Aku sudah cukup dewasa untuk mengurus diriku sendiri."

"Bos hanya ingin memastikan keselamatan Nona."

Lily berdecak. "Dia hanya menganggapku sebagai bocah." Langkah kaki Lily terayun ke arah balkon dengan gorden yang terbuka lebar. Pemandangan puncak gunung Elber, menjadi salah satu keunggulan dari apartemen ini.

"Nona, Bos sendiri pasti merasa kehilangan Nona." Jovan yang masih berdiri di belakang Lily akhirnya membuka suara setelah berdiam cukup lama.

"Aku tahu, karena kami sudah seperti keluarga."

"Apapun keputusan Bos, semua demi kebaikan Nona."

"Tapi baru kali ini dia memintaku menjauh, Paman." Lily tersenyum getir dengan pandangan yang mengembun. "Apa dia takut, aku akan membalas dendam? Aku tidak sepicik itu, mengabaikan semua kebaikannya."

Lily kini menoleh menatap ke arah Jovan, rasa sesak yang sedari dia tahan akhirnya membuncah juga.

"Apa menurut Edhie, aku ini hanya bocah yang membebaninya?" tanyanya meracau.

"Tentu tidak, Nona. Bos sangat menyayangi Nona melebihi nyawanya. Bos hanya takut…"

"Takut?" Lily menaikkan sebelah alisnya, melasa perkataan Jovan selanjutnya adalah sebuah rahasia yang ingin dipendamnya.

Jovan tidak berani menatap Lily, bola matanya bergetar. Apa perlu dia jujur dengan Nona Mudanya itu agar tidak terjadi salah paham?

"Katakan, Paman," desak Lily.

"Bos takut jika Nona salah paham dengan perhatiannya selama ini."

"Apa?"

Saat itu Lily tidak mengerti dengan maksud dari perkataan Jovan. Hingga kini, usianya sudah menginjak dua puluh lima tahun, usia yang sudah matang untuk memahami maksud dari perkataan pamannya kala itu.

"Keputusanku sudah bulat, Edhie. Aku akan menjadikanmu suamiku!" gumam Lily bertekad.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status