Share

Karna Ini Takdir

Kita boleh saja punya impian yang besar dan indah namun, jika impian kita beda jalan dengan takdir mau diapakan? Kita hanya bisa menerimanya bukan?

            Ali dan istrinya turun dari mobil dan langsung menuju meja resepsionis. Ayahnya berjalan gontai karna sangat khawatir dengan keadaan menantunya. Meskipun Lina tidak menyukai ratih tapi ali sangat senang mempunyai menantu yang baik seperti Ratih.

            “Rudi!” Ali memanggil Rudi dari kejauhan. Ali melihat Rudi yang benar-benar keadaanya menjadi kacau.

            “Ayah, ibu” air mata Rudi keluar lagi.

            “Bagaimana keadaannya?”

            “Dia koma yah dan gak tau bangun kapan,” ucapnya dengan suara parau.

            “Sabar Rud, ayah turut sedih,” tangan sang ayah itu mengelus pundak anak yang dia sayangi, Rudi putranya yang dulu punya impian indah bersama keluarga kecilnya sekarang mimpi itu sepertinya sudah hancur.

 ***

            Rudi kecil yang masih berumur 5 tahun sedang berlari-lari kecil saking bahagianya diajak liburan ke pulau bali.

            “Ibu..! Ayah…! Hahahaha,”wajah yang kecil mungil itu tertawa sangat lepas. Kedua orang tuanya pun ikut bahagia karena jarang sekali bisa liburan ditengah-tengah kesibukan kantor.

            “Rudi, jangan lari nanti jatuh,”Lina mengejar rudi yang berlari itu, jadilah kejar-kejaran.

            PLAK!

            “Hah!”

            Tubuh rudi tiba-tiba berhenti mendadak.

            “Ada apa Rud?” Tanya sang ayah namun ia hanya diam saja dan tetap memandang kedua orang di depanya itu dengan raut wajah melongo. 

            “Mas, tolong jangan talak aku!” isak wanita itu.

            “Hei kau Nia! Kamu masih tidak sadar? Dasar wanita sialan!”ujar pria itu dengan emosi yang menggebu.

            Nia tiba-tiba duduk dan memohon di kaki suaminya. “Mas, jangan seperti ini salahku apa?.”

            “Ha! Masih belum sadar juga?, 10 tahun nia 10 tahun bukan 1 tahun atau pun 3 tahun tapi 10 tahun! Aku terus sabar menanti kedatangan anak kita tapi apa?, kamu sampai sekarang tidak hamil-hamil. Kamu mandul bodoh!,” seperti tidak ada rasa cinta lagi, suaminya itu melepaskan ikatan tangan Nia di kakinya dengan keras yang membuat Nia tersungkur.

            Tangisan Nia semakin menjadi dan pertengkaran mereka berdua disaksikan oleh orang-orang disekitarnya termasuk Ali sekeluarga.

            “Mas!, kau pikir aku mau seperti ini? Aku juga menginginkan buah hati. Tapi mau bagaimana lagi jika takdir berjalan seperti ini? Mau nyalahin siapa?!” isak Nia dengan wajah menunduk demi meredam tangisanya itu.

            “Ya salahmu lah Ni! Kamu yang mandul! Lagian, aku sudah punya calon istri yang dijamin bisa kasih aku keturunan yang banyak! Gak kayak kamu dasar. Sudah sana, gak malu apa dilihat orang seperti ini!”

            “Mas apa kamu segampang ini melupakan janji-janjimu dulu? Janjimu untuk selalu bersama hidup denganku disaat suka maupun duka?”

            Nia berharap suaminya itu menjawab seperti apa yang dia inginkan, ia yakin dia suaminya itu hanya termakan oleh emosi dan masih mencintai dirinya.

            “Persetan dengan janji itu! itu hanya formalitas saat menikah bodoh. Mana bisa sorang suami istri bertahan tanpa adanya anak.”

            Setelah mengatakan seperti itu suami Nia pergi dan meninggalkan Nia yang menangis sesenggukan. Nia berdiri dan langsung berlari menjauh dari tempat perpisahanya dengan suami.

            “Hiks”

            “Rud, kamu kenapa menangis?” ucapan lembut Lina membuat Rudi membalikkan badan.  “Rudi kasihan bu,” air mata rudi mengalir dan senantiasa diusap oleh lina.

            “Jangan menangis rudi, doakan mereka berdua baik-baik saja.”

            “Iya ayah, ibu tapi Rudi kasihan, Rudi janji kalau Rudi sudah besar sudah mempunyai istri Rudi tidak akan bersikap seperti itu. Rudi akan menyayangi istri Rudi meskipun ia tidak punya anak. Dan kalau Rudi punya anak bersama istri Rudi yang Rudi cintai Rudi akan bahagia sekali hidup bersama keluarga kecil.”

            Ali dan Lina tercengang dengan omongan Rudi, anak usia 5 tahun sudah bisa membahas seperti itu.

            “Ah pintar sekali anak ibu dan ayah,” ucap Lina sambil mengelus rambut Rudi yang lembut. “Ayo kita balik ke hotel, sudah Rudi jangan sedih lagi ya, nanti ayah traktir es krim”

            “Yeyy,” Rudi kecil pun menaiki punggung Ali dan mereka bertiga kembali ke hotel.

 ***

            Ali mengenang sebuah momen yang berarti baginya, sampai-sampai tak disadari seorang perawat menuju ke arah mereka bertiga.

            “Maaf pak rudi, ini anak bapak” ucap suster sambil memberikan bayi kepada rudi.

            Dengan tatapan yang tak sudi ia menggendong bayi itu, yang ada di pikiran rudi ia harus menjaga martabatnya. Karena tak mungkin pemilik perusahaan besar harus terlihat ingin membunuh anaknya sendiri.

            “Makasih suster,” dengan senyum yang terpaksa Rudi berterima kasih kepada suster itu.

            “baik pak, sama-sama,” setelah itu suster pergi meninggalkan Rudi sekeluarga.

            Ketika suster itu sudah pergi, Rudi langsung menaruh bayinya ke kursi tunggu.

            “Tak sudi aku menggendong dia”

            Rudi mengibas-ngibaskan tanganya dan mencuci tangan dengan wastafel yang ada di samping kursi tunggu.

            “Rud! Kenapa kamu seperti itu sama bayimu?” ucap Ali yang kaget dengan kelakuan anaknya itu. sedangkan Lina hanya melihat mereka berdua tanpa ada rasa ingin menolong bayi itu.

            “Lihat saja sendiri yah.”

            Ali mendekati bayi itu, dibukanya kain yang membungkus bayi itu. sedetik kemudian mulut Ali mengaga dan menunjukkan ekspreksi tak menyangka. Begitu pun dengan Lina, ia sama kagetnya dengan Suaminya itu namun kekagetanya hanya bertahan sebentar dan tergantikan oleh kemarahan.

            “Rudi apa-apaan ini! Kenapa bayimu seperti ini?” ucap Lina dengan emosi. “Tidak Rud, ibu tidak bisa terima ini” lanjutnya.

            Lina duduk di kursi dan memegangi pelipis kepalanya yang mulai pusing. “Cepat singkirkan dia.”

            “Hah?” sahut ali yang bingung dengan omongan istrinya itu. disingkirkan katanya?.

            “Lina apa kamu gila?” lanjut Ali, sepertinya Ali tidak menyetujui ucapan Lina barusan. Bagaimana bisa bayi yang tidak bersalah harus disingkirkan hanya karena tidak seperti bayi lain.

            “Mas! Apa kamu nggak liat? Dia cacat, bagaimana bisa dia menjadi penerus perusahan Rudi kalau seperti itu?” Lina mulai menaikkan nada saat bicara, emosinya benar-benar naik.

            “iya benar kata ibu, anak ini harus disingkirkan yah,” ucap Rudi menyetujui usulan dari ibunya itu. namun Ali masih berpikir, bisa-bisanya Rudi punya hasrat busuk seperti itu.

            Mereka bertiga masih sibuk berdebat mengenai bayi itu. dan tidak menyadari dalam kegelapan di balik tembok ada seseorang yang mendengarkan semua percakapan mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status