Share

Bab 06. Tawaran

Author: HaniHadi_LTF
last update Last Updated: 2025-04-26 05:06:01

"Kamu mau menggugurkan bayimu?" tanya Maryam mengikuti pertanyaan Liam.

Keya menganggukkan kepala dengan tertunduk. Dia sudah tak dapat berfikir lain. Hatinya terombang ambing.

"Sabar, Dhuk, jangan melakukan dosa besar. Yang telah kamu lakukan itu salah, jangan menambah dosa lagi."

"Bukan salah saya, Bu. Saya hanya korban. Kami dijebak dengan diberi minuman yang dicampur obat," bela Keya.

"Maksud kamu?" Liam heran dengan perkataan Keya.

"Aku dan..." Keya menutup mulutnya agar tak keceplosan bicara tentang Nabil. "Aku dan dia dijebak hingga kami melakukan perbuatan tak bermoral itu, Bu. Bukan keinginan kami."

Maryam dan Liam menatap prihatin. Dari awal mereka memang tidak yakin jika gadis seperti Keya bukanlah gadis baik-baik. Sikapnya bahkan seperti seorang anak polos yang masih tak memahami hal-hal yang aneh-aneh.

"Masih ada waktu saya masuk kuliah, Bu. Tinggal beberapa hari lagi, jika saya tak masuk saya dianggap tidak menjadi mahasiswi lagi. Sedangkan menjadi dokter adalah impian saya dari dulu. Jika saya menggugurkan kandungan ini, saya bisa sekolah lagi."

"Istighfar, Dhuk." Maryam mendekati Keya dan mengusap punggungnya. "Apa kamu tidak bisa mengbiarkannya dengan tetap sekolah?"

"Bagaimana mungkin, Bu. Orang tua saya tak menginginkan kondisi seperti ini." Entah setan dari mana yang tadi membuat Keya menangis dalam salat, kini membuatnya tak takut harus berbuat dosa.

"Dia tak berdosa, Dhuk. Kasihan dia."

"Key, sadarlah," Liam ikut menguatkan Keya.

"Jika saya masih saja hamil, orang tua saya tak mungkin menerimanya. Mungkin jika saya tak hamil lagi, saya bisa pulang dan meneruskan sekolah."

"Kamu masih bisa meneruskan sekolah walau kamu hamil," ucap Liam.

"Itu kalau hamil karena menikah, Kak. Kalau dalam situasi seperti aku, mau ditaruh di mana mukaku? Aku tak sekuat itu untuk menahan malu." Keya mengusap air matanya. "Lagipula, apa yang anak ini dapatkan jika saya lahirkan? Dia hanya menjadi hinaan. Apalagi saat dia masuk sekolah dan di aktenya tidak memiliki ayah. Semua orang akan mempertanyakan mana ayahnya. Bisa saja aku jawab bahwa dia hanya punya aku. Tapi dia... apa dia sanggup dihakimi banyak orang juga temannya?"

"Dhuk..." Maryam tak bisa berkata-kata. Matanya ikut sembap menyaksikan Keya berurai air mata.

"Tidak, aku tak sanggup membayangkan semua itu terjadi padanya. Dia akan menanggung malu seumur hidup."

Keya berdiri.

"Dhuk, kamu mau ke mana?"

"Sudah pagi, Bu. Saya harus segera berkemas," ucap Keya bingung.

Maryam meraih tangannya. "Tapi kamu mau ke mana, Dhuk? Katamu kamu tak bisa pulang."

"Saya belum tahu, Bu."

Maryam menatap gadis yang kini sudah beranjak meninggalkan kamarnya. "Key,..."  panggilnya pelan seolah tak ada suara.

Keya sudah meninggalkan kamar Maryam untuk ke kamarnya. Diusapnya wajahnya dengan ujung tangannya. Dia lalu mengemasi barangnya.

Maryam yang tak tega menatap Liam.

"Bagaimana ini, Le? Lalu mau ke mana dia?"

"Lalu kita harus bagaimana, Bu?"

Maryam beranjak dari kamarnya, ke kamar Keya. Belum juga sampai, gadis itu sudah terlihat rapi dengan pakaian yang sama seperti saat dikenakannya tadi malam, dan menjinjing tasnya.

"Key,..." Maryam mengusap air matanya menatap Keya.

"Bu, terima kasih banyak sudah mengizinkan Keya tinggal." Keya sudah mengulurkan tangannya, lalu terdengar suara berat Liam.

"Kamu tidak perlu pergi. Menikahlah denganku. Aku akan memberi namaku untuk ayah anakmu."

Bu Maryam terkejut, begitu juga dengan Keya.

"Liam..."

"Apa Ibu tega melihat dia pergi tanpa tujuan, dengan keadaan hamil pula?"

"Ibu memang tak tega, Liam. Tapi dengan menikahi Keya, apa itu jalan keluar?"

"Maksud Ibu?"

"Apa kamu sudah berpikir, Liam... bagaimana dengan Dania jika kamu menikahi Keya?" tanya Maryam dengan menatap tajam ke anaknya.

Liam mendekati ibunya.

"Bu, sejak belum bertemu dengan Keya, Liam sudah bermimpi tentangnya, mungkin itu pertanda bahwa Liam harus bisa menolongnya." Sejenak Liam memandang Keya yang tertunduk.

"Bagi Keya, menikah bukan hanya menutup aib, Kak." Keya mendongakkan wajahnya menatap Liam.

"Keya dari awal berkomitmen bahwa Keya hanya menikah kalau Keya mencintai pria yang menjadi suami Keya. Sedangkan kita tak saling mencintai. Saya telah mencintai orang lain, yaitu ayah dari bayi yang saya kandung."

"Aku sudah menganggapmu seperti adikku. Aku harus menolongmu, mungkin dengan cara memberi namaku untuk ayah bayimu, itu saja. Kita tidak akan melakukan sebagaimana yang dilakukan suami istri. Hingga tiba saat di mana kamu kuat berdiri, kita bisa mengajukan perceraian."

Liam kemudian mendekati ibunya. "Aku bisa katakan ini ke Dania, Bu. Dania sendiri sepertinya belum memberi kepastian kapan kami menikah. Selama ini dia selalu mengulur waktu. Jika saya jelaskan tentang tujuan saya ini, insyaallah dia akan mengerti."

"Sudah pagi, Le... Bersiaplah, pergilah dulu mengajar, biar Key juga Ibu mencerna apa yang telah kamu katakan tadi," kata Maryam sambil membuntuti putranya ke kamarnya.

"Nanti kalau istirahat, pulang sebentar, Ibu pingin bicara," ucap Maryam lagi.

Liam lalu bersiap-siap, mandi, berpakaian kemeja abu-abu rapi, lalu mengeluarkan motornya.

Maryam mengulurkan tangannya saat Liam mau menyalami ibunya itu dengan mencium punggung tangannya. Namun Keya yang tadi sempat mendengar sebuah nama disebut, membuat dia membuntuti Liam.

"Pokoknya Kakak pergi ngajar duluh. Kamu jangan pergi," pesan Liam.

"Tapi tadi aku dengar Ibu juga Kak Liam ngomong tentang seorang gadis. Dania. Siapa dia?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BUKAN MEMPELAI IMPIAN   Bab 147. Tak sendiri

    Seharian teman Keya bercanda dan berjalan ke sawah di belakang rumah, membantu Bi Ira menangkap Bebek untuk makan mereka. Mereka juga jalan Minggu pagi menikmati suasana desa itu, hinggah tak terasa sore menjelang."Sorry ya, Key,... kalau selama kita di sini ngrepotin kamu," pamit Rina dengan memeluk Keya. Isya' baru saja berlalu."Siapa bilang ngrepoti? Aku, juga Kak Liam malah senang kalian di sini. Dia malah berharap, selama dia pergi kalian mau temani aku.""Idih, tadi malam telponan ya kok tahu kita di sini? So sweet,.. jadi ngiri nih," canda Lesti."Makanya, cowok kamu yang ngacir itu biarlah ngacir, ngapain dipikirin? Cari yang baru biar bisa sweet-sweet," oceh Lili."Iya, juga, Beb!" Senyum Lesti mengembang.Namun saat mereka sudah mau beranjak pergi, sebuah motor matic keluaran terbaru datang. Lili yang lagi berjalan sambil mengambil jambu air di depan rumah, mengerling ke Keya."Lho..." Lili menghentikan tangannya yang menggapai jambu. "Itu... siapa, Key?"Keya mengerutk

  • BUKAN MEMPELAI IMPIAN   Bab 146. Percaya siapa

    "Aku,.. kayaknya aku pulang duluh, ya. Aku ngerasa salah bawa Sheryn ke tempat gini. Kak Liam nggak suka." Keya berusaha tersenyum agar teman-temannya tidak sakit hati dengan ucapannya.."Dia marah ya, Key?" tanya Rina."Gimana juga, dunia dia beda dengan dunia kita. Seharusnya aku yang maklum.""Jadi ngerasa salah nih, Key. Sorry ya?" sesal Mila."Nggak apa, nggak segitu juga kali," Keya tersenyum samar, "kalau kalian masih suka di sini, aku bisa naik grap kok.""Aku ikut kamu deh, Key. Takut kamu tiba-tiba pingsan di jalan," canda Rina sambil menyambar jaket denimnya."Aku juga deh," sahut Lesti. "Bentar, aku mau bangunin Sheryn duluh."Rina dan Mila hanya saling pandang."Kayaknya Liam itu agamis orangnya,"komentar Rina."Iya, aku bisa lihat dari Keya, seolah dia takut gitu ya, padahal kita kan nggak ngapa-ngapain, seneng aja, cuma cengar cengir nyanyi. Tempat ini juga nggak macam diskotik kok ya?""Udah, ayo, namanya orang nggak sama juga kayak kita yang abu-abu."Saat Keya sudah

  • BUKAN MEMPELAI IMPIAN   Bab 145. Lupa

    "Aku... pingin ngomong sesuatu," suara Liam terdengar pelan dari layar ponsel.Keya menahan napas. Tangannya mengepal di atas pangkuan. Dia sebenarnya juga ingin ngomong ke Liam, kenapa Liam membohonginya dengan bilang hanya kapan hari itu saja terpeleset menghabiskan hasrat bersama Dania, namun kenyataannya Dania bilang seolah-olah mereka tak hanya sekali saja. Namun sebelum ia sempat bicara, suara lain menyela dari samping."Eh, itu siapa? Ganteng juga!" Lili tiba-tiba muncul di samping Keya dan menatap layar ponsel dengan mata membulat.Keya buru-buru memiringkan layar, tapi terlambat. Wajah Liam sudah terpampang jelas dan Lili langsung berseru, "Wah, beneran cakep! Ini yang katanya suami kamu itu, ya?""Lili, jangan..." Keya berbisik, menahan malu."Kamu masih muda, Mas. Yang aku dengar kalian beda jauh." Lili ikut bicara ke layar. "Sumpah, mukanya kayak seumuran Andra. Atau malah lebih muda, ya?""Aku sepuluh tahun lebih tua dari Keya," jawab Liam, mencoba tetap sopan walau jelas

  • BUKAN MEMPELAI IMPIAN   Bab 145. Saat Rindu

    Di pesantren, suasana aula perlahan mereda. Keya masih berdiri kaku dengan bingkisan di tangannya. Dania menyodorkan semua amplop penghargaan padanya."Ini semua untukmu. Kamu yang mendampingi Mas Liam sekarang. Aku hanya... singgah sebentar, Keya," ucap Dania pelan.Keya menatap amplop di tangannya. Tebal. Berat. Tapi bukan isinya yang membuat hatinya lunglai."Kenapa Kakak melakukan ini?" tanya Keya."Karena aku lelah membenci. Dan kamu... kamu tidak pantas dibenci oleh siapa pun. Bahkan oleh aku."Kata-kata itu mengendap di benaknya sepanjang perjalanan pulang. Bahkan saat beberapa guru perempuan menyentuh bahunya dengan nasihat berbeda-beda."Kalau kamu bisa legowo, kamu hebat sekali. Itu perempuan surga, Bu Keya," ujar Bu Tutik lirih."Tapi jangan sampai kamu disusupi. Hati-hati, ya. Ada hal-hal yang kalau dibiarkan, bisa makan kamu dari dalam," bisik Bu Mar.Setiba di rumah, Keya terperangah. Teras rumahnya ramai. Mila melambaikan tangan dengan antusias, disusul Lesti, Rina, dan

  • BUKAN MEMPELAI IMPIAN   Bab 144. Kenapa?

    Tatapan-tatapan berputar ke segala penjuru aula. Sebagian menoleh ke arah Dania, sebagian lagi — tanpa sadar — melihat ke tempat duduk Keya.Keya menunduk. Tangannya mengepal di atas rok panjangnya. Wajahnya menegang, pipinya memanas.Ia ingin menghilang saat itu juga.Beberapa guru PAUD menoleh ke arahnya.Tapi bukan dia yang berdiri.Perlahan, seseorang dari arah tengah aula bangkit dari duduknya.Langkahnya ringan, percaya diri.Dania.Ya, Dania berdiri.Semua yang hadir mulai berbisik. "Bukannya Bu Keya ya yang istri pertama, seharusnya dia dong yang maju.""Tapi dia itu masih muda banget, lebih pantas Mbak Dania yang maju."Semua orang mengeluarkan pendapatnya."Lagian Dania kan sudah pulang ke rumah orang tuanya.""Itu kan cuma cara agar tak satu rumah. Bagimanapun nggak enak satu rumah dengan bini dua""Iya, kapan hari aku juga lihat Pak Liam datang ke rumah Mbak Dania. Mungkin biar mereka akur saja. Buktinya ya, tadi Mbak Dania akrab banget kan sama Bu Keya.""Cuma aku lihat

  • BUKAN MEMPELAI IMPIAN   Bab 143. Penghargaan

    "Keya?"Seseorang memanggilnya. Suaranya tak asing walau sekarang terdengar lebih ramah. Keya menoleh perlahan.Wanita itu tersenyum, bahkan melambaikan tangan sebelum mendekat. Langkahnya mantap, seperti tak membawa beban apa pun."Alhamdulillah ketemu juga," ujar Dania dengan ramah. Lalu merangkul Keya dengan hangat, seolah semuanya terkesan tulus. "Aku tadi di bangku pojok, duduk bareng ibu-ibu yayasan."Dania llau mengedarkan pandangannya. " Kamu sendirian, Keya?"Keya mengangguk kecil. Seolah tak percaya dengan apa yang ditampakkan wanita yang kini sejengkal di depannya. "Saya bareng guru-guru PAUD.""Ohh, iya, ya,.." Dania memandang ke arah Bu Siti dan yang lain, lalu tersenyum. "Kalau gitu duduk di sebelahku aja, yuk?"Keya mengerutkan kening halus. "Makasih, Kak. Saya di sini aja, bareng teman-teman sekolah.""Oh... iya, nggak apa-apa," jawab Dania, senyumnya tetap terjaga walau tatapannya sekilas meredup. "Mungkin nanti kita bisa ngobrol, ya?"Keya hanya membalas dengan angguk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status