Share

Bab 4

BUNDA, PULANGLAH KAMI TAKUT SAMA AYAH BAG 4.

**

POV RAISA

Aku terkejut membaca pesan dari Pak RT. Tak sangka kalau anakku masuk Rumah Sakit. Pak RT juga memberikan alamat Rumah Sakit setempat di mana Rindu dirawat. Dengan perasaan bergemuruh aku bergegas meninggalkan Bandara.

Tak berselang lama aku mendapat telepon dari Lastri beberapa kali Lastri mencoba menghubungiku. Namun aku tidak mengangkatnya ketika aku di pesawat. Aku ketiduran sebab kelelahan akibat banyak pikiran.

Aku segera mengangkat telepon dari Lastri setelah di Bandara. Apa yang membuat Lastri menghubungiku? Mungkin, ada hal penting yang ingin disampaikannya.

"Assalamualaikum, Lastri."

"Waalaikumsalam, Raisa. Kemarin kamu bilang sama aku kalau kamu bakal pulang ke tanah air. Aku sedang di Bandara untuk menjemput mu. Kamu di mana sekarang?"

"Kamu serius. Makasih banget karena kamu benar-benar mau meluangkan waktumu untuk menyambut kepulanganku. Aku udah di Bandara sekarang"

"Tentu aja. Kamu sedang menghadapi masalah besar dan butuh teman untuk berbagi cerita."

"Ya Allah, Lastri. Kamu perhatian sekali."

"Kamu kayak orang lain aja. Walau kita sering bertengkar dalam berteman tapi kita tetap teman baik. Best friend forever."

Aku hanya tertawa kecil ketika mendapat hiburan dari Lastri. Aku beruntung sekali bisa berteman dengan dia. Pertemananku dengan Lastri awet karena kami punya latar belakang yang sama. Kami sama-sama dari keluarga sederhana. Lastri dari keluarga broken home sedangkan aku tak memiliki Ibu sejak masuk SMP. Setelah tamat SMA, ayah juga meninggal.

"Raisa ...."

Setelah bertemu dengan Lastri. Kami berpelukan melepaskan Rindu karena sudah lama tidak bertemu. Berbasa-basi beberapa saat.

"Lastri. Terima kasih banyak karena kamu udah meluangkan waktu datang kemari. Aku mau bilang sama kamu kalau aku dapat telepon dari Pak RT dan mengatakan Rindu masuk Rumah Sakit. Kita harus segera ke sana untuk melihatnya. Aku benar-benar khawatir dengan anakku apa yang sudah dilakukan Liana sama anakku. Aku nggak nyangka kalau Liana setega ini."

"Astagfirullah. Kalau begitu kita harus segera menemui Putri kamu. Kasihan sama anak-anak kamu."

"Iya, Lastri. Kita kesana segera."

Aku dan Lastri buru-buru mencari taksi yang akan membawa ke Rumah Sakit setempat. Tidak ada sambutan dari keluarga ketika aku pulang karena aku sengaja menutup-nutupi kepulanganku untuk memberi kejutan kepada Mas Emran dan juga istri barunya.

"Sabar, Raisa. Aku tahu mungkin mengatakan ini adalah sesuatu yang klise. Tapi aku yakin kamu perempuan kuat yang bisa menghadapi segala masalah ini."

Lastri mencoba menghiburku sebab mungkin beberapa kali dia melihat aura wajahku berubah tegang. Selama berada di luar negeri aku terus terpikir tentang masalah anak-anak dan tentang masalah rumah tangga aku yang hancur.

Kata Lastri dari berbagai sumber kalau Mas Emran baru saja kurang lebih setahun menikah dengan Liana. Tapi tak tahu berapa lama dia selingkuh dariku.

"Ya apalagi yang bisa ku lakukan kecuali terus bersabar dengan keadaan ini. Mungkin ini salah satu cara Allah untuk mengangkat derajatku. Aku tahu ini juga kesalahanku karena aku meninggalkan anak-anak. Tapi kalau aku tidak melakukannya, mungkin selamanya aku akan tinggal di rumah mertua yang aku nggak sanggup tinggal di sana."

Aku berusaha sekuat tenaga agar bulir-bulir bening ini tidak jatuh. Tapi tetap saja jatuh. Dadaku rasanya sesak karena selama ini aku bekerja di negeri orang dan berharap yang terbaik untuk anak-anakku.

Mas Emran tidak pernah jujur. Kalau dia memang mau jujur untuk menikah lagi maka dia bisa membicarakan hal ini baik-baik kepadaku. Awalnya aku tidak menerima. Mungkin aku bakal sadar dengan posisi kami yang saling berjauhan. Aku mengizinkan dia menikah lagi dengan catatan kami berpisah baik-baik. Sekarang, aku bahkan nggak peduli lagi dengan dia yang aku pedulikan hanya anak-anakku.

Kenapa ada laki-laki yang begitu egois seperti Mas Emran dia selalu menyuruh ku untuk melanjutkan pekerjaan di luar negeri. Dia tidak pernah menyuruhku pulang dan berkumpul dengan keluarga kami. Dia hanya menyuruhku mencari uang, uang dan uang agar aku terus menafkahinya. Dengan bodohnya aku mau saja melakukan ini.

"Kamu nggak boleh menyalahkan dirimu sendiri. Tindakanmu benar nyuruh aku melihat keadaan kaluargamu. Naluri kamu yang menuntunku melakukan ini. Kamu udah berjuang untuk keluargamu. Suami kamu aja yang nggak bisa jadi kepala rumah tangga yang baik untuk kamu yang tidak bisa mencari solusi untuk kehidupan pernikahan kalian karena dia mengandalkanmu untuk bekerja. Sementara dia sendiri juga tidak mau berjuang bersamamu untuk bekerja. Kamu tetap semangat untuk kesembuhan Rindu dan juga kebahagiaan Reyhan."

Aku hanya menganggukkan kepala dan berusaha bersabar dengan semua kondisi. Ini sudah terjadi dan ini sudah takdirnya. Namun aku tidak mau selamanya hidup dalam kebohongan yang diciptakan Mas Emran. Aku tidak mau selamanya hidup menjadi sapi perahnya yang disuruhnya bekerja sementara dia menikmati hasil kerja kerasku selama ini.

Setelah beberapa waktu berada di taxi, akhirnya aku sampai juga bersama Lastri di Rumah Sakit setempat. Kami bergegas karena aku benar-benar khawatir dengan keadaan Rindu dan juga merindukan Reyhan, merindukan kedua anakku.

Beberapa orang yang berada di Rumah Sakit memperhatikanku karena aku membawa-bawa koper. Bagaimana lagi, Aku juga mendapat kabar ini tiba-tiba begitu sampai Bandara dan aku harus langsung ke Rumah Sakit untuk melihat kondisi anakku.

Kami mengetahui informasi di mana anakku dirawat bergegas ke sana. Hatiku bergetar, sebentar lagi akan berjumpa dengan Rindu, putriku, yang selama ini benar-benar aku rindukan.

Aku berjalan dan bergegas ke ruang ICU. Ada beberapa pasien di ruangan ini karena kelas ekonomi. Hancur hatiku melihat anakku tidak berdaya berada di bangsal Rumah Sakit dalam kondisi dirawat dengan selang infus dan berbagai alat medis di tubuhnya.

Dengan perasaan yang aku tidak bisa gambarkan. Sebagai seorang ibu aku merasa gagal. Anak adalah amanah yang dititipkan oleh Allah. Aku merasa gagal menjalankan peran ibu dan menjaga amanah yang diberikan Allah kepadaku. Anakku dalam keadaan koma. Ya Allah apa yang mereka lakukan.

"Rindu, Ini Bunda, Sayang. Ini Bunda, Nak ...."

Ya Allah, ampunkanlah aku. Ini cobaan yang sangat besar untuk keluargaku. Di mana, anakku harus jadi korban keegoisan orang tuanya. Karena kemiskinan, aku jadi seperti ini. Di saat seperti ini aku membenci diriku yang miskin. Karena masalah ekonomi aku harus pergi jauh meninggalkan anakku. Di saat seperti ini. Tidak ada gunanya aku menyalahkan diriku sendiri. Sekali lagi ini adalah takdir yang harus kujalani.

Setelah puas mencium anak aku dan juga melepaskan rindu untuknya. Aku bergegas menemui Dokter untuk mengetahui penyakit apa yang menimpa Rindu sehingga dia harus terbaring tak sadarkan di ruang ICU.

Dari penjelasan Dokter aku benar-benar shock. Dokter mengatakan kalau anakku mengalami cedera pada kepalanya akibat benturan keras. Ya Allah, hancur lebur hatiku.

Setelah mendapatkan penjelasan dari Dokter, aku kembali ke ruang perawatan anakku. Melihat lagi lebih dekat kondisinya, setiap melihatnya selalu saja muncul penyesalan dalam diriku.

Pintu ruang perawatan anakku terbuka. Ada yang masuk mengunjunginya.

"Raisa ...," kata Liana terkejut dengan kedatanganku.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status