Shela dan Sebastian masih di rumah sakit. Sebastian sedang mengurus administrasi pengobatannya Tiana. Laki-laki itu kemarin memberikan sebuah black card pada Shela, tapi kini ia malah membayarnya sendiri dan meminta Shela menyimpan kartu kredit istimewa itu. "Papi..." Tiana tersenyum saat Sebastian kembali. "Sudah selesai?" "Sudah Sayang," jawab Sebastian tersenyum manis seraya memberikan kertas pembayaran pada Shela. "Om tidak sibuk? Tidak ke kantor, ya?" tanya Shela menatap Sebastian seraya berjalan di lorong rumah sakit. Sebastian menatapnya balik. "Bisa nanti saja, aku ingin menemani Tiana lebih dulu," jawabnya. Anggukan pun Shela berikan, ia tidak mau melarang laki-laki itu untuk mendekati dan menghabiskan waktunya dengan Tiana, yang tak lain adalah buah hati Sebastian, tanpa laki-laki itu ketahui. Mereka melangkah keluar dari dalam rumah area rumah sakit. Ponsel milik Sebastian berdering, laki-laki itu seketika menghentikan langkahnya. "Ck, siapa lagi?!" decaknya kesal.
"Mami sama Paman kok lama sekali, kita kan nungguin terus. Ternyata Mami sama Paman ajak Tiana jalan-jalan! Kita berdua malah ditinggal!" Tino dan Tiano marah pada Shela dan Sebastian. Kedua anak itu awalnya memang dititipkan pada Morsil di toko, dan kini mereka protes pada Shela. "Mami cuma pergi sebentar kok, besok juga tidak lagi." Shela mengusap pucuk kepala mereka berdua. "Kita tadi ke kantornya Paman, Tino," sahut Tiana, anak itu asik berguling-guling di tengah ranjang. "Waahhh... Asik sekali, aku tidak pernah diajak ke sana. Tiano, Tiana, sama Mami sudah, tapi Paman tidak mengajakku! Paman memang bad!" Tino cemberut. Shela terkikik geli seraya mengancingkan piyama kecil berwarna cokelat yang Tino pakai. Dihadapan Tino yang sangat lucu saat marah, Shela begitu gemas dengan si buah hatinya ini. "Lain waktu, Tino bisa ikut Paman ke kantor, deh..." Shela menangkup kedua pipi anak itu. "Tidak mau! Tidak suka pokoknya." Tino langsung turun dari atas ranjang dan berjalan kelua
Malam ini Shela tidak bisa tidur, ia menyendiri di dalam kamarnya. Shela meminta tiga buah hatinya tidur bersama, ia menangis mengingat apa yang tadi Sebastian katakan padanya. "Apa yang harus aku lakukan?" gumam Shela menggigit ujung ibu jarinya. Shela menyeka air matanya, ia berjalan membuka pintu balkon kamar dan duduk di sebuah sofa. Di sana, Shela mencoba menghubungi Mamanya. Entah kenapa ia ingin sekali saat-saat seperti ini memeluk sang Mama. Dan seketika, panggilan Shela langsung dijawab oleh Stevani. "Halo Sayang, Shela... Kenapa nak? Kenapa malam-malam telfon Mama, Sayang? Shela tidak tidur?" tanya wanita itu penuh kecemasan di balik panggilan tersebut. Air mata Shela menggenang tak tahan. "Ma, Shela... Shela ingin bicara serius dengan Mama," ujar gadis itu sekuat tenaga ia menahan air matanya. "Bicara apa nak? Shela kenapa menangis? Ada apa, cerita sama Mama, Sayang?" Stevani benar-benar cemas tak tertahan. Dari nada bicaranya, wanita itu sungguh tidak lagi tenang.
"Wahh... Jadi mereka benar-benar kembar tiga ya? Lucu-lucu sekali..." "Wajahnya benar-benar mirip Pak Sebastian."" Apa anak-anak ini anak hasil dari huhungan gelap?"Suara-suara bisikan para karyawan perempuan di dalam kantor itu menyambut kedatangan Sebastian bersama dengan si kembar. Sedangkan tiga anak manis yang berjalan di depannya, mereka tidak mungkin menggubris ucapan semua orang karena mereka terlalu kecil itu hal itu. "Selamat datang, adik manis..." Lina, salah satu asisten Sebastian menyambut kedatangan mereka bertiga. Dihadang oleh perempuan itu, sontak saja Tiana langsung membalikkan badannya dan mengulurkan kedua tangannya pada Sebastian. "Tidak papa, Sayang. Itu Tante Lina," ujar Sebastian pada di kecil kesayangannya. "Mau sama Papi," bisik Tiana memeluk leher Sebastian. Lina hanya tersenyum saja. Meskipun hati semua orang di sana diliputi tanda tanya tentang asal-usul para bocah ini, tapi Lina adalah asisten yang profesional. "Maaf Pak, setengah jam lagi akan
"Kalian benar-benar Cucuku, anak-anak manis? Astaga... Ya Tuhan, kalian anak Sebastian?!"Graham menggendong Tino dan ia beralih memeluk Tiano juga. Di depan banyak karyawan kantor milik Sebastian, laki-laki itu menunjukkan ekspresi terkejut, bahagia, dan sulit untuk dijelaskan. Tino dan Tiano hanya bergeming tak mengerti. Ia menatap laki-laki berambut putih di hadapannya yang tersenyum lebar-lebar. "Kakek siapa, kok kenal dengan Papi kami?" tanya Tino memiringkan kepalanya manis. "Kakek, adalah Kakekmu, nak... Kalian adalah Cucuku!" seru Graham benar-benar terharu. "Demi Tuhan, Sebastian kecil sudah tumbuh sebesar ini, ke mana saja selama ini kalian, nak? Kenapa tidak datang pada Kakek?"Graham memeluk kedua bocah itu, hingga Tino menoleh ke belakang di mana Vir berada. "Om, Kakek ini siapa sih? Kok sok kenal sok dekat sama kita? Bukan orang jahat kan, Om? Kok ngaku-ngaku jadi Kakeknya kembar sih? Jadi curiga..." Tino dengan polosnya bertanya pada Vir. Kedua mata Vir melebar, b
"Jelaskan!" Suara dingin Graham membentak Sebastian di dalam rumah megahnya. Rumah yang Lima tahun ini ditempati Shela dan ketiga anaknya. Bukan hanya Sebastian, di sana juga ada Shela. Anak-anaknya sudah tidur di lantai dua sejak tadi, dan Tiana juga tidak dirawat di rumah sakit. "Pa, si kembar anaknya Shela, memangnya kenapa sih Pa?! Apa lagi yang Papa mau, hah?! Aku sudah mengatakan semuanya pada Papa, kan!" "Aku ingin bicara dengan Shela, Sebastian!" kini Graham menatap Shela. "Ferdi yang menyuruhmu tinggal di sini, Shela?!" tanya Graham dengan nada dingin. Shela tertunduk mengangguk pasrah. "Iya, Tuan." Graham berdecak kesal. "Lancang sekali dia! Berani-beraninya menyembunyikan anak tirinya di sini! Membawa aib, pula!" sentak Graham dengan wajah marah. Mendengar kata-kata menyakitkan itu, lantas Shela mengangkat wajahnya. Kedua matanya berkaca-kaca tak terima. "Anak-anakku bukan aib," ujar Shela lirih. "Jangan mengatakan mereka adalah aib, karena Tuan... Tuan bukan siapa-
Di apartemen Josh kini Shela dan ketiga anaknya berada. seolah kepergian Shela tidak akan dibebaskan oleh Sebastian, hingga gadis itu ia putuskan tinggal di apartemen milik Josh. Si kembar nampak sangat canggung berada di tempat yang baru. Namun karena sudah tengah malam, mereka mencari tempat tidur untuk istirahat. Sedangkan Shela, ia duduk di tepian ranjang. Gadis itu menundukkan kepalanya dan masih terngiang kata-kata Graham kepadanya tadi. "Sementara di sini saja, aku akan membelikan apartemen untukmu," ujar Sebastian, tiba-tiba ia meraih kedua tangan Shela dan menggenggamnya. "Jangan diingat apa yang dikatakan Papaku, Shela." Shela melepaskan tangan Sebastian. "Harusnya Om tidak perlu seperhatian ini padaku, anak-anakku juga bukan anakmu, aku juga bukan siapa-siapamu, kita tidak ada hubungan apapun." "Tapi aku sayang pada anak-anak, Shela... Aku nyaman dan sayang padamu," ungkap Sebastian. Namun tidak bisa berdusta akan seberapa sedihnya ia saat ini, Shela meneteskan air ma
Sebastian menjemput Shela dan kembali mengajaknya pulang ke rumah yang Shela telah tempati sejak lima tahun lalu. Ketiga anaknya begitu antusias saat keluar dari dalam mobil. Namun hal yang mengejutkan membuat Shela bertanya-tanya. Ada dua mobil di depan rumahnya. Siapa? "Om..." "Sudahlah, ayo ajak anak-anak masuk," ajak Sebastian. Si kembar berlari lebih dulu masuk ke dalam rumah bersama Shela, kalau biasanya ketiganya heboh, kali ini mereka takut dan bersembunyi di balik Shela dan Sebastian saat melihat ada Graham di sana. Kedua mata Shela jatuh pada dua orang yang kini langsung berdiri dari duduknya saat melihat kedatangan gadis itu. "Shela..." Stevani menutup mulutnya dan wanita itu menangis. "Mama!" Shela langsung berlari memeluk wanita itu dengan erat. Mereka berpelukan erat, menangis, disusul Ferdi yang juga memeluk Shela dengan sama eratnya."Papa," lirih Shela memeluk Ferdi dengan sangat kuat. "Sayang... Nak, kau tidak papa, Sayang? Shela baik-baik saja kan, nak?" S