17. Aku bodoh, tapi bukan pengkhianat

"Jangan panggil aku Papa," desis Hendra dingin, tanpa menatapnya. Matanya lurus menatap dinding kosong di seberang, seolah Varel bahkan tak layak menerima tatapannya.

"Setelah kau keluar dari rumah sakit ini, kita bicara di rumah. Dan kau tidak akan suka pembicaraan itu. Siapkan dirimu, karena kau tidak hanya akan kehilangan istrimu. Kau mungkin akan kehilangan semuanya."

Kalimat itu, di ucapkan dengan nada datar tanpa emosi, adalah sebuah sentença mati. Varel merasakan dingin yang menjalari tulang punggungnya. Kehilangan segalanya.

Bukan hanya Firli, bukan hanya anaknya, tapi juga posisinya di perusahaan, warisannya, dan yang terpenting, statusnya sebagai putra Hendra Dharma.

Sesuatu di dalam diri Varel patah. Keputusasaan yang ekstrem itu justru memantik sebuah percikan api pemberontakan yang tak pernah ia miliki sebelumnya. Ia tidak bisa menerima ini. Tidak seperti ini.

“Paaaa, aku tidak mau cerai, aku maaau istriku!!”

Varel yang dari tadi tak pernah di gubris oleh ayahnya, akhi