Kini bukan lagi tangis kesedihan, melainkan tangis amarah dan ketakutan. Ketakutan akan kehilangan dua orang yang paling berharga dalam hidupnya sekaligus.
Varel membuka pintu rumah. Keheningan yang kemarin terasa namun hari ini terasa lebih mematikan. Rumah ini bukan lagi sekadar kosong, tetapi telah menjadi monumen kesalahannya. Setiap sudut kini berteriak menuduhnya sebagai pengkhianat!! Langkahnya membawanya kembali ke kamar tidur. Matanya terpaku pada sisi tempat tidur milik Firli. Ia bisa membayangkan Firli duduk di sana, tersenyum sambil mengelus perutnya, merencanakan cara terbaik untuk memberinya kejutan. Varel mendekat, tangannya gemetar saat menyentuh bantal yang semalam menjadi alas surat perpisahan itu. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mencari sisa aroma parfum Firli, Namun yang tercium hanyalah aroma dingin dari seprei yang tak tersentuh. Beban itu menjadi terlalu berat. Kakinya lemas. Varel luruh ke lantai, punggungnya bersandar pada sisi ranjang. Kepalanya tertunduk, kedua tangannya menjambak rambutnya sendiri dengan frustrasi. “Maafkan aku, Fir ... Maaf... . kamu hamil, yaaa … Tuhan, aku harap kamu mau menjaga anak kita, jaga dia, Firli, please ….” Tangisnya pecah sepenuhnya. Bukan lagi tangisan hening, melainkan sebuah raungan tanpa suara, getaran hebat di bahunya menunjukkan betapa hancur hatinya. Di tengah keheningan rumah megah itu, hanya ada suara seorang suami dan calon ayah yang kehilangan dunianya. Tiba tiba Varel bangkit dari duduknya, berdiri dengan gerakan cepat. Wajahnya mengeras. Ia menyambar ponselnya dari meja nakas. Jarinya bergerak cepat di layar, ia butuh bantuan profesional. “Halo, Puguh, aku butuh bantuanmu. Segera!! Ini tentang istriku. Dia... dia menghilang. Aku tidak peduli berapa biayanya. Kerahkan tim terbaikmu. Segera temukan dia berhati hatilah nantinya karena ... dia sedang hamil. Setiap detik sangat berharga. aku akan kirimkan fotonya dan semua detail yang aku miliki. aku tunggu kabar darimu satu jam lagi." Varel menutup telepon. Napasnya masih memburu, Namun di matanya kini ada kilatan api. Kesedihan telah memberinya bahan bakar. Jika Firli tidak ingin ditemukan, maka ia akan membalikkan dunia untuk menemukannya. Ia berjalan cepat ke ruang kerja, membuka laptopnya. Ia mulai mengumpulkan foto-foto terbaru Firli, informasi tentang teman-teman dekatnya, tempat-tempat favoritnya, semua yang bisa ia pikirkan. Kemudian, matanya terpaku pada layar. Ia teringat sesuatu. “Tiara ….?!” sebut Varel, dengan mata menyipit memperhatikan layar yang sedang memuat laporan tentang yang jadi maslah di kantor akhir akhir ini. **** Pintu ruangannya di ketuk pelan. "Pak Varel, rapat dengan dewan direksi di mulai lima belas menit lagi," suara Sinta, sekretarisnya, terdengar dari interkom. "Batalkan semua jadwalku hari ini, Sin. Katakan hari ini aku sedang ada urusan keluarga yang sangat mendesak," jawab Varel, suaranya serak. Ia tidak peduli lagi dengan citranya sebagai direktur muda yang selalu disiplin. Semua itu terasa hampa setelah Firli pergi dari sisinya. "Baik, Pak. Tapi... ada tamu untuk Bapak. Beliau tidak punya janji sebelumnya, tapi bersikeras ingin bertemu. Namanya Pak Dion, beliau sedang menunggu di lobi. Jantung Varel serasa berhenti berdetak sesaat. Dion. Kakak iparnya. Mendengar Namanya saja sudah membuat hatinya seperti di terjang badai. Varel tahu hari ini akan tiba, hari di mana ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya pada keluarga yang telah memberinya permata paling berharga, namun tak sengaja telah ia sia-siakan. "Suruh beliau menunggu, aku akan segera ke sana," ucap Varel, mencoba mengumpulkan sisa-sisa ketenangannya. Ia merapikan dasinya yang terasa mencekik, menyugar rambutnya dengan jari-jari yang gemetar, lalu melangkah keluar dari benteng kemewahannya. Setiap langkah menuju lobi terasa seperti berjalan di atas bara api. Dan benar saja, di sana, di tengah lalu-lalang karyawan yang sibuk, sosok itu berdiri tegap membelakanginya, menatap ke luar jendela kaca yang besar. Di lobi, tampak Mas Dion sudah menunggunya, dengan kedua tangan yang terlihat disembunyikan ke dalam saku celana kainnya yang licin. Bahkan dari belakang, Varel bisa merasakan aura kemarahan yang pekat. Hingga saat Dion berbalik, tatapan mata yang tajam itu seolah menembus pertahanan Varel. Rahang keras kakak iparnya menandakan amarah yang sedang di tahan sekuat tenaga. “Mas…,” sapa Varel dengan suara yang nyaris tak terdengar. Ia merasa seperti seorang terdakwa di hadapan hakim agung. Dion tidak membalas sapaannya. Matanya yang biasanya hangat saat menatap Varel kini sedingin es. Ia hanya menggerakkan dagunya, memberi isyarat agar mereka berbicara di tempat yang lebih privat. "Kita di dalam ruanganku saja, Mas," ajak Varel pada Dion yang tak di jawab. Keheningan itu jauh lebih menakutkan daripada teriakan. Mereka berjalan dalam diam menyusuri koridor. Beberapa karyawan yang berpapasan menyapa Varel, Namun mereka segera menunduk saat merasakan atmosfer tegang di antara kedua pria itu. Sinta, yang berdiri di belakang mejanya pun tampak pucat pasi. "Sin, jangan biarkan seorang pun masuk ke dalam ruanganku. Apapun alasannya," pesan Varel pada sekretarisnya. Sinta mengangguk cepat, matanya memancarkan kekhawatiran yang tulus. "Mari, Mas." Varel membuka pintu ruangannya yang berat, mempersilakan Dion masuk terlebih dahulu. Aroma kopi dingin dan pendingin ruangan menyambut mereka, namun tak mampu mendinginkan suasana yang membara. "Ceritakan padaku sedetailnya, jangan ada yang kau tutupi!" tegas Dion yang tetap memilih berdiri, begitu Varel selesai menutup pintu. Ia bahkan tidak melepaskan pandangannya dari Varel, seolah takut Varel akan mengarang cerita jika ia lengah sedetik saja. Varel menelan ludah, kerongkongannya terasa kering. Ia bersandar pada meja kerjanya yang besar dan mengilap, mencari tumpuan. "Kemarin, Firli datang ke kantor. Ia datang pada saat aku sedang menenangkan salah satu rekanan bisnisku yang sedang mengalami kesulitan finansial, dan aku—" "Aku tidak percaya kalau hanya hal sepele seperti itu bisa membuatnya pergi," potong Dion cepat, suaranya tajam dan menusuk. "Adikku bukan wanita picik yang cemburu karena kau membantu rekan kerja. Aku mengenalnya lebih baik darimu, Varel." Dengan tatapan tajam Dion seolah menguliti satu persatu lapisan kebohongan yang coba Varel bangun. Varel tergagap, tak siap menerima serangan langsung yang begitu telak. Ia memang tidak sepenuhnya berbohong. Firli memang datang saat ia sedang bersama Tiara, partner bisnisnya, yang juga teman masa kecilnya itu sedang menangis karena perusahaannya di ambang kebangkrutan. Dan Varel, dalam usahanya menenangkan, memeluk Tiara. Hal yang tak berani dia ceritakan pada Dion Tapi sebenarnya bukan itu saja inti masalahnya. Intinya adalah akumulasi dari ribuan pengabaian kecil yang telah Varel lakukan. "Apa kau yakin kalau tak ada hal lainnya lagi, Rel?" desak Dion, melangkah lebih dekat. "Apakah kau tak melukai perasaannya? Aku tahu akhir-akhir ini kamu jarang pulang. Proyek di Singapura, perjalanan bisnis ke Surabaya, rapat sampai larut malam. Hingga untuk menyempatkan diri menemaninya saja kau tak ada waktu. Ada yang salah dalam komunikasi kalian, hingga Firli tak langsung menghubungimu. Jangan anggap aku tak tahu apa-apa tentang kalian, walau Firli tak bercerita, dan kau simpan semuanya rapi." Setiap kata dari Dion adalah sebuah pukulan telak yang tak terlihat. Dion tahu. Entah bagaimana, ia tahu segalanya. Kebenaran itu menghantam Varel dengan kekuatan penuh, meruntuhkan seluruh sisa pertahanannya. Kenangan itu berkelebat di benaknya. Wajah Firli yang kecewa saat ia membatalkan janji makan malam untuk yang kesekian kali. Sorot mata lelahnya saat menunggu Varel pulang hingga lewat tengah malam. Pertanyaan pelannya, "Mas, apa semuanya baik-baik saja?" yang selalu Varel jawab dengan "Aku sibuk, Sayang. Demi masa depan kita." “Jawaaab!!” sentak Dion dengan suara lirih Namun penuh dengan tekanan.Vani tidak sanggup mendengar lebih jauh lagi. Kakinya terasa lemas. Rujuk. Demi anak. Jadi... selama ini, saat Rio mendekatinya, saat ia mengiriminya pesan-pesan manis, saat mereka makan siang bersama... di saat yang sama, ia juga sedang dalam proses rujuk dengan mantan istrinya?Pikiran-pikiran buruk menyerbunya. Jadi... selama ini dia mendekatiku untuk apa? Sebagai pelarian? Sebagai pengisi waktu luang sebelum kembali ke istrinya? Atau... atau jangan-jangan, dia hanya ingin membuat mantan istrinya cemburu, menunjukkan bahwa dia masih laku di pasaran?Ia merasa mual. Ia merasa telah dimanfaatkan. Ia merasa seperti orang paling bodoh dan paling naif di seluruh dunia. Ia perlahan melangkah mundur, kembali ke kamarnya, tanpa menimbulkan suara. Ia tidak mau mereka tahu ia telah mendengar semuanya.****Ia merebahkan diri di ranjangnya, menatap langit-langit dengan pandangan kosong. Semua kepingan puzzel kini terasa menyakitkan. Pantas saja Rio tidak pernah benar-benar serius. Pantas sa
Pagi itu seharusnya menjadi pagi yang penuh semangat. Proyek Sentul berjalan lancar, proposal kafe Firli sedang dalam tahap pengembangan yang seru, dan akhir pekan sudah di depan mata. Namun bagi Vani Wijaya, pagi itu terasa berat dan kelabu, mencerminkan hatinya yang sedang mendung.Sudah seminggu berlalu sejak kencan makan malamnya dengan Adam. Dan selama tujuh hari itu, dunia digitalnya yang biasanya ramai kini sunyi senyap. Tidak ada lagi pesan selamat pagi yang jenaka. Tidak ada lagi kiriman bunga aster putih. Tidak ada lagi ajakan makan siang dadakan. Adam benar-benar menghilang dari radarnya. Dan kesunyian itu, ironisnya, terasa jauh lebih bising daripada perhatiannya dulu."Pagi, Van," sapa Varel saat tiba di kantor. Ia meletakkan tas kerjanya dan menatap adiknya yang tampak kurang tidur. "Kau masih terlihat murung. Ini sudah seminggu. Ada masalah di pekerjaan yang tidak kau ceritakan padaku?"Vani memaksakan seulas senyum. "Pagi, Mas. Tidak ada masalah. Semuanya aman terke
Rio tertawa kecil, seolah Vani baru saja melontarkan lelucon. "Loh, kan kamu yang mengajak makan siang tadi. Aturan mainnya kan begitu sekarang, siapa yang mengajak, dia yang mentraktir. Itu baru adil dan modern. Aku tidak mau di cap sebagai pria yang kesannya memanfaatkan wanita. Emansipasi, kan?"Penjelasan itu begitu lancar, begitu meyakinkan, hingga untuk sesaat Vani nyaris percaya. Tapi hatinya merasakan ada yang salah. Ia merasa sedikit syok. Ia pernah di traktir teman pria, sering. Ia juga pernah mentraktir, tentu saja. Tapi cara Rio melakukannya, dengan justifikasi 'modern' dan 'adil', terasa seperti sebuah dalih. Terasa... perhitungan.Namun, ia tidak mau terlihat bodoh atau kuno. Dengan cepat, ia menutupi keterkejutannya dengan senyum yang di paksakan."Oh... tentu saja! Hahaha, aku lupa," katanya, tawanya terdengar sumbang di telinganya sendiri. "Benar juga katamu. Siap, biar aku yang urus."Ia mengeluarkan kartu debit dari dompetnya. Saat ia menyerahkan kartu itu pada p
Jumat pagi terasa sibuk dan penuh energi. Semua orang seolah berlari mengejar tenggat waktu sebelum akhir pekan tiba. Semua orang, kecuali Vani Wijaya. Di tengah hiruk pikuk kantor, dunianya terasa sunyi. Vas bunga di mejanya masih kosong. Layar ponselnya gelap tanpa notifikasi personal. Keheningan dari Adam terasa semakin memekakkan telinga dari hari ke hari."Pagi, Van," sapa Varel saat ia tiba, meletakkan tas kerjanya. "Nanti siang ada meeting virtual penting dengan klien dari Singapura jam satu. Tolong siapkan semua materi presentasi yang sudah kita revisi kemarin, ya.""Pagi, Mas. Siap," jawab Vani singkat, suaranya datar.Varel berhenti sejenak, menatap adiknya. "Kau masih murung? Ini sudah hari Jumat. Seharusnya semangat menyambut akhir pekan.""Hanya sedikit lelah, Mas. Tidak apa-apa. Nanti materinya aku siapkan," jawab Vani, matanya tak lepas dari layar komputernya, menghindari tatapan kakaknya.Varel menghela napas. Ia tahu adiknya sedang tidak baik-baik saja, tapi ia juga
Semua mata tertuju pada Dira, yang hanya bisa tersenyum malu."Dan Dira ini," lanjut Vero, "adalah sahabatku sejak zaman SMA, yang entah kenapa, setelah bertahun-tahun aku kode-kodein, akhirnya kemarin lusa sadar juga kalau aku ini adalah pria paling keren di alam semesta dan setuju untuk menjadi kekasih hatiku!"Pengumuman itu di sambut dengan keheningan sesaat, yang kemudian pecah menjadi seruan kaget dan gembira."APA?! SERIUS?!" pekik Liani, wajahnya langsung berseri-seri. Ia segera bangkit dan memeluk Dira. "Dira! Ya ampun, sayang, kamu makin cantik saja! Tante pangling! Selamat ya, nak! Akhirnya anak Tante yang paling bandel ini ada yang mau juga.""Terima kasih, Tante," jawab Dira malu-malu."Selamat, bro," kata Varel sambil menepuk bahu adiknya. "Aku tidak percaya ada wanita yang mau denganmu. Akhirnya laku juga kau." Varel melanjutkan ucapannya yang langsung di balas dengan wajah yang tidak enak di lihat milik VeroFirli ikut memeluk Dira. "Selamat datang di keluarga kami
Senin pagi datang dengan kejam, seperti yang selalu dilakukannya. Bagi sebagian besar karyawan di D Angkasa Corp, itu adalah awal dari seminggu yang sibuk. Namun bagi Vani Wijaya, Senin itu terasa berbeda. Ada kesunyian yang aneh dan memekakkan telinga.Seperti biasa, ia tiba di kantor lebih dulu dari Varel. Ia menyalakan komputer, memeriksa jadwal, dan menyiapkan semua dokumen untuk rapat pagi kakaknya. Namun, ada satu hal yang hilang. Vas bunga kecil di sudut mejanya kini kosong. Tidak ada lagi buket aster putih segar yang menyambutnya."Loh, Van, hari ini nggak ada kiriman bunga?" sapa Danise, sekretaris lain yang mejanya tak jauh darinya, saat ia datang. "Tumben sekali. Penggemar rahasiamu lagi cuti, ya?"Vani mencoba tertawa, namun yang keluar hanyalah senyum kaku. "Mungkin dia sadar aku alergi serbuk sari, Mbak," jawabnya, nadanya terdengar lebih tajam dari yang ia maksudkan."Oh, masa? Sayang sekali, padahal bunganya cantik-cantik," sahut Danise, tidak menyadari nada di balik