Share

Chapter 4.

"Non, mau makan apa biar saya buatkan?" sapa artnya (Mirna) yang melihat anak majikannya sedang duduk di ruang makan.

"Nggak usah Bi, nanti saja aku sedang tidak lapar." Fitri menjawab sambil sesekali meneguk minuman dingin yang baru saja diambilnya dari dalam kulkas.

"Bibi kupaskan buah yah Non," tawar Mirna. Ia memang begitu pengertian pada Fitri dan keluarganya. 

Mirna sudah sangat lama mengabdikan diri pada keluarga Arjuna, ia sudah menganggap majikannya itu sebagai keluarganya sendiri terlebih jasa-jasa Arjuna dan Hana yang sudah banyak dalam membantu biaya pendidikan ketiga anaknya.

"Boleh Bi, tolong kupasin buah mangga sama buah kedondongnya yah kalau ada buah yang lain tolong campurkan juga soalnya aku mau bikin rujak Bi." Fitri meneguk habis minumannya.

"Iya Non sekalian saya buatkan sambalnya juga yah, tapi ngomong-ngomong non kan belum makan nanti sakit perut kalau makan rujak sebelum makan nasi Non," ucap Mirna memperingatkan Fitri.

"Tenang aja Bi, aku tadi sudah makan kok pas di kantin sekolah. Bibi kupasin aja buahnya nanti biar aku saja yang membuatkan sambalnya." Fitri mulai menyiapkan bahan untuk membuat sambal rujak.

Meskipun ada ART yang selalu giat bekerja namun Fitri tidak mau terlalu bergantung pada orang lain, Hana selalu mengajarkan untuk tidak merepotkan orang lain selagi masih bisa di lakukan dengan tangan sendiri.

Hanya butuh waktu kurang dari sepuluh menit, rujak yang mereka buat sudah tersaji di atas meja makan dan siap disantap. 

"Bi, sini temanin aku makan rujaknya yah sama bawa minuman juga!" Fitri mengajak Mirna  untuk menemaninya.

"Mau makan disini apa di dekat kolam renang Non," tanya Mirna setelah mengambil dua minuman untuknya dan juga anak majikannya.

"Di dekat kolam renang aja kali yah biar sekalian nyantai, Bibi lagi nggak ada kerjaan kan sekarang." Fitri sudah berjalan lebih dulu di ikuti oleh artnya.

"Udah nggak ada Non semuanya sudah saya bereskan," jawab Mirna.

Keduanya duduk bersama di kursi yang memang sudah di sediakan untuk bersantai.

"Fitri! Kamu sedang apa?" panggil Arjuna yang sudah berdiri dengan jarak satu meter di belakang mereka berdua.

"Aku sedang makan rujak Pah, Papah udah pulang?" sapa Fitri pada Arjuna sembari mencium tangan papahnya tersebut. 

Sementara artnya yang melihat keberadaan Tuan majikannya segera pamit undur diri.

"Tuan! Non! Saya masuk ke dalam dulu yah," pamitnya yang di balas anggukan oleh Fitri.

"Kamu kenapa makan rujak?" tanya papahnya  penuh selidik.

"Aku lagi pengen aja Pah, soalnya tadi aku lihat di kulkas banyak banget buah-buahan jadi aku inisiatif buat rujak," jelas Fitri meyakinkan.

"Kamu yakin hanya itu, kamu lagi nggak hamil kan Keysa?" tuduh Arjuna membuat Fitri menggeleng cepat, sungguh kesal sekali rasanya mendengar ucapan sang Papah. 

"Ng-nggak kok Pah, beneran Keysa cuma iseng aja pengen buat rujak lagian sayang kalau buahnya di biarkan saja nggak di makan." Fitri terkejut tak menduga jika papahnya akan berpikiran seperti itu.

"Apa benar begitu? Jangan coba-coba mempermainkan papah, kalau kamu berani berbuat hal yang akan memalukan papah jangan harap kamu bisa bernafas di kemudian hari," Arjuna kembali mengeluarkan ucapan pedasnya.

"Iya Pah, kenapa sih Papah jadi mikir kejauhan gitu. Emangnya cuma orang hamil yang boleh makan rujak, papah ini ada ada saja." Fitri menggerutu kesal.

"Ya udah kalau memang begitu, sekarang kamu masuk kamar dan belajar yang benar!" titah Arjuna.

"Pah, rujaknya belum habis sayang kalau nggak di habiskan." Fitri protes tapi kemudian kembali diam saat Arjuna menatapnya tajam.

"Papah bilang masuk kamar sekarang apa kamu tidak mendengar? Nanti papah suruh Bi Mirna saja yang menghabiskan rujakmu itu."

Dengan berat hati Fitri terpaksa menuruti perintah papahnya dan merelakan rujaknya yang hanya tinggal separuh lagi.

"Papah ini kenapa sih kalau nyuruh belajar aja harus tapi giliran anaknya pengen nyantai nggak di bolehin" gumam Fitri mengumpat papahnya. 

"Bi, tolong bereskan semua yang ada di meja dekat kolam renang, sekalian rujaknya bibi habiskan saja," titah Arjuna saat sedang berada di dapur.

"Baik Tuan," jawab Mirna singkat lalu segera menuju kolam renang.

Malam harinya saat Fitri sedang melakukan panggilan video, tanpa di sadarinya Arjuna sudah berdiri di depan pintu kamar Fitri dengan memasang muka merah padam. Amarahnya meledak mengetahui anak perempuannya sedang bercanda ria dengan seorang lelaki lewat sambungan telpon.

"Fitriiiii!" teriak Arjuna lantang membuat sang anak erperanjat dan langsung mematikan panggilan yang masih tersambung dengan sang kekasih.

Arjuna berjalan cepat menghampiri Fitri serta mendaratkan tamparan sebanyak dua kali di wajah mulus Fitri.

"Fitri baru saja kemarin papah bilang jangan berpacaran tetapi apa ini? Berani-beraninya kamu melanggar aturan papah, kamu memang anak yang tidak bisa diatur." Arjuna naik pitam. 

"Mulai sekarang kamu tidak usah memiliki ponsel saja jika hanya untuk menghubungi lelaki tidak jelas itu," sambung Arjuna lagi sembari mengambil paksa ponsel Fitri dan membant*ngnya ke lantai hingga pecah berkeping.

Fitri terdiam, hanya isakan tangisnya saja yang sesekali terdengar. Fitri tidak berniat membela diri karena papahnya sudah menangkap basah dirinya yang sedang menghubungi lelaki yang tak lain adalah kekasihnya.

"Papah kecewa sama kamu, kamu memang kurang ajar jangan harap papah akan mentoleransi kesalahanmu ini." Arjuna menarik kasar tangan Fitri dan menyeretnya keluar dari kamar.

Sementara mamah Anita yang sedang asik dengan aktivitas menonton TV  terkejut melihat suaminya turun tangga sambil menyeret putri kesayangannya.

"Mas! Kenapa kamu memperlakukan putri kita seperti itu, kamu nggak lihat dia kesakitan Mas." Hana berteriak histeris melihat keadaan putrinya yang sudah sangat berantakan.

"Kamu tanyakan saja pada anakmu yang tidak tahu diri ini, beraninya dia menentang aturan yang sudah aku buat sedari dulu." Arjuna menghempaskan Fitri hingga terjerembab di depan mamahnya, Hana.

"Fit, apa yang sudah kamu lakukan Nak sehingga papahmu begitu marah?" ujar Hana mendekap tubuh Fitri yang sudah menangis sesenggukan.

Fitri hanya menangis tidak mampu menjawab pertanyaan sang mamah, ia takut Hana akan memarahi dirinya seperti apa yang dilakukan papahnya tadi.

"Katakan Nak, ada apa dengan kamu?" Hana terlihat begitu cemas, ia memandang anak dan suaminya secara bergantian seolah meminta penjelasan. 

"Dia berpacaran, beraninya dia menghubungi lelaki di saat kita tidak mengetahuinya memang pintar sekali anakmu ini."

"Kamu pacaran Nak?" tanya Hana mengurai pelukannya seraya membingkai wajah sang anak. 

"Mah A-aku aku... " Fitri tidak bisa meneruskan ucapannya.

"Sini kamu papah tidak akan memaafkanmu, kamu harus di hukum biar tidak berbuat sesuka hatinya." Arjuna yang sudah tersulut emosi menarik Fitri dan membawanya ke bagian gudang belakang berniat menghukumnya agar jera.

"Pah, aku minta maaf aku janji nggak akan mengulanginya lagi. Aku janji nggak bakal buat papah marah lagi aku menyesal Pah," rengek Fitri namun tak di hiraukan oleh papahnya. Begitulah sifat Arjuna jika sudah marah maka sangat sulit untuk dikendalikan.

"Diam kamu, jangan membuat papah tambah marah! Kurang apa papah selama ini? semua yang kamu mau sudah berusaha papah turutkan tapi kamu tidak bersyukur. Apa sebenarnya yang lelaki itu berikan sehingga kamu tidak lagi menghiraukan aturan dari papah?" Arjuna mengungkapkan semua yang ada di hatinya.

"Mas, jangan seperti ini kasihan Fitri. Kita bicarakan ini baik-baik aku yakin anak kita hanya sedang khilaf saja Mas," Hana berjalan tergesa menyusul langkah suaminya.

"Kamu jangan selalu memanjakannya, biarkan aku menghukumnya agar dia jera dan tidak berani mempermainkan aturanku lagi." Arjuna mengunci Fitri di gudang belakang dan  menarik tangan Hana untuk menjauh.

"Pah, aku mohon jangan perlakukan Fitri seperti itu. Dia bisa kedinginan di dalam sana, sadar Mas dia hanya khilaf! Aku yakin setelah ini dia tidak akan mengulanginya lagi." Hana memohon pada Arjuna untuk mengeluarkan Fitri dari dalam gudang. 

"Tidak ada kata khilaf, aku yakin sekali bukan hanya malam ini saja dia melakukannya tetapi setiap malam. Andai saja kita tidak cepat mengetahuinya mungkin dia akan terus menerus berpacaran dan kamu tahu kan apa akibatnya, dia akan malas belajar dan nilainya akan buruk aku tidak mau itu semua terjadi." Arjuna membentak istrinya yang terus membela Fitri.

Hana akhirnya diam tidak berani menjawab lagi, sebenarnya dia kecewa atas apa yang di lakukan oleh putrinya namun rasa sayangnya mengalahkan rasa kecewanya. Meskipun Fitri bersalah tapi tidak seharusnya di perlakukan seperti itu, pikirnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status