Share

Bab 4

Author: Author92
last update Last Updated: 2025-09-08 11:01:22

"Oh.. iya ma, kalau gitu sekarang Risa harus ngerjain apa dulu ma ?" kataku berusaha terlihat santai.

"Ini aja dulu Ris,bantuin mbak mu motong sayurannya biar cepat selesai". Balas mama seraya menunjuk kearah sayuran yang belum sempat dipotong.

"Iya ma". Aku pun bergegas mengambil pisau terus mulai memotong berbagai macam sayuran sambil sesekali mengobrol santai dengan mbak Lia. Sedangkan mama sedang sibuk memasak opor ayam dan sesekali menimpali obrolan kami.

Disela sela kesibukan memasak. Mbak Lia yang entah kapan keluar dari dapur, tiba tiba saja datang dengan membawa sebuah kantung plastik besar, kemudian menghampiri mama.

Dengan langkah tergesa, Mbak Lia bertanya heran pada mama. "Lo bulek, ini itu apa? kayak kain gitu waktu dipegang, kok dimasukin kantung plastik gini lagi?"

Mama yang ditanya berbalik kearah Mbak Lia seraya berkata santai."Itu lo, kemarin bulek milih – milih baju punya Nisa yang udah enggak kepakek.”

Entah mengapa aku merasa jika baju – baju itu pasti akan diberikan ke Rania. Aku pun lanjut memotong sayuran berpura tidak perduli dengan apa yang di bawa Mbak Lia.

Mbak Lia yang tidak puas oleh jawaban mama justru bertanya kembali."Lah untuk apa bulek masukin kesini, kok gak di buang atau di simpan ditempat lain aja?"

"Ehmm Itu lo bajunya rencana mau bulek kasi untuk Rania, sayangkan kalau dibuang, masih bagus juga." Balas mama.

Tuhkan bener. Batinku, aku pun cuma bisa menghela nafas. Heran kenapa lagi lagi barang bekas selalu dikasi untuk anakku. walau sudah biasa mama berbuat seperti ini,tapi tetap saja setiap mendengarnya hatiku rasanya bagai teriris.

"Loh, tak pikir mau dikasi ke Melati lo bulek, kenapa malah dikasi untuk Rania lagi, pakaian si Rania kan udah banyak toh, yang bekasnya si nisa., ya coba sekali – sekali dikasi ke Melati gitu loh bulek. Bukan begitu Ris, kamu enggak masalahkan kalau kali ini baju bekas Nisa Untuk Melati saja." Aku tahu Mbak Lia sengaja berkata demikian, karena kulihat mbak Lia melirik sekilas kearahku, aku tau pasti mbak Lia kasian melihat Rania selalu mendapatkan barang bekas dari neneknya. Aku pun cuma bisa tersenyum membalas lirikan mbak Lia.

Dengan santai dan tanpa rasa bersalah jawaban mama ustru semakin membuatku sakit hati."Lah Melati mana pantes si Lia pakek baju bekas gitu. Kamu kan tahu si Melati itu cantik,kulitnya juga Putih bersih, cocoknya sama yang baru – baru."

Semakin kesal saja Mbak Lia dengan jawaban Ibu mertuaku itu."Kalau Melati gak pantes emang nya Rania pantas ya Bulek, Rania itu walau kulitnya enggak seputih Melati, tapi semua orang bilang kalau Rania itu cantik, besarnya bakalan jadi kembang desa itu kata nya ?" entah kemberanian dari mana mbak Lia berbicara begitu kemama. Spontan saja membuat mama gelagapan lalu pura – pura sibuk menyuruhku menghaluskan bumbu yang akan dimasak. Kurasa mama bingung memikirkan jawaban yang tepat. Aku jadi penasaran jawaban apa yang akan mama berikan.

Belum sempat Mbak Lia mencecar mama dengan pertanyaannya yang belum dijawab, terdengar ucapan salam yang datang dari luar rumah. "Assalammualaikum".

"Waalaikumsalam," Jawab kami hampir bersamaan.

Gegas kulihat mama melangkahkan kakinya kedepan melihat siapa yang datang. Aku dan Mbak Lia pun mengikuti langkah Mama. Ternyata yang datang Rini bersama keluarganya. Kulihat Mama menyalami mereka semua satu persatu begitu juga dengan aku dan Mbak Lia.

Begitu tiba giliran aku menyalami tangan Rini dan bu Dewi yang merupakan mamanya Rini. Dia menolak uluran tanganku, mereka seolah olah tidak melihat uluran tanganku olehnya. Ya Allah apa lagi salahku sama mereka ini. Aku pun segera menarik uluran tanganku pada mereka dengan berpura – pura menyeka keringat yang membasahi wajahku, dengan senyum masam yang kuberikan untuk besan mertuaku itu.

Dengan penuh senyum semangat mama menyuruh keluarga Rini masuk kedalam rumah," Silahkan masuk lo Mbak, Mas, ayo Rin, ajak orang tua mu masuk dulu"

Yang dibalas anggukan sembari tersenyum oleh kedua orang tua Rini. Mereka pun masuk keruang tamu bersamaan mengikuti Mama dari belakang. Berbeda dengan aku dan Mbak Lia yang saling berpandangan karena melihat betapa sombongnya keluarga Rini. Dengan langkah malas kami langsung menuju dapur tanpa harus basa – basi terlebih dahulu dengan mereka dan menyiapkan semuanya. Sementara Rini, mana pernah dia membantu kami di dapur, dia selalu dilayani setiap kali berkunjung kerumah mama, sudah bagai ratu saja.

Sampainya di dapur Mbak Lia langsung menanyaiku. " Ris, kok mereka gitu si samamu?"

Aku mengerutkan kening heran dengan maksud pertanyaan Mbak Lia."Apanya yang gitu Mbak?"

"Ya itu tadi itu, Mbak lihat lo, Rini sama Mamanya menolak uluran tanganmu?" Mbak Lia bertanya dengan raut wajah yang begitu kesal.

Aku melebarkan mata, tidak menyangka jika Mbak Lia melihatnya."Jadi Mbak lihat perlakuan mereka tadi?"

Mbak Lia mengangguk pelan." Iya, gini – gini mata Mbak belum minus lo, masih bisa lihat semuanya. emang ibu sama anak, sama saja kelakuannya"

Dengan menghembuskan napas berat, aku membalas perkataan Mbak Lia dengan mengulum senyum."Udahlah Mbak biarkan saja,yang waras ngalah.”

Spontan Mbak Lia tertawa mendengar perkataanku."Ada ada saja kamu Ris, tapi ya emang bener si yang kamu bilang, kalau mereka waras mana mungkin bersikap begitu."

Aku pun tersenyum mendengar celetukan Mbak Lia "Iya mbak, Risa juga enggak ngerti kenapa mereka begitu, kalau di diemin si sama Rini, udah biasa dari dulu malah, tapi makin kesini malah makin menjadi."

Mbak Lia terkejut mendengar jawabanku."Lah, emang dari kapan si Rini itu begitu sama kamu?”

Akupun menjawab apa adanya sesuai yang aku alami selama ini.“Hmmm, seingat ku sesudah mereka menikah Mbak, enggak tahu kenapa seperti musuhi Risa gitu, padahal dulu sebelum nikah sama Angga, dia ramah banget lo sama Risa, sering nanyain kabar Rania juga setiap ketemu. enggak tahu kenapa bisa berubah”

“ Ya Allah, selama itu ternyata.Mbak itu sebenarnya kurang suka lihat Rini dari pertama kali Angga bawa kerumah ini, dari perawakannya kelihatan orangnya angkuh dan sombong, lah ternyata bener, orangnya bermuka dua gitu."

Akupun mengangguk membenarkan perkataan Mbak Lia. Memang yang kulihat Rini itu pintar sekali berkamuflase, kalau ada orang dia bakalan berpura – pura baik terhadapku, tapi kalau dibelakang sombongnya minta ampun. seolah olah tidak mengenal ku.

Dengan menunjukkan nampan berisi minuman, Mbak Lia berpamitan mau mengantar minuman kedepan. “Mbak, nganterin minuman ini dulu ya Ris, nanti kita ngobrol lagi setelah Mbak selesai antar ini.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Baju Bekas Untuk Anakku    Ban 17

    Keesokan harinya, Salma mendatangi rumah Risa dan Haris. Ia berniat untuk memberikan pelajaran kepada Rania agar tidak memamerkan barang-barang yang membuat Melati menjadi iri.Salma mengetuk pintu rumah Risa dan Haris dengan sedikit keras. Risa yang sedang berada di dalam rumah, terkejut mendengar ketukan pintu yang begitu keras.Risa membuka pintu dan terkejut melihat Salma berdiri di depan rumahnya dengan wajah marah."Ada apa, Ma?" tanya Risa dengan nada khawatir."Mana Rania?" tanya Salma dengan nada ketus."Rania sedang bermain di luar, Ma. Ada apa memangnya?" jawab Risa dengan nada bingung."Panggil Rania sekarang juga!" perintah Salma dengan nada sedikit keras.Risa merasa takut dengan nada bicara Salma. Ia segera memanggil Rania yang sedang bermain di depan rumah.Rania datang menghampiri Risa dengan wajah bingung. Ia tidak tahu mengapa neneknya datang ke rumahnya dengan wajah marah."Ada apa, Nek?" tanya Rania dengan nada polos.Salma menatap Rania dengan tatapan tajam. "Ran

  • Baju Bekas Untuk Anakku   Bab 16

    Malam itu, suasana rumah terasa lebih hangat dan menyenangkan. Haris berhasil mencairkan suasana yang tadinya suram. Setelah makan malam, Haris mengajak Rania bermain dan bercanda, membuat Rania tertawa riang. Risa tersenyum melihat kebahagiaan anaknya. Ia merasa beruntung memiliki Haris sebagai suami dan ayah bagi Rania.Namun, di balik senyumnya, Risa masih merasa khawatir. Ia tahu, Haris tidak mungkin bisa langsung membelikan Rania gaun baru. Penghasilan Haris sebagai karyawan swasta tidak terlalu besar, dan mereka memiliki banyak kebutuhan yang harus dipenuhi.Malam semakin larut, Rania sudah tertidur pulas di kamarnya. Risa dan Haris duduk berdua di ruang tamu, menikmati secangkir teh hangat."Mas, aku gak mau kamu terlalu memaksakan diri untuk belikan Rania gaun baru," ujar Risa dengan nada khawatir. "Kita lagi banyak kebutuhan, selain itu kit juga harus mempersiapkan biaya sekolah Rania."Haris menggenggam tangan Risa dengan lembut. "Mas tahu, Dek. Tapi mas gak tega lihat Rania

  • Baju Bekas Untuk Anakku   Bab 15

    Setelah Risa dan Rania pergi, suasana kembali hening dan canggung. Mbak Lia menatap Bulek Salma dengan tatapan tidak setuju."Bulek, kenapa sih Bulek gak beliin aja Rania gaun yang sama kayak Melati? Kan Rania juga cucu Bulek, sama kayak Melati," ujar Mbak Lia dengan nada hati-hati, berusaha menegur Bulek Salma.Bulek Salma mendengus kesal dan memutar bola matanya. "Kamu ini kenapa sih, Lia? Ikut-ikutan Risa jadi Drama," balas Bulek Salma dengan nada yang meremehkan."Tapi kan kasihan, Bulek, sama Rania. Dia juga pengen punya gaun baru kayak Melati. Kenapa Bulek malah nawarin gaun bekas?" desak Mbak Lia, merasa iba pada keponakannya itu.Bulek Salma mengangkat bahunya acuh tak acuh. "Anak-anak itu gak boleh selalu dimanja, Lia. Apa yang mereka mau gak harus selalu diturutin. Nanti jadi manja dan gak tahu diri," jawab Bulek Salma dengan nada yang meninggi."Tapi kan gak harus juga dikasih barang bekas, Bulek. Apalagi Rania itu masih kecil. Dia pasti

  • Baju Bekas Untuk Anakku   Bab 14

    Di toko perhiasan, Risa menyerahkan cincin pernikahannya kepada seorang petugas. Hatinya terasa berat, namun ia berusaha meyakinkan diri bahwa ini adalah keputusan yang tepat. Ia harus membantu Mas Haris mewujudkan impiannya.Namun, di tengah transaksi jual beli itu, pikirannya terus melayang pada percakapannya dengan Mbak Lia pagi tadi. Kata-kata Mbak Lia tentang rahasia Haris terus terngiang di telinganya. Siapa sebenarnya Haris? Dan rahasia apa yang selama ini disembunyikan darinya?Risa merasa gelisah dan tidak tenang. Ia ingin segera mencari tahu kebenaran, namun ia juga takut dengan apa yang akan ia temukan. Ia takut jika rahasia itu akan mengubah pandangannya terhadap Haris, atau bahkan merusak hubungan mereka.Setelah menyelesaikan urusannya di toko perhiasan, Risa memutuskan untuk membeli beberapa kebutuhan dapur. Ia ingin mengalihkan pikirannya dan melakukan sesuatu yang produktif.Tanpa sadar, langkah kakinya membawanya ke sebuah toko sembako y

  • Baju Bekas Untuk Anakku   Bab 13

    Lia berjalan cepat meninggalkan rumah Risa, jantungnya berdegup kencang seperti genderang yang ditabuh bertalu-talu. Hampir saja, pikirnya, hampir saja ia membocorkan rahasia yang telah ia jaga selama puluhan tahun. Rahasia yang bisa mengubah hidup Haris dan semua orang yang terlibat."Astaghfirullah," gumamnya lirih, mengusap wajahnya dengan kasar. Ia tidak seharusnya membuka mulut tentang hal itu. Risa adalah orang yang baik, tapi ia tidak berhak tahu kebenaran yang pahit ini. Kebenaran yang lebih baik tetap terkubur dalam-dalam.Namun, semakin ia mencoba melupakan percakapannya dengan Risa, semakin kuat pula bayangan wajah Haris muncul di benaknya. Haris yang selalu ceria, Haris yang selalu berusaha membahagiakan ibunya, Haris yang tidak tahu apa-apa tentang asal-usulnya yang sebenarnya."Ya Allah, apa yang harus kulakukan?" bisiknya, air mata mulai mengalir di pipinya. Ia merasa bersalah karena telah menyembunyikan kebenaran dari Haris, tapi ia juga takut membayangkan apa yang aka

  • Baju Bekas Untuk Anakku   Bab 12

    Keesokan paginya, semangat membara dalam diri kami. Mas Haris sudah berangkat kerja, meninggalkan aroma kopi yang masih menguar di udara. Aku bergegas merapikan rumah, pikiran melayang pada toko perhiasan tempat cincin itu akan kujual. Cincin yang akan menjadi fondasi impian kami."Bunda, bunda..." suara Rania memecah lamunanku. Nada bicaranya riang, namun ada sedikit ketidaksabaran di sana."Iya sayang, ada apa?" sahutku dari dapur, tanganku masih sibuk menata piring-piring yang baru dicuci."Rania, boleh nggak main sepeda bareng Arin?"Jantungku berdegup sedikit lebih kencang. Membayangkan Rania bermain jauh dari pengawasanku selalu membuatku khawatir. Namun, mata Rania memancarkan permohonan yang sulit kutolak."Boleh, tapi jangan jauh-jauh ya. Sebentar lagi Rania ikut bunda pergi ada keperluan. Hati-hati main sepedanya, awas jatuh," pesanku dengan nada lembut namun tegas."Ok bunda!" jawabnya penuh semangat, lalu berlari keluar rumah, meninggalkan keheningan yang kembali menyelimu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status