"Oh.. iya ma, kalau gitu sekarang Risa harus ngerjain apa dulu ma ?" kataku berusaha terlihat santai.
"Ini aja dulu Ris,bantuin mbak mu motong sayurannya biar cepat selesai". Balas mama seraya menunjuk kearah sayuran yang belum sempat dipotong. "Iya ma". Aku pun bergegas mengambil pisau terus mulai memotong berbagai macam sayuran sambil sesekali mengobrol santai dengan mbak Lia. Sedangkan mama sedang sibuk memasak opor ayam dan sesekali menimpali obrolan kami. Disela sela kesibukan memasak. Mbak Lia yang entah kapan keluar dari dapur, tiba tiba saja datang dengan membawa sebuah kantung plastik besar, kemudian menghampiri mama. Dengan langkah tergesa, Mbak Lia bertanya heran pada mama. "Lo bulek, ini itu apa? kayak kain gitu waktu dipegang, kok dimasukin kantung plastik gini lagi?" Mama yang ditanya berbalik kearah Mbak Lia seraya berkata santai."Itu lo, kemarin bulek milih – milih baju punya Nisa yang udah enggak kepakek.” Entah mengapa aku merasa jika baju – baju itu pasti akan diberikan ke Rania. Aku pun lanjut memotong sayuran berpura tidak perduli dengan apa yang di bawa Mbak Lia. Mbak Lia yang tidak puas oleh jawaban mama justru bertanya kembali."Lah untuk apa bulek masukin kesini, kok gak di buang atau di simpan ditempat lain aja?" "Ehmm Itu lo bajunya rencana mau bulek kasi untuk Rania, sayangkan kalau dibuang, masih bagus juga." Balas mama. Tuhkan bener. Batinku, aku pun cuma bisa menghela nafas. Heran kenapa lagi lagi barang bekas selalu dikasi untuk anakku. walau sudah biasa mama berbuat seperti ini,tapi tetap saja setiap mendengarnya hatiku rasanya bagai teriris. "Loh, tak pikir mau dikasi ke Melati lo bulek, kenapa malah dikasi untuk Rania lagi, pakaian si Rania kan udah banyak toh, yang bekasnya si nisa., ya coba sekali – sekali dikasi ke Melati gitu loh bulek. Bukan begitu Ris, kamu enggak masalahkan kalau kali ini baju bekas Nisa Untuk Melati saja." Aku tahu Mbak Lia sengaja berkata demikian, karena kulihat mbak Lia melirik sekilas kearahku, aku tau pasti mbak Lia kasian melihat Rania selalu mendapatkan barang bekas dari neneknya. Aku pun cuma bisa tersenyum membalas lirikan mbak Lia. Dengan santai dan tanpa rasa bersalah jawaban mama ustru semakin membuatku sakit hati."Lah Melati mana pantes si Lia pakek baju bekas gitu. Kamu kan tahu si Melati itu cantik,kulitnya juga Putih bersih, cocoknya sama yang baru – baru." Semakin kesal saja Mbak Lia dengan jawaban Ibu mertuaku itu."Kalau Melati gak pantes emang nya Rania pantas ya Bulek, Rania itu walau kulitnya enggak seputih Melati, tapi semua orang bilang kalau Rania itu cantik, besarnya bakalan jadi kembang desa itu kata nya ?" entah kemberanian dari mana mbak Lia berbicara begitu kemama. Spontan saja membuat mama gelagapan lalu pura – pura sibuk menyuruhku menghaluskan bumbu yang akan dimasak. Kurasa mama bingung memikirkan jawaban yang tepat. Aku jadi penasaran jawaban apa yang akan mama berikan. Belum sempat Mbak Lia mencecar mama dengan pertanyaannya yang belum dijawab, terdengar ucapan salam yang datang dari luar rumah. "Assalammualaikum". "Waalaikumsalam," Jawab kami hampir bersamaan. Gegas kulihat mama melangkahkan kakinya kedepan melihat siapa yang datang. Aku dan Mbak Lia pun mengikuti langkah Mama. Ternyata yang datang Rini bersama keluarganya. Kulihat Mama menyalami mereka semua satu persatu begitu juga dengan aku dan Mbak Lia. Begitu tiba giliran aku menyalami tangan Rini dan bu Dewi yang merupakan mamanya Rini. Dia menolak uluran tanganku, mereka seolah olah tidak melihat uluran tanganku olehnya. Ya Allah apa lagi salahku sama mereka ini. Aku pun segera menarik uluran tanganku pada mereka dengan berpura – pura menyeka keringat yang membasahi wajahku, dengan senyum masam yang kuberikan untuk besan mertuaku itu. Dengan penuh senyum semangat mama menyuruh keluarga Rini masuk kedalam rumah," Silahkan masuk lo Mbak, Mas, ayo Rin, ajak orang tua mu masuk dulu" Yang dibalas anggukan sembari tersenyum oleh kedua orang tua Rini. Mereka pun masuk keruang tamu bersamaan mengikuti Mama dari belakang. Berbeda dengan aku dan Mbak Lia yang saling berpandangan karena melihat betapa sombongnya keluarga Rini. Dengan langkah malas kami langsung menuju dapur tanpa harus basa – basi terlebih dahulu dengan mereka dan menyiapkan semuanya. Sementara Rini, mana pernah dia membantu kami di dapur, dia selalu dilayani setiap kali berkunjung kerumah mama, sudah bagai ratu saja. Sampainya di dapur Mbak Lia langsung menanyaiku. " Ris, kok mereka gitu si samamu?" Aku mengerutkan kening heran dengan maksud pertanyaan Mbak Lia."Apanya yang gitu Mbak?" "Ya itu tadi itu, Mbak lihat lo, Rini sama Mamanya menolak uluran tanganmu?" Mbak Lia bertanya dengan raut wajah yang begitu kesal. Aku melebarkan mata, tidak menyangka jika Mbak Lia melihatnya."Jadi Mbak lihat perlakuan mereka tadi?" Mbak Lia mengangguk pelan." Iya, gini – gini mata Mbak belum minus lo, masih bisa lihat semuanya. emang ibu sama anak, sama saja kelakuannya" Dengan menghembuskan napas berat, aku membalas perkataan Mbak Lia dengan mengulum senyum."Udahlah Mbak biarkan saja,yang waras ngalah.” Spontan Mbak Lia tertawa mendengar perkataanku."Ada ada saja kamu Ris, tapi ya emang bener si yang kamu bilang, kalau mereka waras mana mungkin bersikap begitu." Aku pun tersenyum mendengar celetukan Mbak Lia "Iya mbak, Risa juga enggak ngerti kenapa mereka begitu, kalau di diemin si sama Rini, udah biasa dari dulu malah, tapi makin kesini malah makin menjadi." Mbak Lia terkejut mendengar jawabanku."Lah, emang dari kapan si Rini itu begitu sama kamu?” Akupun menjawab apa adanya sesuai yang aku alami selama ini.“Hmmm, seingat ku sesudah mereka menikah Mbak, enggak tahu kenapa seperti musuhi Risa gitu, padahal dulu sebelum nikah sama Angga, dia ramah banget lo sama Risa, sering nanyain kabar Rania juga setiap ketemu. enggak tahu kenapa bisa berubah” “ Ya Allah, selama itu ternyata.Mbak itu sebenarnya kurang suka lihat Rini dari pertama kali Angga bawa kerumah ini, dari perawakannya kelihatan orangnya angkuh dan sombong, lah ternyata bener, orangnya bermuka dua gitu." Akupun mengangguk membenarkan perkataan Mbak Lia. Memang yang kulihat Rini itu pintar sekali berkamuflase, kalau ada orang dia bakalan berpura – pura baik terhadapku, tapi kalau dibelakang sombongnya minta ampun. seolah olah tidak mengenal ku. Dengan menunjukkan nampan berisi minuman, Mbak Lia berpamitan mau mengantar minuman kedepan. “Mbak, nganterin minuman ini dulu ya Ris, nanti kita ngobrol lagi setelah Mbak selesai antar ini.”POV: Salma RaharjoNamaku Salma Raharjo. Jika kau ingin menemuiku, tak sulit. Seluruh kampung ini tahu siapa Salma, janda kaya peninggalan mendiang Mas Harjo. Aku punya tiga anak: Haris, Angga, dan si bungsu Nisa. Tapi dari ketiganya, hatiku selalu condong pada Angga. Wajahnya, ah, mirip sekali dengan kekasih lamaku, cinta pertamaku yang tak pernah bisa kumiliki. Bukan berarti aku tak menyayangi Haris dan Nisa, hanya saja porsi kasih sayangku untuk Angga jauh lebih besar. Meskipun Angga itu, ya, agak sulit diatur. Bahkan terakhir kali, ia sempat membuatku malu setengah mati saat menghamili Rini. Rini melahirkan hanya dua hari sebelum ijab kabul mereka!Tapi sebesar apa pun kesalahan Angga, semudah itu pula aku memaafkannya. Mungkin karena aku terlalu mencintainya, atau mungkin karena wajah itu selalu mengingatkanku pada masa lalu yang indah. Ya, sampai sekarang pun, aku lebih menyayangi Rini, menantuku, daripada Risa. Rini memang pemalas, beda jauh dengan Risa. Aku akui, Risa itu mena
Setelah kepergian Mbak Lia mengantarkan minuman untuk keluarga Rini, aku pun segera menyiapkan makanan yang sudah matang diatas meja untuk makan siang ini. "Ris, kata Bulek makan siang nya cepat disiapin ya, tu keluarga Rini udah kelaparan kayaknya. udah seperti enggak makan sebulan " Keluh Mbak Lia sembari meletakkan nampan kosong. Aku pun mengangguk lantas dengan cekatan menyiapkan piring serta yang lainnya karena Cuma itu saja yang belum aku siapkan. "Oh iya Mbak, ini juga sudah mau selesai kok,tinggal di taruh di wadah saja." Kulihat Mbak Lia bukan membantuku malah clingak clinguk mencari seseorang didapur. “Cari apa sih mbak, kok seperti orang bingung gitu?" “Lo itu si Rini mana? bukannya dia tadi kemari soalnya tadi waktu Mbak nganter minum dia pamit kebelakang sebentar, Mbak kira dia disini buat bantuin kamu Ris?" terlihat Mbak Lia gusar. "Gak ada Mbak, dari tadi Risa cuma sendirian saja disini, mungkin Mbak salah denger kali, palingan juga dia ngadem dikamar, biasa juga g
"Oh.. iya ma, kalau gitu sekarang Risa harus ngerjain apa dulu ma ?" kataku berusaha terlihat santai. "Ini aja dulu Ris,bantuin mbak mu motong sayurannya biar cepat selesai". Balas mama seraya menunjuk kearah sayuran yang belum sempat dipotong. "Iya ma". Aku pun bergegas mengambil pisau terus mulai memotong berbagai macam sayuran sambil sesekali mengobrol santai dengan mbak Lia. Sedangkan mama sedang sibuk memasak opor ayam dan sesekali menimpali obrolan kami. Disela sela kesibukan memasak. Mbak Lia yang entah kapan keluar dari dapur, tiba tiba saja datang dengan membawa sebuah kantung plastik besar, kemudian menghampiri mama. Dengan langkah tergesa, Mbak Lia bertanya heran pada mama. "Lo bulek, ini itu apa? kayak kain gitu waktu dipegang, kok dimasukin kantung plastik gini lagi?" Mama yang ditanya berbalik kearah Mbak Lia seraya berkata santai."Itu lo, kemarin bulek milih – milih baju punya Nisa yang udah enggak kepakek.” Entah mengapa aku merasa jika baju – baju itu pasti akan
"Kamu lihat si Angga dek, apa yang gak dia punya? Motor dia punya, HP mahal dia juga punya, sama banyak hal lain lagi, semua mama yang belikan. Coba kamu liat mas, semua yang mas mau harus mas dapatkan dengan cara bekerja sendiri," jelas mas Haris dengan raut wajah sedihnya. Sebagai istrinya tentu aku begitu memahami perasaan mas Haris dan mencoba untuk menyabarkan nya. "Yang sabar mas, InsyaAllah rezeki kita suatu saat nanti akan melimpah jadi mas bisa beli apa aja yang mas mau," balas ku tersenyum. Mas Haris tersenyum dan mengucapkan terima kasih. "Amin dek, terimakasih kamu udah mau terima mas apa adanya, walau kamu tau mas gak punya apa-apa bahkan penghasilan mas cuma cukup buat makan kita aja." Aku kemudian mencoba menggoda mas Haris dengan kata-kata manis. "Iya lo mas, gak usah baper gitu ahhh... aku kan cinta kamu apa adanya bahkan makan sepiring berduapun aku mau, Hahaha." Balasku tertawa sengaja agar Mas Haris tidak terus kepikiran tentang perlakuan tidak adil dari ibunya.
"Alhamdulillah," batinku ketika aku melihat Rania begitu senang memiliki sepeda baru. Aku telah menabung setiap hari, menyisihkan sisa uang belanja yang kehemat sedimikian rupa selama dua bulan untuk membelikan sepeda baru untuk Rania, dan sekarang aku bisa melihat dia begitu bahagia.Tiba-tiba, mbak Lia, kakak sepupu suamiku, datang ke kontrakan ku. "Oh, jadi itu sepeda baru Rania ya Ris?" tanya mbak Lia dengan nada yang sedikit penasaran.Aku tersenyum dan menjawab, "Iya, mbak. Tapi sepeda Rania harganya murah kok mbak, ga sebanding sama punya Dani."Aku kemudian bertanya, "Dani baru beli sepeda juga ya mbak?"Mbak Lia terdiam sejenak, lalu menjawab, "Iya, Ris. Itu juga murah karena beli dua. Kalau satu juga gak dapat harga segitu Ris."Aku merasa sedikit penasaran, lalu bertanya, "Lah, mbak malah borong sepeda ternyata. Kalau gitu Dani sepedanya dua donk mbak?"Mbak Lia menjawab tanpa sadar, "Bukan untuk Dani, sepedanya satu lagi titipan mama mertua mu untuk Melati." Terlihat raut
Aku yang tengah sibuk mencuci piring – piring kotor sisa aku memasak tadi, dikejutkan oleh suara gadis kecil yang selama lima tahun ini menemani hari – hariku. Rania, putriku yang cantik, berlari menghampiriku dengan senyum cerah di wajahnya. “Bunda, bunda!” teriaknya sambil memegang baju bekas yang dikenakannya. Aku tersenyum tipis, tapi perasaan perih di hatiku tidak bisa disembunyikan. Baju bekas itu bukan hanya sebuah pakaian, tapi juga simbol ketidak adilan yang telah lama aku rasakan. Aku tidak pernah mempermasalahkan baju bekas itu awalnya, tapi semakin kesini, aku merasa tidak adil ketika anak dari adik iparku selalu mendapatkan pakaian baru, sementara Rania selalu mendapatkan pakaian bekas. Aku tidak tahu mengapa ibu mertuaku melakukan hal ini, tapi aku tahu bahwa aku harus mengatakan sesuatu untuk membuat Rania mengerti. “Rania sayang, bunda minta sama Rania, kalau nenek memberi Rania pakaian bekas lagi, jangan mau ya nak?, Rani bilang saja kalau baju – baju Rania sudah pe