POV: Salma Raharjo
Namaku Salma Raharjo. Jika kau ingin menemuiku, tak sulit. Seluruh kampung ini tahu siapa Salma, janda kaya peninggalan mendiang Mas Harjo. Aku punya tiga anak: Haris, Angga, dan si bungsu Nisa. Tapi dari ketiganya, hatiku selalu condong pada Angga. Wajahnya, ah, mirip sekali dengan kekasih lamaku, cinta pertamaku yang tak pernah bisa kumiliki. Bukan berarti aku tak menyayangi Haris dan Nisa, hanya saja porsi kasih sayangku untuk Angga jauh lebih besar. Meskipun Angga itu, ya, agak sulit diatur. Bahkan terakhir kali, ia sempat membuatku malu setengah mati saat menghamili Rini. Rini melahirkan hanya dua hari sebelum ijab kabul mereka!
Tapi sebesar apa pun kesalahan Angga, semudah itu pula aku memaafkannya. Mungkin karena aku terlalu mencintainya, atau mungkin karena wajah itu selalu mengingatkanku pada masa lalu yang indah. Ya, sampai sekarang pun, aku lebih menyayangi Rini, menantuku, daripada Risa. Rini memang pemalas, beda jauh dengan Risa. Aku akui, Risa itu menantu idaman; lembut, rajin, dan selalu menghormatiku selayaknya ibu kandungnya. Tapi entahlah, hatiku tak bisa berbohong.
Begitu juga dengan Melati, cucuku dari Angga. Aku lebih menyayanginya ketimbang Rania, anak Haris. Meski harus kuakui, Rania itu anak yang manis, penurut, dan berwajah cantik, mewarisi kebaikan dari kedua orang tuanya. Pokoknya, apa pun yang berhubungan dengan Angga, aku pasti suka. Walau terkadang, antara ego dan nuraniku bertentangan hebat, namun lagi-lagi, ego selalu menang. Kebahagiaan Angga adalah prioritasku.
Melati, walau masih kecil, nakalnya sudah luar biasa. Wajahnya juga kalau boleh jujur tidak ada cantik-cantiknya, bahkan sama sekali tidak ada miripnya dengan Angga. Tapi mau bagaimana lagi, dia itu anak Angga, jadi mau tidak mau aku juga begitu menyayanginya.
Hari ini, Angga meneleponku. Putra keduaku itu mengabari akan datang bersama mertuanya, membicarakan sesuatu hal yang penting. Hatiku langsung berbunga-bunga. Aku pun bergegas menyiapkan segala keperluan untuk menyambut besanku. Lalu, aku meminta tolong Lia, keponakanku yang rumahnya tak jauh dari sini. Dan tak lupa, aku menyuruh Nisa, putri bungsuku, untuk ke kontrakan Haris, menyuruh istrinya, Risa, ikut membantuku menyiapkan semuanya.
Tak butuh waktu lama, Lia dan Risa sudah datang membantuku. Mereka berdua memang bisa selalu diandalkan. Apalagi Risa, meskipun aku sudah berlaku tidak adil padanya, dia tetap saja menuruti apa pun yang kukatakan. Anak itu memang penurut, mudah dikendalikan. Ya, aku memang begitu mengistimewakan Rini dan keluarganya. Beda dengan Risa yang sudah tidak memiliki orang tua, jadi aku tak perlu lagi bermanis-manis dengan besannya.
Di sela-sela kesibukan kami memasak, tiba-tiba Lia datang membawa sebuah bungkusan plastik berisi pakaian bekas Nisa. Rencananya, pakaian itu akan kuberikan untuk Rania, cucuku dari Haris.
"Lo, Bulek, ini apaan dah? Kayak kain gitu waktu dipegang, mana dimasukin kantung plastik gini lagi?" tanya Lia, suaranya penuh rasa ingin tahu.
Aku berbalik ke arah Lia, menjawab santai, "Itu lo, kemarin Bulek milih-milih baju punya Nisa yang udah enggak kepakek."
Kulihat ada segurat kekecewaan di wajah Risa atas pengakuanku. Tapi ya, peduli apa aku dengan perasaannya? Dia harus tahu posisinya.
Sepertinya Lia tidak puas dengan jawaban yang kuberikan. Ia mencoba bertanya kembali, "Lah, untuk apa Bulek masukin ke sini? Kok nggak dibuang atau disimpan di tempat lain aja?"
"Ehmm, itu lo, bajunya rencana mau Bulek kasih untuk Rania. Sayang kan kalau dibuang, masih bagus juga," balasku lagi, sedikit kesal karena ulah Lia yang banyak tanya. Kenapa sih harus selalu dicampuri?
"Loh, kirain mau dikasih ke Melati lo, Bulek. Kenapa malah dikasih untuk Rania lagi? Pakaian si Nisa kan udah banyak toh yang dikasih ke Rania, ya coba sekali-sekali dikasih ke Melati gitu loh. Bukan begitu Ris, kamu nggak masalah kan kalau kali ini baju bekas Nisa untuk Melati saja?"
Dengan santai dan tanpa rasa bersalah, aku menjawab, "Lah, Melati mana pantes sih Lia pakek baju bekas gitu. Kamu kan tahu, si Melati itu kulitnya putih, cocoknya sama yang baru-baru." Memang begitu kenyataannya, kan?
"Kalau Melati nggak pantes, emangnya Rania pantas ya, Bulek? Rania itu walau kulitnya nggak seputih Melati, tapi semua orang bilang Rania itu cantik lo, bakalan jadi kembang desa itu besarnya?" Lia ini semakin berani saja bertanya. Kali ini balasannya justru semakin membuatku gelagapan. Aku berpura-pura sibuk menyuruh Risa menghaluskan bumbu yang akan dimasak. Aku bingung harus memberikan jawaban apa agar Risa tidak tersinggung dan masih mau menerima barang-barang bekas yang kuberikan.
Bersyukur aku terselamatkan karena datang ucapan salam dari luar. "Assalammualaikum!"
"Waalaikumsalam!" jawab kami hampir bersamaan.
Aku bergegas melangkahkan kakiku ke depan melihat siapa yang datang, yang diikuti oleh Lia dan juga Risa. Ternyata yang datang Rini bersama keluarganya. Aku begitu bersyukur, setidaknya berkat kedatangan mereka, aku terselamatkan dari Lia yang terus berusaha mencecarku.
Beberapa saat aku mengobrol hangat dengan besanku. Lalu, aku pamit sebentar ke kamar dan mengajak Rini juga Melati. Sebab, aku sudah membelikan Melati beberapa pasang baju baru. Ya, tentunya tanpa sepengetahuan Risa aku memberikannya agar ia tidak merasa iri atas perlakuanku yang sangat berbeda.
Kulihat Melati begitu bahagia menerima pemberianku itu. Aku pun juga senang melihatnya. Tak lupa, aku berucap sesuatu ke Rini.
"Rin, jangan sampai Risa tahu ya kalau Mama kasih baju baru ke Melati. Mama takutnya ntar dia malah iri lagi, terus minta juga belikan untuk si Rania. Lagian Mama juga sebenarnya udah siapin baju bekasnya Nisa untuk dikasih Rania," pintaku pada Rini.
"Iya Ma, Rini nggak akan ngomong ke siapa-siapa kok," balas Rini tersenyum penuh pengertian.
"Ya sudah yuk, kita makan siang sama-sama. Ajak orang tuamu, jangan lupa Angga juga diajak, tadi Mama lihat dia lagi di kolam ngasih makan ikan."
"Iya Ma," balas Rini seraya berlalu meninggalkanku seorang diri.
Hari ini aku makan siang bersama dengan Angga dan mertuanya. Ternyata kedatangan mereka ke sini untuk membicarakan sesuatu: mereka memintaku untuk segera membuatkan rumah untuk Angga dan juga Rini, serta agar aku segera membagi sebagian warisan untuk Angga.
Ini semua membuatku bingung. Haris yang lebih dulu menikah saja belum juga kubuatkan rumah, bahkan dia tidak pernah meminta warisan dari mendiang ayahnya. Tapi mau tidak mau, aku mengiyakan permintaan besanku itu. Ya, walaupun aku harus mengatur strategi agar Haris tidak tahu kalau aku akan membuatkan rumah untuk Angga dan Rini.
Sejujurnya, sebelum meninggal, Mas Harjo sempat berwasiat agar setengah dari perkebunan serta harta kekayaan yang kami miliki harus diberikan ke Haris, putra kandungnya. Sisanya baru dibagi tiga untuk aku, Angga, dan juga Nisa. Tapi hingga sekarang, aku belum juga memberikan hak Haris. Lagian, Haris juga tidak mengetahui wasiat Ayahnya, batinku. Bodohnya Haris, tidak pernah tahu apa-apa. Dan aku, Salma Raharjo, akan memastikan Angga mendapatkan semua yang terbaik, apa pun caranya.
POV: Salma RaharjoNamaku Salma Raharjo. Jika kau ingin menemuiku, tak sulit. Seluruh kampung ini tahu siapa Salma, janda kaya peninggalan mendiang Mas Harjo. Aku punya tiga anak: Haris, Angga, dan si bungsu Nisa. Tapi dari ketiganya, hatiku selalu condong pada Angga. Wajahnya, ah, mirip sekali dengan kekasih lamaku, cinta pertamaku yang tak pernah bisa kumiliki. Bukan berarti aku tak menyayangi Haris dan Nisa, hanya saja porsi kasih sayangku untuk Angga jauh lebih besar. Meskipun Angga itu, ya, agak sulit diatur. Bahkan terakhir kali, ia sempat membuatku malu setengah mati saat menghamili Rini. Rini melahirkan hanya dua hari sebelum ijab kabul mereka!Tapi sebesar apa pun kesalahan Angga, semudah itu pula aku memaafkannya. Mungkin karena aku terlalu mencintainya, atau mungkin karena wajah itu selalu mengingatkanku pada masa lalu yang indah. Ya, sampai sekarang pun, aku lebih menyayangi Rini, menantuku, daripada Risa. Rini memang pemalas, beda jauh dengan Risa. Aku akui, Risa itu mena
Setelah kepergian Mbak Lia mengantarkan minuman untuk keluarga Rini, aku pun segera menyiapkan makanan yang sudah matang diatas meja untuk makan siang ini. "Ris, kata Bulek makan siang nya cepat disiapin ya, tu keluarga Rini udah kelaparan kayaknya. udah seperti enggak makan sebulan " Keluh Mbak Lia sembari meletakkan nampan kosong. Aku pun mengangguk lantas dengan cekatan menyiapkan piring serta yang lainnya karena Cuma itu saja yang belum aku siapkan. "Oh iya Mbak, ini juga sudah mau selesai kok,tinggal di taruh di wadah saja." Kulihat Mbak Lia bukan membantuku malah clingak clinguk mencari seseorang didapur. “Cari apa sih mbak, kok seperti orang bingung gitu?" “Lo itu si Rini mana? bukannya dia tadi kemari soalnya tadi waktu Mbak nganter minum dia pamit kebelakang sebentar, Mbak kira dia disini buat bantuin kamu Ris?" terlihat Mbak Lia gusar. "Gak ada Mbak, dari tadi Risa cuma sendirian saja disini, mungkin Mbak salah denger kali, palingan juga dia ngadem dikamar, biasa juga g
"Oh.. iya ma, kalau gitu sekarang Risa harus ngerjain apa dulu ma ?" kataku berusaha terlihat santai. "Ini aja dulu Ris,bantuin mbak mu motong sayurannya biar cepat selesai". Balas mama seraya menunjuk kearah sayuran yang belum sempat dipotong. "Iya ma". Aku pun bergegas mengambil pisau terus mulai memotong berbagai macam sayuran sambil sesekali mengobrol santai dengan mbak Lia. Sedangkan mama sedang sibuk memasak opor ayam dan sesekali menimpali obrolan kami. Disela sela kesibukan memasak. Mbak Lia yang entah kapan keluar dari dapur, tiba tiba saja datang dengan membawa sebuah kantung plastik besar, kemudian menghampiri mama. Dengan langkah tergesa, Mbak Lia bertanya heran pada mama. "Lo bulek, ini itu apa? kayak kain gitu waktu dipegang, kok dimasukin kantung plastik gini lagi?" Mama yang ditanya berbalik kearah Mbak Lia seraya berkata santai."Itu lo, kemarin bulek milih – milih baju punya Nisa yang udah enggak kepakek.” Entah mengapa aku merasa jika baju – baju itu pasti akan
"Kamu lihat si Angga dek, apa yang gak dia punya? Motor dia punya, HP mahal dia juga punya, sama banyak hal lain lagi, semua mama yang belikan. Coba kamu liat mas, semua yang mas mau harus mas dapatkan dengan cara bekerja sendiri," jelas mas Haris dengan raut wajah sedihnya. Sebagai istrinya tentu aku begitu memahami perasaan mas Haris dan mencoba untuk menyabarkan nya. "Yang sabar mas, InsyaAllah rezeki kita suatu saat nanti akan melimpah jadi mas bisa beli apa aja yang mas mau," balas ku tersenyum. Mas Haris tersenyum dan mengucapkan terima kasih. "Amin dek, terimakasih kamu udah mau terima mas apa adanya, walau kamu tau mas gak punya apa-apa bahkan penghasilan mas cuma cukup buat makan kita aja." Aku kemudian mencoba menggoda mas Haris dengan kata-kata manis. "Iya lo mas, gak usah baper gitu ahhh... aku kan cinta kamu apa adanya bahkan makan sepiring berduapun aku mau, Hahaha." Balasku tertawa sengaja agar Mas Haris tidak terus kepikiran tentang perlakuan tidak adil dari ibunya.
"Alhamdulillah," batinku ketika aku melihat Rania begitu senang memiliki sepeda baru. Aku telah menabung setiap hari, menyisihkan sisa uang belanja yang kehemat sedimikian rupa selama dua bulan untuk membelikan sepeda baru untuk Rania, dan sekarang aku bisa melihat dia begitu bahagia.Tiba-tiba, mbak Lia, kakak sepupu suamiku, datang ke kontrakan ku. "Oh, jadi itu sepeda baru Rania ya Ris?" tanya mbak Lia dengan nada yang sedikit penasaran.Aku tersenyum dan menjawab, "Iya, mbak. Tapi sepeda Rania harganya murah kok mbak, ga sebanding sama punya Dani."Aku kemudian bertanya, "Dani baru beli sepeda juga ya mbak?"Mbak Lia terdiam sejenak, lalu menjawab, "Iya, Ris. Itu juga murah karena beli dua. Kalau satu juga gak dapat harga segitu Ris."Aku merasa sedikit penasaran, lalu bertanya, "Lah, mbak malah borong sepeda ternyata. Kalau gitu Dani sepedanya dua donk mbak?"Mbak Lia menjawab tanpa sadar, "Bukan untuk Dani, sepedanya satu lagi titipan mama mertua mu untuk Melati." Terlihat raut
Aku yang tengah sibuk mencuci piring – piring kotor sisa aku memasak tadi, dikejutkan oleh suara gadis kecil yang selama lima tahun ini menemani hari – hariku. Rania, putriku yang cantik, berlari menghampiriku dengan senyum cerah di wajahnya. “Bunda, bunda!” teriaknya sambil memegang baju bekas yang dikenakannya. Aku tersenyum tipis, tapi perasaan perih di hatiku tidak bisa disembunyikan. Baju bekas itu bukan hanya sebuah pakaian, tapi juga simbol ketidak adilan yang telah lama aku rasakan. Aku tidak pernah mempermasalahkan baju bekas itu awalnya, tapi semakin kesini, aku merasa tidak adil ketika anak dari adik iparku selalu mendapatkan pakaian baru, sementara Rania selalu mendapatkan pakaian bekas. Aku tidak tahu mengapa ibu mertuaku melakukan hal ini, tapi aku tahu bahwa aku harus mengatakan sesuatu untuk membuat Rania mengerti. “Rania sayang, bunda minta sama Rania, kalau nenek memberi Rania pakaian bekas lagi, jangan mau ya nak?, Rani bilang saja kalau baju – baju Rania sudah pe