Share

Bab 6

Author: Author92
last update Last Updated: 2025-09-16 21:14:03

POV: Salma Raharjo

Namaku Salma Raharjo. Jika kau ingin menemuiku, tak sulit. Seluruh kampung ini tahu siapa Salma, janda kaya peninggalan mendiang Mas Harjo. Aku punya tiga anak: Haris, Angga, dan si bungsu Nisa. Tapi dari ketiganya, hatiku selalu condong pada Angga. Wajahnya, ah, mirip sekali dengan kekasih lamaku, cinta pertamaku yang tak pernah bisa kumiliki. Bukan berarti aku tak menyayangi Haris dan Nisa, hanya saja porsi kasih sayangku untuk Angga jauh lebih besar. Meskipun Angga itu, ya, agak sulit diatur. Bahkan terakhir kali, ia sempat membuatku malu setengah mati saat menghamili Rini. Rini melahirkan hanya dua hari sebelum ijab kabul mereka!

Tapi sebesar apa pun kesalahan Angga, semudah itu pula aku memaafkannya. Mungkin karena aku terlalu mencintainya, atau mungkin karena wajah itu selalu mengingatkanku pada masa lalu yang indah. Ya, sampai sekarang pun, aku lebih menyayangi Rini, menantuku, daripada Risa. Rini memang pemalas, beda jauh dengan Risa. Aku akui, Risa itu menantu idaman; lembut, rajin, dan selalu menghormatiku selayaknya ibu kandungnya. Tapi entahlah, hatiku tak bisa berbohong.

Begitu juga dengan Melati, cucuku dari Angga. Aku lebih menyayanginya ketimbang Rania, anak Haris. Meski harus kuakui, Rania itu anak yang manis, penurut, dan berwajah cantik, mewarisi kebaikan dari kedua orang tuanya. Pokoknya, apa pun yang berhubungan dengan Angga, aku pasti suka. Walau terkadang, antara ego dan nuraniku bertentangan hebat, namun lagi-lagi, ego selalu menang. Kebahagiaan Angga adalah prioritasku.

Melati, walau masih kecil, nakalnya sudah luar biasa. Wajahnya juga kalau boleh jujur tidak ada cantik-cantiknya, bahkan sama sekali tidak ada miripnya dengan Angga. Tapi mau bagaimana lagi, dia itu anak Angga, jadi mau tidak mau aku juga begitu menyayanginya.

Hari ini, Angga meneleponku. Putra keduaku itu mengabari akan datang bersama mertuanya, membicarakan sesuatu hal yang penting. Hatiku langsung berbunga-bunga. Aku pun bergegas menyiapkan segala keperluan untuk menyambut besanku. Lalu, aku meminta tolong Lia, keponakanku yang rumahnya tak jauh dari sini. Dan tak lupa, aku menyuruh Nisa, putri bungsuku, untuk ke kontrakan Haris, menyuruh istrinya, Risa, ikut membantuku menyiapkan semuanya.

Tak butuh waktu lama, Lia dan Risa sudah datang membantuku. Mereka berdua memang bisa selalu diandalkan. Apalagi Risa, meskipun aku sudah berlaku tidak adil padanya, dia tetap saja menuruti apa pun yang kukatakan. Anak itu memang penurut, mudah dikendalikan. Ya, aku memang begitu mengistimewakan Rini dan keluarganya. Beda dengan Risa yang sudah tidak memiliki orang tua, jadi aku tak perlu lagi bermanis-manis dengan besannya.

Di sela-sela kesibukan kami memasak, tiba-tiba Lia datang membawa sebuah bungkusan plastik berisi pakaian bekas Nisa. Rencananya, pakaian itu akan kuberikan untuk Rania, cucuku dari Haris.

"Lo, Bulek, ini apaan dah? Kayak kain gitu waktu dipegang, mana dimasukin kantung plastik gini lagi?" tanya Lia, suaranya penuh rasa ingin tahu.

Aku berbalik ke arah Lia, menjawab santai, "Itu lo, kemarin Bulek milih-milih baju punya Nisa yang udah enggak kepakek."

Kulihat ada segurat kekecewaan di wajah Risa atas pengakuanku. Tapi ya, peduli apa aku dengan perasaannya? Dia harus tahu posisinya.

Sepertinya Lia tidak puas dengan jawaban yang kuberikan. Ia mencoba bertanya kembali, "Lah, untuk apa Bulek masukin ke sini? Kok nggak dibuang atau disimpan di tempat lain aja?"

"Ehmm, itu lo, bajunya rencana mau Bulek kasih untuk Rania. Sayang kan kalau dibuang, masih bagus juga," balasku lagi, sedikit kesal karena ulah Lia yang banyak tanya. Kenapa sih harus selalu dicampuri?

"Loh, kirain mau dikasih ke Melati lo, Bulek. Kenapa malah dikasih untuk Rania lagi? Pakaian si Nisa kan udah banyak toh yang dikasih ke Rania, ya coba sekali-sekali dikasih ke Melati gitu loh. Bukan begitu Ris, kamu nggak masalah kan kalau kali ini baju bekas Nisa untuk Melati saja?"

Dengan santai dan tanpa rasa bersalah, aku menjawab, "Lah, Melati mana pantes sih Lia pakek baju bekas gitu. Kamu kan tahu, si Melati itu kulitnya putih, cocoknya sama yang baru-baru." Memang begitu kenyataannya, kan?

"Kalau Melati nggak pantes, emangnya Rania pantas ya, Bulek? Rania itu walau kulitnya nggak seputih Melati, tapi semua orang bilang Rania itu cantik lo, bakalan jadi kembang desa itu besarnya?" Lia ini semakin berani saja bertanya. Kali ini balasannya justru semakin membuatku gelagapan. Aku berpura-pura sibuk menyuruh Risa menghaluskan bumbu yang akan dimasak. Aku bingung harus memberikan jawaban apa agar Risa tidak tersinggung dan masih mau menerima barang-barang bekas yang kuberikan.

Bersyukur aku terselamatkan karena datang ucapan salam dari luar. "Assalammualaikum!"

"Waalaikumsalam!" jawab kami hampir bersamaan.

Aku bergegas melangkahkan kakiku ke depan melihat siapa yang datang, yang diikuti oleh Lia dan juga Risa. Ternyata yang datang Rini bersama keluarganya. Aku begitu bersyukur, setidaknya berkat kedatangan mereka, aku terselamatkan dari Lia yang terus berusaha mencecarku.

Beberapa saat aku mengobrol hangat dengan besanku. Lalu, aku pamit sebentar ke kamar dan mengajak Rini juga Melati. Sebab, aku sudah membelikan Melati beberapa pasang baju baru. Ya, tentunya tanpa sepengetahuan Risa aku memberikannya agar ia tidak merasa iri atas perlakuanku yang sangat berbeda.

Kulihat Melati begitu bahagia menerima pemberianku itu. Aku pun juga senang melihatnya. Tak lupa, aku berucap sesuatu ke Rini.

"Rin, jangan sampai Risa tahu ya kalau Mama kasih baju baru ke Melati. Mama takutnya ntar dia malah iri lagi, terus minta juga belikan untuk si Rania. Lagian Mama juga sebenarnya udah siapin baju bekasnya Nisa untuk dikasih Rania," pintaku pada Rini.

"Iya Ma, Rini nggak akan ngomong ke siapa-siapa kok," balas Rini tersenyum penuh pengertian.

"Ya sudah yuk, kita makan siang sama-sama. Ajak orang tuamu, jangan lupa Angga juga diajak, tadi Mama lihat dia lagi di kolam ngasih makan ikan."

"Iya Ma," balas Rini seraya berlalu meninggalkanku seorang diri.

Hari ini aku makan siang bersama dengan Angga dan mertuanya. Ternyata kedatangan mereka ke sini untuk membicarakan sesuatu: mereka memintaku untuk segera membuatkan rumah untuk Angga dan juga Rini, serta agar aku segera membagi sebagian warisan untuk Angga.

Ini semua membuatku bingung. Haris yang lebih dulu menikah saja belum juga kubuatkan rumah, bahkan dia tidak pernah meminta warisan dari mendiang ayahnya. Tapi mau tidak mau, aku mengiyakan permintaan besanku itu. Ya, walaupun aku harus mengatur strategi agar Haris tidak tahu kalau aku akan membuatkan rumah untuk Angga dan Rini.

Sejujurnya, sebelum meninggal, Mas Harjo sempat berwasiat agar setengah dari perkebunan serta harta kekayaan yang kami miliki harus diberikan ke Haris, putra kandungnya. Sisanya baru dibagi tiga untuk aku, Angga, dan juga Nisa. Tapi hingga sekarang, aku belum juga memberikan hak Haris. Lagian, Haris juga tidak mengetahui wasiat Ayahnya, batinku. Bodohnya Haris, tidak pernah tahu apa-apa. Dan aku, Salma Raharjo, akan memastikan Angga mendapatkan semua yang terbaik, apa pun caranya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Baju Bekas Untuk Anakku    Ban 17

    Keesokan harinya, Salma mendatangi rumah Risa dan Haris. Ia berniat untuk memberikan pelajaran kepada Rania agar tidak memamerkan barang-barang yang membuat Melati menjadi iri.Salma mengetuk pintu rumah Risa dan Haris dengan sedikit keras. Risa yang sedang berada di dalam rumah, terkejut mendengar ketukan pintu yang begitu keras.Risa membuka pintu dan terkejut melihat Salma berdiri di depan rumahnya dengan wajah marah."Ada apa, Ma?" tanya Risa dengan nada khawatir."Mana Rania?" tanya Salma dengan nada ketus."Rania sedang bermain di luar, Ma. Ada apa memangnya?" jawab Risa dengan nada bingung."Panggil Rania sekarang juga!" perintah Salma dengan nada sedikit keras.Risa merasa takut dengan nada bicara Salma. Ia segera memanggil Rania yang sedang bermain di depan rumah.Rania datang menghampiri Risa dengan wajah bingung. Ia tidak tahu mengapa neneknya datang ke rumahnya dengan wajah marah."Ada apa, Nek?" tanya Rania dengan nada polos.Salma menatap Rania dengan tatapan tajam. "Ran

  • Baju Bekas Untuk Anakku   Bab 16

    Malam itu, suasana rumah terasa lebih hangat dan menyenangkan. Haris berhasil mencairkan suasana yang tadinya suram. Setelah makan malam, Haris mengajak Rania bermain dan bercanda, membuat Rania tertawa riang. Risa tersenyum melihat kebahagiaan anaknya. Ia merasa beruntung memiliki Haris sebagai suami dan ayah bagi Rania.Namun, di balik senyumnya, Risa masih merasa khawatir. Ia tahu, Haris tidak mungkin bisa langsung membelikan Rania gaun baru. Penghasilan Haris sebagai karyawan swasta tidak terlalu besar, dan mereka memiliki banyak kebutuhan yang harus dipenuhi.Malam semakin larut, Rania sudah tertidur pulas di kamarnya. Risa dan Haris duduk berdua di ruang tamu, menikmati secangkir teh hangat."Mas, aku gak mau kamu terlalu memaksakan diri untuk belikan Rania gaun baru," ujar Risa dengan nada khawatir. "Kita lagi banyak kebutuhan, selain itu kit juga harus mempersiapkan biaya sekolah Rania."Haris menggenggam tangan Risa dengan lembut. "Mas tahu, Dek. Tapi mas gak tega lihat Rania

  • Baju Bekas Untuk Anakku   Bab 15

    Setelah Risa dan Rania pergi, suasana kembali hening dan canggung. Mbak Lia menatap Bulek Salma dengan tatapan tidak setuju."Bulek, kenapa sih Bulek gak beliin aja Rania gaun yang sama kayak Melati? Kan Rania juga cucu Bulek, sama kayak Melati," ujar Mbak Lia dengan nada hati-hati, berusaha menegur Bulek Salma.Bulek Salma mendengus kesal dan memutar bola matanya. "Kamu ini kenapa sih, Lia? Ikut-ikutan Risa jadi Drama," balas Bulek Salma dengan nada yang meremehkan."Tapi kan kasihan, Bulek, sama Rania. Dia juga pengen punya gaun baru kayak Melati. Kenapa Bulek malah nawarin gaun bekas?" desak Mbak Lia, merasa iba pada keponakannya itu.Bulek Salma mengangkat bahunya acuh tak acuh. "Anak-anak itu gak boleh selalu dimanja, Lia. Apa yang mereka mau gak harus selalu diturutin. Nanti jadi manja dan gak tahu diri," jawab Bulek Salma dengan nada yang meninggi."Tapi kan gak harus juga dikasih barang bekas, Bulek. Apalagi Rania itu masih kecil. Dia pasti

  • Baju Bekas Untuk Anakku   Bab 14

    Di toko perhiasan, Risa menyerahkan cincin pernikahannya kepada seorang petugas. Hatinya terasa berat, namun ia berusaha meyakinkan diri bahwa ini adalah keputusan yang tepat. Ia harus membantu Mas Haris mewujudkan impiannya.Namun, di tengah transaksi jual beli itu, pikirannya terus melayang pada percakapannya dengan Mbak Lia pagi tadi. Kata-kata Mbak Lia tentang rahasia Haris terus terngiang di telinganya. Siapa sebenarnya Haris? Dan rahasia apa yang selama ini disembunyikan darinya?Risa merasa gelisah dan tidak tenang. Ia ingin segera mencari tahu kebenaran, namun ia juga takut dengan apa yang akan ia temukan. Ia takut jika rahasia itu akan mengubah pandangannya terhadap Haris, atau bahkan merusak hubungan mereka.Setelah menyelesaikan urusannya di toko perhiasan, Risa memutuskan untuk membeli beberapa kebutuhan dapur. Ia ingin mengalihkan pikirannya dan melakukan sesuatu yang produktif.Tanpa sadar, langkah kakinya membawanya ke sebuah toko sembako y

  • Baju Bekas Untuk Anakku   Bab 13

    Lia berjalan cepat meninggalkan rumah Risa, jantungnya berdegup kencang seperti genderang yang ditabuh bertalu-talu. Hampir saja, pikirnya, hampir saja ia membocorkan rahasia yang telah ia jaga selama puluhan tahun. Rahasia yang bisa mengubah hidup Haris dan semua orang yang terlibat."Astaghfirullah," gumamnya lirih, mengusap wajahnya dengan kasar. Ia tidak seharusnya membuka mulut tentang hal itu. Risa adalah orang yang baik, tapi ia tidak berhak tahu kebenaran yang pahit ini. Kebenaran yang lebih baik tetap terkubur dalam-dalam.Namun, semakin ia mencoba melupakan percakapannya dengan Risa, semakin kuat pula bayangan wajah Haris muncul di benaknya. Haris yang selalu ceria, Haris yang selalu berusaha membahagiakan ibunya, Haris yang tidak tahu apa-apa tentang asal-usulnya yang sebenarnya."Ya Allah, apa yang harus kulakukan?" bisiknya, air mata mulai mengalir di pipinya. Ia merasa bersalah karena telah menyembunyikan kebenaran dari Haris, tapi ia juga takut membayangkan apa yang aka

  • Baju Bekas Untuk Anakku   Bab 12

    Keesokan paginya, semangat membara dalam diri kami. Mas Haris sudah berangkat kerja, meninggalkan aroma kopi yang masih menguar di udara. Aku bergegas merapikan rumah, pikiran melayang pada toko perhiasan tempat cincin itu akan kujual. Cincin yang akan menjadi fondasi impian kami."Bunda, bunda..." suara Rania memecah lamunanku. Nada bicaranya riang, namun ada sedikit ketidaksabaran di sana."Iya sayang, ada apa?" sahutku dari dapur, tanganku masih sibuk menata piring-piring yang baru dicuci."Rania, boleh nggak main sepeda bareng Arin?"Jantungku berdegup sedikit lebih kencang. Membayangkan Rania bermain jauh dari pengawasanku selalu membuatku khawatir. Namun, mata Rania memancarkan permohonan yang sulit kutolak."Boleh, tapi jangan jauh-jauh ya. Sebentar lagi Rania ikut bunda pergi ada keperluan. Hati-hati main sepedanya, awas jatuh," pesanku dengan nada lembut namun tegas."Ok bunda!" jawabnya penuh semangat, lalu berlari keluar rumah, meninggalkan keheningan yang kembali menyelimu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status