Share

Bab 7

Author: Author92
last update Last Updated: 2025-09-17 20:22:20

Sebelum kembali ke kontrakan, aku mencari Rania yang sedari tadi asyik bermain sepeda di halaman rumah Arin. Ya Tuhan, anak itu... Kalo udah ketemu Arin, dunia serasa milik berdua. Semoga aja dia inget janji, nggak lupa waktu.

"Bunda, aku nggak mau pulang sekarang!" Rania memprotes, kakinya terus mengayuh sepeda di halaman rumah Arin. Aduh, mulai deh... Gimana nih? Kalo ditarik paksa, drama air mata bakal pecah. Tapi kalo dibiarin, kebiasaan.

"Tapi sayang, hari sudah siang dan kamu pasti lapar. Ayo, kita pulang dan makan siang bersama," bujukku dengan senyum setenang mungkin. Sabar, Ris, sabar... Jangan sampe kebawa emosi. Inget, dia lagi seneng.

"Tapi Bunda, aku belum selesai bermain! Aku masih ingin bermain lagi dengan Arin," Rania memohon, matanya berbinar-binar, bikin aku nggak tega. Ya Allah, tatapan itu... Bikin luluh lantak pertahanan emak-emak. Gimana dong?

"Baiklah, tapi hanya sampai jam dua belas siang. Setelah itu, kita harus pulang dan istirahat," aku menyetujui usulannya, tapi dengan syarat. Nggak bisa dibiarin seenaknya. Harus ada aturan, biar dia belajar tanggung jawab.

Rania tersenyum dan mengangkat kedua ibu jarinya. "Ok Bunda, aku akan pulang tepat waktu!" Alhamdulillah... Akhirnya luluh juga. Semoga aja beneran ditepatin. Jangan sampe bikin malu di depan Mas Haris.

Tiba-tiba, Arin muncul dari dalam rumah dan memanggil Rania. "Rania, aku punya ide! Ayo kita main petak umpet di belakang rumah!"

Rania langsung tertarik dan memohon kepadaku. "Bunda, bolehkah aku main petak umpet dengan Arin? Tolong Bunda!" Ya ampun, anak ini... Emang gampang banget dibujuk. Dasar anak kecil.

Akupun  tersenyum dan mengangguk. "Baiklah, tapi jangan lupa untuk pulang tepat waktu. Dan jangan bermain terlalu jauh, ya?"

Rania dan Arin berteriak gembira dan langsung berlari ke belakang rumah untuk bermain petak umpet.

Tiba-tiba, aku teringat sesuatu dan memanggil Rania. "Rania, jangan lupa kalau hari ini kita ada janji dengan ayahmu untuk makan siang bersama. Jadi, pastikan kamu pulang tepat waktu dan tidak terlambat!" Aduh, jangan sampe dia lupa. 

Rania langsung mengangguk dan berteriak. "Iya Bunda, aku ingat! Aku akan pulang sebelum jam dua belas siang!"

Rania memang punya kebiasaan setiap bermain dia takkan mau pulang jika belum jam dua belas siang, alasannya itu belum masuk waktu istirahat. Rania emang anak yang cerdas. Pinter sih pinter, tapi kadang bikin pusing juga. Kenapa sih dia nggak bisa kayak anak lain yang nurut aja sama orang tua?

Setibanya aku di kontrakan, kulihat pintu kontrakan sedikit terbuka, mungkin Mas Haris sudah pulang, gumamku lirih. Semoga aja dia nggak marah karena aku lama. Akupun bergegas melangkahkan kaki masuk sembari mengucap salam, namun salam ku tak kunjung ada jawaban. Kemana dia? Jangan-jangan ketiduran di depan TV lagi? Aduh, jangan sampe deh. Ntar malah sakit leher. Ternyata Mas Haris sedang berada di kamar mandi.

"Udah pulang dek?" Tanya Mas Haris sambil keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah. Ya ampun, rambutnya berantakan gitu tetep aja ganteng. Untung sayang. Kalo nggak, udah aku suruh potong dari dulu.

"Iya Mas, baru aja ni," jawabku tersenyum kearahnya sambil menyiapkan makan siang dan menaruh beberapa masakan yang aku bawa dari rumah mama kedalam mangkuk. Semoga dia suka masakannya. Walaupun hatiku masih kesel sama Mama, tapi aku tetep berusaha jadi istri yang baik. Biar berkah rumah tangga ini.

"Emang dari mana dek?" Tanya Mas Haris sambil menggosok rambutnya dengan handuk. Kebiasaan banget sih, nggak pernah mau pakek handuk yang bener. Bikin gemes pengen nyubit pipinya.

"Dari rumah Mama," jawabku singkat. Nggak mau cerita panjang lebar. Nggak mau bikin dia kepikiran. Cukup aku aja yang ngerasain.

"Rumah Mama! Ngapain kamu kesana dek?" Tanya Mas Haris dengan nada penasaran.

"Bantu masak dirumah Mama, ada Mbak Lia juga disana," jelasku. Semoga dia nggak nanya yang aneh-aneh. Semoga dia nggak curiga sama gelagatku yang aneh ini.

"Ada acara ya dirumah Mama? Tumben – tumbenan masak banyak," Tanya Mas Haris lagi. Dia mulai curiga. Aduh, gimana nih? Harus pinter-pinter ngeles.

"Ga kok Mas, cuma Angga sama mertuanya yang datang," jawabku.

"Tumben mereka semua bertamu, emang mau ngapain dek?" Tanya Mas Haris menatapku penasaran. Ya Allah, pertanyaan ini lagi.

"Kalau itu Risa enggak tau Mas, yang Risa tau Mama mau ngajak makan siang bareng katanya, selebihnya Risa kurang tahu, mungkin saja ada obrolan penting, biasanyakan begitu," jelasku. Semoga dia nggak ngerasa aneh.

"Oh iya, hmm...mungkin memang cuma silahturahmi ya dek," kata Mas Haris sambil mengamati wajahku. Dia nggak percaya. Aku bisa ngerasain itu. Ya Allah, kuatkan aku. Jangan biarkan aku berbohong padanya.

Tapi kok wajah mu sedih gitu habis pulang dari rumah Mama?" Tanya Mas Haris dengan nada khawatir. Dia perhatian banget. Aku jadi makin nggak tega buat nyembunyiin apa-apa. Tapi aku juga nggak mau dia sedih.

"Gak kenapa-napa kok Mas," jawabku mencoba menyembunyikan perasaan sedih. Bohong. Aku benci berbohong. Tapi aku nggak mau dia sedih. Aku nggak mau dia ngerasa bersalah. Aku nggak mau dia berantem sama ibunya sendiri.

"Ceritalah, pasti Mama bikin kamu sedih lagi kan?" Selidik Mas Haris dengan nada yang begitu penasaran.

Mau tidak mau akupun terpaksa menceritakan semua kejadian yang ada dirumah Mama. Tanpa ada yang dilebih-lebihkan. Sebenarnya malas sekali memberitahukan Mas Haris, aku malas membuat ibu dan anak tersebut berselisih paham. Tapi Mas Haris terus mendesakku jadi akupun menceritakan apa yang terjadi tadi. Semoga dia nggak marah. Semoga dia nggak ngerasa sakit hati. Semoga dia tetep sayang sama aku. Semoga dia nggak ninggalin aku.

"Mas, Mama selalu saja mengutamakan anak Angga dan Rini. Seolah-olah mereka lebih penting dari pada kita," kataku dengan nada kesal. Aku capek. Aku capek selalu ngerasa nggak adil. Aku capek selalu ngerasa nggak dihargai. Aku capek selalu ngerasa sendirian.

Mas Haris terdiam sejenak, kemudian mengucapkan sesuatu yang membuatku terkejut. Apa yang akan dia katakan? Apa dia akan marah? Apa dia akan menyalahkan ibunya? Apa dia akan nyuruh aku buat sabar aja?

"Sudahlah dek, mulai saat ini Mas minta sama kamu jangan mau menerima apapun itu yang diberikan Mama tanpa persetujuan Mas. Kita harus menjaga jarak yang jelas dalam hubungan kita dengan Mama," kata Mas Haris dengan nada tegas. 

"Apa maksudmu Mas?" Tanya aku dengan nada penasaran. Aku nggak ngerti. 

"Tapi Mas, Mama adalah ibu kamu. Apa tidak masalah kalau kita melakukan ini? Aku tidak ingin membuatnya marah atau kecewa, dan lagi bagaimana jika mama tersinggungg aku menolak setiap pemberiannya?" kataku dengan nada lembut.

"Mas tahu, dek," jawab Mas Haris dengan nada lembut. "Tapi kita harus memiliki prioritas. Prioritas kita adalah kehidupan kita sendiri, bukan kehidupan Mama. Kita harus memiliki keputusan sendiri dan tidak terpengaruh oleh pendapat Mama mulai sekarang."

Aku memandang Mas Haris dengan penasaran. Aku tahu bahwa Mas Haris memiliki alasan yang kuat untuk mengatakan hal itu. Tapi aku juga tidak ingin membuatnya marah atau kecewa.

"Baiklah, Mas," kataku akhirnya. "Aku akan mencoba menjaga jarak dalam hubungan dengan Mama."

Mas Haris tersenyum dan memelukku. "Mas percaya padamu, dek," katanya. "Kita akan melewati ini bersama-sama."

Aku tersenyum dan memeluk Mas Haris kembali. Aku sangat bersyukur memiliki suami yang baik dan peduli. Aku juga tahu bahwa kita akan melewati semua kesulitan ini bersama-sama.

Tapi, aku tidak tahu bahwa keputusan itu akan membawa dampak yang tidak terduga...

"Hmmm, O ya Rania mana dek?" sepertinya Mas Haris baru menyadari kalau putrinya tidak ada dirumah.

"Itu mas, lagi main sama Arin,"

"Yasudah, kamu panggil dulu dek, kita makan bareng, lagian ini sudah waktunya makan siang, enggak baik anak kecil seperti Rania bermain terus, dia masih butuh makan dan istirahat yang cukup."

"Iya mas". Aku mengangguk mengiyakan, lalu melangkah keluar mencari Rania.

 Aku tersenyum dan memanggil Rania. "Rania, ayo makan siang! Ayah sudah pulang!"

Rania berlari masuk ke dalam rumah dengan wajah yang ceria. "Iya Bunda! Rania lapar!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Baju Bekas Untuk Anakku   Bab 7

    Sebelum kembali ke kontrakan, aku mencari Rania yang sedari tadi asyik bermain sepeda di halaman rumah Arin. Ya Tuhan, anak itu... Kalo udah ketemu Arin, dunia serasa milik berdua. Semoga aja dia inget janji, nggak lupa waktu."Bunda, aku nggak mau pulang sekarang!" Rania memprotes, kakinya terus mengayuh sepeda di halaman rumah Arin. Aduh, mulai deh... Gimana nih? Kalo ditarik paksa, drama air mata bakal pecah. Tapi kalo dibiarin, kebiasaan."Tapi sayang, hari sudah siang dan kamu pasti lapar. Ayo, kita pulang dan makan siang bersama," bujukku dengan senyum setenang mungkin. Sabar, Ris, sabar... Jangan sampe kebawa emosi. Inget, dia lagi seneng."Tapi Bunda, aku belum selesai bermain! Aku masih ingin bermain lagi dengan Arin," Rania memohon, matanya berbinar-binar, bikin aku nggak tega. Ya Allah, tatapan itu... Bikin luluh lantak pertahanan emak-emak. Gimana dong?"Baiklah, tapi hanya sampai jam dua belas siang. Setelah itu, kita harus pulang dan istirahat," aku menyetujui usulannya,

  • Baju Bekas Untuk Anakku   Bab 6

    POV: Salma RaharjoNamaku Salma Raharjo. Jika kau ingin menemuiku, tak sulit. Seluruh kampung ini tahu siapa Salma, janda kaya peninggalan mendiang Mas Harjo. Aku punya tiga anak: Haris, Angga, dan si bungsu Nisa. Tapi dari ketiganya, hatiku selalu condong pada Angga. Wajahnya, ah, mirip sekali dengan kekasih lamaku, cinta pertamaku yang tak pernah bisa kumiliki. Bukan berarti aku tak menyayangi Haris dan Nisa, hanya saja porsi kasih sayangku untuk Angga jauh lebih besar. Meskipun Angga itu, ya, agak sulit diatur. Bahkan terakhir kali, ia sempat membuatku malu setengah mati saat menghamili Rini. Rini melahirkan hanya dua hari sebelum ijab kabul mereka!Tapi sebesar apa pun kesalahan Angga, semudah itu pula aku memaafkannya. Mungkin karena aku terlalu mencintainya, atau mungkin karena wajah itu selalu mengingatkanku pada masa lalu yang indah. Ya, sampai sekarang pun, aku lebih menyayangi Rini, menantuku, daripada Risa. Rini memang pemalas, beda jauh dengan Risa. Aku akui, Risa itu mena

  • Baju Bekas Untuk Anakku   Bab 5

    Setelah kepergian Mbak Lia mengantarkan minuman untuk keluarga Rini, aku pun segera menyiapkan makanan yang sudah matang diatas meja untuk makan siang ini. "Ris, kata Bulek makan siang nya cepat disiapin ya, tu keluarga Rini udah kelaparan kayaknya. udah seperti enggak makan sebulan " Keluh Mbak Lia sembari meletakkan nampan kosong. Aku pun mengangguk lantas dengan cekatan menyiapkan piring serta yang lainnya karena Cuma itu saja yang belum aku siapkan. "Oh iya Mbak, ini juga sudah mau selesai kok,tinggal di taruh di wadah saja." Kulihat Mbak Lia bukan membantuku malah clingak clinguk mencari seseorang didapur. “Cari apa sih mbak, kok seperti orang bingung gitu?" “Lo itu si Rini mana? bukannya dia tadi kemari soalnya tadi waktu Mbak nganter minum dia pamit kebelakang sebentar, Mbak kira dia disini buat bantuin kamu Ris?" terlihat Mbak Lia gusar. "Gak ada Mbak, dari tadi Risa cuma sendirian saja disini, mungkin Mbak salah denger kali, palingan juga dia ngadem dikamar, biasa juga g

  • Baju Bekas Untuk Anakku   Bab 4

    "Oh.. iya ma, kalau gitu sekarang Risa harus ngerjain apa dulu ma ?" kataku berusaha terlihat santai. "Ini aja dulu Ris,bantuin mbak mu motong sayurannya biar cepat selesai". Balas mama seraya menunjuk kearah sayuran yang belum sempat dipotong. "Iya ma". Aku pun bergegas mengambil pisau terus mulai memotong berbagai macam sayuran sambil sesekali mengobrol santai dengan mbak Lia. Sedangkan mama sedang sibuk memasak opor ayam dan sesekali menimpali obrolan kami. Disela sela kesibukan memasak. Mbak Lia yang entah kapan keluar dari dapur, tiba tiba saja datang dengan membawa sebuah kantung plastik besar, kemudian menghampiri mama. Dengan langkah tergesa, Mbak Lia bertanya heran pada mama. "Lo bulek, ini itu apa? kayak kain gitu waktu dipegang, kok dimasukin kantung plastik gini lagi?" Mama yang ditanya berbalik kearah Mbak Lia seraya berkata santai."Itu lo, kemarin bulek milih – milih baju punya Nisa yang udah enggak kepakek.” Entah mengapa aku merasa jika baju – baju itu pasti akan

  • Baju Bekas Untuk Anakku   Bab 3

    "Kamu lihat si Angga dek, apa yang gak dia punya? Motor dia punya, HP mahal dia juga punya, sama banyak hal lain lagi, semua mama yang belikan. Coba kamu liat mas, semua yang mas mau harus mas dapatkan dengan cara bekerja sendiri," jelas mas Haris dengan raut wajah sedihnya. Sebagai istrinya tentu aku begitu memahami perasaan mas Haris dan mencoba untuk menyabarkan nya. "Yang sabar mas, InsyaAllah rezeki kita suatu saat nanti akan melimpah jadi mas bisa beli apa aja yang mas mau," balas ku tersenyum. Mas Haris tersenyum dan mengucapkan terima kasih. "Amin dek, terimakasih kamu udah mau terima mas apa adanya, walau kamu tau mas gak punya apa-apa bahkan penghasilan mas cuma cukup buat makan kita aja." Aku kemudian mencoba menggoda mas Haris dengan kata-kata manis. "Iya lo mas, gak usah baper gitu ahhh... aku kan cinta kamu apa adanya bahkan makan sepiring berduapun aku mau, Hahaha." Balasku tertawa sengaja agar Mas Haris tidak terus kepikiran tentang perlakuan tidak adil dari ibunya.

  • Baju Bekas Untuk Anakku   Bab 2

    "Alhamdulillah," batinku ketika aku melihat Rania begitu senang memiliki sepeda baru. Aku telah menabung setiap hari, menyisihkan sisa uang belanja yang kehemat sedimikian rupa selama dua bulan untuk membelikan sepeda baru untuk Rania, dan sekarang aku bisa melihat dia begitu bahagia.Tiba-tiba, mbak Lia, kakak sepupu suamiku, datang ke kontrakan ku. "Oh, jadi itu sepeda baru Rania ya Ris?" tanya mbak Lia dengan nada yang sedikit penasaran.Aku tersenyum dan menjawab, "Iya, mbak. Tapi sepeda Rania harganya murah kok mbak, ga sebanding sama punya Dani."Aku kemudian bertanya, "Dani baru beli sepeda juga ya mbak?"Mbak Lia terdiam sejenak, lalu menjawab, "Iya, Ris. Itu juga murah karena beli dua. Kalau satu juga gak dapat harga segitu Ris."Aku merasa sedikit penasaran, lalu bertanya, "Lah, mbak malah borong sepeda ternyata. Kalau gitu Dani sepedanya dua donk mbak?"Mbak Lia menjawab tanpa sadar, "Bukan untuk Dani, sepedanya satu lagi titipan mama mertua mu untuk Melati." Terlihat raut

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status