Lonceng di pintu masuk toko roti malam itu berbunyi. Rubi masih menghitung sisa roti yang berada di etalase, sedangkan dua pegawai lainnya berada di ruang belakang membereskan peralatan, maklum saja sudah pukul setengah sembilan malam yang artinya toko sebentar lagi tutup."Mau yang ini satu, ini satu, ini juga, yang ini masih bagus?" Regantara menunjuk satu roti keju, roti isi coklat, rasa kopi dan dua risole mayonaise yang tersisa tiga buah id etalase dekat Rubi berdiri.Rubi mengangkat wajahnya, wanita itu gelagapan saat melihat Regantara berada di toko roti miliknya."Pak Regan?""Kamu?" Regantara ikut terkejut melihat wanita berpostur sedang itu berdiri di balik etalase roti. "Kok di sini?" tanya Regantara."Milik saya, Pak," jawab Rubi canggung."Oh ... milik kamu." Regantara mengangguk-angguk."Saya siapkan dulu pesanan Bapak," ucap Rubi sambil mengambil kotak kue. "Hanya ini saja, Pak?" tanya Rubi memberanikan diri menatap lelaki itu."Iya, berapa?""Tiga puluh lima ribu," jaw
"Mbak ...." Bono memanggil Rubi membuat wanita itu pun ikut menoleh ke arah pintu masuk. Rubi cepat-cepat beranjak dari tempat duduknya saat melihat Regantara berjalan ke arahnya. "Pak," sapa Rubi sambil menundukkan sedikit kepalanya memberi hormat diikuti Yanti dan Bono. "Saya bisa minta kopi?" tanya Regantara. "Hah?" Mata Rubi terbelalak. "Diantar ke meja dekat jendela," kata Regantara lagi. "Oh, iya Pak." Rubi memberanikan kode pada Bono untuk membuatkan Regantara kopi. "Mbak, manis?" tanya Bono. "Enggak tau," jawab Rubi. "Lah, terus?" Bono kebingungan. "Tanya gih," titah Rubi. "Yang nanya?" tanya Bono lagi. "Ya kamu, Bon," jawab Rubi kesal. "Wes, biar aku yang nanya," sahut Yanti mengikat tinggi rambutnya. "Woo ... kesempatan dia." Bono menggelengkan kepala. Tak berapa lama Yanti kembali dengan tersenyum. "Kopi apa?" tanya Bono dan Rubi bersamaan. "Tanpa gula," cebik Yanti. "Pas di tanya mukanya datar buanget, huh." "Lah terus tadi ngapain senyum?" Bono mulai ta
Entah ini kali ke berapa mereka berinteraksi, hanya percakapan sederhana tapi kali ini jantung Rubi berdetak begitu kencang ketika tawaran itu terucap dari bibir Regantara. "Masuk," pinta Regantara lagi dan benar saja hujan tiba-tiba turun begitu deras. "Terimakasih, Pak," ucap Rubi. "Sama-sama," jawab Regantara dengan tatapan lurus ke depan menatap jalan yang di guyur hujan deras. "Mau kemana?" "Saya?" "Ya iya kamu, kan di sini cuma ada saya dan kamu." Regantara tersenyum tipis. Rubi ikut tersenyum. "Saya mau ke salah satu kafe di jalan Ahmad Yani, bertemu teman," ujar Rubi. "Hujannya makin deras," ucap Regantara melihat ke atas langit. "Menurut kamu banjir nggak jalan Ahmad Yani?" "Biasanya banjir tapi nggak parah, Bapak bisa turunkan saya di halte nggak jauh dari jalan protokol." "Enggak perlu, biar sekalian saya antar," ujar Regantara tanpa menoleh ke arah Rubi. Hujan mulai reda saat mereka mendekati kafe, meski terhalang dengan kemacetan dikarenakan beberapa genangan ai
"Oh, jadi bos semprul itu ke toko kemarin sore?" tanya Bono sambil meletakkan kontainer makanan yang berisi ayam kecap."Iya, memangnya kemarin dia nanyain aku?" tanya Rubi berharap pertanyaannya itu tidak memancing Bono dalam berpikiran yang tidak-tidak."Dateng ke kafetaria, makan, terus setelah makan dia memang nanya Mbak Rubi," jelas Bono."Nanya nya gimana, Bon? Eh maksudku, dia nanya kenapa?" Rubi mengatup bibirnya lalu mengalihkan pandangannya ke lain tempat."Penasaran, Mbak?" Bono tertawa."Ish." Rubi mendengus kesal."Sayang ya Mbak, sudah punya istri. Mbak jangan sampe jatuh hati lah Mbak, bahaya kalo udah suka suami orang." Bono menepuk-nepuk tangannya setelah beres mengangkat masakan yang akan di bawa ke kantor Regantara."Mudah-mudahan nggak ya, Bon. Jangan sampe ...." Rubi masuk ke dalam mobil menatap lalu lalang kendaraan pagi itu. Perkataan Bono bahkan teman-temannya silih berganti bermain di otaknya. Sebisa mungkin Rubi meredam getar-getar aneh di hatinya belakangan
Ini hari ke tujuh Rubi mengantarkan makan malam untuk Regan tapi kali ini dia mengantarkannya sendiri tanpa di temani Bono."Memang pacar kamu harus ya di apelin tiap malam Minggu?" seloroh Rubi dengan wajah cemberut."Minggu kemarin udah absen, Mbak. Lagian kan Mbak Rubi hanya mengantarkan seperti biasa, pencet bel, pintu terbuka, serahkan makanannya, lalu pulang. Enggak mungkin juga Pak Regan minta di temani makan," ujar Bono sambil tersenyum."Bukan begitu, Bon. Kamu tau Semarang ini kan kota yang gak besar-besar banget. Nanti kalo ada yang lihat aku masuk apartemen tanpa kamu, dengan statusku ini, gimana?" "Jangan dipikirin omongan orang, Mbak. Kita makan cari duit sendiri, eman-eman (sayang-sayang) pikiran dan hatimu kalo masih mikirin omongan orang. Wong jalurnya kita lurus kok, ora bengkok." Bono bersiap untuk pergi. "Aku jalan ya," ujarnya melambaikan tangan lalu berpamitan pada Widya."Sudah, antar saja ... bila perlu kamu kesana sama Mbok Inah kalo memang takut jadi omongan
"Kabarnya bakal ada outbound minggu depan." Bono kembali dengan satu kantung kerupuk besar dan meletakkannya di atas meja."Kok tau?" tanya Rubi."Tadi kebetulan denger waktu aku jalan di belakang karyawan," jawab Bono."Oh," ucap Rubi santai."Kok oh aja toh, Mbak." Bono mencolek pundak Yanti."Kok aku sih, Bon." Yanti yang sedang menata lauk pauk di etalase pun merasa terganggu."Iki loh Yan, Mbak Rubi malah bilang oh aja. Mbok ya pengajuan biar catering kita di pake di sana. Kan lumayan," ujar Bono mengutarakan idenya."Kalo kayak gitu itu, biasanya dari penginapannya udah nyediain, Bon," jelas Rubi sambil tertawa."Oh.'"Tuh sekarang kamu yang gantian bilang oh." Rubi menggelengkan kepalanya."Kukira bisa gitu, misalnya catering kita yang di pakai.""Eh Mbak, Bu Winda tuh," ujar Yanti saat melihat Winda memasuki kafetaria. "Biasanya bawa kabar baik.""Selamat siang semua," sapa Winda ramah."Siang, Bu," jawab ketiga orang itu bersamaan."Aku bawa kabar baik nih," ujar Winda menari
"Gimana, Bon?" tanya Rubi masih memegang kunci kamar yang diberikan Winda untuk mereka. "Bener juga sih Mbak, hujan benar-benar deras. Apalagi medan perjalanannya Mbak tau sendiri seperti apa. Sebaiknya kita terima tawaran Bos Semprul," ucap Bono diikuti anggukan Yanti."Iya, Mbak. Serem juga pulang sudah kemalaman seperti ini." Yanti mengeratkan cardigannya.Cuaca semakin buruk di luar sana, hujan deras diiringi suara petir yang saling bersahutan."Ya sudah, kita cari aman aja, ya." Rubi akhirnya mengalah. "Ini kunci kamar kamu, Bon dan ini kunci kamar kita, Yan. Kalian duluan aja, aku mau telpon ibu dan Tama."Rubi berjalan ke ujung jendela besar ruangan itu, hujan semakin deras di luar sana. Cuaca di Semarang akhir-akhir ini memang begitu ekstrim. "Halo, Ibu," ucap Rubi saat sambungan teleponnya terhubung."Rubi, kamu dimana? hujan di sana? kalo bisa kamu menginap di sana saja, Nduk. Ibu takut kalian jalan pulang malah nggak aman." Suara Ibu Widya begitu khawatir."Iya, Bu. Ini Ru
"Ucapan saya kemarin." Regantara menatap Rubi tajam.Rubi kembali menoleh ke arah kedua pegawainya."Saya sudah melupakannya," jawab Rubi kembali melakukan kegiatannya."Saya rasa nggak, saya minta kamu nggak berpikiran macam-macam dengan apa yang saya katakan kemarin. Saya nggak ada maksud apa-apa." Regantara meletakkan kedua tangannya di atas meja kasir sehingga posisi tubuhnya sedikit membungkuk."Saya nggak mikir macam-macam. Sebaiknya Bapak meninggalkan tempat ini sebelum dua karyawan saya yang malah nantinya berpikir macam-macam tentang kita," ujar Rubi masih melanjutkan perhitungan pendapatannya."Ok kalo begitu," ucap Regantara melihat Rubi dana dua pegawainya bergantian lalu lelaki bertubuh ringgi itu pun pergi dari ruangan itu.Mobil Regantara belum beranjak dari pelataran parkir toko roti Rubi sudah lebih dari satu jam. Regantara memilih menunggu Rubi menutup toko rotinya agar dia bisa banyak bicara tentang kesalahpahaman antara mereka."Halo, Mbak ... ini sudah jam tujuh,