Ckiitt!
“Helena, mau kemana?”Mendengar decitan kursi dimundurkan ke belakang oleh sang adik perempuannya. Alex seketika menoleh, menanyainya.“Mau ke toilet sebentar,” balas Helena tenang, dengan kedua tangannya menjinjing dress yang dikenakannya, berhati-hati agar tak menyangkut di saat ia akan berjalan keluar.“Cepatlah kembali,” pesan Alex padanya.Helena mengangguk ringan serta membalasnya, “Iya.”Setiap gerak-gerik yang dilakukan Helena, banyak sekali pasang mata terus mengintainya. Bahkan di saat wanita itu beranjak. Banyak yang sebagian dari mereka bertanya-tanya karena tak mendengar pembicaraan pelan dan singkat yang dilakukan Helena dengan Alex.“Ke mana dia?” Delina merasa penasaran Helena pergi begitu saja. Dari sejak tadi pun ia sudah tak tenang, makan saja hanya beberapa suap, dan berkali-kali mencuri padang ke arah Helena yang asik santai menyantap daging steak di piringnya dan ketika Helena berdiri dari duduknya. Rasa penasarannya memuncak, ia begitu ingin tahu apa yang dilakukan Helena.Mulutnya yang sudah terasa gatal berniat menanyainya secara langsung dengan kakak tertua Helena.Namun, ketika itu Malvin lebih dahulu berbicara pada putra sulungnya tersebut. “Helena akan ke mana, Alex?”Suara Malvin yang terdengar jelas oleh semua orang di sini, mampu mengalihkan pandangan mereka yang semula sibuk menikmati hidangan nikmat yang tersaji di meja. Beralih menatap Malvin semua.“Emang Helena ke mana kak?” Vincent turut menimpalinya juga. Bisa-bisanya Vincent tak menyadari sang adik pergi.Kalau Michael ia jelas mengetahuinya, sehingga ia tak terlalu ingin tahu lagi seperti Vincent dan ayahnya.“Hanya ke toilet,” kata Alex menjawab pertanyaan mereka semua.Pyarr!“Auh~ !” ringis Delina tiba-tiba mengagetkan mereka. Evan di sebelahnya sampai melihatnya cemas.“Delina, apa yang terjadi?”Delina? Mendengar kekasihnya memanggilnya dengan namanya langsung. Delina menatapnya dengan perasaan tak nyaman, seakan itu memberikan jarak antaranya.Evan tak melihat Delina menatapnya begitu, ia lebih peduli dengan lengan wanita manis itu yang terluka, terkena goresan gelas kaca yang terjatuh.Pakaiannya sampai terkena noda warna merah dari minuman mengandung kadar alkohol tersebut.“Kamu ini harusnya lebih berhati-hati, tangan kamu jadinya terluka ‘kan,” cecar Evan sambil mengambil tisu untuk membantu membersihkannya, hati-hati.Mendengar cecaran Evan, dahi Delina mengerut. “Kok kamu nyalahi aku sih?”Evan mengangkat wajahnya, netra biru lautnya itu memandang Delina tajam. “Jadi mau nyalahi siapa? Ini juga salah kamu yang ceroboh, bukan?”Delina sangat ingin membalas Evan dengan ribuan makian tanpa henti. Tapi kini ia harus tahan, bukan waktunya ia melakukan hal yang tak berguna itu.Kebetulan ia sudah sedikit kotor begini. Delina bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk ke toilet juga menyusul Helena.“Aku mau ke toilet saja, singkirkan tanganmu itu,” ujar Delina pelan namun sangat terdengar tegas.Evan menarik tangannya yang memegang pergelangan tangan Delina. Ntah mengapa sekarang ia merasakan sesuatu yang berbeda dari diri kekasihnya itu. “Ada apa dengannya?”Berjalan di koridor, tak menyembunyikannya lagi. Sepuasnya Delina meluap-luapkan kekesalannya yang sempat tertahan, “Ish! Kenapa dia bodoh sekali sih?! Seharusnya lebih ngertiin dong. Itu apa tadi? Bukannya mengerti, malah semakin membuatku merasa kesal ... ah~ bisa-bisanya aku menyukai pria idiot sepertinya,” desah Delina memijit pangkal hidungnya.Sampai di toilet, Delina mengira Helena ada di dalam dan sudah menyiapkan wajah palsunya lagi. Tapi malah ia tak mendapati Helena di sana. “Dia di mana?” pikirnya berjalan masuk, menelisik sekitarnya yang tak ada Helena di dalam.Tersadar akan sesuatu, Delina seketika menepuk jidatnya. “Astaga, bisa-bisanya aku melupakannya, ini mansion besar, tidak hanya satu toilet di sini.”Kenapa ia jadi bodoh sekarang? Apa ini efek ketularan Evan bodoh itu?Karena sudah di sini. Delina bersihkan dulu pakaiannya yang terkena noda. Sulit dibersihkan, karena pakaiannya kuning cerah yang begitu pas sekali dikenakannya. Tapi juga mudah kotor.“Kenapa sulit hilang sih?!” gregetnya sendiri.“Itu kamu bersihkan pakai air saja, ya gimana bisa hilang.” Ada tangan yang menjulurkan sabun di depannya.Delina mengambilnya, tak sempat melihat siapa yang memberikannya itu, saking fokus sekali mengucek pakaiannya itu. Setelah melihat noda itu menghilang. Senyuman kemenangan ditunjukkan Delina sambil wanita itu berputar menatap pemberi sabun itu. “Terima ... ”Delina menggantung ucapannya. Tertegun dengan siapa yang dilihatnya, sampai lupa mengatur ekspresinya yang begitu terkejut dengan bola matanya membulat lebar.“Aku bukan hantu, jangan melihatku seperti itu,” celetuk Helena mengerucutkan bibirnya.Wanita berdress biru mengkilau itu, berdiri menyender dinding dengan bersedekap dada.Detik selanjutnya, Delina memeluk Helena dengan seruan, “Helena! Aku sangat merindukanmu!”Apa yang dilakukan Delina membuat Helena memandang dirinya lewat kaca di depannya, menunjuk muka muak serta umpatan dalam hati, “Bilang aja ingin aku mati sialan!”Delina sendiri hanya menunjukkan mulut manisnya, wajahnya yang tak dilihat Helena, seperti Helena sama-sama merasa muak sendiri. Dan seperti dugaan Helena, ia sangat menginginkan kematiannya. Delina membatin, “Kenapa kau tidak mati saja, Helena? Racun yang kuberikan di makananmu, harusnya sudah bereaksi. Kenapa kau malah masih hidup? Tsk, apa aku salah membeli racun?”“Delina, dressku bisa basah juga kau memeluknya begitu lama,” tegur Helena, yang sudah tak tahan dipeluk begitu, tangannya yang terasa gatal ini ingin sekali mencekiknya, menghabisinya langsung di sini. Tapi, itu takkan seru jika begitu cepat selesainya.“Aku lupa itu, saking senangnya aku melihatmu kembali lagi.” Delina menyengir kuda, seakan canggung dengannya. Padahal beda dengan isi hatinya, “Baguslah kau suruh aku. Rasanya menjijikkan memelukmu. Ck, aku begitu benci kau ada di sini!”“Sepertinya aku tidak bisa lebih lama ngobrol denganmu. Aku harus kembali ke acara dinner, kakakku pasti sudah cemas mencariku.”“Ah, sayang sekali~ kapan-kapan kita ketemuan lagi ya Helena. Aku masih rindu kamu~ ” Delina menunjukkan wajahnya yang diimut-imutkan.Helena mengangguk dan tersenyum sebelum pergi. Saat sudah keluar, Helena hampir muntah sendiri tadi melihatnya. “Haah ... ternyata bukan hanya makanan saja yang mampu membuatku mual, wajah menjijikkan itu ... ugh! Perutku merasa diaduk-aduk.” Helena mengelus-elus perutnya dan memegangi mulutnya agar tak muntah di sini.Saat kembali memutuskan duduk di dekat kedua kakaknya. Helena tampak dipandang mereka heran.“Kenapa wajah kamu jadi pucat?” tanya heran Michael.Malvin mendengarnya penasaran melihat teliti wajah putrinya dari jaraknya yang tak cukup nampak untuk jelas melihatnya.Ia tak tenang di situ. Perasaannya berkecampuk, bila sesuatu terjadi lagi pada Helena, dan ia tidak bisa bertindak membantunya, ia pasti akan menjadi seorang Ayah yang paling menyesal sendiri.“Duduklah di sini.” Alex berdiri, mempersilahkan Helena duduk.Helena mengangguk. Sebelum akan menjatuhkan bokongnya, duduk. Helena tiba-tiba saja berbatuk-batuk, mengejutkan Alex di situ, bukan hanya hanya Alex saja, tapi semua orang melihatnya, termasuk Malvin. Keterkejutan itu berlanjut lagi. Tangan Helena yang menutup mulutnya, menghalangi suara batuknya ... ada darah!“Helena!” spontan keempat pria yang begitu menyayangi Helena terkesiap melihatnya.“Helena ... ?!” Michael, Vincent dan Malvin terkesiap bangkit dari duduknya. Ketiga pria itu sama-sama mendekati Helena yang bahunya dipegangin Alex, saking takutnya lelaki itu bila adiknya itu akan terjatuh pingsan. Sedangkan tindakan yang dilakukan Michael, mengambil tisu untuk mengelap darah di bibir, pipi serta telapak tangan Helena, lalu kemudian Vincent mengambil segelas air minum untuk membantu meredakan batuk berdarah Helena. Helena menerimanya, dibantu Vincent memegangi gelasnya. Setelahnya mereka membantu Helena duduk di kursi dengan hati-hati. Begitu memperlakukannya layaknya permata yang berharga. “Ayah akan siapkan mobil, kita ke rumah sakit sekarang.” Malvin berkata pada mereka, Helena mendengar itu seketika menoleh. “Jangan!” bantah Helena. Sontak membuat mereka memandanginya, terkejut. Malvin yang sempat akan melangkah itu. Berbalik kembali menatap sang putri. “Helena, kamu batuk berdarah loh. Bagaimana jika itu membahayakanmu? Ayah takut kamu kenapa-napa, saya
Tock! Tock! Tock! Pintu terketuk tiga kali, semulanya Helena yang sibuk menyisir rambut hitam panjangnya yang tergerai lurus sampai sebatas pinggangnya, sembari Helena menatap cermin yang ada di depannya dengan posisi dirinya berdiri. Mendengar suara ketukan pintu, lantas Helena mengalihkan wajah, sambil berujar, “Masuk.” “Selamat pagi Nona muda.” Sofia menyapa hormat Helena setelah masuk ke dalam dan menutup kembali pintunya, lalu sedikit ia membungkukkan tubuhnya. “Pagi,” balas singkat Helena, terasa enggan bicara saat masih pagi begini. Sofia menatapnya dengan wajah terpasang rumit. Helena melihat itu mengerut penasaran. Ia pun bertanya, “Kenapa menatapku seperti itu?” “Nona muda, bagaimana dengan kondisi Anda?” tanya Sofia. “Kau lihat saja sendiri sekarang seperti apa kondisiku,” balas Helena yang tak terdengar memuaskan bagi Sofia. Helena menyadari itu, raut wajahnya tak bisa membohonginya. Sofia masih begitu penasaran dengan kondisinya. “Terkadang penampilan sering menipu,
“Kak Michael, kau sedang apa di sini?” Vincent melontarkan pertanyaan pada pria itu, yang kini mengalihkan pandangan ke arahnya. Bukan! Melainkan ke arah Helena yang berada di belakang Vincent, memastikan bila sang adik tak bereaksi berlebihan setelah ia bertindak kasar kepada laki-laki yang sangat disukainya. Itu menurut apa yang diketahui Michael selama ini. “Menemui adik perempuanku, sepertimu,” balasnya singkat kemudian itu ia berjalan menghampiri Helena yang berada di belakang Vincent, tengah menatapnya begitu datar, seakan tak ada nyawa di dalam diri wanita muda itu. Michael yang sudah berada di hadapan Helena, lantas berujar lembut padanya, “Aku melakukan itu demi kamu, sekalipun kamu akan melarangnya, sebagai seorang kakak, aku tidak akan membiarkan laki-laki busuk sepertinya, mendekatimu. Kamu boleh marah padaku, aku akan terima, tapi aku tidak akan membiarkanmu dekat dengannya lagi untuk kali ini.” Mata Helena yang menatap manik coklat dingin itu, sampai hampir lupa berk
“Nona muda, sepertinya tempat ini tidak cocok dengan Anda,” ragu Sofia melihat sekitarnya. Kini ia dan Helena berada di tempat nge-gym. Tempat di mana para orang-orang yang sangat peduli dengan kebugaran dan kesehatan tubuhnya berkumpul. Dan apalagi sekarang weekend, suasana di tempat ini menjadi begitu ramai. Banyak beragam kalangan berada di sini, baik dari muda, maupun sampai tua sekalipun. Tak seperti pikiran Sofia, Nona muda-nya akan mengurungkan niat kembali setelah berada di sini. Helena yang dilihatnya malah begitu tampak menunjukkan binar semangat di kedua matanya. “Sudah lamanya tidak di sini~ ” ucap Helena tanpa sadar ada Sofia di situ dapat mendengarnya. “Sudah lama?” Sofia mendekatkan wajahnya ke arah Helena sambil memegangi gagang kacamatanya. “Nona muda pernah ke sini?” ‘Sial! Keceplosan ... Ah~ harusnya aku lebih berhati-hati lagi menjaga ucapanku. Aku harus ingat di tubuh siapa sekarang.’ Helena memarahi dirinya sendiri yang asal berucap di tengah ada Sofia, pela
Helena terperangah. “Ka-kamu ... ?” Melihat siapa sosok yang ditabraknya, wanita itu sampai tak bisa mengendalikan lagi reaksi terkejutnya. Bahkan jari telunjuk tangannya mengacung menunjuk pria di depannya. “Roky.” “Ck!” decak pria yang ditabrak Helena tersebut, pilih abai, berjalan melewatinya. “Hah?” kaget Helena pria tersebut asal melewatinya, bak ia arwah yang tak dilihatnya. “Dia mengabaikanku?” Helena merasa heran mematung di situ. “Nona muda! Anda baik-baik saja ‘kan?” Sofia menghampirinya, datang memperhatikan setiap tubuhnya bila-bila ada yang terluka. Plak! ‘Ada apa denganku? Hais~ bisa-bisanya aku jadi pelupa begini.’ Sofia terkejut Helena menampar pipinya sendiri, sudah begitu kuat sekali dan bisa dipastikannya sebelah pipi Helena yang ditampar itu menjadi memerah. “Nona muda, Anda sakit?” tanya Sofia mencondongkan wajahnya sampai Helena memundur terlonjak dibuatnya. “Sofia! Sudah kukatakan jangan dekatkan wajahmu seperti ini!” bentak Helena kesal sekali. Helena k
“Kamu ini ya, masih saja tidak pernah berubah! Mata sudah baik-baik terpasang, tidak pernah digunakan dengan baik fungsinya! Selalu, setiap ada kamu apapun yang kubawa pasti jatuh! Sengaja ‘kan kamu? Tidak begitu sukanya ‘kah kamu sampai seperti itu padaku?!” hardik wanita itu menunjuk wajah Helena yang tertunduk, geram. Sofia melihat itu, menarik tangan Helena sampai wanita itu berada di belakangnya. “Nyonya Brianna, mohon maaf atas kesalahan Nona muda. Saya akan membereskannya, tolong jangan memperpanjang masalahnya. Mohon mengerti keadaan Nona muda sekarang,” kata Sofia mencoba membujuk Brianna Davies wanita yang merupakan istri pertama Malvin Dawson. Ia juga ibunya Alex dan juga Michael. “Kamu kira saya sepemaaf itu?” celetuknya memicing sinis dan dengan angkuhnya melipat kedua tangannya di dada. “Jangan kamu pikir dispesialkan menjadi pelayan di sini oleh suamiku, bisa bertindak seenaknya kamu. Pelayan tetaplah pelayan, tidak ada hak kamu ikut campur dengan masalah saya dan putr
“Apa yang terjadi?” Malvin memalingkan wajahnya ke samping yang di mana Helena berdiri di situ, tengah menatap Sofia yang berada di ambang pintu akan melangkah keluar. Seakan keberadaan Malvin seperti tak dilihatnya di situ. Wajah Malvin yang semulanya terlihat cerah seketika berubah suram. ‘Putriku masih tidak memaafkanku?’ pikirnya merenung sedih. “Sofia, aku memanggilmu,” ujar Helena dengan suaranya mengeras. Mendengarnya, Sofia perlahan memutar tubuhnya dan menunduk tak berani mengangkat wajahnya. “Ayah.” “Ya sayang.” Mendapatkan panggilan dari Helena, Malvin yang tadinya murung, langsung saja menyahutnya dengan cepat disertai senyumannya yang mengembang sempurna. Helena merasa tak nyaman sendiri melihatnya. Sungguh, ia tak terbiasa dengan sikap lembut Malvin yang seperti ini ditambah lagi pria itu menggunakan panggilan manis dengannya. “Apa selama ini pelayan di sini diperlakukan tidak semestinya?” “Tidak, kenapa kamu mempertanyakan itu?” Malvin mengurutkan dahinya. Helen
“Bolehkan aku bertanya?” tawar Helena memandang Alex yang berada di depannya, duduk dengan kursi diputar balik sandaranannya ke depan, sehingga kedua tangannya itu menopang dagunya dengan sandaran kursi. “Tanya apa?” Alex mengernyitkan alisnya. Menjilati dua ice cream-nya di kedua tangannya begitu tenang, saat mendapat balasan Alex, lantas Helena segera berkata, “Apa yang kakak kerjakan sampai tadi pagi-pagi petang terburu-buru pergi dari rumah sakit bersama dengan ayah?” Helena teringat akan hal itu, pagi petang itu di saat Alex dan Marvel akan pergi, ia sudah terbangun. Hanya saja matanya sengaja ia tutup agar tak disadari mereka dan dikira masih tertidur. Mereka juga ada membahas suatu hal dengan saling berbisik dan menekan satu sama lain. Tapi pembahasan mereka tak terlalu jelas Helena dengar. Itulah mengapa Helena begitu penasaran dan ada kesempatan sekarang, tak menyia-nyiakannya, Helena langsung saja menanyainya. “Pekerjaan yang menyulitkan dan mendesak, aku tidak bisa me