"Mereka mengingatkan saya bahwa hidup ini bukan tentang apa yang kita terima, tapi tentang apa yang kita berikan. Bukan tentang seberapa tinggi kita bisa naik, tapi tentang berapa banyak tangan yang bisa kita ulurkan untuk membantu orang lain naik bersama kita."Di barisan wartawan, seorang jurnalis muda mencatat dengan serius. Bukan lagi tertarik pada drama personal, tapi pada substansi dari apa yang disampaikan Nayla."Penghargaan yang saya terima malam ini," Nayla mengangkat trofi kristal yang berkilau di tangannya, "bukan hanya milik saya. Ini milik setiap orang yang pernah merasa tidak cukup tapi memilih untuk tetap berusaha. Milik setiap orang yang pernah jatuh tapi bangkit dengan lebih kuat. Milik setiap orang yang memilih untuk mengubah luka menjadi kekuatan."Tepuk tangan gemuruh pecah. Beberapa orang berdiri, kemudian seluruh auditorium ikut berdiri dalam standing ovation yang tulus.Nayla berdiri di podium, tidak lagi sebagai wanita yang ditinggalkan, bukan lagi sebagai kor
Nayla berdiri di belakang panggung, mendengar gemuruh tepuk tangan yang bergema dari auditorium. Gaun hitam yang dipilihnya dengan hati-hati terasa seperti baju besi—elegan namun kuat, melindunginya dari segala keraguan yang masih tersisa.Tangannya menyentuh kalung sederhana di lehernya, hadiah dari ibunya bertahun-tahun lalu. "Ingat, sayang," bisik ibunya dulu, "kekuatan sejati datang dari dalam, bukan dari pengakuan orang lain."Kalimat itu kini bergema dengan makna yang berbeda."Miss Nayla, lima menit lagi," bisik asisten panggung dengan lembut.Nayla mengangguk, napasnya teratur meski jantungnya berdebar. Ini bukan pertama kalinya dia berdiri di panggung besar, tapi kali ini berbeda. Kali ini dia berdiri bukan sebagai bayangan siapa pun, bukan sebagai pelengkap kesuksesan orang lain.Dia berdiri sebagai dirinya sendiri.Melalui celah tirai, dia bisa melihat ratusan orang duduk di kursi-kursi merah mewah. Para pemimpin industri, inovator, changemaker dari berbagai belahan dunia.
Galan terbangun dengan kepala berat. Tidur yang semalam hanya sebentar terasa tidak cukup untuk menenangkan pikirannya. Selebihnya, ia hanya terbaring, menatap langit-langit, memikirkan surat yang tak pernah ia kirim.Apartemen itu—dulu terasa seperti simbol kesuksesan, ruang mewah yang dia banggakan—kini justru terasa seperti penjara berlapis emas. Indah, tapi kosong. Menyesakkan.Dengan langkah gontai, ia menuju kamar mandi. Setiap langkah seperti diseret oleh beban yang tak kasat mata. Saat lampu kamar mandi menyala, Galan terdiam menatap bayangan dirinya sendiri di cermin.Seorang pria berdiri di sana. Wajahnya pucat, matanya merah dengan lingkar gelap yang dalam. Rambutnya berantakan, janggut mulai tumbuh tipis, dan kemeja yang masih menempel di tubuhnya tampak kusut dan menyimpan aroma lelah.“Siapa kamu?” bisiknya pelan kepada bayangan itu.Tidak ada jawaban. Hanya tatapan kosong yang kembali memandangnya—mata yang dulu memancarkan ambisi, kini hanya memantulkan kehampaan.Ia m
Galan terbangun karena deretan notifikasi di ponselnya. Masih setengah sadar, ia meraih perangkat itu dan membuka aplikasi berita. Judul besar yang terpampang membuat detaknya tak karuan.“Dari Pendukung Menjadi Pemimpin: Perjalanan Nayla Sari Meroket, Sementara Mantan Kekasihnya Terpuruk.”Tangannya gemetar saat membuka artikelnya. Di sana terpampang foto Nayla—profesional, percaya diri, dengan senyum tenang yang tak pernah ia lihat saat mereka masih bersama. Di sampingnya, foto lama mereka berdua dari peluncuran produk tahun lalu. Caption-nya menyayat: "Dulu pendamping, kini pesaing."Penulis artikel itu jelas melakukan riset yang dalam. Wawancara dengan rekan kerja Nayla, klien-klien lamanya, hingga teman-teman kuliahnya. Semua menyebut hal yang sama: perempuan cerdas yang selalu bekerja dalam diam, kuat, rendah hati, dan tidak pernah mengejar sorotan.“Nayla Sari adalah salah satu talenta terbaik yang pernah saya temui,” kata Pak Wijaya, CEO sebuah perusahaan teknologi besar. “Ia
Galan menatap pesan itu dengan mata yang mulai berair. Dedi. Anak muda yang baru kerja setahun, yang gajinya paling kecil di kantornya, yang bahkan tidak pernah dia notice keberadaannya. Dia yang mau memberikan support di saat semua orang pergi.Sementara orang-orang yang dia anggap dekat, yang dia berikan privilege dan attention, yang dia ajak makan di restoran mahal—mereka semua hilang ketika badai datang.Dia teringat percakapan terakhir dengan Alya kemarin malam. Suaranya yang dingin, kalkulatif, seolah dia sedang mempresentasikan laporan keuangan triwulanan."Galan, aku sudah pikir matang-matang. Asosiasi dengan kamu sekarang hanya akan merugikan karier ku.""Alya, ini bukan tentang karier. Ini tentang kita.""Tidak ada 'kita', Galan. Yang ada adalah mutual benefit yang sekarang sudah tidak mutual lagi.""Maksud kamu?""Kamu sekarang hanya liability. Dan aku tidak berinvestasi pada liability."Berinvestasi. Sampai di detik terakhir, Alya masih menggunakan terminologi bisnis untuk
Hujan Jakarta malam itu jatuh dengan keras, menghantam kaca-kaca gedung pencakar langit seolah ingin menghancurkan segala yang terlihat kokoh dari luar. Di lantai 35 Mahardika Corp, Galan duduk sendirian di ruang kerjanya yang dulu megah—kini terasa seperti makam bagi impian-impian yang telah mati.Lampu ruangan sudah dia matikan sejak tadi sore. Hanya cahaya lampu jalan dari bawah yang menerangi sebagian wajahnya yang pucat. Suara hujan yang memukul jendela besar di belakangnya menjadi musik latar yang menyayat, seolah alam ikut meratapi kehancuran yang dia alami."Semua ini... untuk apa?" gumamnya sambil menatap foto lama bersama Nayla yang dulu ia simpan diam-diam di laci meja kerja.Foto itu sudah lusuh di ujung-ujungnya. Foto sederhana dari liburan mereka ke Bali dua tahun lalu. Nayla tertawa lepas sambil memegang topi pantai yang hampir terbang tertiup angin, sementara dia merangkul bahunya dengan senyuman yang—sekarang dia sadari—jauh lebih tulus dibanding senyuman yang pernah