"Jadi, sekarang lo butuh gue bantu apa, El?" Suara Diva memecah keheningan. Elena menoleh, matanya membesar, sedikit terkejut mendengar nada Diva yang mulai melunak.
"Kenapa lo natap gue gitu? Terharu, ya?" cibiran khas Diva menyusul. Meski suaranya terdengar sarkastik, ada kehangatan samar di baliknya. Elena tersenyum kecil—senyum yang tidak muncul sejak kepergian Seline. "Gue tahu lo pasti dukung keputusan gue, Va," ucapnya lega. Diva mendengus, melipat tangan di dada sambil menyandarkan tubuh ke dinding. "Tapi gue nggak mau ikut-ikutan kalo lo diamuk Bapak sama Ibu gue, ya. Ngeri," katanya sambil menggeleng. Ekspresinya setengah bercanda, setengah serius. Elena tertawa kecil untuk pertama kalinya sejak kejadian itu, meski matanya masih sembap. "Budhe sama Pakdhe pasti nggak akan mudah terima keputusan gue, Va. Tapi gue percaya, kasih sayang mereka bakal meluluhkan rasa kecewa mereka." Diva mengangkat alis, skeptis, tapi tak tega meruntuhkan semangat sepupunya. "Ya... tetep aja lo bakal kena amukan Bu Nanik dulu sebelum semuanya cair," godanya. Kekehannya lirih saat membayangkan wajah sang ibu yang galak. "Nggak apa-apa. Gue emang pantas nerima itu. Siapa sih yang nggak ngamuk kalau tahu keponakannya kuliah di Jakarta malah dapet... anak?" jawab Elena, terdiam sejenak. "Va, sebenernya gue mau minta bantuan lo hari ini. Gue sama Sheryl mau ke pemakaman Seline. Tapi gue nggak mungkin bawa Sheryl masuk bareng. Terlalu mencolok. Gue mau lo yang dateng sama Sheryl. Lo pura-pura jadi kenalan Seline, gimana? Karena... Sheryl perlu ‘nganter’ mama dan abangnya juga, Va." Diva terdiam sejenak, memikirkan permintaan itu. Menghadiri pemakaman Seline dengan berpura-pura sebagai kenalan dan membawa Sheryl seolah tak ada hubungan langsung—itu bukan hal mudah. Tapi dia tahu, Elena butuh bantuan. “Bisa. Gue bisa lakuin,” jawab Diva akhirnya. Suaranya datar, tapi mantap. Elena menatap Diva penuh rasa terima kasih. “Makasih banget, Va. Gue beneran nggak tahu harus gimana kalau lo nggak bantuin.” Diva mengangguk, sedikit tersenyum meski raut wajahnya masih penuh kekhawatiran. “Tapi... lo siap nggak, El? Lo kan bakal ketemu banyak orang di sana.” Elena menarik napas panjang, menatap Sheryl yang tertidur dalam pelukannya. “Gue nggak apa-apa, Va. Siap nggak siap... Seline udah nggak ada. Gue harus datang. Doain dia.” * Elena dan Diva—yang menggendong Sheryl—tiba di kediaman Erika tepat sebelum jenazah diberangkatkan ke tempat peristirahatan terakhir. Elena sempat menyapa Erika sebentar, lalu ikut dalam rombongan yang akan menuju pemakaman. Memang, tidak lama setelah jenazah Seline dan Satrio tiba dari rumah sakit, keduanya langsung diberangkatkan ke TPU. Elena memarkir mobilnya cukup jauh dari mobil keluarga Erika, demi menjaga jarak dan menyembunyikan identitas Sheryl. “Va, gue berubah pikiran. Lo tunggu di sini aja dulu. Nanti lo sama Sheryl masuk pas semua orang udah pulang. Biar lebih aman,” ucap Elena. Diva hanya mengangguk. “Iya, gue ngerti. Cepetan sana. Lo perlu jalan lumayan, nanti ketinggalan.” Elena mengangguk, segera turun dari mobil dan berlari kecil. Sesekali ia memeriksa ponsel, tak sadar bahwa fokusnya yang berlebihan membuatnya menabrak seseorang. Elena kehilangan keseimbangan, tapi pria yang ditabraknya sigap menahan pinggangnya. “Ma... maaf. Saya nggak hati-hati, karena buru-buru,” ucap Elena gugup sambil menegakkan tubuh. “Lain kali hati-hati, Nona.” Suara pria itu berat dan dalam, membuat jantung Elena berdebar keras. Elena cepat-cepat mengangguk. “Sekali lagi saya minta maaf, Mas,” katanya sambil mengangkat wajah. Deg! Dewa Yunani? Elena tertegun sesaat. Wajah pria itu menawan. Ia cepat-cepat membungkuk sebelum makin tersihir dan bergegas pergi. Tiba-tiba seseorang menghampiri pria tersebut. “Pak Liam Dirgantara...” Elena menoleh, kaget melihat seseorang mendekati pria yang tadi ditabraknya. “Saya nggak menyangka Seline mengenal Bapak,” ucap pria paruh baya itu. Liam Dirgantara? Dia? Ayah Sheryl? Seketika tangan Elena mengepal erat. Saat Liam menatap ke arahnya, Elena langsung melengos dan mempercepat langkah, berusaha tetap tenang meski jantungnya berdegup tak karuan. Liam menaikkan sebelah alis, tatapannya penuh tanya. Ia memandangi Elena yang berlalu dengan wajah sinis. “Apa-apaan wanita itu?” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar. "Anda kenal wanita itu, Pak?" tanya Edgar, asisten setianya. Liam menggeleng ringan. “Saya nggak kenal, Edgar.” "Lupakan saja. Ayo jalan. Kita perlu berbela sungkawa. Bagaimanapun juga, yang meninggal itu simpanan abang saya... juga keponakan yang bahkan belum pernah saya lihat." Liam menghela napas panjang. “Bayi itu... belum genap sepuluh hari. Meninggal karena kecelakaan mobil. Sangat disayangkan.” Edgar menatapnya sekilas, lalu mengikuti langkah Liam yang telah lebih dulu melangkah pergi. Meski terlihat tenang dan tegas, Liam tak mampu sepenuhnya menyembunyikan kekecewaan dan amarahnya terhadap kenyataan pahit ini. Bayi mungil yang akan dimakamkan itu adalah bagian dari keluarga Dirgantara yang--seharusnya menjadi cucu pertama di keluarganya. Tbc .Elena memejamkan mata sejenak, merasakan kegelisahan mulai merayapi pikirannya. Ia tahu, setelah mengaku tentang Sheryl, hubungannya dengan Dito tak akan lagi sama. Namun, ia tak ingin ada kebohongan atau harapan kosong yang menggantung. Lebih baik jujur daripada harus memikul beban yang semakin berat.Diva meraih tangan Elena, menggenggamnya dengan lembut.“Lo yakin nggak mau nunggu lebih lama? Pikirkan lagi baik-baik, El. Mungkin lo bisa pelan-pelan kasih dia waktu buat menerima semua ini.”Elena menggeleng, menatap Diva dengan mata yang menyiratkan tekad.“Nggak, Va. Gue nggak mau menggantung hubungan ini lebih lama. Kalau dia bisa terima, itu keajaiban buat gue. Tapi kalau nggak… gue akan berusaha ikhlas.”“Gue cuma nggak mau lo nyesel nanti,” ucap Diva, nada khawatir terdengar jelas.Elena tersenyum tipis, meskipun ada rasa perih di baliknya.“Nyesel itu pasti ada, Va. Tapi, yang lebih gue takutkan adalah nyakitin dia lebih dalam karena gue nggak berani jujur dari awal.”Diva ter
Elena bersimpuh di samping pusara Seline, baby Sheryl berada dalam pangkuannya. Ia menatap gundukan tanah itu dengan senyum tipis yang berbalut duka.“Sel, pergilah dengan tenang. Gue janji, gue bakal melindungi Sheryl sepenuh hati. Gue bakal menyayangi dia kayak anak gue sendiri,” ujarnya dengan suara serak, menahan tangis.Elena menunduk, pandangannya jatuh pada Sheryl yang memandangnya dengan mata polos, bibir mungilnya melengkung seperti tersenyum.“Mulai sekarang, kamu anak mami, ya, Sayang. Kita akan jalani semuanya bareng,” bisiknya lembut, seolah berkomunikasi langsung dengan bayi mungil itu.Elena menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya. Bayi mungil dalam pangkuannya, Sheryl, menggerakkan tangannya yang kecil seakan merespons kata-kata Elena.“Kamu anak mami, sayang,” ulang Elena dengan suara lebih lembut, seolah meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini adalah jalan yang benar.Diva yang berdiri di samping Elena ikut terenyuh, namun ia berusaha menyembunyikan emosinya
Selamat membaca, teman-teman…Follow IG: n.lita.s*Suasana pemakaman yang semula dipenuhi keheningan dan duka perlahan berubah riuh oleh bisik-bisik para tamu. Sebagian tidak mampu menahan kekaguman terhadap sosok Liam Dirgantara yang hadir dengan aura karismatiknya.“Itu Liam Dirgantara, kan? CEO muda Dirgantara Corp?” tanya seorang wanita penuh penasaran.“Seline kenal Pak Liam? Kok bisa?” sahut suara lain, sama terkejutnya.“Ya ampun, ganteng banget,” komentar berikut disertai tawa cekikikan.“Mahluk Tuhan paling memesona, beneran ini.”“Astaga, hatiku bergetar, Gusti.”“Aduh, andai bisa deket sama Pak Liam.”“Ganteng banget, sumpah.”Keharuan yang tadi menyelimuti pemakaman seketika berganti dengan riuh pujian. Bukan hanya para wanita, beberapa pria pun tak kuasa menyembunyikan kekaguman mereka pada sosok tampan berwibawa itu.Namun, di tengah segala sanjungan, hanya ada satu orang yang merasa muak setiap kali nama Dirgantara disebut—Elena. Ia berdiri agak jauh, berusaha mengabai
"Jadi, sekarang lo butuh gue bantu apa, El?" Suara Diva memecah keheningan. Elena menoleh, matanya membesar, sedikit terkejut mendengar nada Diva yang mulai melunak."Kenapa lo natap gue gitu? Terharu, ya?" cibiran khas Diva menyusul. Meski suaranya terdengar sarkastik, ada kehangatan samar di baliknya.Elena tersenyum kecil—senyum yang tidak muncul sejak kepergian Seline. "Gue tahu lo pasti dukung keputusan gue, Va," ucapnya lega.Diva mendengus, melipat tangan di dada sambil menyandarkan tubuh ke dinding. "Tapi gue nggak mau ikut-ikutan kalo lo diamuk Bapak sama Ibu gue, ya. Ngeri," katanya sambil menggeleng. Ekspresinya setengah bercanda, setengah serius.Elena tertawa kecil untuk pertama kalinya sejak kejadian itu, meski matanya masih sembap. "Budhe sama Pakdhe pasti nggak akan mudah terima keputusan gue, Va. Tapi gue percaya, kasih sayang mereka bakal meluluhkan rasa kecewa mereka."Diva mengangkat alis, skeptis, tapi tak tega meruntuhkan semangat sepupunya. "Ya... tetep aja lo b
Keesokan harinya.Tragis. Kecelakaan tunggal di Tol Jakarta–Bandung m.e.n.e.w.a.s.k.a.n seorang ibu muda dan bayinya.”Pyar!Gelas di tangan Elena terjatuh, pecah berantakan di lantai. Matanya terpaku pada layar televisi yang menayangkan berita kecelakaan itu. Napasnya tercekat, tubuhnya membeku, sementara kalimat reporter terasa menghantam dadanya.“Seline… Satrio…” gumam Elena, nyaris tanpa suara. Air matanya jatuh, perlahan tapi pasti. Tangannya gemetar saat melihat gambar mobil yang rusak parah. Plat nomornya… itu plat mobil Seline.Tangisnya pecah. “Lo beneran ninggalin dunia ini, Sel. Ninggalin gue, ninggalin Sheryl…” suaranya bergetar, penuh dengan kesedihan yang tak tertahankan. Bayangan wajah sahabatnya dan bayi mungil itu mengaburkan pandangannya.Drttt…Ponsel Elena berdering. Di layar, tertera nama yang akrab tapi terasa berat untuk dihadapi: Tante Erika.Dengan tangan gemetar, Elena mengangkat panggilan itu. “Ha…halo, Tante,” jawabnya, mencoba menahan tangis meski suarany
Dua jam setelah Seline menitipkan Sheryl pada Elena, apartemen berubah senyap. Hingga tiba-tiba, tangis keras bayi itu memecah keheningan. Sheryl terbangun, suaranya mengguncang jiwa Elena yang baru saja memejamkan mata.“Utututu… Ayang kenapa nangis?” Elena berbisik lembut sambil mengangkat tubuh mungil Sheryl. Ia tersenyum tipis meski matanya berat menahan kantuk. “Oh, Sheyil ngompol, ya?” kekehnya pelan, meraba po pok basah bayi itu.Setelah meletakkan Sheryl kembali di tempat tidur, Elena meraih ponselnya. “Ini jam berapa, sih?” gumamnya lirih. Layar ponselnya kosong—tak ada pesan masuk, juga tak ada panggilan dari Seline.“Mama kamu kayaknya masih di jalan, Dek,” bisiknya pada Sheryl.Namun kegelisahan makin menekan dadanya. Ia akhirnya mengetik pesan:Elena: Lo di mana, Sel? Udah jalan ke apart gue belum? Sheryl nangis, nih. Po poknya penuh. Gue bingung gantiinnya.Pesan terkirim, tapi hanya centang satu. Elena mengernyit. “Kenapa cuma segini? Jaringan lo jelek, Sel?” gumamnya.