Compartir

06

Autor: N Lita S
last update Última actualización: 2025-09-21 01:09:27

Elena bersimpuh di samping pusara Seline, baby Sheryl berada dalam pangkuannya. Ia menatap gundukan tanah itu dengan senyum tipis yang berbalut duka.

“Sel, pergilah dengan tenang. Gue janji, gue bakal melindungi Sheryl sepenuh hati. Gue bakal menyayangi dia kayak anak gue sendiri,” ujarnya dengan suara serak, menahan tangis.

Elena menunduk, pandangannya jatuh pada Sheryl yang memandangnya dengan mata polos, bibir mungilnya melengkung seperti tersenyum.

“Mulai sekarang, kamu anak mami, ya, Sayang. Kita akan jalani semuanya bareng,” bisiknya lembut, seolah berkomunikasi langsung dengan bayi mungil itu.

Elena menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya. Bayi mungil dalam pangkuannya, Sheryl, menggerakkan tangannya yang kecil seakan merespons kata-kata Elena.

“Kamu anak mami, sayang,” ulang Elena dengan suara lebih lembut, seolah meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini adalah jalan yang benar.

Diva yang berdiri di samping Elena ikut terenyuh, namun ia berusaha menyembunyikan emosinya dengan senyum tipis. Tangannya mengusap lembut pundak sepupunya.

“Lo kuat, El. Kalau Seline bisa lihat ini, dia pasti bangga sama keputusan lo,” ucap Diva lirih, penuh ketulusan.

Elena mengangguk pelan. “Gue nggak tahu hidup bakal bawa gue ke mana, Va. Tapi gue yakin satu hal, Sheryl nggak akan pernah merasa kehilangan kasih sayang. Gue janji bakal jadi mami terbaik untuk dia,” katanya tegas, meskipun air matanya kini kembali mengalir.

Diva meremas pundak Elena, memberikan semangat. “Dan gue bakal jadi aunty buat Sheryl, El.”

“Makasih, Va,” jawab Elena sambil menatap Diva dengan mata berkaca-kaca.

Mereka terdiam lagi, membiarkan suasana hening dan angin sepoi-sepoi menemani perpisahan terakhir dengan Seline. Sheryl mulai menggeliat dalam pelukan Elena, mengeluarkan suara kecil seperti ingin berbicara. Elena tersenyum, menatap bayi itu dengan penuh kasih.

“Mulai sekarang, dunia mami cuma punya kamu, sayang. Mami nggak akan biarin siapa pun nyakitin kamu.”

Rintik hujan mulai turun, membasahi bumi dengan lembut. Elena segera beranjak, menarik jaketnya untuk melindungi Sheryl yang berada dalam pelukannya. Ia menatap pusara Seline untuk terakhir kalinya sebelum berbalik.

“Kita pulang, Sayang. Hujan ini pasti doa buat mama kamu,” bisiknya, seolah menenangkan dirinya sendiri.

Diva yang berdiri di sampingnya sigap membuka payung dan memayungi Elena serta Sheryl.

“Ayo, El. Kita nggak mau Sheryl masuk angin,” ujarnya sambil memegang payung lebih rendah, memastikan bayi mungil itu terlindungi sepenuhnya.

Elena mengangguk kecil, menatap tanah merah di depannya sekali lagi.

“Selamat jalan, Sel. Gue akan jaga amanah lo,” ucapnya pelan sebelum berjalan menjauh, membiarkan rintik hujan menyatu dengan air matanya.

*

Liam baru saja memberikan isyarat pada Edgar untuk menyalakan mesin ketika matanya menangkap sosok Elena dan Diva yang berlari kecil keluar dari pintu masuk TPU. Hujan rintik semakin deras, memaksa keduanya berteduh di bawah payung kecil yang dipegang Diva, sementara Elena erat menggendong bayi.

Di dalam mobil berlapis kaca hitam itu, Liam memperhatikan mereka dengan pandangan tajam. Saat mobilnya melintas perlahan melewati mereka, ia memusatkan pandangannya pada Elena, mengingat pertemuan singkat mereka sebelumnya.

“Wanita yang tadi menabrak Anda, Pak,” Edgar membuka percakapan.

Liam mendengus kecil. “Ya, wanita aneh yang menatap saya seperti musuh padahal kami tidak pernah saling mengenal,” desisnya dingin.

Mata Liam masih mengikuti bayangan Elena yang semakin menjauh di kaca spion.

“Mungkin dia hanya salah paham, Pak. Atau sedang punya masalah pribadi,” Edgar mencoba meringankan suasana.

Namun, Liam tetap diam, pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tiba-tiba muncul tanpa alasan jelas.

“Aneh,” gumamnya pelan, lebih untuk dirinya sendiri.

*

Sore itu, Elena memutuskan untuk tidak memandikan Sheryl karena udara yang semakin dingin akibat hujan. Dia khawatir bayi mungil itu bisa masuk angin jika terkena air. Sebagai gantinya, Elena membersihkan tubuh Sheryl dengan tisu basah yang lembut, memastikan setiap lipatan kecil di kulit bayi itu bersih.

“Maaf ya, sayang, hari ini mandinya diganti gini dulu,” ucap Elena lembut sambil menggantikan baju Sheryl dengan pakaian hangat berwarna pastel. Bayi itu hanya menggumam pelan, seolah mengerti.

Diva, yang duduk di sofa tidak jauh dari tempat Elena berada, memandangi mereka sambil menyeruput teh hangat.

“Lo cepat banget belajar, El. Baru semalam ngurus bayi, tapi udah kelihatan kayak ibu-ibu berpengalaman,” godanya.

Elena menoleh dan tersenyum kecil.

“Belajar sambil jalan, Va. Gue semalam nonton tutorial buat gantiin popok Sheryl,” jawabnya dengan nada serius, tapi ada sedikit gurauan di matanya.

“Kalau gitu, besok gue bawain perlengkapan bayi yang lebih lengkap. Jangan sampai lo kehabisan stok,” tambah Diva sambil menaruh cangkir tehnya.

“Makasih aunty Diva,” sahut Elena, sebelum kembali fokus mengurus Sheryl.

Setelah memastikan Sheryl tertidur lelap dalam pelukannya, Elena perlahan meletakkan bayi itu ke tempat tidur karena ia memang belum memiliki box bayi. Ia menempatkan guling di samping kanan dan kiri Sheryl untuk menjaganya tetap aman.

Elena menatap wajah mungil Sheryl yang damai, lalu menghela napas panjang, seolah berat memalingkan wajah.

Diva yang sudah duduk nyaman di sofa ruang tengah dengan selimut melingkar di tubuhnya menoleh.

“Udah tidur, ya? Agak lega gue,” katanya, melempar senyum tipis.

Elena mengangguk sambil mengambil tempat di sebelah Diva. Ia menarik selimut kecil yang sama dan mulai meluruskan kakinya di sofa.

“Capek, tapi lega. Setidaknya Sheryl baik-baik aja,” jawabnya, nada suaranya terdengar lebih ringan.

“Lo udah mikirin cara ngomong ke nyokap gue belum, El?” tanya Diva tiba-tiba, tatapannya serius.

Elena berpikir sejenak, mendadak cemas merayap.

“Bulan depan aja, Va. Gue nggak mau buru-buru. Biar Sheryl sebulan lebih dulu. Gue juga perlu waktu buat ngatur mental sebelum harus berhadapan sama Budhe,” jawabnya jujur.

Diva mendengarkan sambil memainkan ujung selimutnya.

“Bener juga sih. Sheryl masih terlalu kecil buat diajak perjalanan jauh sekarang,” gumamnya setuju. “Kalau gitu gue bakalan nemenin lo, El. Jadi kalau ada apa-apa, ada yang backup lo.”

Elena tersenyum kecil. “Gue bakalan banyak ngerepotin lo, Va,” katanya sambil menyandarkan kepala ke sandaran sofa.

Diva terkekeh kecil, memukul pelan lengan Elena.

“Jangan lebay. Gue cuma nggak mau ketinggalan drama keluarga besar nanti,” candanya.

Elena kembali menghela napas. Teringat Dito, kekasihnya. Bagaimana ia akan menyampaikan tentang Sheryl pada Dito?

“Mikirin Mas Dito?” tebak Diva.

Elena mengangguk kecil, “Gue udah siap kalau kita bakalan selesai karena keberadaan Sheryl. Bagaimanapun Sheryl prioritas gue sekarang, Va.” Jawabnya mantap.

“Kalau dia sayang sama lo, gue rasa dia bakalan nerima Sheryl, El. Yang jadi masalah adalah keluarganya,” ucap Diva.

“Justru itu, gue nggak mungkin narik Mas Dito dalam kehidupan gue sekarang ini. Karena gue sadar diri. Dia bisa dapat yang lebih dari gue. Lagian gue masih 22 tahun, Va. Masih banyak waktu buat cari pasangan lain,” kekehnya setengah bercanda.

Elena tertawa kecil, namun tawanya terasa getir. Ia menyandarkan kepala ke sofa dan memandang langit-langit apartemennya.

“Masih banyak waktu,” ulangnya pelan.

Diva menatapnya dengan pandangan prihatin.

“Tapi lo sayang sama Mas Dito, kan?” tanyanya.

Elena mengangguk pelan.

“Sayang banget, Va. Tapi sayang aja nggak cukup. Kalau gue terus nyeret dia ke masalah gue, itu nggak adil buat dia,” jawabnya, suaranya melemah di akhir kalimat.

Diva menghela napas panjang.

“Ya, gue ngerti sih, El. Tapi nggak ada salahnya kasih dia kesempatan buat nentuin sendiri. Jangan langsung mutusin kalau dia nggak bakal sanggup nerima Sheryl,” ucapnya.

“Mas Dito lusa balik dari liburan, gue akan langsung kasih tahu dia. Lebih cepat dia tahu, lebih lega buat gue juga.”

Tbc..

Continúa leyendo este libro gratis
Escanea el código para descargar la App

Último capítulo

  • Balas Dendam dalam dekapan Tuan Muda Kedua    07

    Elena memejamkan mata sejenak, merasakan kegelisahan mulai merayapi pikirannya. Ia tahu, setelah mengaku tentang Sheryl, hubungannya dengan Dito tak akan lagi sama. Namun, ia tak ingin ada kebohongan atau harapan kosong yang menggantung. Lebih baik jujur daripada harus memikul beban yang semakin berat.Diva meraih tangan Elena, menggenggamnya dengan lembut.“Lo yakin nggak mau nunggu lebih lama? Pikirkan lagi baik-baik, El. Mungkin lo bisa pelan-pelan kasih dia waktu buat menerima semua ini.”Elena menggeleng, menatap Diva dengan mata yang menyiratkan tekad.“Nggak, Va. Gue nggak mau menggantung hubungan ini lebih lama. Kalau dia bisa terima, itu keajaiban buat gue. Tapi kalau nggak… gue akan berusaha ikhlas.”“Gue cuma nggak mau lo nyesel nanti,” ucap Diva, nada khawatir terdengar jelas.Elena tersenyum tipis, meskipun ada rasa perih di baliknya.“Nyesel itu pasti ada, Va. Tapi, yang lebih gue takutkan adalah nyakitin dia lebih dalam karena gue nggak berani jujur dari awal.”Diva ter

  • Balas Dendam dalam dekapan Tuan Muda Kedua    06

    Elena bersimpuh di samping pusara Seline, baby Sheryl berada dalam pangkuannya. Ia menatap gundukan tanah itu dengan senyum tipis yang berbalut duka.“Sel, pergilah dengan tenang. Gue janji, gue bakal melindungi Sheryl sepenuh hati. Gue bakal menyayangi dia kayak anak gue sendiri,” ujarnya dengan suara serak, menahan tangis.Elena menunduk, pandangannya jatuh pada Sheryl yang memandangnya dengan mata polos, bibir mungilnya melengkung seperti tersenyum.“Mulai sekarang, kamu anak mami, ya, Sayang. Kita akan jalani semuanya bareng,” bisiknya lembut, seolah berkomunikasi langsung dengan bayi mungil itu.Elena menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya. Bayi mungil dalam pangkuannya, Sheryl, menggerakkan tangannya yang kecil seakan merespons kata-kata Elena.“Kamu anak mami, sayang,” ulang Elena dengan suara lebih lembut, seolah meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini adalah jalan yang benar.Diva yang berdiri di samping Elena ikut terenyuh, namun ia berusaha menyembunyikan emosinya

  • Balas Dendam dalam dekapan Tuan Muda Kedua    05

    Selamat membaca, teman-teman…Follow IG: n.lita.s*Suasana pemakaman yang semula dipenuhi keheningan dan duka perlahan berubah riuh oleh bisik-bisik para tamu. Sebagian tidak mampu menahan kekaguman terhadap sosok Liam Dirgantara yang hadir dengan aura karismatiknya.“Itu Liam Dirgantara, kan? CEO muda Dirgantara Corp?” tanya seorang wanita penuh penasaran.“Seline kenal Pak Liam? Kok bisa?” sahut suara lain, sama terkejutnya.“Ya ampun, ganteng banget,” komentar berikut disertai tawa cekikikan.“Mahluk Tuhan paling memesona, beneran ini.”“Astaga, hatiku bergetar, Gusti.”“Aduh, andai bisa deket sama Pak Liam.”“Ganteng banget, sumpah.”Keharuan yang tadi menyelimuti pemakaman seketika berganti dengan riuh pujian. Bukan hanya para wanita, beberapa pria pun tak kuasa menyembunyikan kekaguman mereka pada sosok tampan berwibawa itu.Namun, di tengah segala sanjungan, hanya ada satu orang yang merasa muak setiap kali nama Dirgantara disebut—Elena. Ia berdiri agak jauh, berusaha mengabai

  • Balas Dendam dalam dekapan Tuan Muda Kedua    04

    "Jadi, sekarang lo butuh gue bantu apa, El?" Suara Diva memecah keheningan. Elena menoleh, matanya membesar, sedikit terkejut mendengar nada Diva yang mulai melunak."Kenapa lo natap gue gitu? Terharu, ya?" cibiran khas Diva menyusul. Meski suaranya terdengar sarkastik, ada kehangatan samar di baliknya.Elena tersenyum kecil—senyum yang tidak muncul sejak kepergian Seline. "Gue tahu lo pasti dukung keputusan gue, Va," ucapnya lega.Diva mendengus, melipat tangan di dada sambil menyandarkan tubuh ke dinding. "Tapi gue nggak mau ikut-ikutan kalo lo diamuk Bapak sama Ibu gue, ya. Ngeri," katanya sambil menggeleng. Ekspresinya setengah bercanda, setengah serius.Elena tertawa kecil untuk pertama kalinya sejak kejadian itu, meski matanya masih sembap. "Budhe sama Pakdhe pasti nggak akan mudah terima keputusan gue, Va. Tapi gue percaya, kasih sayang mereka bakal meluluhkan rasa kecewa mereka."Diva mengangkat alis, skeptis, tapi tak tega meruntuhkan semangat sepupunya. "Ya... tetep aja lo b

  • Balas Dendam dalam dekapan Tuan Muda Kedua    03

    Keesokan harinya.Tragis. Kecelakaan tunggal di Tol Jakarta–Bandung m.e.n.e.w.a.s.k.a.n seorang ibu muda dan bayinya.”Pyar!Gelas di tangan Elena terjatuh, pecah berantakan di lantai. Matanya terpaku pada layar televisi yang menayangkan berita kecelakaan itu. Napasnya tercekat, tubuhnya membeku, sementara kalimat reporter terasa menghantam dadanya.“Seline… Satrio…” gumam Elena, nyaris tanpa suara. Air matanya jatuh, perlahan tapi pasti. Tangannya gemetar saat melihat gambar mobil yang rusak parah. Plat nomornya… itu plat mobil Seline.Tangisnya pecah. “Lo beneran ninggalin dunia ini, Sel. Ninggalin gue, ninggalin Sheryl…” suaranya bergetar, penuh dengan kesedihan yang tak tertahankan. Bayangan wajah sahabatnya dan bayi mungil itu mengaburkan pandangannya.Drttt…Ponsel Elena berdering. Di layar, tertera nama yang akrab tapi terasa berat untuk dihadapi: Tante Erika.Dengan tangan gemetar, Elena mengangkat panggilan itu. “Ha…halo, Tante,” jawabnya, mencoba menahan tangis meski suarany

  • Balas Dendam dalam dekapan Tuan Muda Kedua    02

    Dua jam setelah Seline menitipkan Sheryl pada Elena, apartemen berubah senyap. Hingga tiba-tiba, tangis keras bayi itu memecah keheningan. Sheryl terbangun, suaranya mengguncang jiwa Elena yang baru saja memejamkan mata.“Utututu… Ayang kenapa nangis?” Elena berbisik lembut sambil mengangkat tubuh mungil Sheryl. Ia tersenyum tipis meski matanya berat menahan kantuk. “Oh, Sheyil ngompol, ya?” kekehnya pelan, meraba po pok basah bayi itu.Setelah meletakkan Sheryl kembali di tempat tidur, Elena meraih ponselnya. “Ini jam berapa, sih?” gumamnya lirih. Layar ponselnya kosong—tak ada pesan masuk, juga tak ada panggilan dari Seline.“Mama kamu kayaknya masih di jalan, Dek,” bisiknya pada Sheryl.Namun kegelisahan makin menekan dadanya. Ia akhirnya mengetik pesan:Elena: Lo di mana, Sel? Udah jalan ke apart gue belum? Sheryl nangis, nih. Po poknya penuh. Gue bingung gantiinnya.Pesan terkirim, tapi hanya centang satu. Elena mengernyit. “Kenapa cuma segini? Jaringan lo jelek, Sel?” gumamnya.

Más capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status