Selamat membaca, teman-teman…
Follow I*: n.lita.s * Suasana pemakaman yang semula dipenuhi keheningan dan duka perlahan berubah riuh oleh bisik-bisik para tamu. Sebagian tidak mampu menahan kekaguman terhadap sosok Liam Dirgantara yang hadir dengan aura karismatiknya. “Itu Liam Dirgantara, kan? CEO muda Dirgantara Corp?” tanya seorang wanita penuh penasaran. “Seline kenal Pak Liam? Kok bisa?” sahut suara lain, sama terkejutnya. “Ya ampun, ganteng banget,” komentar berikut disertai tawa cekikikan. “Mahluk Tuhan paling memesona, beneran ini.” “Astaga, hatiku bergetar, Gusti.” “Aduh, andai bisa deket sama Pak Liam.” “Ganteng banget, sumpah.” Keharuan yang tadi menyelimuti pemakaman seketika berganti dengan riuh pujian. Bukan hanya para wanita, beberapa pria pun tak kuasa menyembunyikan kekaguman mereka pada sosok tampan berwibawa itu. Namun, di tengah segala sanjungan, hanya ada satu orang yang merasa muak setiap kali nama Dirgantara disebut—Elena. Ia berdiri agak jauh, berusaha mengabaikan percakapan tentang Liam yang makin riuh. Sampai rasa muaknya memuncak. Suara lantang Elena mendadak memecah suasana. “Dunia makin tua, bagaimana mungkin orang berbahaya justru dipuja-puja. Miris.” Ucapannya langsung membuat beberapa orang terdiam, menoleh heran. Liam yang berdiri tak jauh juga melirik sekilas. Namun, tak seorang pun berani menanggapi lebih lanjut. Elena tetap cuek, seakan tak peduli pada tatapan yang tertuju padanya. “Sorry, gue baca novel,” ujar Elena santai sambil mengangkat ponsel, menutupi maksud perkataannya yang jelas ditujukan pada Liam. Anehnya, orang-orang seolah percaya begitu saja. Tidak mungkin, pikir mereka, Elena mengucapkan kata itu untuk sosok yang mereka puja. Tapi tidak dengan Edgar dan Liam. Keduanya sadar sindiran itu memang diarahkan ke Liam. Setiap kali pujian untuk Liam terdengar, Elena selalu mendengus atau memutar mata malas. “Apa mungkin dia mantan, Pak?” bisik Edgar curiga. “Mantan saya tidak ada yang seperti itu, Edgar. Diam dan ikuti proses pemakaman,” jawab Liam datar, nadanya tajam. Ia tak ingin memikirkan wanita yang tampak membencinya. Meski begitu, ucapannya terus terngiang. * Satu per satu tamu pergi, menyisakan dua gundukan tanah—tempat Seline dan Satrio beristirahat. Elena masih berdiri di sana, menatap makam dengan perasaan bercampur aduk: kehilangan, kebingungan, dan marah yang tak terucap. Erika, melihat keadaan Elena, mendekat lalu merangkul bahunya lembut. “El, ikhlaskan Seline. Biar dia tenang,” ucapnya lirih. Elena mengangguk meski hatinya berat. “Elena mau di sini sebentar, Tante,” balasnya pelan. Erika memahami. Perlahan ia mundur, meninggalkan Elena. “Tante pulang duluan, El,” katanya sebelum pergi. Saat benar-benar sendiri, Elena cepat-cepat mengirim pesan pada Diva. Bawa Sheryl ke sini, Va. Udah aman. Rasa lega mengalir. Akhirnya Sheryl bisa berada dekat ibunya, walau hanya sebentar. Di sisi lain, Liam masih duduk di mobilnya. Tatapannya tajam mengamati sekitar. Edgar, setia di kursi depan, menunggu perintah. “Jalan sekarang, Pak?” tanyanya ragu melihat Liam tak kunjung bergerak. “Tunggu sebentar,” jawab Liam dingin, matanya terpaku pada seorang wanita yang baru turun dari mobil sambil menggendong bayi. “Siapa mereka?” batinnya. “Mungkin keluarga yang mau ziarah, Pak,” tebak Edgar hati-hati. Liam hanya mengangguk tipis, tapi pandangannya tak lepas dari wanita itu. Ponselnya berdering. Ia mengangkat malas. “Hm…” sahutnya singkat, pikirannya masih terikat pada pemandangan tadi. Suara Nera terdengar dari seberang, nadanya menusuk. “Gimana? Lo lihat sendiri wanita itu yang udah nggak ada? Sama anaknya?” Liam mendesah kesal. Sudah sering ia mendengar provokasi murahan darinya. “Lo kurang puas apa lagi, Ner? Sekarang Bang Billy sepenuhnya milik lo. Bahkan keponakan gue juga ikut hilang! Bukankah itu yang lo mau?” desis Liam menahan marah. Tawa kecil terdengar. Nera puas. “Gue bersyukur perempuan itu udah pergi, Liam. Dan lo nggak perlu sedih begitu. Gue bisa kasih lo keponakan sebanyak lo mau. Karena seharusnya cucu pertama keluarga Dirgantara itu anak gue sama Billy.” Darah Liam mendidih. Ia menutup telepon cepat, jijik sekaligus muak. “Kamu punya anak, Gar?” tanyanya tiba-tiba. Edgar terkejut, lalu menoleh. “Saya kan belum menikah, Pak? Gimana mungkin punya anak?” ia terkekeh kecil. “Punya anak nggak harus menikah dulu, Gar. Buktinya abang saya sudah punya anak meski belum menikah. Sayang, berakhir tragis sebelum sempat melihatnya,” ujar Liam lirih, datar namun berat. Edgar terdiam. Ia menatap Liam, berusaha membaca ekspresinya yang sulit ditebak. “Maaf, Pak… saya nggak tahu,” katanya hati-hati. Ada yang terasa lebih dalam dari kata-kata Liam, tapi Edgar tahu lebih baik tak bertanya. Liam bersandar di kursinya, menghela napas panjang. “Kadang hidup itu… nggak bisa kita kendalikan, Gar. Segalanya bisa terjadi tanpa kita duga.” Edgar hanya mengangguk, memahami ada hal-hal yang sebaiknya tak digali. “Pak Billy pasti segera sadar dari komanya.” Liam tersenyum tipis. “Ya, saya harap dia bangun… dan menyesal seumur hidup karena gagal melindungi orang yang dia cintai juga anaknya dari tunangannya yang kejam.” Tbc…Elena memejamkan mata sejenak, merasakan kegelisahan mulai merayapi pikirannya. Ia tahu, setelah mengaku tentang Sheryl, hubungannya dengan Dito tak akan lagi sama. Namun, ia tak ingin ada kebohongan atau harapan kosong yang menggantung. Lebih baik jujur daripada harus memikul beban yang semakin berat.Diva meraih tangan Elena, menggenggamnya dengan lembut.“Lo yakin nggak mau nunggu lebih lama? Pikirkan lagi baik-baik, El. Mungkin lo bisa pelan-pelan kasih dia waktu buat menerima semua ini.”Elena menggeleng, menatap Diva dengan mata yang menyiratkan tekad.“Nggak, Va. Gue nggak mau menggantung hubungan ini lebih lama. Kalau dia bisa terima, itu keajaiban buat gue. Tapi kalau nggak… gue akan berusaha ikhlas.”“Gue cuma nggak mau lo nyesel nanti,” ucap Diva, nada khawatir terdengar jelas.Elena tersenyum tipis, meskipun ada rasa perih di baliknya.“Nyesel itu pasti ada, Va. Tapi, yang lebih gue takutkan adalah nyakitin dia lebih dalam karena gue nggak berani jujur dari awal.”Diva ter
Elena bersimpuh di samping pusara Seline, baby Sheryl berada dalam pangkuannya. Ia menatap gundukan tanah itu dengan senyum tipis yang berbalut duka.“Sel, pergilah dengan tenang. Gue janji, gue bakal melindungi Sheryl sepenuh hati. Gue bakal menyayangi dia kayak anak gue sendiri,” ujarnya dengan suara serak, menahan tangis.Elena menunduk, pandangannya jatuh pada Sheryl yang memandangnya dengan mata polos, bibir mungilnya melengkung seperti tersenyum.“Mulai sekarang, kamu anak mami, ya, Sayang. Kita akan jalani semuanya bareng,” bisiknya lembut, seolah berkomunikasi langsung dengan bayi mungil itu.Elena menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya. Bayi mungil dalam pangkuannya, Sheryl, menggerakkan tangannya yang kecil seakan merespons kata-kata Elena.“Kamu anak mami, sayang,” ulang Elena dengan suara lebih lembut, seolah meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini adalah jalan yang benar.Diva yang berdiri di samping Elena ikut terenyuh, namun ia berusaha menyembunyikan emosinya
Selamat membaca, teman-teman…Follow IG: n.lita.s*Suasana pemakaman yang semula dipenuhi keheningan dan duka perlahan berubah riuh oleh bisik-bisik para tamu. Sebagian tidak mampu menahan kekaguman terhadap sosok Liam Dirgantara yang hadir dengan aura karismatiknya.“Itu Liam Dirgantara, kan? CEO muda Dirgantara Corp?” tanya seorang wanita penuh penasaran.“Seline kenal Pak Liam? Kok bisa?” sahut suara lain, sama terkejutnya.“Ya ampun, ganteng banget,” komentar berikut disertai tawa cekikikan.“Mahluk Tuhan paling memesona, beneran ini.”“Astaga, hatiku bergetar, Gusti.”“Aduh, andai bisa deket sama Pak Liam.”“Ganteng banget, sumpah.”Keharuan yang tadi menyelimuti pemakaman seketika berganti dengan riuh pujian. Bukan hanya para wanita, beberapa pria pun tak kuasa menyembunyikan kekaguman mereka pada sosok tampan berwibawa itu.Namun, di tengah segala sanjungan, hanya ada satu orang yang merasa muak setiap kali nama Dirgantara disebut—Elena. Ia berdiri agak jauh, berusaha mengabai
"Jadi, sekarang lo butuh gue bantu apa, El?" Suara Diva memecah keheningan. Elena menoleh, matanya membesar, sedikit terkejut mendengar nada Diva yang mulai melunak."Kenapa lo natap gue gitu? Terharu, ya?" cibiran khas Diva menyusul. Meski suaranya terdengar sarkastik, ada kehangatan samar di baliknya.Elena tersenyum kecil—senyum yang tidak muncul sejak kepergian Seline. "Gue tahu lo pasti dukung keputusan gue, Va," ucapnya lega.Diva mendengus, melipat tangan di dada sambil menyandarkan tubuh ke dinding. "Tapi gue nggak mau ikut-ikutan kalo lo diamuk Bapak sama Ibu gue, ya. Ngeri," katanya sambil menggeleng. Ekspresinya setengah bercanda, setengah serius.Elena tertawa kecil untuk pertama kalinya sejak kejadian itu, meski matanya masih sembap. "Budhe sama Pakdhe pasti nggak akan mudah terima keputusan gue, Va. Tapi gue percaya, kasih sayang mereka bakal meluluhkan rasa kecewa mereka."Diva mengangkat alis, skeptis, tapi tak tega meruntuhkan semangat sepupunya. "Ya... tetep aja lo b
Keesokan harinya.Tragis. Kecelakaan tunggal di Tol Jakarta–Bandung m.e.n.e.w.a.s.k.a.n seorang ibu muda dan bayinya.”Pyar!Gelas di tangan Elena terjatuh, pecah berantakan di lantai. Matanya terpaku pada layar televisi yang menayangkan berita kecelakaan itu. Napasnya tercekat, tubuhnya membeku, sementara kalimat reporter terasa menghantam dadanya.“Seline… Satrio…” gumam Elena, nyaris tanpa suara. Air matanya jatuh, perlahan tapi pasti. Tangannya gemetar saat melihat gambar mobil yang rusak parah. Plat nomornya… itu plat mobil Seline.Tangisnya pecah. “Lo beneran ninggalin dunia ini, Sel. Ninggalin gue, ninggalin Sheryl…” suaranya bergetar, penuh dengan kesedihan yang tak tertahankan. Bayangan wajah sahabatnya dan bayi mungil itu mengaburkan pandangannya.Drttt…Ponsel Elena berdering. Di layar, tertera nama yang akrab tapi terasa berat untuk dihadapi: Tante Erika.Dengan tangan gemetar, Elena mengangkat panggilan itu. “Ha…halo, Tante,” jawabnya, mencoba menahan tangis meski suarany
Dua jam setelah Seline menitipkan Sheryl pada Elena, apartemen berubah senyap. Hingga tiba-tiba, tangis keras bayi itu memecah keheningan. Sheryl terbangun, suaranya mengguncang jiwa Elena yang baru saja memejamkan mata.“Utututu… Ayang kenapa nangis?” Elena berbisik lembut sambil mengangkat tubuh mungil Sheryl. Ia tersenyum tipis meski matanya berat menahan kantuk. “Oh, Sheyil ngompol, ya?” kekehnya pelan, meraba po pok basah bayi itu.Setelah meletakkan Sheryl kembali di tempat tidur, Elena meraih ponselnya. “Ini jam berapa, sih?” gumamnya lirih. Layar ponselnya kosong—tak ada pesan masuk, juga tak ada panggilan dari Seline.“Mama kamu kayaknya masih di jalan, Dek,” bisiknya pada Sheryl.Namun kegelisahan makin menekan dadanya. Ia akhirnya mengetik pesan:Elena: Lo di mana, Sel? Udah jalan ke apart gue belum? Sheryl nangis, nih. Po poknya penuh. Gue bingung gantiinnya.Pesan terkirim, tapi hanya centang satu. Elena mengernyit. “Kenapa cuma segini? Jaringan lo jelek, Sel?” gumamnya.