Compartir

07

Autor: N Lita S
last update Última actualización: 2025-09-21 01:10:56

Elena memejamkan mata sejenak, merasakan kegelisahan mulai merayapi pikirannya. Ia tahu, setelah mengaku tentang Sheryl, hubungannya dengan Dito tak akan lagi sama. Namun, ia tak ingin ada kebohongan atau harapan kosong yang menggantung. Lebih baik jujur daripada harus memikul beban yang semakin berat.

Diva meraih tangan Elena, menggenggamnya dengan lembut.

“Lo yakin nggak mau nunggu lebih lama? Pikirkan lagi baik-baik, El. Mungkin lo bisa pelan-pelan kasih dia waktu buat menerima semua ini.”

Elena menggeleng, menatap Diva dengan mata yang menyiratkan tekad.

“Nggak, Va. Gue nggak mau menggantung hubungan ini lebih lama. Kalau dia bisa terima, itu keajaiban buat gue. Tapi kalau nggak… gue akan berusaha ikhlas.”

“Gue cuma nggak mau lo nyesel nanti,” ucap Diva, nada khawatir terdengar jelas.

Elena tersenyum tipis, meskipun ada rasa perih di baliknya.

“Nyesel itu pasti ada, Va. Tapi, yang lebih gue takutkan adalah nyakitin dia lebih dalam karena gue nggak berani jujur dari awal.”

Diva terdiam, memandang Elena yang terlihat lebih dewasa dari usianya. Situasi ini memang bukan hal mudah untuk dihadapi, terutama bagi seseorang yang masih muda seperti Elena.

“Yaudah, gue cuman bisa berdoa yang terbaik buat lo sama Mas Dito,” kata Diva akhirnya.

*

Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Liam pergi ke rumah sakit untuk membesuk Billy—abangnya yang koma sejak empat bulan lalu akibat kecelakaan mobil.

Di depan ruang perawatan, Liam menarik napas dalam-dalam sebelum mendorong pintu perlahan.

Seorang wanita paruh baya yang duduk di samping ranjang pasien menoleh tajam ke arahnya. “Mama udah nyuruh kamu ke rumah sakit siang tadi, kenapa baru datang?” tegur Nyonya Arini, ibu kandung Billy dan Liam.

“Ma, Liam baru datang. Jangan langsung ditekan begitu,” potong Dipta, ayah mereka, tentu dengan nada lebih lembut.

Liam hanya menghela napas dan menjawab, “Ma, Liam banyak kerjaan. Ada banyak masalah yang harus Liam selesaikan di perusahaan menggantikan abang.” Suaranya terdengar rendah, nyaris tanpa emosi.

“Kamu istirahat dulu saja. Mamamu memang begitu,” ujar Dipta sambil menepuk ruang kosong di sofa, memberi isyarat agar Liam duduk.

Liam menuruti, melangkah mendekat lalu duduk. Ia melonggarkan dasi yang terasa menyesakkan setelah seharian bekerja.

“Gimana, apa benar Seline sudah nggak ada?” tanya Arini tiba-tiba sambil mendekat, membuat suasana berubah tegang.

Dipta ikut menimpali dengan nada penuh kekhawatiran. “Benar itu, Liam?”

“Ya,” jawab Liam singkat. “Pihak kepolisian memastikan dia sengaja membawa mobilnya jatuh ke jurang. Aku sudah dapat laporan dari kenalanku.”

Arini tersentak. “Anak kakakmu bagaimana?” tanyanya cepat, nada suaranya panik.

Liam menggeleng pelan. “Wanita itu membawa anaknya pergi bersamanya.”

Tangis Arini pecah. Ia menutupi wajah dengan kedua tangannya. “Cucuku, Pa… cucu kita. Kenapa juga Seline mengambil langkah gegabah seperti itu?”

Dipta memeluk bahunya, berusaha menenangkan. “Ma, sudah terjadi. Kita tidak bisa mengubahnya.”

Namun, suara Liam yang dingin memotong suasana itu. “Bukankah ini lebih baik?”

Arini langsung menoleh, wajahnya memerah. “Apa maksudmu, Liam? Kamu senang anak abangmu pergi? Itu keponakanmu! Bagian dari keluarga ini, bagian dari Dirgantara!”

Liam terkekeh sarkastis. “Ma, sejak kapan Mama mengakui hubungan Bang Billy dan wanita itu?”

Arini menghela napas berat. “Mama memang nggak mengakui hubungan mereka. Tapi anak yang dia kandung tetaplah cucu Mama!”

“Jadi, Mama ingin cucu Mama tapi menolak keberadaan ibunya? Lucu sekali,” sindir Liam, amat tajam.

Dipta, yang mencoba meredakan suasana, berkata pelan, “Papa dengar abangmu sempat menikah siri dengan wanita itu, Liam. Kalau begitu, secara agama, anak itu adalah cucu sah Papa.”

Liam kembali tertawa kecil, sarkastis. “Apa gunanya, Pa? Anak itu sudah nggak ada. Bahkan tidak sempat melihat dunia yang indah ini.”

Dipta menunduk, termenung. “Papa nggak pernah sangka Seline akan senekat itu…”

“Bukan salah wanita itu,” potong Liam. “Yang membuat dia nekat adalah calon menantu pilihan Papa dan Mama.”

Ucapan itu membuat Arini dan Dipta tertegun. Liam mengeluarkan amplop putih dari saku jasnya dan menyerahkannya kepada ibunya.

“Nera menemui wanita itu beberapa kali, sebelum abang kecelakaan dan setelah dia melahirkan,” kata Liam, datar.

Tangan Arini gemetar saat membuka amplop itu. “Liam… Nera nggak mungkin jadi penyebab Seline berbuat sejauh itu, kan?” tanyanya dengan nada putus asa.

Liam mengangkat bahu, acuh. “Siapa yang bisa menerima tunangannya menikahi wanita lain, Ma? Mama lebih tahu bagaimana sifat Nera.”

Arini menggenggam amplop itu erat, jemarinya gemetar. Ia melihat foto-foto yang diambil diam-diam—Seline berdiri di depan sebuah kafe dengan wajah lelah, dan Nera mendatanginya dengan ekspresi angkuh. Ada juga catatan percakapan yang tertulis rapi, entah dari rekaman atau kesaksian seseorang.

“Nera…” gumam Arini dengan suara serak. Ia memandang Dipta, matanya berkaca-kaca. “Pa, ini nggak mungkin.”

“Nggak mungkin?” Liam menyeringai sinis. “Nera melakukan apa yang menurutnya perlu, Ma. Sejak awal, tunangan Bang Billy pilihan kalian itu bukan wanita yang lemah lembut. Dia ambisius. Cemburu. Dan, tentu saja, kejam.”

Dipta membaca dokumen itu dengan kening berkerut. “Tapi Liam, kalau memang ini benar, kenapa Nera begitu tega? Anak itu tidak bersalah.”

“Nera tidak peduli, Pa,” jawab Liam datar. “Menurutnya, anak itu adalah penghalang. Anca’man.”

Arini memegang dahi, mencoba meredakan sakit kepala. “Liam, Mama tahu kamu nggak suka dengan pilihan Mama dan Papa, tapi ini tuduhan berat. Apa kamu benar-benar yakin? Bukan fitnah?”

“Yakin, Ma,” jawab Liam tanpa ragu. “Dokumen itu cukup jelas. Aku juga sudah menyelidikinya.”

Hening menguasai ruangan. Hanya terdengar suara monitor detak jantung Billy yang monoton.

“Jadi, apa yang harus kita lakukan?” tanya Dipta akhirnya.

Liam menyandarkan tubuhnya ke sofa. “Apa lagi yang bisa dilakukan? Bang Billy masih koma, anaknya sudah nggak ada, dan Nera…” Liam berhenti, menatap lurus ke arah Dipta. “Dia masih bertingkah seolah tidak ada yang terjadi.”

Arini menahan napas. “Kalau memang benar, kita tidak bisa membiarkannya begitu saja, Liam. Nera harus bertanggung jawab. Cucu Mama nggak bersalah.”

“Dan bagaimana Mama akan membuat Nera bertanggung jawab?” tanya Liam dingin.

“Wanita itu masih calon menantu kalian, ingat? Nama keluarganya sudah dipakai untuk menaikkan citra kita.”

“Liam!” Arini menatapnya tajam. “Kalau Nera benar-benar terlibat, Mama sendiri yang akan membatalkan perjodohan ini.

Dipta mengangguk pelan tapi menggumam. “Keluarga Nera tidak akan tinggal diam kalau mereka tahu kita menuduh putri mereka.”

“Biar aku yang urus,” potong Liam tegas.

Arini dan Dipta menatapnya penuh tanya. “Apa maksudmu, Liam?”

Liam menatap mereka bergantian, matanya dingin dan serius. “Keluarga Dirgantara tidak akan direndahkan oleh skandal ini. Aku akan pastikan Nera menerima akibat dari perbuatannya. Tapi tanpa mencoreng nama keluarga kita.”

“Liam…” Arini terdengar bimbang. “Jangan bertindak gegabah…”

“Aku tahu apa yang aku lakukan, Ma,” ujar Liam tegas. Ia berdiri, meluruskan jasnya, bersiap pergi.

“Lupakan saja, Liam,” suara tua menginterupsi, membuat ketiganya menoleh. Aryo Dirgantara, ayah dari Dipta sekaligus kakek Liam, masuk ke ruangan dengan langkah perlahan, dibantu asistennya.

“Apa maksud Kakek?” tanya Liam, nadanya kesal.

Aryo duduk perlahan di sofa, pandangannya penuh ketenangan. “Kita tidak akan melakukan apa-apa pada Nera,” katanya datar dan penuh wibawa.

“Pa, dia sudah bikin cucuku hilang, cicit Papa,” potong Dipta, emosional.

“Lalu?” tanya Aryo dengan nada dingin yang membuat ruangan membeku.

Tawa Liam pecah seketika. Ia menatap kakeknya dengan sarkasme. “Keluarga yang lucu,” ucapnya sebelum melangkah pergi.

Namun, Aryo kembali berbicara. “Nera memegang kelemahan abangmu, Liam.”

Liam menoleh, matanya penuh kekecewaan. “Apa itu alasan Kakek membiarkan orang yang sudah bikin bayi tak berdosa hilang tetap aman?” tanyanya tajam.

Aryo menghela napas panjang. “Nera terobsesi dengan Billy, Liam. Semua orang tahu hal itu. Untuk mencegah korban lain, biarkan saja Nera tetap bersama Billy. Kalian harus tutup mata terhadap kenyataan Seline. Seline meninggal karena kecelakaan, tidak ada hubungannya dengan Nera. Hanya itu yang perlu kalian katakan pada Billy saat dia sadar.”

Kata-kata Aryo terdengar dingin tapi penuh penekanan, seperti keputusan yang tidak dapat dibantah.

Liam mengepalkan tangannya, kemarahannya memuncak. “Terserah Kakek saja,” ucapnya dingin sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan.

Hening menyelimuti ruangan setelah kepergian Liam. Arini menunduk, air matanya jatuh tanpa suara, sementara Dipta hanya bisa memandang ayahnya dengan sorot mata tak percaya. “Pa, ini nggak adil untuk cucuku. Apa menurut Papa harus seperti ini?” bisiknya.

Aryo menatapnya dengan tatapan keras. “Ini adalah cara terbaik untuk melindungi keluarga kita, Dipta. Kadang-kadang, kebenaran bukanlah pilihan yang paling bijak.”

Tbc..

Continúa leyendo este libro gratis
Escanea el código para descargar la App

Último capítulo

  • Balas Dendam dalam dekapan Tuan Muda Kedua    07

    Elena memejamkan mata sejenak, merasakan kegelisahan mulai merayapi pikirannya. Ia tahu, setelah mengaku tentang Sheryl, hubungannya dengan Dito tak akan lagi sama. Namun, ia tak ingin ada kebohongan atau harapan kosong yang menggantung. Lebih baik jujur daripada harus memikul beban yang semakin berat.Diva meraih tangan Elena, menggenggamnya dengan lembut.“Lo yakin nggak mau nunggu lebih lama? Pikirkan lagi baik-baik, El. Mungkin lo bisa pelan-pelan kasih dia waktu buat menerima semua ini.”Elena menggeleng, menatap Diva dengan mata yang menyiratkan tekad.“Nggak, Va. Gue nggak mau menggantung hubungan ini lebih lama. Kalau dia bisa terima, itu keajaiban buat gue. Tapi kalau nggak… gue akan berusaha ikhlas.”“Gue cuma nggak mau lo nyesel nanti,” ucap Diva, nada khawatir terdengar jelas.Elena tersenyum tipis, meskipun ada rasa perih di baliknya.“Nyesel itu pasti ada, Va. Tapi, yang lebih gue takutkan adalah nyakitin dia lebih dalam karena gue nggak berani jujur dari awal.”Diva ter

  • Balas Dendam dalam dekapan Tuan Muda Kedua    06

    Elena bersimpuh di samping pusara Seline, baby Sheryl berada dalam pangkuannya. Ia menatap gundukan tanah itu dengan senyum tipis yang berbalut duka.“Sel, pergilah dengan tenang. Gue janji, gue bakal melindungi Sheryl sepenuh hati. Gue bakal menyayangi dia kayak anak gue sendiri,” ujarnya dengan suara serak, menahan tangis.Elena menunduk, pandangannya jatuh pada Sheryl yang memandangnya dengan mata polos, bibir mungilnya melengkung seperti tersenyum.“Mulai sekarang, kamu anak mami, ya, Sayang. Kita akan jalani semuanya bareng,” bisiknya lembut, seolah berkomunikasi langsung dengan bayi mungil itu.Elena menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya. Bayi mungil dalam pangkuannya, Sheryl, menggerakkan tangannya yang kecil seakan merespons kata-kata Elena.“Kamu anak mami, sayang,” ulang Elena dengan suara lebih lembut, seolah meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini adalah jalan yang benar.Diva yang berdiri di samping Elena ikut terenyuh, namun ia berusaha menyembunyikan emosinya

  • Balas Dendam dalam dekapan Tuan Muda Kedua    05

    Selamat membaca, teman-teman…Follow IG: n.lita.s*Suasana pemakaman yang semula dipenuhi keheningan dan duka perlahan berubah riuh oleh bisik-bisik para tamu. Sebagian tidak mampu menahan kekaguman terhadap sosok Liam Dirgantara yang hadir dengan aura karismatiknya.“Itu Liam Dirgantara, kan? CEO muda Dirgantara Corp?” tanya seorang wanita penuh penasaran.“Seline kenal Pak Liam? Kok bisa?” sahut suara lain, sama terkejutnya.“Ya ampun, ganteng banget,” komentar berikut disertai tawa cekikikan.“Mahluk Tuhan paling memesona, beneran ini.”“Astaga, hatiku bergetar, Gusti.”“Aduh, andai bisa deket sama Pak Liam.”“Ganteng banget, sumpah.”Keharuan yang tadi menyelimuti pemakaman seketika berganti dengan riuh pujian. Bukan hanya para wanita, beberapa pria pun tak kuasa menyembunyikan kekaguman mereka pada sosok tampan berwibawa itu.Namun, di tengah segala sanjungan, hanya ada satu orang yang merasa muak setiap kali nama Dirgantara disebut—Elena. Ia berdiri agak jauh, berusaha mengabai

  • Balas Dendam dalam dekapan Tuan Muda Kedua    04

    "Jadi, sekarang lo butuh gue bantu apa, El?" Suara Diva memecah keheningan. Elena menoleh, matanya membesar, sedikit terkejut mendengar nada Diva yang mulai melunak."Kenapa lo natap gue gitu? Terharu, ya?" cibiran khas Diva menyusul. Meski suaranya terdengar sarkastik, ada kehangatan samar di baliknya.Elena tersenyum kecil—senyum yang tidak muncul sejak kepergian Seline. "Gue tahu lo pasti dukung keputusan gue, Va," ucapnya lega.Diva mendengus, melipat tangan di dada sambil menyandarkan tubuh ke dinding. "Tapi gue nggak mau ikut-ikutan kalo lo diamuk Bapak sama Ibu gue, ya. Ngeri," katanya sambil menggeleng. Ekspresinya setengah bercanda, setengah serius.Elena tertawa kecil untuk pertama kalinya sejak kejadian itu, meski matanya masih sembap. "Budhe sama Pakdhe pasti nggak akan mudah terima keputusan gue, Va. Tapi gue percaya, kasih sayang mereka bakal meluluhkan rasa kecewa mereka."Diva mengangkat alis, skeptis, tapi tak tega meruntuhkan semangat sepupunya. "Ya... tetep aja lo b

  • Balas Dendam dalam dekapan Tuan Muda Kedua    03

    Keesokan harinya.Tragis. Kecelakaan tunggal di Tol Jakarta–Bandung m.e.n.e.w.a.s.k.a.n seorang ibu muda dan bayinya.”Pyar!Gelas di tangan Elena terjatuh, pecah berantakan di lantai. Matanya terpaku pada layar televisi yang menayangkan berita kecelakaan itu. Napasnya tercekat, tubuhnya membeku, sementara kalimat reporter terasa menghantam dadanya.“Seline… Satrio…” gumam Elena, nyaris tanpa suara. Air matanya jatuh, perlahan tapi pasti. Tangannya gemetar saat melihat gambar mobil yang rusak parah. Plat nomornya… itu plat mobil Seline.Tangisnya pecah. “Lo beneran ninggalin dunia ini, Sel. Ninggalin gue, ninggalin Sheryl…” suaranya bergetar, penuh dengan kesedihan yang tak tertahankan. Bayangan wajah sahabatnya dan bayi mungil itu mengaburkan pandangannya.Drttt…Ponsel Elena berdering. Di layar, tertera nama yang akrab tapi terasa berat untuk dihadapi: Tante Erika.Dengan tangan gemetar, Elena mengangkat panggilan itu. “Ha…halo, Tante,” jawabnya, mencoba menahan tangis meski suarany

  • Balas Dendam dalam dekapan Tuan Muda Kedua    02

    Dua jam setelah Seline menitipkan Sheryl pada Elena, apartemen berubah senyap. Hingga tiba-tiba, tangis keras bayi itu memecah keheningan. Sheryl terbangun, suaranya mengguncang jiwa Elena yang baru saja memejamkan mata.“Utututu… Ayang kenapa nangis?” Elena berbisik lembut sambil mengangkat tubuh mungil Sheryl. Ia tersenyum tipis meski matanya berat menahan kantuk. “Oh, Sheyil ngompol, ya?” kekehnya pelan, meraba po pok basah bayi itu.Setelah meletakkan Sheryl kembali di tempat tidur, Elena meraih ponselnya. “Ini jam berapa, sih?” gumamnya lirih. Layar ponselnya kosong—tak ada pesan masuk, juga tak ada panggilan dari Seline.“Mama kamu kayaknya masih di jalan, Dek,” bisiknya pada Sheryl.Namun kegelisahan makin menekan dadanya. Ia akhirnya mengetik pesan:Elena: Lo di mana, Sel? Udah jalan ke apart gue belum? Sheryl nangis, nih. Po poknya penuh. Gue bingung gantiinnya.Pesan terkirim, tapi hanya centang satu. Elena mengernyit. “Kenapa cuma segini? Jaringan lo jelek, Sel?” gumamnya.

Más capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status