Compartir

03

Autor: N Lita S
last update Última actualización: 2025-09-21 01:06:33

Keesokan harinya.

Tragis. Kecelakaan tunggal di Tol Jakarta–Bandung m.e.n.e.w.a.s.k.a.n seorang ibu muda dan bayinya.”

Pyar!

Gelas di tangan Elena terjatuh, pecah berantakan di lantai. Matanya terpaku pada layar televisi yang menayangkan berita kecelakaan itu. Napasnya tercekat, tubuhnya membeku, sementara kalimat reporter terasa menghantam dadanya.

“Seline… Satrio…” gumam Elena, nyaris tanpa suara. Air matanya jatuh, perlahan tapi pasti. Tangannya gemetar saat melihat gambar mobil yang rusak parah. Plat nomornya… itu plat mobil Seline.

Tangisnya pecah. “Lo beneran ninggalin dunia ini, Sel. Ninggalin gue, ninggalin Sheryl…” suaranya bergetar, penuh dengan kesedihan yang tak tertahankan. Bayangan wajah sahabatnya dan bayi mungil itu mengaburkan pandangannya.

Drttt…

Ponsel Elena berdering. Di layar, tertera nama yang akrab tapi terasa berat untuk dihadapi: Tante Erika.

Dengan tangan gemetar, Elena mengangkat panggilan itu. “Ha…halo, Tante,” jawabnya, mencoba menahan tangis meski suaranya serak.

“El…” suara Tante Erika terdengar berat, seolah baru saja tercekat oleh kesedihan. “Seline udah nggak ada, El. Seline udah pergi untuk selamanya.”

Elena tak mampu menahan diri lagi. Tangisnya kembali pecah, lebih keras, lebih pilu. “Jadi… berita itu bener?” lirihnya.

“Iya, El. Tante udah dapat kabar. Tante minta maaf kalau selama ini Seline pernah bikin kamu sakit hati. Tante nggak nyangka dia akan kembali dalam keadaan seperti ini. Ini nyakitin kita semua.” Suara Erika retak, tapi ia tetap berusaha terdengar tegar.

“Tante sama Om lagi urus kepulangan Seline dan cucuku dari rumah sakit. Kita akan urus pemakaman hari ini juga. Tante mohon kamu datang, El. Kita antar Seline ke peristirahatan terakhirnya, bareng-bareng.”

Klik.

Telepon terputus.

Elena terduduk di lantai, di antara serpihan kaca. Bahunya berguncang hebat, tangannya menekan wajahnya yang basah oleh air mata. Luka di lengannya dari pecahan kaca tak ia hiraukan. Hatinya terasa jauh lebih sakit.

“Seline…” isaknya. “Lo bener-bener egois, Sel… Lo jahat sama Sheryl. Lo ninggalin dia! Lo ninggalin gue!” Teriakannya menggema di ruangan.

Namun hanya tangisan bayi kecil di kamar sebelah yang menjawab. Suara Sheryl kembali menangis, seolah menyadari sesuatu yang hilang.

*

Elena menatap bayi mungil di pangkuannya dengan tatapan kosong.

Sheryl terlelap, wajahnya polos tak tahu apa-apa tentang kekacauan dunia. Elena merasa hatinya berat, seolah terhimpit oleh beban yang tidak pernah ia minta.

Pikiran itu berputar-putar. Haruskah ia menyerahkan Sheryl kepada Tante Erika? Nenek Sheryl pasti akan menyambutnya dengan tangan terbuka. Tapi di balik itu, ada ketakutan mendalam.

Dirgantara.

Nama itu membayangi pikirannya seperti ancaman gelap. Jika Sheryl jatuh ke tangan marga itu, apa yang akan terjadi? Bukankah Seline sudah berusaha keras agar putrinya terhindar dari bayang-bayang keluarga itu?

Elena menghela napas berat, menunduk menatap Sheryl. Wajah bayi itu mengingatkannya pada Seline. Ada jejak sahabatnya di sana, terlihat begitu jelas hingga dada Elena terasa sesak.

“Gue masih kuliah, Sel… gimana gue besarin Sheryl, hah? Lo tahu gue bahkan nggak bisa ngurus diri sendiri!” gumam Elena, nyaris seperti bicara pada bayangan Seline. “Kenapa lo se-percaya itu sama gue?”

Air mata menggenang lagi. Ia ingin marah, ingin menyalahkan Seline. Tapi bagaimana mungkin? Seline sudah pergi, membawa semua beban ke liang kubur. Yang tersisa hanyalah bayi ini.

Di tengah keheningan malam, Elena menyandarkan kepala ke sofa. “Kalau, kalau memang gue harus jalanin ini, semoga gue punya kekuatan,” bisiknya lirih.

Bel apartemen berbunyi. Dengan tergesa, ia mengusap wajahnya. Menggendong Sheryl erat-erat, ia melangkah ke pintu dan membukanya.

Diva, sepupunya, berdiri di sana dengan ekspresi tajam. “Jadi, yang lo bicarain di telepon itu serius?” tanyanya, matanya tertuju pada bayi di pelukan Elena.

“Masuk dulu,” ucap Elena singkat.

Diva mengikuti Elena ke kamar. Di sana, Elena duduk di tepi tempat tidur sambil memandangi Sheryl.

“El, lo nggak mungkin punya pikiran buat besarin bayi ini sendirian, kan?” tanya Diva serius.

Elena hanya menghela napas dan memandang Sheryl.

“El, jawab. Lo tahu bapak-ibuk nggak bakal setuju kalau lo tiba-tiba ngurus anak orang lain.”

Elena mendesah panjang. “Terus gue harus gimana, Va? Buang bayi ini ke panti asuhan? Gue nggak tega.”

Diva menatap Elena tajam. “Tapi Seline masih punya orang tua angkat, kan? Kasih ke mereka aja.”

Elena menggeleng pelan. “Tante Erika mau ikut Om ke Belanda. Mereka udah tua, Va. Dan Seline… dia nggak mau Sheryl tercium keluarga Dirgantara. Dia takut Sheryl bernasib sama kayak Satrio.”

Diva terdiam.

Elena menunduk, suaranya lirih tapi penuh tekad. “Gue nggak tahu gimana caranya. Tapi gue nggak bisa nutup mata. Sebelum Seline pergi, dia udah amanahin ini ke gue. Dia kasih semua tabungan buat Sheryl. Dia bahkan udah siapin semuanya.”

Diva menghela napas panjang. “Jadi lo udah mutusin bakal urus dia sendiri, ya?”

Elena mengangguk pelan. “Kalau gue nggak ngelakuin ini, siapa lagi?”

Keheningan menyelimuti ruangan. Tekad Elena sudah bulat.

TBC..

Continúa leyendo este libro gratis
Escanea el código para descargar la App

Último capítulo

  • Balas Dendam dalam dekapan Tuan Muda Kedua    07

    Elena memejamkan mata sejenak, merasakan kegelisahan mulai merayapi pikirannya. Ia tahu, setelah mengaku tentang Sheryl, hubungannya dengan Dito tak akan lagi sama. Namun, ia tak ingin ada kebohongan atau harapan kosong yang menggantung. Lebih baik jujur daripada harus memikul beban yang semakin berat.Diva meraih tangan Elena, menggenggamnya dengan lembut.“Lo yakin nggak mau nunggu lebih lama? Pikirkan lagi baik-baik, El. Mungkin lo bisa pelan-pelan kasih dia waktu buat menerima semua ini.”Elena menggeleng, menatap Diva dengan mata yang menyiratkan tekad.“Nggak, Va. Gue nggak mau menggantung hubungan ini lebih lama. Kalau dia bisa terima, itu keajaiban buat gue. Tapi kalau nggak… gue akan berusaha ikhlas.”“Gue cuma nggak mau lo nyesel nanti,” ucap Diva, nada khawatir terdengar jelas.Elena tersenyum tipis, meskipun ada rasa perih di baliknya.“Nyesel itu pasti ada, Va. Tapi, yang lebih gue takutkan adalah nyakitin dia lebih dalam karena gue nggak berani jujur dari awal.”Diva ter

  • Balas Dendam dalam dekapan Tuan Muda Kedua    06

    Elena bersimpuh di samping pusara Seline, baby Sheryl berada dalam pangkuannya. Ia menatap gundukan tanah itu dengan senyum tipis yang berbalut duka.“Sel, pergilah dengan tenang. Gue janji, gue bakal melindungi Sheryl sepenuh hati. Gue bakal menyayangi dia kayak anak gue sendiri,” ujarnya dengan suara serak, menahan tangis.Elena menunduk, pandangannya jatuh pada Sheryl yang memandangnya dengan mata polos, bibir mungilnya melengkung seperti tersenyum.“Mulai sekarang, kamu anak mami, ya, Sayang. Kita akan jalani semuanya bareng,” bisiknya lembut, seolah berkomunikasi langsung dengan bayi mungil itu.Elena menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya. Bayi mungil dalam pangkuannya, Sheryl, menggerakkan tangannya yang kecil seakan merespons kata-kata Elena.“Kamu anak mami, sayang,” ulang Elena dengan suara lebih lembut, seolah meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini adalah jalan yang benar.Diva yang berdiri di samping Elena ikut terenyuh, namun ia berusaha menyembunyikan emosinya

  • Balas Dendam dalam dekapan Tuan Muda Kedua    05

    Selamat membaca, teman-teman…Follow IG: n.lita.s*Suasana pemakaman yang semula dipenuhi keheningan dan duka perlahan berubah riuh oleh bisik-bisik para tamu. Sebagian tidak mampu menahan kekaguman terhadap sosok Liam Dirgantara yang hadir dengan aura karismatiknya.“Itu Liam Dirgantara, kan? CEO muda Dirgantara Corp?” tanya seorang wanita penuh penasaran.“Seline kenal Pak Liam? Kok bisa?” sahut suara lain, sama terkejutnya.“Ya ampun, ganteng banget,” komentar berikut disertai tawa cekikikan.“Mahluk Tuhan paling memesona, beneran ini.”“Astaga, hatiku bergetar, Gusti.”“Aduh, andai bisa deket sama Pak Liam.”“Ganteng banget, sumpah.”Keharuan yang tadi menyelimuti pemakaman seketika berganti dengan riuh pujian. Bukan hanya para wanita, beberapa pria pun tak kuasa menyembunyikan kekaguman mereka pada sosok tampan berwibawa itu.Namun, di tengah segala sanjungan, hanya ada satu orang yang merasa muak setiap kali nama Dirgantara disebut—Elena. Ia berdiri agak jauh, berusaha mengabai

  • Balas Dendam dalam dekapan Tuan Muda Kedua    04

    "Jadi, sekarang lo butuh gue bantu apa, El?" Suara Diva memecah keheningan. Elena menoleh, matanya membesar, sedikit terkejut mendengar nada Diva yang mulai melunak."Kenapa lo natap gue gitu? Terharu, ya?" cibiran khas Diva menyusul. Meski suaranya terdengar sarkastik, ada kehangatan samar di baliknya.Elena tersenyum kecil—senyum yang tidak muncul sejak kepergian Seline. "Gue tahu lo pasti dukung keputusan gue, Va," ucapnya lega.Diva mendengus, melipat tangan di dada sambil menyandarkan tubuh ke dinding. "Tapi gue nggak mau ikut-ikutan kalo lo diamuk Bapak sama Ibu gue, ya. Ngeri," katanya sambil menggeleng. Ekspresinya setengah bercanda, setengah serius.Elena tertawa kecil untuk pertama kalinya sejak kejadian itu, meski matanya masih sembap. "Budhe sama Pakdhe pasti nggak akan mudah terima keputusan gue, Va. Tapi gue percaya, kasih sayang mereka bakal meluluhkan rasa kecewa mereka."Diva mengangkat alis, skeptis, tapi tak tega meruntuhkan semangat sepupunya. "Ya... tetep aja lo b

  • Balas Dendam dalam dekapan Tuan Muda Kedua    03

    Keesokan harinya.Tragis. Kecelakaan tunggal di Tol Jakarta–Bandung m.e.n.e.w.a.s.k.a.n seorang ibu muda dan bayinya.”Pyar!Gelas di tangan Elena terjatuh, pecah berantakan di lantai. Matanya terpaku pada layar televisi yang menayangkan berita kecelakaan itu. Napasnya tercekat, tubuhnya membeku, sementara kalimat reporter terasa menghantam dadanya.“Seline… Satrio…” gumam Elena, nyaris tanpa suara. Air matanya jatuh, perlahan tapi pasti. Tangannya gemetar saat melihat gambar mobil yang rusak parah. Plat nomornya… itu plat mobil Seline.Tangisnya pecah. “Lo beneran ninggalin dunia ini, Sel. Ninggalin gue, ninggalin Sheryl…” suaranya bergetar, penuh dengan kesedihan yang tak tertahankan. Bayangan wajah sahabatnya dan bayi mungil itu mengaburkan pandangannya.Drttt…Ponsel Elena berdering. Di layar, tertera nama yang akrab tapi terasa berat untuk dihadapi: Tante Erika.Dengan tangan gemetar, Elena mengangkat panggilan itu. “Ha…halo, Tante,” jawabnya, mencoba menahan tangis meski suarany

  • Balas Dendam dalam dekapan Tuan Muda Kedua    02

    Dua jam setelah Seline menitipkan Sheryl pada Elena, apartemen berubah senyap. Hingga tiba-tiba, tangis keras bayi itu memecah keheningan. Sheryl terbangun, suaranya mengguncang jiwa Elena yang baru saja memejamkan mata.“Utututu… Ayang kenapa nangis?” Elena berbisik lembut sambil mengangkat tubuh mungil Sheryl. Ia tersenyum tipis meski matanya berat menahan kantuk. “Oh, Sheyil ngompol, ya?” kekehnya pelan, meraba po pok basah bayi itu.Setelah meletakkan Sheryl kembali di tempat tidur, Elena meraih ponselnya. “Ini jam berapa, sih?” gumamnya lirih. Layar ponselnya kosong—tak ada pesan masuk, juga tak ada panggilan dari Seline.“Mama kamu kayaknya masih di jalan, Dek,” bisiknya pada Sheryl.Namun kegelisahan makin menekan dadanya. Ia akhirnya mengetik pesan:Elena: Lo di mana, Sel? Udah jalan ke apart gue belum? Sheryl nangis, nih. Po poknya penuh. Gue bingung gantiinnya.Pesan terkirim, tapi hanya centang satu. Elena mengernyit. “Kenapa cuma segini? Jaringan lo jelek, Sel?” gumamnya.

Más capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status