Pov Arga "Kamu bener mencintai Mbak Rain, Mas?" tanya Shelina, seusai kepergian Rain dari rumah. "Emm ... Itu ..." Aku bingung harus menjawab apa? Karena sejujurnya, jauh di dalam hatiku memang tersemat namanya. Meskipun belum bisa menggantikan Shelina. Entah itu bermula sejak kapan? Yang pasti, saat aku mulai memperhatikan ia yang tengah menyiapkan makanan untukku, juga ketika ia menyambutku dengan pakaian rapi, sore itu. Ada yang berbeda. Jelas. Biasanya ia akan mengenakan daster berbau bawang ketika menyambutku pulang kerja. Sejak saat itu, bayang-bayang Raina mulai menghantuiku. Hingga akhirnya, aku menikah dengan Shelina. Entah, ada yang terasa kosong. Aku, tak sebahagia yang kubayangkan. Tadinya kupikir, menikahi Shelina merupakan keinginan terkuatku. Namun sepertinya, sosok Raina telah berhasil merebut perhatianku. "Mas? Ditanya kok malah diem?" Suara Lina membuatku tersadar dari bayang masa lalu. "Mas nggak tahu. Spontan aja tadi jawabnya," ucapku sambil masuk ke dala
Kukejar perempuan yang sudah menemaniku selama dua tahun itu. Entah kenapa, rasa takut mulai menyergap. Kuambil kunci mobil, lalu mengikuti taksi yang telah distop oleh Raina. "Jangan. Jangan begini, aku takut kehilanganmu." Dengan kecepatan penuh, kulajukan mobil hingga akhirnya... Brak! Kurasakan hantaman pada mobil bagian depan dan belakang. Masih dapat kudengar riuh suara orang-orang menghampiri, hingga akhirnya aku mulai kehilangan kesadaranku. --Pov Raina Aku begitu kagum pada Mas Arga. Mau sampai kapan dia akan membuktikan yang katanya mencintaiku itu? Bukankah semua itu palsu? Kita lihat, apakah dia benar-benar mau menceraikan Shelina? Aku dan Mama pergi bersama ke rumah Mas Arga, lalu mendapati hal yang kuinginkan. Mas Arga, mentalak langsung Shelina. Hatiku langsung berbunga-bunga. Apakah kalian pikir aku memintanya untuk menceraikan Shelina agar kami dapat bersama? No-no! Kalian salah besar. Setelah mendengar ucapan talak Mas Arga pada wanita tak tahu diri itu,
"Halo. Assalamu-""Mbak ... Tolong aku, hiks." Dahiku berkerut mendengar suara Megan di seberang sana. Kenapa dengannya?"Ada apa?" "Mbak, sepertinya, aku hamil." Deg! Dia hamil? "Lalu?""Bantu aku, Mbak.""Bagaimana caranya?" "Aku mau menggugurkannya." "Astaghfirullah. Sadar, Megan!" "Aku bingung, Mbak. Hiks." Aku pun semakin bingung. Sebenarnya, apa yang terjadi dengan adik iparku itu? "Kamu di mana sekarang?" Setelah mendengar nama tempat yang diucapkan oleh Megan, aku segera meluncur ke sana. "Ke mana?" tanya Mama saat aku menyambar kunci mobil yang tepat berada di sampingnya. "Rain ada perlu, Ma. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikum salam." Kupacu mobil dengan kecepatan penuh. Tak kupedulikan umpatan bahkan cacian pengguna lain. Yang ada di pikiranku sekarang adalah, bagaimana untuk cepat sampai di sana. Kuparkirkan mobil di depan sebuah hotel bintang tiga tersebut. "Mau cari siapa?" tanya satpam. "Mau cari adik saya." "Kamar nomor?" Duh, aku lupa menanyakannya. Lagi
Sampai di rumah sakit, segera kucari suster dan menanyakan ruang Mas Arga dirawat. "Keluarganya?" Aku mengangguk. Lalu beranjak pergi setelah menemukan nomor kamarnya. "Pasien mengalami pendarahan hebat. Untungnya, dokter yang berjaga sangat siaga. Pendarahan dapat diberhentikan, sekarang pasien sudah di ruang rawat inap," kata suster tadi. Sampai di ruangannya, sepi. Tak kutemukan Ibu di sana. Apakah pihak rumah sakit hanya menghubungiku saja? "Sepertinya, dia belum sadar," ucap Mama sambil meletakan tasnya di sofa. Aku duduk di sebelahnya, tanpa sadar, hatiku sakit melihatnya seperti ini. "Aku telpon Ibu dulu, Mbak." Aku mengangguk mendengar penuturan Megan. Tapi, bukankah ia sedang tak ingin bertemu dengan Ibu? Ah, sudahlah. Tak berapa lama, seorang dokter datang bersama suster. "Keluarga pasien Arga?" Aku mengangguk, lalu berdiri menghampiri dokter muda itu. "Bisa ikut ke ruangan saya?" "Kenapa nggak dijelaskan di sini saja, Dok?" "Ini penting, Bu," kata Dokter itu d
Aku dan Mama berpandangan, sementara Megan segera keluar dari dalam kamar. "Mas Arga sudah tidur, Gan?" "Sudah, Mbak. Sepertinya, itu suara Ibu, ya?" Aku mengangguk. Kenapa Ibu berteriak begitu? Segera kubuka pintu yang memang sengaja kukunci. "Rain! Di mana Arga? Mana anakku?" "Bu, tenang. Kita bicarakan di dalam." Ibu masuk dengan wajah merah padam. Ada apa sebenarnya? "Mana Arga?" "Bu, Mas Arga baru pulang dari rumah sakit. Jika Ibu datang hanya membawa masalah, sebaiknya Ibu simpan dulu," ucapku. "Heh, perempuan mandul! Arga itu anakku. Kenapa dia tak mengirimkan uang begitu kupinta? Biasanya dia akan langsung mengirimkannya. Kamu pastii menghasutnya, kan?" Deg! Perempuan mandul? "Astaghfirullah, Bu! Anak saya tidak mandul, ya!" Papa datang dari kamarnya. Lalu berdiri, berhadapan dengan Ibu mertuaku."Alah, kalau tidak mandul, kenapa tak hamil juga? Sedangkan Shelina saja sudah hamil, kok!" Apa? "Shelina hamil?" tanyaku."Ya, dia sudah hamil empat minggu. Sedangkan
Dahi Ibu mengernyit, menandakan ia tengah dilanda kebingungan. "Maksud Besan, apa?" "Tidak. Saran saya, jaga anak anda. Apalagi dia adalah perempuan. Jangan sampai tersesat di tengah jalan. Dulu, waktu Raina masih muda, saya menjaganya dengan ketat. Supaya dia tetap aman dan tak mempermalukan keluarga. Silakan, bawa anak anda pulang!" Bapak berbicara. "Mbak, aku gak mau," bisik Megan. "Kenapa?" "Aku takut, Ibu akan menghajarku, Mbak.""Bukankah itu konsekuensimu?" "Mbak," pintanya memelas. "Nanti, Rain antarkan Megan pulang. Sekarang, Ibu pulang saja. Takut menantu kesayangan Ibu itu kenapa-napa. Apalagi, dia sedang hamil, bukan?" ucapku. Padahal, aku ingat betul apa yang terakhir Mas Arga ucapkan padaku waktu itu. "Mas belum pernah menyentuh Shelina, Dek. Percayalah, semakin ke sini, perasaanku padamu semakin tumbuh. Entah kenapa, posisi Shelina geser begitu saja." Aku tersenyum saat teringat ucapannya. Entah mana yang benar? Jika apa yang Ibu katakan itu benar, maka Mas Ar
Nur memalingkan mukanya, seakan ia enggan untuk menjawab panggilan Megan. Aku mengerti keadaannya sekarang. "Kakak tinggal dulu. Kalian bicaralah. Selesaikan yang memang harus kalian selesaikan. Ingat, Allah membenci hambanya yang saling bermusuhan." Setelahnya, aku masuk. Membawa tas berisi pakaian milik Nur. "Mana Nur?" "Di luar. Jangan diganggu dulu, Ma. Sepertinya, Nur dan Megan ada sedikit kesalah pahaman," ucapku. Mama menghembuskan napasnya. "Kemarin mertua, terus suamimu, sekarang adiknya. Kenapa, sih, keluarga suamimy itu selalu bikin masalah?" Aku tersentak dengan penuturan Mama. Aku baru sadar, mungkin di antara kami, Mama lah yang paling sakit hatinya. Aku dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Mama bahkan tak pernah membentakku, tak pernah membiarkan aku mengerjakan pekerjaan rumah. Dari dulu, yang harus kukerjakan hanyalah membereskan kamar dan kasur setelah bangun tidur. "Entahlah, Mama bingung bagaimana cara mereka hidup. Rasanya mama capek. Kami yang sudah pu
Keluarga Kak Raina begitu baik. Kecuali papanya. Beliau menolak kehadiranku. Beruntung, Kak Raina dan mamanya bersedia membelaku. Kejadian Mas Arga kecelakaan hingga membuatnya amnesia, membuatku sedikit lega. Pasalnya, jika ia sampai tahu aku pura-pura amnesia, bukan tidak mungkin ia akan membuatku menjadi perkedel. Setelah Mas Arga pulang, aku menyadari satu hal. Bahwa Mas Arga, sebenarnya tidak lah amnesia. Dia, hanya berpura-pura. "Tolong, jangan beritahu Rania dan keluarganya kalau Mas hanyalah pura-pura. Oke?" Aku mengangguk saja. Toh itu tak penting untukku. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana cara agar kehamilan ini tak kelihatan? Apa, aku gugurkan saja?Habis isya, aku dan Kak Rania tengah mengobrol. Aku akan meminta sarannya tentang menggugurkan kandungan ini. Karena rasanya, nasihatnya saat ini adalah yang terbaik. Daripada bertanya pada Ibu. Bisa-bisa beliau ngamuk. "Nur?" panggilku pada seorang perempuan yang baru memasuki halaman ketika aku baru datang dari da