Yang bertanda tangan di bawah ini, saya, Hendranto ingin memberikan sebuah wasiat bagi anak saya. Jika dia tak bisa menikah dengan anak sahabatku yaitu Raina, maka semua harta ini akan jatuh ke pihak yayasan yang selama ini saya urus. Begitupun dengan anggota keluarga yang lain. Tak ada harta warisan, selama Arga tak menikah dengan Raina.
Apabila diketahui sebelum memiliki anak dan keduanya bercerai, maka harta itu mutlak menjadi milik Raina kecuali rumah.
Jika diketahui Arga berselingkuh di belakang Raina, dan Raina membawa bukti ke pengacara keluarga saya, maka semua harta itu mutlak menjadi milik Raina, tanpa terkecuali.
Demikian, surat wasiat ini saya buat dalam keadaan sadar.
Hendranto.
-
Mataku membulat membaca isi wasiat itu. Jadi, Mas Arga menikahiku hanya karena harta warisan? Jadi, selama ini, aku hanyalah wanita yang terlalu mereka bodohi.
"Lagi apa kamu?"
Suara Mas Arga mengagetkanku yang tengah berjongkok. Buru-buru kutaruh kembali map itu, kemudian berdiri. Untung baju sudah semua kuletakkan di tempatnya.
"Masukin baju, Mas. Apa lagi?" ucapku sambil melewatinya.
"Ehm ... Lain kali, jangan sembarangan membuka lemariku. Taruh saja bajunya di luar atau kamu suruh Megan untuk memasukkannya."
"Kamu bahkan tak sudi aku membuka lemarimu? Ada apa memangnya?"
"Apa maksudmu, Rain?"
"Aku hanya bingung, Mas. Apa yang sebenarnya terjadi hingga kamu tak sudi berdekatan denganku? Berbicara denganku? Dan juga, menyentuhku? Apa, Mas?!"
"Rain, kamu sakit?"
"Ya! Aku sakit, Mas! Kamu tega!"
Aku berlari keluar, lalu masuk lagi hanya untuk mengambil dompet. Malam ini, kuputuskan untuk tidur di rumah Mama.
"Rain, kamu mau ke mana?" teriak Mas Arga.
"Sudah biarkan saja! Paling cuma akting itu, Mas. Biar dia dikejar. Alah, basi!"
Megan! Mulut anak itu benar-benar berbisa. Kubanting pintu utama keras. Biar saja! Biar mereka tahu bahwa aku benar-benar marah sekarang!
Mereka pikir, aku ini apa? Apakah selama ini mereka menganggapku tawanan? Tawanan untuk harta warisan. Jika aku masih di tawan di sana, maka mereka dengan bebas menguasai semuanya.
Kustop taksi dan segera berangkat menuju rumah Mama.
"Assalamu'alaikum, Ma!" kuketuk pintu berwarna cokelat itu.
Lama tak ada jawaban, kuketuk lagi. Hah, pasti Mama sudah tidur. Wajar, sekarang sudah pukul sembilan.
Ceklek!
Baru saja aku hendak melangkah, pintu terbuka. Wajah khas bangun tidur itu seketika mengernyit kala menatapku."Lho, kok gak ngasih tahu mau ke sini?"
"Hehe, kebetulan mampir aja, Ma. Abis dari cabang yang di merdeka."
Ya, aku harus berbohong. Jangan sampai Mama tahu, bahwa keadaan rumah tanggaku sedang tak baik-baik saja.
"Arga mana?"
"Di rumah, Ma."
"Tapi, dia sudah tahu?"
Ragu, aku mengangguk. Mama mengulas senyum, kemudian menarikku masuk ke dalam. Papa sepertinya sudah tidur.
"Papa mana, Ma?"
"Sudah tidur."
"Ya sudah, Rain juga tidur, ya, Ma."
Mama mengangguk. "Selamat tidur, sayang."
Aku masuk ke dalam kamar. Kamar yang penuh dengan kenangan. Aku rindu tidur di sini.
Kulihat gawai, lalu kubuka akun sosial mediaku. Nampak status Lina lewat.
[Bismillah, hari H semakin dekat. Semoga tak ada halangan. Love you, A.]
Kuketik komentar, untung kugunakan akun palsu, sehingga ia takkan curiga.
[Duh, yang mau nikah. Selamat, ya! Btw, acaranya di mana?]
Dua menit kemudian, datang balasan komentar darinya. Aku tersenyum saat membaca alamatnya. Ini adalah gedung milik Om-ku.
Bersiaplah, Mas! Akan kubuat acaramu semakin istimewa.
Pagi hari. Aku bangun dengan semangat empat lima. Sudah lama, aku tak merasakan bangun di atas jam 5 pagi. Biasanya, sebelum jam 4, nenek lampir itu akan membuat seisi rumah heboh dengan menjatuhkan panci dan kawan-kawannya. "Pagi, Ma," ucapku kala melihat malaikatku itu tengah berada di dapur. "Pagi," jawab Mama. Aku membantu Mama mengiris kol dan wortel. Rencananya akan membuat bakwan, makanan kesukaanku. "Ma, kalau misalkan Papa menikah lagi, apa Mama bakal marah?" tanyaku. Mama seketika berbalik menatapku. Keningnya berkerut. "Tentu. Kenapa? Apa si Arga mengkhianatimu dan akan menikah lagi?" Pertanyaan Mama membuatku terdiam, kemudian menggeleng. "Nggak, Ma. Cuma nanya aja. Temen Rain ada yang mengalami nasib kaya gitu. Dia sama kayak Rain. Menikah karena dijodohkan. Tapi, nasibnya tak sebaik aku." Aku menunduk. Ada rasa perih yang menjalar dalam dada. Ya Allah, jika tahu akan begini, aku tak ingin menikah dengannya. "Lho, sejak kapan Raina di sini?" tanya Papa yang bar
"Assalamu'alaikum," ucapku dan Bapak secara bersamaan masuk ke dalam rumah. "Wa'alaikum salam. Lho, sudah pulang?" tanya Mama ramah. Wajah datarnya tadi hilang seketika. Ibu kenapa?"Iya, Bu. Lho, Mas, Shelina, kenapa kalian ke sini?" tanyaku datar. "Dek, ayo pulang." Dek? Jarang sekali dia memanggilku dengan sebutan itu. Kebanyakan ia memanggil nama panggilanku. Rain. "Ngapain? Aku masih betah di sini.""Dek, jangan begitu. Ibu nanyain kamu terus." 'Apa mereka sudah kelaparan, Mas? Sehingga kamu mencariku?' tanyaku dalam hati. "Apa Ibu merindukanku?" tanyaku padanya. "Iya, tentu. Bukankah kamu menantu yang paling mengertinya?" 'Maksudmu, karena aku mengerti keadaan rumah yang kotor harus selalu dibersihkan dan dibereskan?' tanya batinku."Memangnya, Ibu nanya apa, Mas?" tanyaku lagi. "Iya, katanya sepi nggak ada kamu, Dek," jawabnya dengan wajah menunduk. Khas seperti orang yang bersalah.'Apa karena tak ada yang bisa diteriakinya, Mas?' "Oh, begitu. Ya sudah, nanti aku pul
Aku sudah kembali ke rumah ini, dua hari yang lalu. Seperti biasa, aku melakukan semua pekerjaan rumah ini sendirian, tanpa bantuan siapapun. Semua orang, mungkin kini tengah bersiap untuk menghadiri pernikahan kedua Mas Arga. Aku tersenyum, membayangkan apa yang akan terjadi nanti. "Mbak, mana sarapan!" Gadis itu, ingin kutoyor saja kepalanya! "Kamu gak lihat, Mbak lagi ngapain? Ambil sendiri. Sudah Mbak bikinkan nasi goreng," ucapku sambil mencuci piring bekas semalam mereka berpesta. Ya, mungkin untuk merayakan malam pernikahan Mas Arga dan Shelina, mereka semalam begadang sampai tak tahu waktu. Aku mengurung diri di kamar, tak berminat ikut. Toh seandainya ikutpun, yang ada aku hanya akan dijadikan babu gratisan. Sudah cukup selama ini! Megan menghentakkan kakinya berjalan ke dapur, lalu mengambil piring dengan wajah cemberut dan bibir monyong. Aku terkikik geli. "Ada yang lucu, hah?" tanyanya nyolot. Kusudahi mencuci piring karena memang semuanya sudah beres, lalu mengel
Pagi ini, aku dengan ditemani Mama akan berangkat menuju kantor notaris. Di sana, juga sudah ada pengacara keluarga Mas Arga. "Kamu sudah siap? Yakin akan melakukan ini?" tanya Mama."Tentu, Ma. Aku tak ingin terus menerus dijadikan babu di sana," ucapku sambil menyetir mobil Mama. "Babu?" Aku terdiam. Duh, keceplosan. Dasar mulut tak bisa direm! "Yaa kan, kalau Raina jadi istri Mas Arga, di sana harus menyiapkan segela kebutuhan-""Seluruh keluarganya?" potong Mama dengan cepat. Aku diam lagi. Memang Mamaku ini instingnya begitu hebat. "Nggak lah, Ma. Hanya Mas Arga saja." "Rain.""Ma, percaya sama Raina." "Apa kamu baik-baik saja? Selama menikah pun, kamu tak pernah bercerita apapun pada Mama. Sampai Mama mengira bahwa rumah tanggamu baik-baik saja." "Maaf, Ma.""Nah, kan, bener? Kamu selama ini dimanfaatin sama keluarga itu?" Bodoh! Seharusnya aku tak terpancing dengan jebakan Mama. Aku hanya menggeleng lemah."Stop di sini.""Kenapa?""Mama punya rencana. Batalkan janj
"Eh, anu. Jadi dari kecil, Shelina sama Arga ini udah main bareng. Jadi, biasa manggil Ibu," jawab Ibu tergagap. "Oh. Saya nggak disuruh duduk, nih?" "Eh? Iya, duduk, Besan." Kami semua duduk. Mas Arga tampak berdiri dan menyalami mertuanya ini. Aku diam saja, tak menggubrisnya. "Arga, ajak istrimu ini jalan-jalan. Kayaknya kusut banget kaya orang ditinggal lakinya kawin lagi."Uhuk-uhuk! Shelina yang tengah melanjutkan makan jeruk, malah terbatuk mendengar ucapan Mama. "Ma-maksud Mama apa?" "Ya nggak. Lagian dari tadi si Rain ini bengong terus. Mama malah ketemu sama dia lagi duduk di depan mini market. Melongo aja." Duh, Mama! Kenapa bikin aku seolah ngenes gitu, sih? Gimana kalau mereka mikirnya aku depresi karena ditinggal Mas Arga nikah lagi? "Oh, iya, Shelina sudah punya pacar? Tante punya keponakan, lho. Ganteng. Cocok sama kamu.""Shelina ini sudah punya tunangan, Besan. Jadi terpaksa saran besan saya tolak," jawab Ibu."Ya nggak papa kali, Bu. Lagian keponakan Rain i
"Saya mau ajak Lina ke dokter, Besan. Saya gak enak nih udah bikin anak orang celaka," ucap Mama, aku hanya berdiri di belakangnya. Lebih tepatnya di depan pintu yang terbuka. "Nggak usah, Besan. Biar saya aja. Lagian, Besan itu gimana, sih? Kenapa Lina malah jadi kaya gini? Kalau nggak niat, mending nggak usah aja sekalian," sahut Ibu ketus. "Kok Besan kayak marah banget gitu, sih?" "Eh? Ehm... Ya kan Lina ini keponakan saya. Kalau nanti Mama Papanya marah, gimana?" tanya Ibu. "Ya makanya, saya mau ajak Lina ke dokter. Besan jangan ngeyel, deh. Saya kan cuma niat mau ngobatin dia sekaligus nebus kesalahan saya. Jangan dihalangi. Ayo, Lina!" Mama menerobos masuk lebih dalam lagi ke kamar Mama, lalu mengamit lengan Lina. Aku berjalan mengekori Mama. Ketika melewati Mas Arga, ia langsung berdiri melihat kami akan ke luar. "Mau ke mana, Ma? Itu Lina kok dibawa?" tanyanya sambil melipat koran. Jika hari libur, ia memang lebih suka membaca koran daripada bermain ponsel."Mau ke klini
Pov Shelina -- Flashback kenangan Shelina -- Namaku Shelina. Aku adalah anak dari adik Tante Marini, ya meskipun bukan adik kandung melainkan adik angkat. Kata Mama, dulu Tante Rini adalah anak tunggal, ibunya yang tak lain nenekku sudah tidak bisa mengandung lagi karena ada kista dan itu membuat rahimnya diangkat. Tante Rini mempunyai anak bernama Kak Diana, serta seorang anak bungsu lelaki bernama Mas Arga. Mas Arga adalah seorang yang sangat tampan dan juga mapan. Mama selalu memprovokasiku untuk mendekatinya. Berbagai cara kukeluarkan, namun nyatanya bukan cinta yang kudapat, melainkan patah hati. Ya, Mas Arga menikah dengan seorang wanita bernama Raina. Aku tak tahu, apa bagusnya wanita itu. "Sudahlah, Lina, untuk apa kamu menangisinya? Bukankah kamu yang tak membiarkan dia jatuh ke pelukanmu?" Ucapan Mama begitu menyentakku. Apa maksudnya? Apakah beliau menyalahkanku karena tak becus menggaet lelaki itu? "Tapi, Ma. Mas Arga memang tak memiliki hasrat pada Lina. Mama ta
Aku tersenyum miring saat Ibu menyadari hal apa yang barusan beliau ucapkan. Pun demikian dengan Mas Arga, wajahnya sudah sepucat mayat. "Ma, Arga bisa jelaskan." "Apa? Apa yang kamu mau jelaskan? Sudah jelas kalau ibumu ini bilang kalian sudah halal, jadi nggak ada yang perlu dijelaskan lagi. Sekarang, Mama minta, kamu ceraikan Rain!" Jedder! Mama memang selalu to the point. Mas Arga menatapku sendu, kenapa? Bukankah kami menikah memang karena dijodohkan? Bahkan tak ada cinta di antara kami. "Nggak bisa gitu, dong, Ma. Arga, mencintai Rain. Nggak mungkin menceraikannya." Aku terdiam, membeku. Apa aku tak salah mendengarnya? Dia, mencintaiku? "Mas!" Shelina memukul lengan Mas Arga, sedangkan Ibu hanya menatap tak percaya pada anak bungsunya itu. "Halah! Memangnya kamu pikir Mama tak tahu? Kalian selama ini memperlakukan anak Mama satu-satunya ini, selayaknya pembantu. Pembantu mah enak, dapet duit. Lah, Rain dapet apa? Dapet dikhianatin doang!" Kutatap wajah Ibu yang s