Pagi ini, aku dengan ditemani Mama akan berangkat menuju kantor notaris. Di sana, juga sudah ada pengacara keluarga Mas Arga. "Kamu sudah siap? Yakin akan melakukan ini?" tanya Mama."Tentu, Ma. Aku tak ingin terus menerus dijadikan babu di sana," ucapku sambil menyetir mobil Mama. "Babu?" Aku terdiam. Duh, keceplosan. Dasar mulut tak bisa direm! "Yaa kan, kalau Raina jadi istri Mas Arga, di sana harus menyiapkan segela kebutuhan-""Seluruh keluarganya?" potong Mama dengan cepat. Aku diam lagi. Memang Mamaku ini instingnya begitu hebat. "Nggak lah, Ma. Hanya Mas Arga saja." "Rain.""Ma, percaya sama Raina." "Apa kamu baik-baik saja? Selama menikah pun, kamu tak pernah bercerita apapun pada Mama. Sampai Mama mengira bahwa rumah tanggamu baik-baik saja." "Maaf, Ma.""Nah, kan, bener? Kamu selama ini dimanfaatin sama keluarga itu?" Bodoh! Seharusnya aku tak terpancing dengan jebakan Mama. Aku hanya menggeleng lemah."Stop di sini.""Kenapa?""Mama punya rencana. Batalkan janj
"Eh, anu. Jadi dari kecil, Shelina sama Arga ini udah main bareng. Jadi, biasa manggil Ibu," jawab Ibu tergagap. "Oh. Saya nggak disuruh duduk, nih?" "Eh? Iya, duduk, Besan." Kami semua duduk. Mas Arga tampak berdiri dan menyalami mertuanya ini. Aku diam saja, tak menggubrisnya. "Arga, ajak istrimu ini jalan-jalan. Kayaknya kusut banget kaya orang ditinggal lakinya kawin lagi."Uhuk-uhuk! Shelina yang tengah melanjutkan makan jeruk, malah terbatuk mendengar ucapan Mama. "Ma-maksud Mama apa?" "Ya nggak. Lagian dari tadi si Rain ini bengong terus. Mama malah ketemu sama dia lagi duduk di depan mini market. Melongo aja." Duh, Mama! Kenapa bikin aku seolah ngenes gitu, sih? Gimana kalau mereka mikirnya aku depresi karena ditinggal Mas Arga nikah lagi? "Oh, iya, Shelina sudah punya pacar? Tante punya keponakan, lho. Ganteng. Cocok sama kamu.""Shelina ini sudah punya tunangan, Besan. Jadi terpaksa saran besan saya tolak," jawab Ibu."Ya nggak papa kali, Bu. Lagian keponakan Rain i
"Saya mau ajak Lina ke dokter, Besan. Saya gak enak nih udah bikin anak orang celaka," ucap Mama, aku hanya berdiri di belakangnya. Lebih tepatnya di depan pintu yang terbuka. "Nggak usah, Besan. Biar saya aja. Lagian, Besan itu gimana, sih? Kenapa Lina malah jadi kaya gini? Kalau nggak niat, mending nggak usah aja sekalian," sahut Ibu ketus. "Kok Besan kayak marah banget gitu, sih?" "Eh? Ehm... Ya kan Lina ini keponakan saya. Kalau nanti Mama Papanya marah, gimana?" tanya Ibu. "Ya makanya, saya mau ajak Lina ke dokter. Besan jangan ngeyel, deh. Saya kan cuma niat mau ngobatin dia sekaligus nebus kesalahan saya. Jangan dihalangi. Ayo, Lina!" Mama menerobos masuk lebih dalam lagi ke kamar Mama, lalu mengamit lengan Lina. Aku berjalan mengekori Mama. Ketika melewati Mas Arga, ia langsung berdiri melihat kami akan ke luar. "Mau ke mana, Ma? Itu Lina kok dibawa?" tanyanya sambil melipat koran. Jika hari libur, ia memang lebih suka membaca koran daripada bermain ponsel."Mau ke klini
Pov Shelina -- Flashback kenangan Shelina -- Namaku Shelina. Aku adalah anak dari adik Tante Marini, ya meskipun bukan adik kandung melainkan adik angkat. Kata Mama, dulu Tante Rini adalah anak tunggal, ibunya yang tak lain nenekku sudah tidak bisa mengandung lagi karena ada kista dan itu membuat rahimnya diangkat. Tante Rini mempunyai anak bernama Kak Diana, serta seorang anak bungsu lelaki bernama Mas Arga. Mas Arga adalah seorang yang sangat tampan dan juga mapan. Mama selalu memprovokasiku untuk mendekatinya. Berbagai cara kukeluarkan, namun nyatanya bukan cinta yang kudapat, melainkan patah hati. Ya, Mas Arga menikah dengan seorang wanita bernama Raina. Aku tak tahu, apa bagusnya wanita itu. "Sudahlah, Lina, untuk apa kamu menangisinya? Bukankah kamu yang tak membiarkan dia jatuh ke pelukanmu?" Ucapan Mama begitu menyentakku. Apa maksudnya? Apakah beliau menyalahkanku karena tak becus menggaet lelaki itu? "Tapi, Ma. Mas Arga memang tak memiliki hasrat pada Lina. Mama ta
Aku tersenyum miring saat Ibu menyadari hal apa yang barusan beliau ucapkan. Pun demikian dengan Mas Arga, wajahnya sudah sepucat mayat. "Ma, Arga bisa jelaskan." "Apa? Apa yang kamu mau jelaskan? Sudah jelas kalau ibumu ini bilang kalian sudah halal, jadi nggak ada yang perlu dijelaskan lagi. Sekarang, Mama minta, kamu ceraikan Rain!" Jedder! Mama memang selalu to the point. Mas Arga menatapku sendu, kenapa? Bukankah kami menikah memang karena dijodohkan? Bahkan tak ada cinta di antara kami. "Nggak bisa gitu, dong, Ma. Arga, mencintai Rain. Nggak mungkin menceraikannya." Aku terdiam, membeku. Apa aku tak salah mendengarnya? Dia, mencintaiku? "Mas!" Shelina memukul lengan Mas Arga, sedangkan Ibu hanya menatap tak percaya pada anak bungsunya itu. "Halah! Memangnya kamu pikir Mama tak tahu? Kalian selama ini memperlakukan anak Mama satu-satunya ini, selayaknya pembantu. Pembantu mah enak, dapet duit. Lah, Rain dapet apa? Dapet dikhianatin doang!" Kutatap wajah Ibu yang s
"Ayo, Ma, kita pergi!" ajakku pada Mama. "Eh, kamu mau ke mana, Dek?" tanya Mas Arga seraya memegangi tanganku."Ke mana lagi? Ya pulang ke rumahku, lah. Di sini kan aku nggak dibutuhin lagi. Sudah ada Shelina. Benar kan, Lin?" Shelina menatapku gugup. Ia sedari tadi memang lebih banyak diam. "Eh, kenapa?" "Selama aku menjadi menantu di rumah ini, semua pekerjaan rumah aku yang handle. Begitu juga kamu harus siap tak diberi nafkah." Lina tersenyum sinis padaku. "Itu tidak mungkin terjadi. Mas Arga sangat mencintaiku, begitupun dengan Ibu yang menyayangiku. Jangan samakan nasibmu denganku, karena kita tak sepadan. Uang gaji Mas Arga, akan tetap aku yang pegang."Aku tertawa keras. Siapa yang bisa menjamin? Bahkan kini kulihat wajah Ibu berubah menjadi khawatir ketika mendengar ucapan Shelina. "Dek, coba pikirkan lagi.""Untuk? Oh iya, jangan lupa untuk mendaftarkan gugatan cerai kita ke pengadilan. Kalau kamu tak mau, biar aku yang mengajukannya.""Dasar wanita sombong! Lihat sa
Aku terdiam saat dia mengatakan hal demikian. Tapi, itu tak berlang lama. Karena setelahnya..."Hahahaha!" "Kok ketawa?""Aduh, udah deh, Mas. Nggak usah sok akting gitu. Pake segala bilang cinta. Kamu pikir aku bahkan luluh dan dengan mudahnya kamu membawaku kembali ke rumah ... Maksudku, rumah yang mirip neraka itu?" "Untuk apa aku bercanda?" "Ya siapa tau, kan.""Aku serius, Dek.""Pulanglah, Mas. Aku sedang tak ingin bertemu denganmu. Lagian ini sudah malam. Tak baik." "Orang masih berpikiran bahwa aku ini suamimu. Jadi, apanya yang tak baik?" "Tak baik untuk kita, Mas. Semakin lama kamu di sini, semakin aku ingin segera bercerai denganmu!" Raut wajah Mas Arga terlihat terkejut. Biarlah. Toh aku memang ingin berpisah dengannya. "Dek, coba pikirkan lagi. Semua ini masih bisa diperbaiki.""Apanya yang diperbaiki? Bukankah kamu sudah mendapatkan apa yang kamu mau? Shelina sudah menjadi istrimu." "Mungkin awalnya aku memang menginginkan dia. Tapi, makin ke sini, entah kenapa h
Pov Arga "Kamu bener mencintai Mbak Rain, Mas?" tanya Shelina, seusai kepergian Rain dari rumah. "Emm ... Itu ..." Aku bingung harus menjawab apa? Karena sejujurnya, jauh di dalam hatiku memang tersemat namanya. Meskipun belum bisa menggantikan Shelina. Entah itu bermula sejak kapan? Yang pasti, saat aku mulai memperhatikan ia yang tengah menyiapkan makanan untukku, juga ketika ia menyambutku dengan pakaian rapi, sore itu. Ada yang berbeda. Jelas. Biasanya ia akan mengenakan daster berbau bawang ketika menyambutku pulang kerja. Sejak saat itu, bayang-bayang Raina mulai menghantuiku. Hingga akhirnya, aku menikah dengan Shelina. Entah, ada yang terasa kosong. Aku, tak sebahagia yang kubayangkan. Tadinya kupikir, menikahi Shelina merupakan keinginan terkuatku. Namun sepertinya, sosok Raina telah berhasil merebut perhatianku. "Mas? Ditanya kok malah diem?" Suara Lina membuatku tersadar dari bayang masa lalu. "Mas nggak tahu. Spontan aja tadi jawabnya," ucapku sambil masuk ke dala