Aku baru saja selesai mengerjakan pekerjaan rumah dan berniat untuk segera istirahat. Saat aku membuka pintu kamar, kulihat suamiku yang sedang sibuk menata baju di koper kecil.
"Mau ke mana, Mas. Tumben packing gak nyuruh?" Aku duduk di sisi ranjang sambil terus memperhatikannya. "Iya, Dek. Mendadak!" Suamiku menjawab tanpa menoleh. "Urusan apa?" Aku mulai melepas ikatan rambutku dan merapikannya dengan tangan. "Diajak Ibu, ada acara di kampung!" Aku mengernyitkan dahi. "Acara di kampung? Di kampungnya siapa?" Sesaat Mas Danar terdiam, lalu menoleh dan tersenyum. "Di kampung kerabat jauhnya Ibu, Dek!" Entah kenapa aku ingin tahu. Setahuku, Mas Danar tak lagi punya kerabat di kampung. Sejak menikah denganku, Mas Danar memang memboyong ibunya. Mas danar beralasan, dia anak tunggal apalagi laki-laki. Sudah seharusnya berbakti pada ibunya dan aku memang tak pernah mempermasalahkan hal itu. Selama hal itu adalah perintah agama, aku akan selalu mendukungnya. "Aku tidur dulu ya, jangan lupa besok bangunkan pagi. Biar gak telat!" Mas Danar segera mengambil tempat di sebelahku lalu memeluk gulingnya dengan hangat. Aku tersenyum kecut. Sudah satu tahun ini Mas Danar mengabaikanku. Lebih sering pulang malam dengan alasan banyak barang yang perlu di cek dan dirapikan ulang. Memang, toko material peninggalan ayah tampak lebih ramai saat dikelola Mas Danar hingga bisa membuka satu cabang dengan profit yang lumayan. Aku hendak berbaring, namun terhenti karena melihat ponsel Mas Danar yang berkedip di atas nakas. Sesaat aku menoleh menatap Mas Danar yang telah tertidur lelap. Tanpa bermaksud untuk mencari tahu, kuabaikan saja ponselnya lalu mulai membaringkan tubuh yang lelah. Beberapa hari belakangan ini, mertuaku cukup sibuk menyiapkan acara. Sepertinya memang akan ada acara besar. Aku berusaha memejamkan mata tapi telingaku terusik dengan ponsel Mas Danar yang terus menerus bergetar. Terpaksa aku bangkit untuk melihatnya. Mungkin saja memang ada hal mendesak yang Mas danar harus segera tahu. Ibu sakit, misalnya. Jangan sampai ibu marah lagi seperti yang sudah-sudah. Benar saja. Beberapa panggilan juga pesan dari ibu, juga panggilan dan pesan dari Sasi. Sasi? Siapa Sasi? Baru kali ini aku melihat nama itu. Selama ini, aku memang tak pernah memeriksa ponsel suamiku. Aku percaya sepenuhnya pada Mas Danar. Lagi pula ia bekerja di toko yang sudah kupercayakan padanya. Melihatnya bekerja bersama para pegawaiku, menjadikanku istri yang sepenuhnya tak pernah menaruh curiga padanya. Tapi entah kenapa, lagi-lagi hatiku tergelitik ingin melihatnya. Aku segera mengusap ponsel Mas Danar dan membuka aplikasi pesannya. Ponsel terbuka dengan mudah karena ponsel Mas Danar memang tak pernah dikunci. "Danar, jangan lupa. Bawa uang yang cukup. Kita belanja dulu sebelum acara!" "Ibu mau beli perhiasan. Ibu pengen pake perhiasan yang mewah. Biar semua orang tahu kalau anak Ibu sekarang sukses dan kaya! Kamu memang anak kebanggaan Ibu!" "Jangan kasih tahu Nada soal ibu minta perhiasan!" Aku tersenyum miring. Memangnya siapa yang tak tahu jika selama ini, Mas Danar bisa membahagiakan ibunya juga atas andil dan peranku. Dengkuran halus Mas Danar mulai terdengar di telingaku. Aku menatapnya agak lama. Aku kembali menatap ponselnya. "Mas, besok jadi kan kasih aku uang dua ratus juta? Mas yang bilang loh kalau Mas mau nambahin lagi. Mas gak lupa kan?" Deg. Jantungku mulai berdegup. Pesan dari Sasi memanggil suamiku dengan Mas? Terdengar cukup akrab dan manja. Lalu, uang apa yang ditanyakannya? Tanganku mulai tremor demi membaca pesan-pesan lainnya. "Orang tuaku minta acaranya besar, Mas. Berarti butuh biaya lagi. Masak sih, Mas gak mau nambahin lagi?" Acara? Apakah acara yang dimaksud pesan ini adalah acara yang sama yang disampaikan Mas Danar? Acara yang ibu mertuaku persiapkan juga? "Aku pasti dandan cantik buat Mas seorang!" Aku menekan dadaku yang mulai berdenyut sakit. "Aku jamin, Mas. Kamu akan lebih bahagia punya istri aku! Ibu kamu bener, Mas. Kamu perlu pendamping yang pinter dan lulusan sarjana kayak aku! Gak kayak istri tuamu itu. Cuma lulusan SMA. Mandul pula!" Mataku mulai mengembun. Mereka pikir aku cuma lulusan SMA? Hanya gara-gara aku lebih senang bantu-bantu ayahku di toko demi bisa dekat dengan Mas Danar saat itu? Mereka juga bilang aku mandul? Padahal baru dua tahun masa pernikahanku. Dari mana mereka tahu jika aku yang mandul? Tanganku mulai mengepal, hingga tak sadar melukai tanganku yang mulai terasa perih karena tertancap kukuku sendiri Aku menutup mulutku, menahan diri untuk tak emosi malam ini. Betapa menyedihkannya aku di mata suamiku sendiri. Hingga dia tega mengatakan sesuatu yang dia sendiri tahu jawabannya. Tiba-tiba aku menyesal saat-saat mengingat aku sering melawan perintah ayah yang memintaku untuk berpikir berulang kali menjadi istri Mas Danar. Kupikir dia laki-laki yang tepat untukku, yang tak pernah mempermasalahkan pendidikanku karena benar-benar tulus mencintaiku. Perlahan aku merebahkan tubuhku memunggungi suamiku, Danar Aditama Prasetya. Laki-laki yang selama ini sangat kupercaya, ternyata perlahan membuat luka. Aku terdiam Memeluk bantal. Tak tergambarkan bagaimana sakitnya hatiku. Pengorbananku selama ini ternyata tak dlpernah dianggap. Bagi mereka, aku hanyalah mesin uang yang sewaktu-waktu bisa mereka singkirkan saat mereka telah mendapatkan apa yang mereka inginkan. Aku akan diam dan menunggu apa lagi yang akan mereka lakukan sebelum aku mengambil langkah lebih lanjut dan menghancurkan apa yang telah mereka susun.Mataku mengerjap. Mencoba untuk membuka perlahan meski terasa berat. Seketika bau yang tak asing mulai memenuhi rongga hidung. "Nada?" Aku mendengar sesorang memanggil namaku, tapi bukan Mas Danar. Suara itu terdengar lebih berat dan dalam. "Aku membuka mata dan menatap seseorang yang duduk di sisi ranjang dengan wajah penuh kekhawatiran. "Nada, akhirnya kamu bangun juga! Syukurlah!" Kata-kata lembut itu terdengar menenangkan. Aku mengangguk lemah. Mataku memindai seluruh ruangan sambil mengingat kejadian demi kejadian yang membuatku terbaring di sini. Tak kutemukan sosok Mas Danar. Hatiku mencelos. Justru orang lain yang tampak berbinar saat melihatku kembali sadar. "Aku senang kita bisa kembali berjumpa. Tapi bukan perjumpaan seperti ini yang kuharapkan!" Aku menatap lekat manik matanya. "Saka? Saka Banyu Aji?" Aku membaca name tag yang ada di seragam putihnya juga menatap wajahnya lekat-lekat. Ya. Dia Saka. Laki-laki itu tersenyum dan mengangguk. Kami saling ken
Mataku menatap lalu lalang aktifitas jalanan kompleks dari balkon kamar. Sejak kejadian tempo hari di toko, aku jadi mudah curiga dan membuatku semakin ingin mengumpulkan bukti sebanyak-banyaknya. Bukti yang bisa membuat cintaku luntur tanpa sisa. Benar saja. Tak lama kulihat mobil memasuki halaman. Tampak Mas Danar dan seorang perempuan ada di posisi depan. Sudah beberapa hari ini Mas Danar pergi dan kini, ia kembali. "Nada, kebetulan! Ada yang mau Ibu bicarakan!" Mertuaku naik ke lantai dua dan melihatku yang kini di depan TV ruang tengah. "Apa, Bu?" Ibu mertuaku menatapku serius lalu menghela nafas perlahan. Perempuan yang dulu kuhormati itu, menjatuhkan beban tubuhnya di sisiku. Biasanya aku akan mendekat dan melakukan apa saja untuk membuatnya menerimaku sepenuh hati. Tapi kini, aku tak meresponnya. "Danar harus menikahi Sasi!" Ibu melirikku. "Ibu harap kamu bisa menerima Sasi. Toh selama ini, kamu juga gak hamil-hamil kan?" Aku hanya diam. Menatap suamiku yang akh
"Boleh saya minta fakturnya, Pak?" Laki-laki itu mengangguk lalu duduk di sisi Mas Bayu dan mengeluarkan satu bendel faktur. Aku mengerjapkan mata sesaat. Sebanyak ini? Aku segera menghitung dibantu Fitri. "Saya akan transfer lima puluh persen dulu. Setelah barang ada di toko ini, saya akan tambahkan biaya pengiriman. Bagaimana?" Mereka mengangguk setuju. Awalnya aku sempat was-was. Hal ini memang terlalu frontal tapi mau bagaimana lagi. Aku harus segera mengambil langkah untuk menyelamatkan toko. Aku tak bisa melihat toko ini hancur begitu saja karena kesalahanku yang terlalu cinta buta. Setelah memastikan total jumlah yang mereka tagih aku segera mentransfer sejumlah uang yang telah kujanjikan. "Silakan di cek Mas Bayu, Bapak Irvan. Sudah saya kirimkan sesuai dengan apa yang telah saya sampaikan. Saya tunggu pengiriman barang di toko ini. Seterusnya akan seperti itu. Seperti biasanya. Sekali lagi saya mohon maaf atas kesalahpahaman yang terjadi beberapa waktu ini!" Angg
Setelah Mas Danar pergi, aku segera bersiap. Aku akan mengunjungi toko hari ini. Sudah setahun lebih aku gak pernah lagi mengunjungi toko. Mungkin aku tak akan curiga andai saja aku tak pernah membaca pesan-pesan itu tadi malam. Tanpa membuang waktu, aku meluncur ke toko dengan mobil yang lain. "Mau ke mana, Mbak Nada. Cantik banget!" Bu Ana, salah seorang tetangga menyapaku saat aku menutup pintu pagar rumah. Aku cuma tersenyum kecil. Sejak menikah, aku hanya pakai daster ke mana-mana, paling banter ke pasar. Kali ini, aku memakai outfit celana kain hitam dengan kemeja marun, lengkap dengan make up meski tipis dan natural. "Mau ke toko, Bu Ana! Mari, Bu!" Aku mengangguk ramah dan kembali masuk mobil. Membawanya memecah jalanan menuju toko yang selama ini kuabaikan. Sesampainya di toko, aku menatap heran kondisi toko yang setengah tertutup. Biasanya jam-jam siang begini, toko lagi ramai-ramainya. Tapi kali ini sepi seperti tak ada aktifitas apapun. "Loh, Mbak? Ya Allah Mbak
Aku baru saja selesai mengerjakan pekerjaan rumah dan berniat untuk segera istirahat. Saat aku membuka pintu kamar, kulihat suamiku yang sedang sibuk menata baju di koper kecil. "Mau ke mana, Mas. Tumben packing gak nyuruh?" Aku duduk di sisi ranjang sambil terus memperhatikannya. "Iya, Dek. Mendadak!" Suamiku menjawab tanpa menoleh. "Urusan apa?" Aku mulai melepas ikatan rambutku dan merapikannya dengan tangan. "Diajak Ibu, ada acara di kampung!" Aku mengernyitkan dahi. "Acara di kampung? Di kampungnya siapa?" Sesaat Mas Danar terdiam, lalu menoleh dan tersenyum. "Di kampung kerabat jauhnya Ibu, Dek!" Entah kenapa aku ingin tahu. Setahuku, Mas Danar tak lagi punya kerabat di kampung. Sejak menikah denganku, Mas Danar memang memboyong ibunya. Mas danar beralasan, dia anak tunggal apalagi laki-laki. Sudah seharusnya berbakti pada ibunya dan aku memang tak pernah mempermasalahkan hal itu. Selama hal itu adalah perintah agama, aku akan selalu mendukungnya. "Aku tidur