Aku saja selesai membereskan cucian, berharap bisa merebahkan tubuh sejenak. Tapi begitu kubuka pintu kamar, kulihat Mas Danar—suamiku—sedang sibuk menata pakaian ke dalam koper kecil.“Mau ke mana, Mas? Tumben packing nggak bilang-bilang,” tanyaku sambil duduk di sisi ranjang.Wajahnya tak menoleh.
“Mendadak, Dek. Ibu ngajak ke kampung.”Aku mengernyit. Kampung? Bukannya semua kerabatnya sudah pindah ke kota? Entah kenapa aku ingin tahu. Setahuku, Mas Danar tak lagi punya kerabat di kampung. Sejak menikah denganku, Mas Danar memang memboyong ibunya. Mas danar beralasan, dia anak tunggal apalagi laki-laki. Sudah seharusnya berbakti pada ibunya dan aku memang tak pernah mempermasalahkan hal itu. Selama hal itu adalah perintah agama, aku akan selalu mendukungnya. "Aku tidur dulu ya, jangan lupa besok bangunkan pagi. Biar gak telat!" Mas Danar segera mengambil tempat di sebelahku lalu memeluk gulingnya dengan hangat. Aku tersenyum kecut. Sudah satu tahun ini Mas Danar mengabaikanku. Lebih sering pulang malam dengan alasan banyak barang yang perlu di cek dan dirapikan ulang. Memang, toko material peninggalan ayah tampak lebih ramai saat dikelola Mas Danar hingga bisa membuka satu cabang dengan profit yang lumayan. Aku hendak berbaring, namun terhenti karena melihat ponsel Mas Danar yang berkedip di atas nakas. Sesaat aku menoleh menatap Mas Danar yang telah tertidur lelap. Tanpa bermaksud untuk mencari tahu, kuabaikan saja ponselnya lalu mulai membaringkan tubuh yang lelah. Beberapa hari belakangan ini, mertuaku cukup sibuk menyiapkan acara. Sepertinya memang akan ada acara besar. Aku berusaha memejamkan mata tapi telingaku terusik dengan ponsel Mas Danar yang terus menerus bergetar. Terpaksa aku bangkit untuk melihatnya. Mungkin saja memang ada hal mendesak yang Mas danar harus segera tahu. Ibu sakit, misalnya. Jangan sampai ibu marah lagi seperti yang sudah-sudah. Benar saja. Beberapa panggilan juga pesan dari ibu, juga panggilan dan pesan dari Sasi. Sasi? Siapa Sasi? Baru kali ini aku melihat nama itu. Selama ini, aku memang tak pernah memeriksa ponsel suamiku. Aku percaya sepenuhnya pada Mas Danar. Lagi pula ia bekerja di toko yang sudah kupercayakan padanya. Melihatnya bekerja bersama para pegawaiku, menjadikanku istri yang sepenuhnya tak pernah menaruh curiga padanya. Tapi entah kenapa, lagi-lagi hatiku tergelitik ingin melihatnya. Aku segera mengusap ponsel Mas Danar dan membka aplikasi pesannya. Ponsel terbuka dengan mudah karena ponsel Mas Danar memang tak pernah dikunci. "Danar, jangan lupa. Bawa uang yang cukup. Kita blanja dulu sebelum acraa!" "Ibu mau beli perhiasan. Ibu pengen pake perhiasan yang mewah. Biar semua orang tahu kalau anak Ibu sekarang sukses dan kaya! Kamu memang anak kebanggan ibu!" "Jangan kasih tahu Nada soal ibu minta perhiasan!" Aku tersenyum miring. Memangnya siapa yang tak tahu jika selama ini, Mas Danar bisa membahagiakan ibunya juga atas andil dan peranku. Dengkuran halus Mas Danar mulai terdengar di telingaku. Aku menatap suamiku agak lama. Aku kembali menatap ponselnya. "Mas, besok jadi kan kasih aku uang dua ratus juta? Mas yang bilang loh kalau Mas mau nambahin lagi. Mas gak lupa kan?" Deg. Jantungku mulai berdegup. Pesan dari Sasi memanggil suamiku dengan Mas? Terdengar cukup akrab dan manja. Lalu, uang apa yang ditanyakannya? Tanganku mulai tremor demi membaca pesan-pesan lainnya. "Orang tuaku minta acaranya besar, Mas. Berarti butuh biaya lagi. Masak sih, Mas gak mau nambahin lagi?" Acara? Apakah acara yang dimaksud pesan ini adalah acara yang sama yang disampaikan Mas Danar? Acara yang ibu mertuaku persiapkan juga? "Aku pasti dandan cantik buat Mas seorang!" Aku menekan dadaku yang mulai berdenyut sakit. "Aku jamin, Mas. Kamu akan lebih bahagia punya istri aku! Ibu kamu bener, Mas. Kamu perlu pendamping yang pinter dan lulusan sarjana kayak aku! Gak kayak istri tuamu itu. Cuma lulusan SMA. Mandul pula!" Mataku mulai mengembun. Mereka pikir aku cuma lulusan SMA? Hanya gara-gara aku lebih senang bantu-bantu ayahku di toko demi bisa dekat dengan Mas Danar saat itu? Mereka juga bilang aku mandul? Padahal baru dua tahun masa pernikahanku. Dari mana mereka tahu jika aku yang mandul? Tanganu mulai mengepal, hingga tak sadar melukai tanganku yang mulai terasa perih karena trtancap kukuku sendiri Aku menutup mulutku, menahan diri untuk tak emosi malam ini. Betapa menyedihkannya aku di mata suamiku sendiri. Hingga dia tega mengatakan sesuatu yan dia sendiri tau jawabannya. Tiba-tiba aku menyesal saat-saat mengingat aku sering melawan erintah ayah yang memintaku untuk berpikir berulang kali menjadi istri Mas Danar. Kupikir dia laki-laki yang tepat untukku, yang tak pernah mempermasalahkan pendidikanku karena bnar-benar tulus mencintaiku. Perlahan aku merebahkan tubuhku memunggungi suamiku, Dana Aditama Prasetya. Laki-laki yang selama ini sangat kupercaya, ternyata perlahan mmbuat luka. Aku terdiam Memeluk bantal. Tak tergambarkan bagaimana sakitnya hatiku. Pengorbananku selma ini ternyata tak dlpernah dianggap. Bagi mereka, aku hanyalah mesin uang yang sewaktu-waktu bisa mereka singkirkan saat mereka telah mendapatkan apa yang mereka iginkan. Aku akan diam dan menunggu apa lagi yang akan mereka lakukan sebelum aku mengambil langkah lebih lanjut dan menghancurkan apa yang telah mereka susun.Ar mtaku jatuh. Tapi bukan karena lemah. Ini luka, tapi juga cambuk bagiku. Ini bukan akhirku. Kalau mereka ingin membuangku, aku akan pastikan mereka tak punya apa-apa untuk disombongkan. Malam ini aku tidur sebagai istri yang dikhianati. Tapi besok... aku akan bangun sebagai perempuan yang siap merebut kembali hidupnya. Dan semuanya dimulai dari sini.Beberapa bulan kemudian, klinik pribadi yang Saka inginkan sudah berdiri. Tepat di samping rumah. Sedikit demi sedikit, harapan kami terwujud satu persatu. "Ibu gak nyangka. akhirnya kamu bisa mewujudksn mimpimu, Saka!" Tante Asa menepuk pundak Saka, terharu. Ruangan mulai penuh dengan tamu-tamu undangan. Beberapa diantaranya banyak yang duduk sambil menikmati hidangan yang telah disiapkan. Saka justru memelukku dan mencium dahiku lembut, "Semua karena dukungan Nada, Bu!" Tante Asa mengangguk. "Tentu. Ibu tahu jika Nada istri yang hebat untukmu!" Kini, Tante Asa menatapku. "Maafkan ibu, Nada. Mungkin ibu pernah tak percaya padamu!" Aku mengusap punggung tangan Tante Asa sambil menggeleng. "Semua sudah berlalu, Bu. Saka suamiku. Tentu aku akan selalu melakukan yang terbaik untuknya!" Kami menoleh saat terdengar gelak tawa Naren yang ada dalam gendongan ibu. Bersama ibu, tampak Fajar yang sedang menggoda Naren, itu sebabnya Naren tertawa lebar. "Kau harus menjaga rumah
Malamnya, setelah Naren tertidur pulas di tengah-tengah kami, Saka memulai percakapannya kembali. "Nada," panggilnya pelan. "Aku minta maaf." Saka mengangkat Naren dan memindahkannya di box bayi yang ada di sisinya. Aku menoleh. "Untuk apa?" "Untuk Larasati. Aku tidak bermaksud menyembunyikannya darimu. Aku hanya... aku hanya tidak ingin kamu khawatir," jawabnya. Kini, Saka kembali duduk di sisiku. Aku tersenyum. "Aku paham maksudmu!" Jawabku pelan. Aku memang sadar. Tak akan pernah bisa merubah karakter Saka yang ringan tangan dan selalu ingin membantu urusan orang lain. Meskipun kadang, hal itu justru merugikan Saka sendiri. Saka menghela napas lega. Ia mencium keningku. "Nada, aku ingin kamu tahu, aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu!" Aku membalas pelukannya. "Aku tahu!" Saka terdiam sejenak. "Kita tak mungkin tak ada masalah, tapi apapun masalahnya, aku harap kita tak saling melepaskan genggaman!" Aku menatapnya, menunggunya melanjutkan kata-kata. "Aku tah
Setelah selesai makan, aku beranjak ke kamar diikuti Saka yang berjalan di belakangku. "Nada, kamu marah?" tanyanya, suaranya terdengar ragu. Aku... aku tidak marah," jawabku, suaraku terdengar serak. "Jangan khawatir Saka. Ini bukan masalah. Aku tahu kamu memahami batasan yang jelas tentang hal seperti ini!" Kataku pelan meski kadang aku meragukannya. Saka terdiam. Ia menghela napas. Mungkin saja ia tahu jika aku berbohong. Sesampainya di kamar, aku menatap Naren yang ternyata telah bangun. "Biar aku saja yang menggendongnya!" aku mengangguk lalu berjalan pelan ke sudut ruangan dan duduk di sofa. Saka tampak berbinar menatap anaknya. Berkali-kali Saka mencium pipi gembul Naren. Terang saja, bobotnya lumayan besar. Dengan berat 3,6 kilogram membuatnya seperti bayi besar. Ada hikmahnya anak kecil itu menabrakku hingga aku harus operasi caesar. Aku sendiri tak bisa membayangkan andai aku harus melahirkan normal dengan kondisi Naren yang sebesar itu. Tok. Tok. Kami
Aku menutup telepon dengan tangan sedikit gemetar, mencoba menenangkan degup jantung yang terasa begitu kacau. Aku memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang, lalu meletakkan ponsel di meja nakas. Nada, kamu harus kuat, bisikku pada diriku sendiri. Memikirkan hal ini berlarut-larut hanya akan membuatku semakin sakit. Aku baru saja melahirkan, tubuhku masih belum sepenuhnya pulih, dan Naren membutuhkan perhatianku. Aku mencoba untuk berpikir positif. Larasati mungkin hadir di rumah sakit karena profesionalisme, bukan semata karena hubungan pribadinya dengan Saka. Untuk itu, aku harus belajar percaya… pada Saka, dan juga pada diriku sendiri. Aku memejamkan mata sesaat, menikmati angin yang berhembus semilir melalui jendela yang terbuka dengan semerbak kenanga. Entah, berapa lama aku tertidur pada akhirnya. Yang pasti, aku terbangun saat mendengar rengekan kecil. Sepertinya, seseorang membawa Naren masuk ke kamar dan menidurkannya di box. Perlahan aku bangkit dan mendekat
Aroma masakan Bu Sri yang memenuhi seluruh ruang makan, seketika membuat perutku yang belum sepenuhnya pulih menjadi terasa lapar. Aku duduk di kursi makan sambil memangku Naren. Di seberang meja, Ibu dan Tante Asa sudah duduk sambil berbincang ringan. Ibu sesekali menatapku dengan mata penuh perhatian, seakan mencoba membaca isi hatiku. “Nada, ayo makan yang banyak. Kamu kan butuh tenaga untuk menyusui Naren,” ucap Ibu sambil menyendokkan bubur hangat ke mangkukku. Aku tersenyum tipis. “Iya, Bu.” Suaraku nyaris tak terdengar. Tante Asa menimpali sambil tersenyum hangat, “Lihat tuh, wajahmu masih pucat. Fokus dulu untuk cepat pulih, ya!" Aku mengangguk kecil tanpa berkomentar. Semalaman aku tidak bisa tidur memikirkan Saka. Ia benar-benar belum pulang sampai sekarang. Aku mencoba berkali-kali menenangkan diri, berpikir positif bahwa ia benar-benar hanya membantu Larasati karena situasi darurat. Mbok Nah mendekat dan meminta Naren yang telah kenyang menyusu agar aku bisa
Aku duduk di tepi ranjang dengan napas sedikit terengah. Rasa sakit mulai terasa membebani perutku yang masih nyeri pasca operasi. Saka menuntunku dengan hati-hati, kedua tangannya tak pernah lepas dari pinggangku. “Pelan-pelan, Nada.” ucapnya lembut, namun aku bisa merasakan nada tegas yang terselip. Ia membantuku duduk, lalu merapikan bantal di belakangku sebelum menyelimutiku hingga dada. “Kamu baru melahirkan, jangan memaksakan diri untuk berdiri terlalu lama. Apa yang kamu pikirkan sampai-sampai turun sendirian tanpa aku?” Aku memaksakan senyum, mencoba terlihat tenang meski hatiku kacau. “Aku hanya… ingin pamit pada tamu. Lagipula, tidak enak kalau mereka pulang tanpa sempat aku sapa,” jawabku pelan mencari alasan. Saka menghela napas, lalu duduk di tepi ranjang di sebelahku. Tangannya terulur, menyentuh pipiku dengan lembut. “Aku tahu tapi kondisimu lebih utama! Mereka juga akan paham!" Kata-kata itu seharusnya bisa menenangkan, tapi yang kudengar justru gema suara Lara