Beberapa hari setelah insiden di pusat perbelanjaan, aku kembali beraktivitas di klinik. Namun, ada yang berbeda. Setiap kali berinteraksi dengan warga sekitar klinik, aku merasa was-was. Aku mencoba memindai setiap wajah, mencari jejak kemarahan atau kebencian yang sama seperti malam saat Saka dan aku difitnah. Anehnya, tak ada. Wajah-wajah mereka tampak biasa saja, bahkan ada yang tersenyum ramah seperti tak pernah terjadi apa-apa."Apa kabar, Bu Dokter?" sapa seorang ibu paruhsaat aku membuka pintu pagar lebih awal dari biasanya. Senyumnya tulus, matanya ramah. Aku membalas senyumannya, namun dalam hati bertanya-tanya, apakah mereka tahu? Atau apakah mereka memang tidak terlibat dan hanya termakan provokasi?"Baik, Bu. Sibuk apa Bu?" Basa-basiku sambil menelisik wajahnya. "Oh, ini, Bu Dokter, aktifitas jalan pagi saja. Biar lebih sehat!" Jawabnya sambil tersenyum. Aku membalas senyumnya dan mempersilakan untuk kembali melanjutkan. Sebisa mungkin aku mencoba menepis pikiran negat
Beberapa hari kemudian, setelah diperbolehkan pulang, Saka membawaku ke salah satu pusat perbelanjaan terbesar. Kami berjalan berkeliling untuk mencari sesuatu yang mungkin bisa digunakan untuk resepsi sedehana kami. Entah kapan akan diadakan. Saka berkali-kali melirikku dengan senang karena akhirnya bisa satu mobil hanya berdua bahkan bergandengan tangan. Aku yang masih sedikit canggung dengan status dadakan ini, sementara Saka terlihat bersemangat."Kapan satu rumah?" Tanyanya iseng. "Tunggu resmi saja!" Jawabku santai sambil melihat-lihat."Kapan resminya?" Tanyanya lagi. "Nunggu semua siap!" Tatapku tajam. "Aku udah sangat siap!" Kata Saka mantap. "Akunya yang belum siap!" Saka hanya menggaruk pelipisnya sambil meringis. "Bagaimana dengan Delia?" Saka berhenti dan menatapku. "Kita tidak bisa mengatakan ini padanya Saka karena ini bisa menyakitinya. Kau yang dulu berjanji untuk menemaninya!" Aku memgingatkan janjinya pada Delia."Aku akan menemaninya asal kau menerima lamaran
Perlahan, kelopak mataku berkedut, mencoba untuk bisa terbuka. Hidungku seketika mencium aoma antiseptik yang khas, disusul bisikan samar-samar yang perlahan menarikku kembali dalam kesadaran. Disusul kehangatan lembut yang membalut pergelangan tanganku. Aku mengerjap, pandanganku masih buram, namun siluet samar mulai terbentuk. "Nada?" Suara itu. Suara berat yang familiar, dipenuhi kelegaan yang tak bisa disembunyikan. Aku berusaha menggerakkan kepalaku, dan pandanganku yang akhirnya bisa fokus. Wajah Saka. Matanya yang biasanya penuh ketegasan kini memancarkan kelegaan, seolah beban berat baru saja terangkat dari pundaknya. Senyum tipis mengembang, dan tangannya masih menggenggam erat pergelangan tanganku. Di sampingnya, berdiri sosok lain. Rambut yang tergerai, wajah yang teduh. Itu.. ibu. Wajahnya sembab, jejak air mata masih terlihat jelas di pipinya, namun tatapan matanya kini dipenuhi syukur. "Ya Tuhan, Nada!" Ibuku segera menghambur, memelukku erat-er
Suara kunci yang bergemerincing dan pintu klinik yang tertutup rapat menandakan akhir dari hari yang panjang. Satu per satu, para stafku berpamitan, langkah kaki mereka memudar seiring malam yang mulai merayap. Akhirnya, aku sendirian. Keheningan itu, yang seharusnya menenangkan, justru terasa menyesakkan. Aku melemparkan pandangan ke sekeliling ruangan praktikku yang rapi, berusaha menemukan sedikit kedamaian setelah hiruk pikuk hari ini. Namun, belum sempat aku benar-benar terpejam, ketukan pelan di pintu membuatku tersentak. Siapa lagi ini? Aku melirik jam dinding. Sudah hampir pukul tujuh malam. Dengan sedikit enggan, aku bangkit dan melangkah ke pintu. Ketika kubuka, sosok Sasi berdiri di ambang pintu klinik, matanya merah dan sembab, jelas baru saja menangis. Lagi. Ini bukan kali pertama Sasi datang dalam keadaan seperti ini. "Maafkan aku, Nada!" katanya lirih, suaranya serak dan putus-putus. Air mata kembali menganak sungai di pipinya. "Aku… aku benar-benar minta maaf atas
Kata-kata Pak Eko terus terngiang di benakku, berputar-putar tak henti seperti rekaman film. "Ayahmu... dibunuh." Kenyataan pahit itu seperti bongkahan es yang membekukan darahku. Aku berusaha keras untuk menjalani hari-hari seperti biasa, bersembunyi di balik rutinitas demi menenangkan badai dalam diri. Klinik lagi-lagi menjadi pelarianku. Di sana, aku bisa fokus pada pasien, mengalihkan pikiranku dari beban berat yang menindih. Namun, sepulang kerja, kegelisahan itu kembali merayap. Kamar kerja ayah, yang dulu terasa sakral dan penuh kenangan, kini seperti labirin misteri. Aku sering menghabiskan waktu di sana, membolak-balik buku-buku lama, memeriksa laci-laci meja, berharap menemukan petunjuk tersembunyi. Setiap coretan di buku catatan, setiap slip kertas yang kadang terasa penting. Aku mencari tahu, apa yang membuat ayahku, sosok yang damai dan tak punya musuh, menjadi target pembunuhan? Mataku juga tak lepas dari Ibu, Rahmawati. Kecurigaan yang tak beralasa
"Ayahmu… meninggal bukan karena kecelakaan biasa. Dia… dibunuh." Deg. Hatiku seketika mencelos. Tanganku yang menggenggam cangkir teh bergetar, nyaris terlepas dari genggaman. Aku menatap pria di hadapanku, mencoba membaca wajahnya yang tampak letih dan menyimpan luka dalam. Mbok Nah berdiri refleks, menatap pria itu dengan sorot waspada. “Bapak, siapa” tanyanya hati-hati. Mbok Nah menelisik wajahnya dan mengerutkan dahi. Mungkin Mbok Nah sedang berusaha untuk mengingatnya. Pria itu menarik napas panjang, lalu mengangguk hormat. “Maafkan kedatangan saya yang mendadak. Nama saya… Eko. Eko Wibowo. Saya sahabat almarhum ayahmu, Nada.” Aku membeku. Eko Wibowo. Nama itu asing… tapi ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat dadaku sesak."Silakan duduk, Pak!" Aku memberinya ruang untuk berjalan. Langkahnya tertatih kecil melewatiku dengan hati-hati. Sepertinya dia datang sendiri karena tak ada siapapun di belakangnya. Mbok Nah segera masuk meninggalkan aku dengan laki-laki yan