“Bi, lo yakin akan ikut pergi ke rumah dan menyaksikan mereka keluar dari rumah lo?” Ramon meyakinkan sekali lagi kepada Binar sebelum mereka pergi untuk mengusir Rasya dan keluarganya. “Gue yakin, Ram. Gue harus lihat mereka keluar dari rumah gue dengan kepala mata gue sendiri.” Bukankah dia sudah meminta kepada Ramon untuk mengurus permasalahannya? Lalu kenapa dia sekarang harus ikut sibuk menyaksikan kepergian Rasya dengan mata kepalanya sendiri? Tentu saja untuk memuaskan harga dirinya. Dengan melihat Rasya dan keluarganya keluar dari rumahnya, dia akan merasakan jika itu sebanding dengan rasa sakit yang dia rasakan. Binar sampai di depan rumahnya dengan Ramon di sampingnya. Dia tak membawa mobilnya karena sengaja tidak ingin langsung muncul di depan mantan keluarganya tersebut. “Lo akan tetap di sini?” Ramon sekali lagi bertanya ketika dia akan keluar dari mobil. “Iya, gue akan tetap di sini.” Mobil milik Ramon terparkir di luar pagar rumah dengan dua mobil lainnya. Satu mo
“Dasar perempuan tidak tahu diri. Hei, kembali kamu. Kemari, aku akan mengacak-acak wajahmu. Nindi bukan perempuan seperti itu.” Jeritan dari ibu mertuanya tidak dihiraukan Binar sama sekali, memilih menutup telinganya rapat-rapat seolah tidak mendengar apa pun. Jadi dia memilih terus berjalan masuk ke dalam rumah dan meninggalkan kerumunan. Binar bisa mendengar jeritan ibu Rasya yang tidak mau didorong oleh orang-orang Ramon. Apa pun yang terjadi kepada mereka, masa bodoh dengan itu. “Ibu.” Bibi mendekati Binar yang baru saja duduk di sofa. Perempuan paruh baya itu tampak sedikit lega dan juga penuh kebingungan. “Ibu sudah kembali?” tanya Bibi untuk memastikan. Binar yang tadinya memejamkan matanya itu kini membuka matanya. Dia menoleh menatap asisten rumah tangganya. Menatap raut wajah perempuan yang tampak kusut. “Apa yang terjadi setelah saya tidak ada di sini, Bik?” Hampir satu minggu Binar meninggalkan rumah. Tidak tahu apa yang terjadi di rumah ini. Atau barangkali pembicar
Sepertinya itu memang kesengajaan yang dilakukan oleh Rasya untuk memasang fotonya di social media. Karena dia tahu ada banyak teman Binar yang mengikutinya di sana. Binar bisa melihat dengan jelas, foto itu tampak depan. Rasya dan Nindi menengadahkan kedua tangannya; berdoa. Kepalanya mereka menunduk dengan takzim. “Mbak Bi?” Uli menatap Binar tampak menyesal. “Sorry, aku ….”“Nggak papa, Li.” Binar menggeleng. “Itu memang dia.” “Mbak Bi.” Uli tidak lagi bisa melanjutkan ucapannya ketika Binar seolah menghindari percakapan lebih lanjut. Perempuan itu menatap kembali ke depan dengan bibir tertutup rapat. Dia tidak memiliki argument untuk diberikan. Tidak juga perlu menjelaskan apa pun kepada semua orang tentang masalah rumah tangganya. Biarkan, biarkan saja dia yang mengurus itu sendiri. Binar tahu, setelah hari ini, gosip tentang dirinya pasti akan menyebar di kantornya secepat kilat. Pandangan orang lain terhadap dirinya pasti juga akan berubah. Tapi, itu adalah konsekuensi yang
Untuk beberapa detik, Binar tidak menjawab. Namun selanjutnya, dia menggeleng dengan ekspresi mengejek. “Jangan mimpi di sore bolong begini, Ram.” Ramon mengangkat bahunya tak acuh. “Siapa tahu kalian cocok. Dia juga duda, lo tahu ‘kan?”Binar mengangguk. Dia sudah tahu status Kalandara. Uli sudah memberikan informasi itu secara cuma-cuma. Tapi tentu saja rencana bodoh yang diungkapkan oleh Ramon adalah hal yang tidak akan pernah terjadi. “Dia itu sebenarnya orangnya baik, Bi. Lo cuma belum belum kenal baik aja sama dia.” Binar tidak menanggapi ucapan Ramon dan memilih untuk menutup mulutnya rapat. Tidak ada yang perlu diperdebatkan tentang Kalandara. Di kantor pun dia juga tidak begitu banyak bersinggungan meskipun mereka ada dalam satu lingkup pekerjaan yang sama. Setelah pertemuan dengan Ramon, dia kembali ke rumah miliknya. Rumah ini akhirnya ditempatinya sendiri setelah para parasit itu pergi dari sana. Binar keluar dari mobilnya dan menatap dua mobil lainnya. Satu mobil mili
Langkah Binar terhenti. Tubuhnya mau tak mau merasa menegang karena ucapan orang itu. Terlebih lagi, di sana ada Kalandara yang notabennya adalah sang bos. Lelaki itu yang tadinya tidak pernah tahu seluk beluk masalahnya dengan Rasya, pada akhirnya pasti akan tahu. “Binar, kenapa kamu tidak berani menatap kami? Kamu malu?” Nada cemoohan itu terdengar menyakitkan di telinga Binar. “Tidak perlu malu, semua orang pasti akan tahu siapa kamu sebenarnya. Kamu, si perempuan mandul yang tidak bisa menghasilkan keturunan.” Di tempat umum, mantan mertuanya itu dengan gamblang mencercanya dengan hinaan yang menyakitkan. Ada sebuah tangan yang memegang pundaknya. Binar mendongak dan tatapan matanya bersibobrok dengan mata Kala. Tatapan lelaki itu seolah mengatakan, ‘hadapi sekarang, aku di sini buat kamu’ kepada Binar. Membuat Binar akhirnya harus meneguhkan hatinya dan berbalik menatap gerombolan manusia-manusia tak berguna tersebut. Binar tersenyum. “Oh, ternyata mantan ibu mertua.” Meskipun
Jika Binar tidak mengingat lelaki yang ada di depannya itu adalah bosnya, dia pasti sudah meneriaki Kala tepat di wajahnya dengan suara lantang. Sayangnya, Binar masih waras dan menggunakan sopan santunnya untuk menahan diri. Ini bahkan bukan di kantor, untuk apa Kala memberikan perintah yang tidak masuk akal seperti itu. “Tapi, ini bukan di kantor, Pak. Saya tidak perlu melakukan ‘perintah’ yang Bapak berikan kepada saya saat ini.” Binar menjawab sopan. Tapi dia juga memberikan penekanan pada kata ‘perintah’ yang dikatakan. Menatap berani pada Kala yang juga tengah menatapnya. Kala berdiri. Menjejalkan kedua tangannya di dalam saku celananya dan mengeluarkan aura dominan yang dimilikinya. “Saya, menawarkan kamu tumpangan, Binar.” Kala ikut menekankan setiap kata yang dikeluarkan. “Bukan memerintah kamu untuk maju di medan pertempuran.” Kala menggeleng pelan. “Tidak perlu berdebat lagi. Ayo pergi, saya akan mengantarkan kamu sampai rumah dengan selamat. Tenang saja, saya tidak akan
Kala menatap Rasya dengan tatapan datarnya. Di tangan kanannya terdapat satu kantong putih berisi buku Binar yang ketinggalan di mobilnya. Dia rela putar balik dan kembali ke rumah Binar hanya untuk mengembalikan buku tersebut. Tapi, tidak menyangka akan bertemu dengan Rasya di sana. Di dalam kepalanya membentuk sebuah kesimpulan, mungkin saja Binar dan Rasya baru saja membicarakan tentang urusan mereka. “Sepertinya hubungan kalian sudah sangat dekat.” Rasya bersuara lebih dulu. Menatap Kala yang tengah menyandarkan tubuhnya di mobil. Rasya tampaknya bukan hanya menatap lelaki itu, tapi juga menilainya. Mungkin saja dia tengah membandingkan dirinya dengan ‘kekasih baru’ istrinya tersebut. Namun Kala sama sekali tak terpengaruh. Lelaki itu hanya menatap Rasya dengan mata elangnya. “Kenapa balik?” Suara Binar memecahkan keheningan yang tercipta. Tatapan Kala dan Rasya segera beralih pada satu titik yang sama; sosok Binar berdiri di halaman rumah di balik pagar. Namun Binar menatap K
“Melibatkan diri sampai akhir? Apa maksud Bapak dengan itu?” Binar mengulangi ucapan Kala. Menatap lelaki itu dengan serius menuntut penjelasan. Binar tidak ingin salah menafsirkan sehingga membuatnya salah paham. Kala bukanlah lelaki yang mudah dipahami. Jadi dia tak ingin menarik kesimpulan yang membuatnya tersesat semakin jauh. “Kamu bisa menjadikan saya senjata untuk menghadapi suamimu dan keluarganya. Karena yang sekarang mereka tahu, saya adalah orang yang sedang dekat dengan kamu.” “Jadi, apa yang sebenarnya Bapak dan Rasya bicarakan semalam?” Seolah mendapatkan kesempatan untuk mengungkit jawaban yang dibutuhkan, Binar kembali bertanya. Mengabaikan ucapan yang baru saja dilontarkan Kala kepadanya. Kala menatap Binar tanpa ekspresi, sebelum menjawab seadanya. “Intinya dia tidak suka saya dekat dengan kamu. Dan meminta agar saya menjauhi kamu.” Binar mendengus kecil. “Apa dia nggak tahu malu dengan mengatakan itu? Dia bahkan sudah melakukan sesuatu yang tak bermoral.” S