Dengan berpura-pura membangunkan Rasya karena getaran ponselnya yang mengganggu, Binar ingin tahu reaksi yang diberikan oleh suaminya. Dan diluar dugaan, lelaki itu menanggapi pesan itu dengan melakukan panggilan untuk ‘Tono’ sambil turun dari ranjang. Binar bisa melihat suaminya dari belakang dan tampak serius berbicara dengan si Tono.
“Binar!”
Rasya menyelesaikan panggilannya dan mendekat ke arah ranjang. Binar hanya menjawab dengan gumaman.
“Bi, aku ada urusan sebentar. Aku keluar, ya.”
“Malam-malam begini mau ke mana, Mas?” Kini Binar membuka matanya dan menatap sang suami. “Sepenting itu?”
“Temen kantor mabuk dan teman-teman yang lain nggak bisa jemput. Aku akan menjemputnya sebentar. Nggak papa, kan?”
“Oh. Oke. Hati-hati ya. Udah malam.”
Rasya tersenyum sebelum mengambil kunci mobilnya dan keluar dari kamar. Saat pintu kamar sudah tertutup, Binar menyeringai. Dia juga mengambil kunci mobil dan ponselnya untuk mengikuti Rasya.
Hanya dengan mengenakan piyama dan sandal, Binar keluar dari rumah dan masuk ke dalam mobil dan menutupnya pelan. Suara deruan mobilnya pasti akan terdengar dari dalam rumah, tapi dia tak peduli. Dengan gerakan cepat dia mampu mengejar Rasya. Ini sudah jam satu malam dan kendaraan di jalanan sudah benar-benar lengang.
Tidak sampai setengah jam, mobil Rasya sampai di depan sebuah rumah. Binar juga menghentikan mobilnya tak jauh dari mobil sang suami. Dia memilih turun dan menguntitnya dari belakang. Memerhatikan gerak-gerik Rasya yang tampak sudah biasa berada di tempat itu.
“Jadi ini yang kamu lakukan selama ini, Mas?” Itu hanyalah sebuah gumaman dari mulut Binar saat melihat Rasya masuk ke dalam rumah selingkuhannya.
Alih-alih ikut masuk, dia lebih memilih menunggu di luar. Angin malam yang dingin menerpa tubuh Binar tapi tak dihiraukan. Dia hanya memakai piyama panjang yang lumayan tipis sehingga tak bisa menghalau rasa dingin di tubuhnya. Namun, rasa dingin tubuhnya tak bisa mengalahkan rasa dingin hatinya ketika melihat suaminya dipeluk oleh perempuan lain di depan matanya.
Binar terkekeh, menertawakan dirinya sendiri. Satu tahun. Sudah satu tahun lamanya dia diselingkuhi dan dia baru mengetahuinya? Sungguh gila. Ini sungguh tidak masuk akal. Ke mana saja dia selama ini sampai dia tak pernah tahu jika ada pencuri yang masuk ke dalam rumah tangganya dan mengambil suaminya?
“Hal semacam ini pasti akan sering terjadi, Mas. Aku harap kamu bisa segera mengambil keputusan secepatnya kepada istrimu. Entah aku menjadi yang kedua atau memang kamu ingin menceraikannya, itu bukan masalah bagiku.”
Lamunan Binar buyar seketika saat suara selingkuhan Rasya itu terdengar. Dia yang tadinya berdiri di samping mobil Rasya itu kini mengintip sedikit untuk melihat interaksi sang suami dengan selingkuhannya.
“Kamu sabar dulu, ya. Aku janji sebelum perutmu membesar aku sudah menyelesaikan semuanya. Dan, aku nggak bisa menceraikan Binar. Aku masih mencintainya.”
Jawaban itu seperti bara api yang masuk ke dalam gendang telinga Binar. Panas dan membara. Binar menatap dua orang itu dengan perasaan kacau luar biasa. Kemarahannya sudah berada di puncaknya. Namun dia belum bisa keluar dari persembunyiannya.
“Aku akan menunggu keputusan terbaik dari kamu, Mas.” Nindi berbicara sedikit ketus. “Aku yang akan memberikanmu anak. Seharusnya Mas harus memprioritaskan aku dibandingkan dengan perempuan mandul itu.”
Ekspresi Binar menjadi gelap seketika mendengar dirinya dijuluki mandul oleh selingkuhan suaminya. Hal itulah yang membuatnya tak tahan dan keluar dari persembunyiannya. Binar keluar dengan langkah pelan dan pasti. Tidak ada keraguan sedikitpun.
“Mas Rasya!” Panggilan itu seperti petir di telinga Rasya. Lelaki itu menoleh dengan sangat cepat dan mendapati Binar berdiri di belakangnya.
“Bi … Binar!”
Suaranya tercekat dan raut wajahnya dipenuhi oleh ketakutan. Tangan yang tadi menggenggam tangan Nindi, kini dilepaskan begitu saja dan dia segera menghampiri Binar.
“Bi, kenapa kamu ada di sini?” Binar menatap lelaki itu dengan perasaan kacau luar biasa. Namun dia memilih bungkam. “Ini … tidak seperti yang kamu bayangkan. Kamu, jangan salah paham ya.”
Binar bisa merasakan ketakutan Rasya. Air mata Binar yang hampir tumpah itu mati-matian ditahannya.
“Sudah malam. Bisa kita pulang sekarang?” Binar berbicara dengan suara tenang meskipun jantungnya terasa hampir meledak saking panasnya. Kepalan tangannya pun menguat ketika melanjutkan kalimatnya. “Dan, bawalah pacarmu bersama kita. Sepertinya ada banyak hal yang perlu kita bicarakan malam ini.”
Jika Binar mengeluarkan kemarahannya dengan berteriak dan membentak, itu hanya akan menunjukkan betapa lemahnya dia. Itulah kenapa dia mati-matian mencoba untuk menahan diri. Setidaknya tidak di tempat itu yang bukan wilayahnya.
“Bi, ini sungguh tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku hanya …”
“Aku sudah mendengarkan percakapan kalian. Semuanya,” ungkap Binar. “Aku mengikutimu sejak kamu keluar dari rumah. Itu sudah cukup bagiku untuk mengetahui apa yang terjadi.”
Rasya membeku di tempatnya mendengarkan ucapan Binar yang begitu mendayu, penuh dengan rasa sakit. Bukan hanya itu, tatapan Binar sangat dingin seolah ada luka menganga di dalamnya. Kepalan tangan Binar menguat, otot-otot lehernya terlihat menonjol karena menahan emosi yang siap meledak.
“Bawa dia juga dan kita pulang sekarang!” Binar memerintah sekali lagi dan membalikkan tumitnya untuk pergi.
“Bi, Nindi tidak bisa ke mana-mana.” Langkah Binar terhenti. Matanya memejam erat berusaha tidak murka.
“Apa karena dia hamil lantas kamu tidak mengizinkan dia untuk pergi?” Binar kembali berbalik dan air matanya pada akhirnya menetes dari netranya. Namun dia segera mengusapnya. “Aku tidak akan melakukan apa pun kepadanya. Hanya bawa dia dan kita selesaikan urusan kita.”
“Aku akan ikut.” Nindi yang tadinya berdiri di balik pintu pagar itu kini keluar dan berdiri di samping Rasya. “Toh sekarang dia sudah tahu semuanya, Mas. Akan lebih baik kalau kita segera menyelesaikan urusan kita.”
“Tidak ada yang perlu diselesaikan. Semua akan berjalan seperti biasanya.” Rasya sedikit membentak. “Bi, kita akan berbicara masalah ini di rumah. Tapi, tidak perlu melibatkan Nindi dalam urusan kita. Oke!”
Gila! Ini sungguh gila. Di saat seperti ini, Rasya bahkan masih melindungi Nindi. Pasti karena perempuan itu hamil, Rasya takut terjadi sesuatu dengan kandungan kekasihnya. Sudah jelas di mata Binar kalau Rasya begitu mencintai Nindi. Hanya dengan memikirkan itu saja, kepalan tangan Binar yang sejak tadi membulat, kini lebih menguat. Untuk pada akhirnya terangkat, lalu mendarat tepat di wajah Rasya. Binar menampar sang suami untuk pertama kalinya dalam hidup rumah tangganya.
Rasya terkejut dengan aksi istrinya yang tiba-tiba, pun dengan Nindi. Lelaki itu mengusap pipi kanannya tanpa bisa mengatakan sesuatu. Lidahnya terasa kelu.
“Aku sudah menahan emosiku sejak tadi. Kalau kamu menginginkan aku murka lebih dari ini, maka itu adalah tanggung jawabmu kalau perempuan ini yang akan menjadi sasarannya.”
***
“Itu adalah tanggung jawabmu kalau perempuan ini yang akan menjadi sasarannya.” Kata-kata itu sudah cukup membuat Rasya mengerti apa yang harus dilakukan. Binar tidak hanya akan menggertak. Dia akan melakukan apa pun yang dia katakan. Rasya ketakutan saat meminta Nindi masuk ke dalam mobilnya. Sedangkan Binar yang sudah pergi meninggalkan rumah Nindi, mengeluarkan segala sesak di hatinya dengan tangisnya yang pecah. Tidak peduli dengan mata yang kabur karena air mata, Binar menyetir dengan kecepatan yang luar biasa tinggi untuk melampiaskan emosinya. Kalaupun dia akan mati sekarang, maka itu akan lebih baik. Sakit yang dirasakannya benar-benar luar biasa. Namun seolah Tuhan ingin mengabulkan doanya, sebuah mobil tiba-tiba muncul dari arah kiri, membuat Binar terkejut luar biasa. Dengan cepat, dia menginjak rem berharap tidak menabrak mobil yang ada di depanya. Kalau dia harus mati, jangan melibatkan orang yang tidak berdosa. Begitulah yang dipikirkan. Naas, injakan rem mobilnya ta
Binar sudah bukan Binar yang biasanya. Rasa sakit dan pengkhianatan yang diberikan oleh sang suami, memunculkan sosok iblis di dalam hatinya. Dia tidak bisa lagi dibujuk meskipun orang-orang itu merangkak di bawah kakinya meminta maaf. Mengalihkan tatapannya dari Rasya, dia melanjutkan ucapannya yang kini ditujukan kepada Nindi. “Katakan, berapa lama kamu berhubungan dengan Rasya.” Pertanyaan Binar membuat Nindi menatap ke arah Rasya seolah meminta petunjuk apakah dia akan mengatakan dengan jujur atau memilih berbohong. Saat Rasya menggeleng, maka Nindi berbicara dengan sebuah kebohongan. “Kami hanya bersama selama dua bulan.” “Katakan yang sebenarnya.” Binar menekan Nindi dengan ucapannya. “Aku hanya perlu kejujuranmu.” “Binar! Kendalikan emosimu.” Dalam keadaan bersitegang, ibu Rasya justru mendekat ke arah Binar dan berusaha membujuk. “Nak, ini sudah sangat larut. Mari kita bicarakan ini lagi nanti. Kamu istirahatlah dulu dan tenangkan pikiranmu.”“Ibu berpikir aku bisa melakuk
Sikap keras kepala ibu Rasya itu membuat rahang Binar mengetat. Tapi, dia tak menjawab lagi dan memilih pergi meninggalkan ruangan itu. Tanpa menoleh lagi ke belakang. Rumahnya menjadi seperti sebuah kutukan baginya. Rumah yang dia beli dan diharapkan menjadi surga untuknya dan keluarganya, nyatanya menjadi sebuah tempat yang terasa bak neraka. Menatap mobilnya yang tampak mengenaskan, Binar pergi dengan mobil yang dibelikan untuk ibu mertuanya. Beruntung, dia membawa kunci cadangan mobil tersebut. Binar beruntung karena sejak awal dia tidak menjadi perempuan bodoh. Dia memberikan, tapi tidak menyerahkan sepenuhnya. Sebuah chat masuk ke dalam ponsel Binar saat dia berhenti karena lampu lalu lintas menyala merah. Mendesah kasar, Binar melupakan satu kewajibannya. Dia harus bertanggung jawab kepada mobil yang sudah ditabraknya. “Maaf, sudah menunggu lama.” Binar sampai di sebuah bengkel. Menghadap pada seorang lelaki yang sudah dirugikan olehnya. Lelaki itu hanya diam dengan ekspres
“Bi, tolong buka pintunya. Ayo kita bicara baik-baik.” Hampir setengah jam suara itu terdengar menyakitkan di telinga Binar. Rasya tidak berhenti mengetuk pintu kamarnya dan memanggil dirinya. Berbicara baik-baik, diskusi, atau apa pun itu sebutannya, selalu dikatakan hanya untuk membuat Binar luluh. Di dunia ini, tidak ada yang lebih menyakitkan dibandingkan dikhianati oleh orang yang kita cintai. Binar mendapatkan itu dan sudah bisa dibayangkan perasaan hancur yang dirasakan oleh Binar saat ini. Untungnya dia bukan perempuan yang terus meratapi kesedihannya berlarut-larut sehingga membuatnya lemah di hadapan para musuhnya. “Bi, please, jangan diam begini. Aku tahu aku salah. Aku tahu aku brengsek. Tapi aku bersumpah, di dalam hatiku aku hanya mencintai kamu. Cintaku sama sekali tidak berubah.” Binar mengemasi beberapa pakaian dan barang-barang berharga miliknya ke dalam sebuah koper besar. Mengabaikan suara Rasya yang baginya hanya kata-kata sampah yang hanya perlu diabaikan. Di
Binar tidak tahu nasib buruk seperti apa lagi yang akan dia dapatkan kali ini. Pemilik mobil yang dia tabrak, ada di depannya. Dan yang menjadi kesialan lainnya adalah lelaki itu sahabat dari sahabatnya. Semesta sepertinya tengah bermain-main dengannya. Ada banyak hal buruk yang datang ke dalam hidupnya secara bertubi-tubi. “Bi, lo oke?” Ramon sedikit mengguncang tubuh Binar yang tampak menegang. Tatapannya nyalang ke arah Ramon, lalu berganti ke arah Kala. “Gue … oke.” Bahkan suaranya sedikit terbata. Ramon tersenyum sebelum mengulangi. “Sorry gue bawa temen gue. Kami tadi baru meeting jadi sekalian. Kenalin dong.” Binar bimbang saat ingin mengulurkan tangannya kepada Kala mengingat dinginnya ekspresi lelaki itu. Dia bahkan tidak benar-benar bisa menatap matanya. Maka akhirnya dia hanya mengangguk sambil menyebut namanya. “Saya Binar.” Hanya itu yang bisa Binar katakan. Kalandara bahkan tidak menjawab. Ramon sudah tidak kaget lagi melihat sikap Kala yang dingin. Tapi tentu
“Hanya beberapa hal yang perlu lo persiapkan. Buku nikah dan juga KK.” Jawaban Ramon itu membuat Binar beranjak dari sofa. Mengambilkan buku nikah yang tidak lupa dibawanya beserta foto copyan KK. Menyerahkannya kepada Ramon dan langsung diterima oleh lelaki itu. Binar tampaknya ingin bertindak cepat. Dia tidak sudi lagi memiliki sangkut paut dengan Rasya dan keluarga lelaki itu. Manusia-manusia parasite yang tidak punya hati itu perlu dijauhi atau akan menempel dan membuatnya menderita. “Gue serahkan semuanya ke lo, Ram. Gue nggak ingin datang dipersidangan dan bertemu dengan lelaki itu. Sebisa mungkin, gue akan menghilang dari hadapan lelaki itu.” “Lo nggak perlu khawatir. Gue akan bereskan semua buat lo. Lo fokus aja sama kerjaan dan ….” Ramon menjeda ucapannya sebelum kembali berbicara. “Lo perlu sembuhin dulu hati lo.” Meskipun senyum itu kaku, Binar mencoba untuk memberikan senyuman itu untuk Ramon. Binar tidak menjawab. Menyembuhkan hatinya, rasa-rasanya itu akan sulit. Ras
“Maaf, maksud Bapak saya mendapatkan potongan harga?” Jika Binar tidak salah mengingat, semua perbaikan itu sudah tercatat dengan jelas di nota dan dia melihat sendiri biaya itu begitu besar. Dan tiba-tiba saja, lelaki itu bilang ada pengurangan. Tentu saja Binar sangat terkejut mendengarnya. Kini tatapannya seolah menuntut jawaban. “Karena Pak Kala adalah customer VVIP kami, kami tentu saja memberikan diskon, Bu. Dan perhitungan yang kemarin, itu masih belum ada hitungan diskonnya.” Penjelasan itu terdengar kurang masuk akal di telinga Binar. Tapi, senyumnya kemudian terbit. “Jadi, berapa yang perlu saya bayar, Pak?” Lelaki di depannya itu mendorong nota untuk sampai tepat di depan Binar. “Ibu bisa melihatnya.” Tanpa banyak berpikir, Binar langsung bisa melihat nominal yang tertulis di barisan paling akhir, dan itu tidak sampai seratus juga. Hal itu membuat bibir Binar mengurva semakin lebar. Binar menatap nota dan kepala bengkel bergantian. “Benar hanya perlu membayar sebesar
“Aku akan menikahimu kalau urusanku dengan Binar selesai.” Rasya menjawabnya dengan santai. “Tunggulah dan bersabar.” Nindi tampaknya tidak terima dengan jawaban Rasya yang terdengar sangat menyepelekan. Dalam pikiran Nindi bersuara, dia mengandung janin di perutnya dan dia butuh segera menikah untuk menutupi ‘aib’ yang semakin lama akan semakin membesar. Tentu saja dia tak boleh mengulur terlalu lama atau dia akan dipermalukan. “Kalau begitu, aku juga nggak bisa membawa Mas dan orang tua Mas untuk tinggal di sini. Aku nggak mau tetanggaku mengghibah karena masalah ini dan menimbulkan masalah baru.” “Kenapa kamu perhitungan banget sih?” Rasya bereaksi keras. Raut wajahnya tampak kesal luar biasa karena penolakan Nindi. “Bagaimanapun kita juga nanti akan menikah. Tapi tunggulah sampai semua selesai.” Rasya kini yang memuntahkan amarahnya. Rambutnya yang mencuat berantakan, seperti hatinya yang tengah gundah gulana. “Sampai selesai itu kapan? Mas bahkan bilang nggak mau bercerai den