“Itu adalah tanggung jawabmu kalau perempuan ini yang akan menjadi sasarannya.”
Kata-kata itu sudah cukup membuat Rasya mengerti apa yang harus dilakukan. Binar tidak hanya akan menggertak. Dia akan melakukan apa pun yang dia katakan. Rasya ketakutan saat meminta Nindi masuk ke dalam mobilnya.
Sedangkan Binar yang sudah pergi meninggalkan rumah Nindi, mengeluarkan segala sesak di hatinya dengan tangisnya yang pecah. Tidak peduli dengan mata yang kabur karena air mata, Binar menyetir dengan kecepatan yang luar biasa tinggi untuk melampiaskan emosinya. Kalaupun dia akan mati sekarang, maka itu akan lebih baik. Sakit yang dirasakannya benar-benar luar biasa.
Namun seolah Tuhan ingin mengabulkan doanya, sebuah mobil tiba-tiba muncul dari arah kiri, membuat Binar terkejut luar biasa. Dengan cepat, dia menginjak rem berharap tidak menabrak mobil yang ada di depanya. Kalau dia harus mati, jangan melibatkan orang yang tidak berdosa. Begitulah yang dipikirkan.
Naas, injakan rem mobilnya tak sanggup menghindari tabrakan yang diciptakan. Suara decitan dari pergesekan ban mobil dan aspal membuat suara memekakkan. Jantung Binar hampir saja berhenti berdetak detik itu juga. Dengan kaki bergetar, dia segera keluar dari mobilnya dan terpaku di tempatnya saat mobil yang ditabraknya mengalami kerusakan parah.
“Kalau kamu tidak bisa menyetir, jangan menyetir dan berakhir merugikan orang lain.” Suara itu mengejutkan Binar. Matanya menatap sosok lelaki tinggi yang berdiri di depannya dengan kemarahan di wajahnya. Lelaki itu menatap mobilnya dan mendesah panjang.
Mengalihkan tatapannya pada Binar yang terdiam di tempatnya, lelaki itu mengetatkan rahangnya kuat. Sebelum mengumpat dingin. “Sial!”
“Maafkan saya, Pak. Saya benar-benar minta maaf.” Binar memohon. Tangisnya yang sejak tadi masih belum surut itu akhirnya kembali keluar. Amarah yang belum reda bercampur dengan ketakutan karena tabrakan yang terjadi. Tubuh Binar bergetar hebat sampai di harus mencari pegangan dengan mobilnya sendiri.
“Saya akan bertanggung jawab,” lanjutnya dengan suara menyicit rendah.
“Tentu saja kamu harus melakukannya!” Lelaki itu bersuara dingin.
Binar mengangguk. Menatap lelaki itu dengan berani. “Saya akan membiayai kerusakan mobil Bapak. Tapi …,” Binar mengusap air matanya yang sejak tadi seolah tak mau berhenti keluar. “Tapi, sekarang ada hal penting yang harus saya lakukan. Bisakah saya meninggalkan nomor telepon saya agar Bapak bisa menghubungi saya untuk biaya perbaikannya?” Air mata Binar menetes lagi. “Saya janji, saya akan menanggung semua biayanya.”
Lelaki itu menatap Binar tajam, rahangnya menguat, dan keinginan membentak perempuan itu begitu tinggi. Aura permusuhan begitu menguar hitam dari dalam tubuhnya. Namun, Binar tidak memiliki banyak waktu. Dia memiliki urusan yang lebih penting dari masalah mobil lelaki itu. Bahkan dia sama sekali tidak peduli kerusakan mobilnya sendiri yang juga mengalami kerusakan parah.
“Bi, ada apa?” Rasya datang setelah itu dan melihat kekacauan yang dibuat oleh sang istri. Ekspresi paniknya tampak jelas di wajah Rasya. “Kamu nggak papa?” Rasya mencoba mengecek tubuh Binar, tapi Binar terus menghindar sampai berdiri di belakang lelaki asing itu seolah mencari perlindungan.
Bersikap layaknya suami yang baik, Rasya segera bersuara. “Pak, dia istri saya. Saya benar-benar minta maaf atas kejadian ini. Saya yang akan bertanggung jawab.” Baru Rasya menutup mulutnya, Nindi datang.
“Mas!”
Hanya panggilan itu, tapi Binar merasa muak mendengarnya. Dengan gerakan cepat, Binar kembali ke mobilnya dan mengambil sebuah kartu nama.
“Pak, ini kartu nama saya.” Binar dengan lancang menarik tangan lelaki itu, kemudian meletakkan kartu nama di atas telapak tangannya. “Tolong Bapak hubungi saya untuk biaya perbaikan mobil Bapak. Sekali lagi, saya benar-benar minta maaf. Saya janji, setelah Bapak menghubungi saya, saya akan datang dan membayarnya.”
Setelah mengatakan itu, Binar tidak lagi peduli dengan keadaan di sana. Dia kembali masuk ke mobil, mengendarainya dengan kencan agar bisa segera sampai di rumah. Mobil Rasya tak lama menyusul dan meninggalkan korban Binar begitu saja.
Sampai di rumah, kekacauan semakin terasa di dalam hati Binar meskipun dia berusaha meredamnya.
“Bi.” Panggilan itu seolah mengaduk emosi Binar kembali membuat perempuan itu menatap Rasya dengan tajam. Terlebih lagi saat melihat Nindi yang berjalan di belakang Rasya, membuat perasaan Binar carut marut tak karuan.
“Ayo kita bercerai, Mas!” katanya dengan dingin. “Ayo kita akhiri semua hubungan yang terjalin di antara kita.”
Rasya panik. “Bi, apa yang kamu katakan?” katanya. Rasya dengan secepat kilat mendekati sang istri. “Kita bisa membicarakan ini baik-baik. Aku bisa menjelaskan apa pun yang ingin kamu dengar?”
“Menjelaskan seperti apa lagi?” Binar mengusap air matanya yang terus keluar dari netranya. “Seandainya aku tidak memergokimu, apa kamu juga akan terus menyembunyikan hubunganmu dengannya?”
“Ada apa ini?” Mendengar ada perdebatan, orang tua Rasya akhirnya keluar kamar dan terkejut melihat keberadaan Nindi di sana. Ibu Rasya melebarkan matanya dan wajahnya pucat pasi.
Binar melihat wajah suami dan kedua mertuanya secara bergantian dan menunggu reaksi mereka. Binar ingin tahu apa yang akan dikatakan oleh ibu mertuanya melihat situasi kacau seperti ini.
“Rasya, ada apa? Siapa perempuan ini?”
Binar sempat tidak percaya ibu mertuanya memilih berpura-pura tidak mengenal Nindi dihadapan Binar. Padahal siang tadi mereka tampak akrab saat mengobrol bersama. Mengerti alur cerita yang dibuat ibunya, Rasya segera menjawab.
“Ibu, aku minta maaf. Dia Nindi. Dia adalah …,” bahkan ada jeda yang dibuat oleh Rasya. “Dia adalah kekasihku.”
“Rasya! Bagaimana bisa kamu menyebut dia kekasihmu sedangkan kamu punya istri? Kamu selingkuh?”
“Ibu, aku sungguh minta maaf.”
Binar yang melihat akting mereka semakin marah. Dia lantas bersuara dengan rendah dan dingin.
“Hentikan!” Tatapannya masih mengarah pada suami dan ibu mertuanya. “Kalian tidak perlu berpura-pura di depanku. Aku sudah mengetahui semuanya.”
“Binar, apa maksudmu?” tanya ibu Rasya dengan cepat. Perempuan yang biasanya mengenakan riasan di wajahnya itu tampak pucat tanpa lipstik menempel di bibirnya.
Binar duduk di sofa, kemudian memijat pelipisnya berusaha meredakan kepalanya yang tiba-tiba berdenyut nyeri. Sungguh dia tak pernah menyangka berada di posisi ini. Binar merasa kehidupan rumah tangganya adalah yang terbaik. Dia memiliki suami yang setia dan mencintainya, kedua mertua yang juga memberikan kasih sayangnya bak anak sendiri.
Tapi sekarang semuanya benar-benar berakhir. Mereka adalah serigala berbulu domba. Pengkhianat.
“Binar, mari kita bicarakan baik-baik permasalahan ini. Aku berjanji akan menjelaskan semuanya. Tapi, jangan berbicara tentang perceraian.” Suara Rasya seperti kebisingan yang mengganggunya. Binar menutup telinganya dengan kedua tangannya.
Mengambil nafasnya panjang dan berusaha untuk tidak meledak dalam amarah. Berkali-kali dia mencoba untuk mensugesti dirinya sendiri jika dia kuat. Setelah dia merasa tenang, kepalanya kembali mendongak dan kini tatapannya mengarah pada Nindi yang sejak tadi hanya berdiri di tengah ruangan.
“Nindi. Itu namamu, kan?” Binar bangkit dari duduknya dan berjalan mendekat ke arah perempuan itu. Namun dia masih mengambil jarak aman.
Melihat pergerakan Binar, Rasya takut istrinya akan melukai sang kekasih. Maka dia berdiri di dekat Binar untuk berjaga-jaga apabila Binar murka dan menyerang Nindi. Hal itu membuat Binar tersenyum miris. Lantas dia menatap Rasya dengan tatapan kesakitan yang tidak repot dia sembunyikan sebelum dia kembali bersuara.
“Tenang saja, Mas, aku nggak akan menyakitinya. Kalau aku harus membunuh, aku pasti akan membunuhmu.”
***
Binar sudah bukan Binar yang biasanya. Rasa sakit dan pengkhianatan yang diberikan oleh sang suami, memunculkan sosok iblis di dalam hatinya. Dia tidak bisa lagi dibujuk meskipun orang-orang itu merangkak di bawah kakinya meminta maaf. Mengalihkan tatapannya dari Rasya, dia melanjutkan ucapannya yang kini ditujukan kepada Nindi. “Katakan, berapa lama kamu berhubungan dengan Rasya.” Pertanyaan Binar membuat Nindi menatap ke arah Rasya seolah meminta petunjuk apakah dia akan mengatakan dengan jujur atau memilih berbohong. Saat Rasya menggeleng, maka Nindi berbicara dengan sebuah kebohongan. “Kami hanya bersama selama dua bulan.” “Katakan yang sebenarnya.” Binar menekan Nindi dengan ucapannya. “Aku hanya perlu kejujuranmu.” “Binar! Kendalikan emosimu.” Dalam keadaan bersitegang, ibu Rasya justru mendekat ke arah Binar dan berusaha membujuk. “Nak, ini sudah sangat larut. Mari kita bicarakan ini lagi nanti. Kamu istirahatlah dulu dan tenangkan pikiranmu.”“Ibu berpikir aku bisa melakuk
Sikap keras kepala ibu Rasya itu membuat rahang Binar mengetat. Tapi, dia tak menjawab lagi dan memilih pergi meninggalkan ruangan itu. Tanpa menoleh lagi ke belakang. Rumahnya menjadi seperti sebuah kutukan baginya. Rumah yang dia beli dan diharapkan menjadi surga untuknya dan keluarganya, nyatanya menjadi sebuah tempat yang terasa bak neraka. Menatap mobilnya yang tampak mengenaskan, Binar pergi dengan mobil yang dibelikan untuk ibu mertuanya. Beruntung, dia membawa kunci cadangan mobil tersebut. Binar beruntung karena sejak awal dia tidak menjadi perempuan bodoh. Dia memberikan, tapi tidak menyerahkan sepenuhnya. Sebuah chat masuk ke dalam ponsel Binar saat dia berhenti karena lampu lalu lintas menyala merah. Mendesah kasar, Binar melupakan satu kewajibannya. Dia harus bertanggung jawab kepada mobil yang sudah ditabraknya. “Maaf, sudah menunggu lama.” Binar sampai di sebuah bengkel. Menghadap pada seorang lelaki yang sudah dirugikan olehnya. Lelaki itu hanya diam dengan ekspres
“Bi, tolong buka pintunya. Ayo kita bicara baik-baik.” Hampir setengah jam suara itu terdengar menyakitkan di telinga Binar. Rasya tidak berhenti mengetuk pintu kamarnya dan memanggil dirinya. Berbicara baik-baik, diskusi, atau apa pun itu sebutannya, selalu dikatakan hanya untuk membuat Binar luluh. Di dunia ini, tidak ada yang lebih menyakitkan dibandingkan dikhianati oleh orang yang kita cintai. Binar mendapatkan itu dan sudah bisa dibayangkan perasaan hancur yang dirasakan oleh Binar saat ini. Untungnya dia bukan perempuan yang terus meratapi kesedihannya berlarut-larut sehingga membuatnya lemah di hadapan para musuhnya. “Bi, please, jangan diam begini. Aku tahu aku salah. Aku tahu aku brengsek. Tapi aku bersumpah, di dalam hatiku aku hanya mencintai kamu. Cintaku sama sekali tidak berubah.” Binar mengemasi beberapa pakaian dan barang-barang berharga miliknya ke dalam sebuah koper besar. Mengabaikan suara Rasya yang baginya hanya kata-kata sampah yang hanya perlu diabaikan. Di
Binar tidak tahu nasib buruk seperti apa lagi yang akan dia dapatkan kali ini. Pemilik mobil yang dia tabrak, ada di depannya. Dan yang menjadi kesialan lainnya adalah lelaki itu sahabat dari sahabatnya. Semesta sepertinya tengah bermain-main dengannya. Ada banyak hal buruk yang datang ke dalam hidupnya secara bertubi-tubi. “Bi, lo oke?” Ramon sedikit mengguncang tubuh Binar yang tampak menegang. Tatapannya nyalang ke arah Ramon, lalu berganti ke arah Kala. “Gue … oke.” Bahkan suaranya sedikit terbata. Ramon tersenyum sebelum mengulangi. “Sorry gue bawa temen gue. Kami tadi baru meeting jadi sekalian. Kenalin dong.” Binar bimbang saat ingin mengulurkan tangannya kepada Kala mengingat dinginnya ekspresi lelaki itu. Dia bahkan tidak benar-benar bisa menatap matanya. Maka akhirnya dia hanya mengangguk sambil menyebut namanya. “Saya Binar.” Hanya itu yang bisa Binar katakan. Kalandara bahkan tidak menjawab. Ramon sudah tidak kaget lagi melihat sikap Kala yang dingin. Tapi tentu
“Hanya beberapa hal yang perlu lo persiapkan. Buku nikah dan juga KK.” Jawaban Ramon itu membuat Binar beranjak dari sofa. Mengambilkan buku nikah yang tidak lupa dibawanya beserta foto copyan KK. Menyerahkannya kepada Ramon dan langsung diterima oleh lelaki itu. Binar tampaknya ingin bertindak cepat. Dia tidak sudi lagi memiliki sangkut paut dengan Rasya dan keluarga lelaki itu. Manusia-manusia parasite yang tidak punya hati itu perlu dijauhi atau akan menempel dan membuatnya menderita. “Gue serahkan semuanya ke lo, Ram. Gue nggak ingin datang dipersidangan dan bertemu dengan lelaki itu. Sebisa mungkin, gue akan menghilang dari hadapan lelaki itu.” “Lo nggak perlu khawatir. Gue akan bereskan semua buat lo. Lo fokus aja sama kerjaan dan ….” Ramon menjeda ucapannya sebelum kembali berbicara. “Lo perlu sembuhin dulu hati lo.” Meskipun senyum itu kaku, Binar mencoba untuk memberikan senyuman itu untuk Ramon. Binar tidak menjawab. Menyembuhkan hatinya, rasa-rasanya itu akan sulit. Ras
“Maaf, maksud Bapak saya mendapatkan potongan harga?” Jika Binar tidak salah mengingat, semua perbaikan itu sudah tercatat dengan jelas di nota dan dia melihat sendiri biaya itu begitu besar. Dan tiba-tiba saja, lelaki itu bilang ada pengurangan. Tentu saja Binar sangat terkejut mendengarnya. Kini tatapannya seolah menuntut jawaban. “Karena Pak Kala adalah customer VVIP kami, kami tentu saja memberikan diskon, Bu. Dan perhitungan yang kemarin, itu masih belum ada hitungan diskonnya.” Penjelasan itu terdengar kurang masuk akal di telinga Binar. Tapi, senyumnya kemudian terbit. “Jadi, berapa yang perlu saya bayar, Pak?” Lelaki di depannya itu mendorong nota untuk sampai tepat di depan Binar. “Ibu bisa melihatnya.” Tanpa banyak berpikir, Binar langsung bisa melihat nominal yang tertulis di barisan paling akhir, dan itu tidak sampai seratus juga. Hal itu membuat bibir Binar mengurva semakin lebar. Binar menatap nota dan kepala bengkel bergantian. “Benar hanya perlu membayar sebesar
“Aku akan menikahimu kalau urusanku dengan Binar selesai.” Rasya menjawabnya dengan santai. “Tunggulah dan bersabar.” Nindi tampaknya tidak terima dengan jawaban Rasya yang terdengar sangat menyepelekan. Dalam pikiran Nindi bersuara, dia mengandung janin di perutnya dan dia butuh segera menikah untuk menutupi ‘aib’ yang semakin lama akan semakin membesar. Tentu saja dia tak boleh mengulur terlalu lama atau dia akan dipermalukan. “Kalau begitu, aku juga nggak bisa membawa Mas dan orang tua Mas untuk tinggal di sini. Aku nggak mau tetanggaku mengghibah karena masalah ini dan menimbulkan masalah baru.” “Kenapa kamu perhitungan banget sih?” Rasya bereaksi keras. Raut wajahnya tampak kesal luar biasa karena penolakan Nindi. “Bagaimanapun kita juga nanti akan menikah. Tapi tunggulah sampai semua selesai.” Rasya kini yang memuntahkan amarahnya. Rambutnya yang mencuat berantakan, seperti hatinya yang tengah gundah gulana. “Sampai selesai itu kapan? Mas bahkan bilang nggak mau bercerai den
Binar memejamkan matanya erat sebelum memberanikan diri untuk mengetuk pintu ruangan Kalandara. Mencoba tenang, tapi jantungnya tetap saja bertalu-talu tak karuan. Di dalam benaknya muncul banyak spekulasi tentang ‘kenapa’ dan ‘ada apa’ dirinya dipanggil ke ruangan bosnya. Tapi, dia ‘kan memang kepala department ini, rasa-rasanya itu wajar. “Masuk!” Suara Kala terdengar dari dalam ruangan ketika Binar mengetuk pintunya. Kaki Binar terasa berat saat akan melangkah. Namun dia harus tetap maju. Berjalan dengan pasti untuk menghadap Kala, kini dia berdiri tepat di depan meja lelaki itu. Binar bisa melihat, Kala sama sekali tidak mendongakkan kepalanya meskipun tahu Binar ada di ruangan yang sama dengannya. “Ada yang harus saya kerjakan, Pak?” Barulah ketika Binar bersuara, Kala mengangkat kepalanya dan tatapan mereka bertemu. Tatapan lelaki itu masih begitu dingin dan penuh peringatan. Yang mau tak mau membuat Binar harus mengeratkan kepalan tangannya. Tentu bukan untuk melayangkan