Share

Part 3. Kemarahan Binar

“Itu adalah tanggung jawabmu kalau perempuan ini yang akan menjadi sasarannya.” 

Kata-kata itu sudah cukup membuat Rasya mengerti apa yang harus dilakukan. Binar tidak hanya akan menggertak. Dia akan melakukan apa pun yang dia katakan. Rasya ketakutan saat meminta Nindi masuk ke dalam mobilnya. 

Sedangkan Binar yang sudah pergi meninggalkan rumah Nindi, mengeluarkan segala sesak di hatinya dengan tangisnya yang pecah. Tidak peduli dengan mata yang kabur karena air mata, Binar menyetir dengan kecepatan yang luar biasa tinggi untuk melampiaskan emosinya. Kalaupun dia akan mati sekarang, maka itu akan lebih baik. Sakit yang dirasakannya benar-benar luar biasa. 

Namun seolah Tuhan ingin mengabulkan doanya, sebuah mobil tiba-tiba muncul dari arah kiri, membuat Binar terkejut luar biasa. Dengan cepat, dia menginjak rem berharap tidak menabrak mobil yang ada di depanya. Kalau dia harus mati, jangan melibatkan orang yang tidak berdosa. Begitulah yang dipikirkan. 

Naas, injakan rem mobilnya tak sanggup menghindari  tabrakan yang diciptakan. Suara decitan dari pergesekan ban mobil dan aspal membuat suara memekakkan. Jantung Binar hampir saja berhenti berdetak detik itu juga. Dengan kaki bergetar, dia segera keluar dari mobilnya dan terpaku di tempatnya saat mobil yang ditabraknya mengalami kerusakan parah. 

“Kalau kamu tidak bisa menyetir, jangan menyetir dan berakhir merugikan orang lain.” Suara itu mengejutkan Binar. Matanya menatap sosok lelaki tinggi yang berdiri di depannya dengan kemarahan di wajahnya. Lelaki itu menatap mobilnya dan mendesah panjang. 

Mengalihkan tatapannya pada Binar yang terdiam di tempatnya, lelaki itu mengetatkan rahangnya kuat. Sebelum mengumpat dingin. “Sial!” 

“Maafkan saya, Pak. Saya benar-benar minta maaf.” Binar memohon. Tangisnya yang sejak tadi masih belum surut itu akhirnya kembali keluar. Amarah yang belum reda bercampur dengan ketakutan karena tabrakan yang terjadi. Tubuh Binar bergetar hebat sampai di harus mencari pegangan dengan mobilnya sendiri. 

“Saya akan bertanggung jawab,” lanjutnya dengan suara menyicit rendah.  

“Tentu saja kamu harus melakukannya!” Lelaki itu bersuara dingin.

Binar mengangguk. Menatap lelaki itu dengan berani. “Saya akan membiayai kerusakan mobil Bapak. Tapi …,” Binar mengusap air matanya yang sejak tadi seolah tak mau berhenti keluar. “Tapi, sekarang ada hal penting yang harus saya lakukan. Bisakah saya meninggalkan nomor telepon saya agar Bapak bisa menghubungi saya untuk biaya perbaikannya?” Air mata Binar menetes lagi. “Saya janji, saya akan menanggung semua biayanya.” 

Lelaki itu menatap Binar tajam, rahangnya menguat, dan keinginan membentak perempuan itu begitu tinggi. Aura permusuhan begitu menguar hitam dari dalam tubuhnya. Namun, Binar tidak memiliki banyak waktu. Dia memiliki urusan yang lebih penting dari masalah mobil lelaki itu. Bahkan dia sama sekali tidak peduli kerusakan mobilnya sendiri yang juga mengalami kerusakan parah. 

“Bi, ada apa?” Rasya datang setelah itu dan melihat kekacauan yang dibuat oleh sang istri. Ekspresi paniknya tampak jelas di wajah Rasya. “Kamu nggak papa?” Rasya mencoba mengecek tubuh Binar, tapi Binar terus menghindar sampai berdiri di belakang lelaki asing itu seolah mencari perlindungan.  

Bersikap layaknya suami yang baik, Rasya segera bersuara. “Pak, dia istri saya. Saya benar-benar minta maaf atas kejadian ini. Saya yang akan bertanggung jawab.” Baru Rasya menutup mulutnya, Nindi datang. 

“Mas!” 

Hanya panggilan itu, tapi Binar merasa muak mendengarnya. Dengan gerakan cepat, Binar kembali ke mobilnya dan mengambil sebuah kartu nama. 

“Pak, ini kartu nama saya.” Binar dengan lancang menarik tangan lelaki itu, kemudian meletakkan kartu nama di atas telapak tangannya. “Tolong Bapak hubungi saya untuk biaya perbaikan mobil Bapak. Sekali lagi, saya benar-benar minta maaf. Saya janji, setelah Bapak menghubungi saya, saya akan datang dan membayarnya.” 

Setelah mengatakan itu, Binar tidak lagi peduli dengan keadaan di sana. Dia kembali masuk ke mobil, mengendarainya dengan kencan agar bisa segera sampai di rumah. Mobil Rasya tak lama menyusul dan meninggalkan korban Binar begitu saja. 

Sampai di rumah, kekacauan semakin terasa di dalam hati Binar meskipun dia berusaha meredamnya. 

“Bi.” Panggilan itu seolah mengaduk emosi Binar kembali membuat perempuan itu menatap Rasya dengan tajam. Terlebih lagi saat melihat Nindi yang berjalan di belakang Rasya, membuat perasaan Binar carut marut tak karuan. 

“Ayo kita bercerai, Mas!” katanya dengan dingin. “Ayo kita akhiri semua hubungan yang terjalin di antara kita.” 

Rasya panik. “Bi, apa yang kamu katakan?” katanya. Rasya dengan secepat kilat mendekati sang istri. “Kita bisa membicarakan ini baik-baik. Aku bisa menjelaskan apa pun yang ingin kamu dengar?”

“Menjelaskan seperti apa lagi?” Binar mengusap air matanya yang terus keluar dari netranya.  “Seandainya aku tidak memergokimu, apa kamu juga akan terus menyembunyikan hubunganmu dengannya?” 

“Ada apa ini?” Mendengar ada perdebatan, orang tua Rasya akhirnya keluar kamar dan terkejut melihat keberadaan Nindi di sana. Ibu Rasya melebarkan matanya dan wajahnya pucat pasi.

Binar melihat wajah suami dan kedua mertuanya secara bergantian dan menunggu reaksi mereka. Binar ingin tahu apa yang akan dikatakan oleh ibu mertuanya melihat situasi kacau seperti ini. 

“Rasya, ada apa? Siapa perempuan ini?” 

Binar sempat tidak percaya ibu mertuanya memilih berpura-pura tidak mengenal Nindi dihadapan Binar. Padahal siang tadi mereka tampak akrab saat mengobrol bersama. Mengerti alur cerita yang dibuat ibunya, Rasya segera menjawab.

“Ibu, aku minta maaf. Dia Nindi. Dia adalah …,” bahkan ada jeda yang dibuat oleh Rasya. “Dia adalah kekasihku.” 

“Rasya! Bagaimana bisa kamu menyebut dia kekasihmu sedangkan kamu punya istri? Kamu selingkuh?” 

“Ibu, aku sungguh minta maaf.” 

Binar yang melihat akting mereka semakin marah. Dia lantas bersuara dengan rendah dan dingin. 

“Hentikan!” Tatapannya masih mengarah pada suami dan ibu mertuanya. “Kalian tidak perlu berpura-pura di depanku. Aku sudah mengetahui semuanya.”

“Binar, apa maksudmu?” tanya ibu Rasya dengan cepat. Perempuan yang biasanya mengenakan riasan di wajahnya itu tampak pucat tanpa lipstik menempel di bibirnya. 

Binar duduk di sofa, kemudian memijat pelipisnya berusaha meredakan kepalanya yang tiba-tiba berdenyut nyeri. Sungguh dia tak pernah menyangka berada di posisi ini. Binar merasa kehidupan rumah tangganya adalah yang terbaik. Dia memiliki suami yang setia dan mencintainya, kedua mertua yang juga memberikan kasih sayangnya bak anak sendiri.

Tapi sekarang semuanya benar-benar berakhir. Mereka adalah serigala berbulu domba. Pengkhianat. 

“Binar, mari kita bicarakan baik-baik permasalahan ini. Aku berjanji akan menjelaskan semuanya. Tapi, jangan berbicara tentang perceraian.” Suara Rasya seperti kebisingan yang mengganggunya. Binar menutup telinganya dengan kedua tangannya. 

Mengambil nafasnya panjang dan berusaha untuk tidak meledak dalam amarah. Berkali-kali dia mencoba untuk mensugesti dirinya sendiri jika dia kuat. Setelah dia merasa tenang, kepalanya kembali mendongak dan kini tatapannya mengarah pada Nindi yang sejak tadi hanya berdiri di tengah ruangan.

“Nindi. Itu namamu, kan?” Binar bangkit dari duduknya dan berjalan mendekat ke arah perempuan itu. Namun dia masih mengambil jarak aman. 

Melihat pergerakan Binar, Rasya takut istrinya akan melukai sang kekasih. Maka dia berdiri di dekat Binar untuk berjaga-jaga apabila Binar murka dan menyerang Nindi. Hal itu membuat Binar tersenyum miris. Lantas dia menatap Rasya dengan tatapan kesakitan yang tidak repot dia sembunyikan sebelum dia kembali bersuara. 

“Tenang saja, Mas, aku nggak akan menyakitinya. Kalau aku harus membunuh, aku pasti akan membunuhmu.” 

*** 

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kirain si binar mtii atau lumpuh
goodnovel comment avatar
Bocah Ingusan
kenapa ga mati kecelakaan saja si Binar
goodnovel comment avatar
Sery Widiyani
menarik untuk di simak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status